Sunday, February 17, 2008

New Office

Rasanya tidak ada bedanya pindah ke kantor baru seperti sekarang ini. Secara fisik kami memasuki orbit kaum berada di pusat Jakarta (maklum Senayan City je, tempat pria wanita berbusana tertib dan bermandikan parfum), tetapi faktanya tempat kami berkantor khususnya redaksi saya) masih amburadul. Aduuh!

Andaikan Anda diijinkan masuk ke kantor kami, saya yakin kalimat ini yang akan Anda ucapkan; bener neh, ini stasiun tv yang katanya numero uno? Lho apa pasal?

Bayangkan (saya ajak anda mulai dari redaksi) studio belum ada, infrastruktur siaran masih amburadul, software pendukung belum terpasang dengan lengkap (itupun sering mati tiba-tiba) dan listrik beberapa kali byar pet. Tak lupa juga Anda bisa melihat penyelesaian ruang rapat yang sering mengepulkan debu karena prosesnya belum tuntas.

Trus Anda bisa melongok ruang IT. Di beberapa perusahaan, departemen IT menempati ruang steril, bebas debu, teratur sesuai dengan penggunaannya. Namun di sini, ck ck ck seperti gudang. Ketika mencari petugas untuk membereskan komputer saya yang flu kena debu, saya melihat ruangan departemen ini tidak lebih baik dari tempat saya bekerja. Ya sudahlah biarkan mereka membereskan persoalan dalam negeri, toh mereka akan repot membantu saya karena fasilitas pendukung masih berantakan.

Nah ini yang seru. Jantung sebuah media penyiaran adalah master control yang mengatur lalu lintas isi siaran baik sinetron, berita, film, talk show, musik sampai iklan. Nah jantung kami ini mungkin seperti jantung Frankenstein alias tambal sulam. Kabel bersliweran (bayangin kalau orang tersandung kabel itu. Orangnya bisa benjol dan kabel siaran lepas; kebayangkan?), peralatan tersambung seadanya pokoke siaran.

Dari berbagai kondisi ini, saya merasa perusahaan tempat saya ini hebat betul. Dengan situasi darurat seperti ini, kok ya bisa jawara (menurut lembaga pemeringkat) andaikan sudah dibereskan dengan canggih, pasti di atasnya jawara atau nomer nol. Luar biasa.

Tapi saya memikirkan perkara lain. Lha wong kayak gini aja sudah hebat, buat apa pemilik repot-repot memperbaiki kan ngabisin dana, tenaga dan waktu. Mending duitnya untuk beli pulau atau perusahaan lain.

Welah, don't be so nyinyir and nyindir gitu, man. Positive thinking lah. Mungkin ada persoalan berat lain yang perlu ditangani sehingga penyelesaian fasilitas dan gedung di kantor ini menjadi tertunda-tunda. Kan para petinggi memiliki kebijakan yang mengayomi seluruh kawulo alitnya.

Persoalan fasilitas pendukung seringkali menjadi perdebatan seru antara atasan dan bawahan. Atasan menilai namanya pendukung yang bukan persoalan primer jadi bisa dinomorduakan karena ada hal lain yang dianggap lebih penting, toh dengan kondisi ad hoc bisa jalan. Namun bawahan merasa fasilitas pendukung akan membuat proses pengerjaan tugas menjadi lebih mudah, dan hasilnya toh untuk kemajuan perusahaan.

Sebagai orang yang berada di level tengah, saya merasa kedua belah pihak perlu berempati terhadap masing-masing pihak. Gunakan cara pandang dari sudut masing-masing. Mungkin kesenjangan pengertian yang ada akan bisa terjembatani. Toh, sekali lagi semuanya untuk kemajuan bersama.

Peace,
indi

No comments: