Tuesday, March 18, 2008

Adamair wer ewer ewer

Tidak pernah tersirat di benak saya untuk menjadi saksi mata jatuh-bangunnya sebuah maskapai penerbangan di tanah air. Dari hanya Garuda dan Merpati (mungkin tambah Mandala) seingat saya waktu kecil (tiga puluh tahun lalu) kemudian berkembang menjadi belasan maskapai yang saya pun terkaget-kaget mengetahui nama barunya. Kini sebuah maskapai yang menyediakan tiket murah harus merelakan ijinnya dicabut.

Pertama kali saya terbang sekitar tahun '75 (saya ingat masih kelas tiga SD) rasanya begitu mendebarkan melintasi pulau Jawa dari Jakarta ke Surabaya. Berangkat subuh ke Kemayoran, bersama kedua orang tua dan kakak, saya sempat terheran-heran melihat dan melalui pintu otomatis yang bisa buka-tutup sendiri. Selama penerbangan saya tidak terlalu ingat karena masih mengantuk dan segera jatuh tertidur. Hanya menjelang pendaratan telinga ini begitu sakit karena perbedaan tekanan di saluran pendengaran dengan lingkungan luar.

Kemudian waktu mulai bekerja di kantor sekarang, saya dan beberapa teman seringkali bolak-balik terbang Jakarta-Surabaya dengan Garuda. Rasanya saat itu sekitar awal tahun 90-an tiket masih terbilang murah, sehingga kantor tidak keberatan menyediakan yiket pesawat. Saya beberapa kali mengutil peralatan makan, yang terbuat dari logam (tidak seperti sekarang dari plastik biar murah).

Namun saat krismon melanda tahun 1998-2000, tiket pesawat langsung melonjak tajam. Kantor pun sangat berhati-hati mengijinkan pegawainya menikmati burung besi; hanya level jabatan tertentu dan urgensi tugas yang diijinkan menggunakannya. Betapa sepinya bandara pada masa itu, karena banyak orang tidak berani menggunakan pesawat yang tiketnya luar biasa mahal.

Secara perlahan kondisi membaik (mungkin yang tepat istilahnya adalah teradaptasi). Masyarakat dapat menerima kondisi yang ada dan bisnis pun bergulir kian kencang. Garuda dan Merpati mulai mendapat teman bahkan pesaing baru. Lion Air hadir dengan konsep penerbangan murah, sehingga banyak orang berbondong-bondong terbang dengan pesawat ini.

Belum selesai terheran-heran dengan keberanian maskapai singa itu, muncul warna ngejreng yang berani bermain di angkasa, walaupun tidak memiliki sejarah terlibat usaha penerbangan. Dengan kuning jingga yang mencolok, AdamAir (sepertinya ini yang tepat penulisannya bukan Adam Air) melambung tinggi.

Kosep murah meriahnya membuat lebih banyak alternatif orang bepergian dengan pesawat. Tak dapat makan minum di angkasa tak apa-apa, yang penting cepat sampai, murah dan aman.

Nah yang terakhir ini tampaknya menjadi persoalan. Entah apa yang terjadi, karena dalam kurun waktu empat tahun berulang kali AdamAir mengalami kecelakaan. Mulai dari salah terbang, karena peralatan navigasinya ngadat di atas Flores, nyemplung di perairan Selat Makassar, patah punggung pesawat di Surabaya, hingga yang terakhir ngesot di bandara Hang Nadim Batam pertengahan Maret 2008. Belum lagi ada info pesawat AdamAir pernah hampir tabrakan dengan sebuah pesawat Lion Air di atas Surabaya, karena ada persoalan dengan kaca kabin.

Bagi orang yang gemar klenik, peristiwa-peristiwa ini tentu enak diteliti dengan kacamata non-natural. Jangan-jangan tidak pernah diruwat dan didoakan waktu pelepasan pesawat pertamanya. Pokoknya macam-macam spekulasi.

Namun di atas semuanya, kasus AdamAir menjadi sebuah tonggak baru untuk memperbaharui perjalanan bisnis penerbangan Indonesia. Jangan pernah main-main dengan keselamatan manusia (baca penumpang pesawat). Kalau tidak ya jadi AdamAir wer ewer ewer.

Salam
indi

No comments: