Monday, March 17, 2008

Buswae

Tidak ada kedongkolan yang lebih besar sebagai penduduk Jakarta pada pagi dan sore hari selain....terjebak kemacetan. Bagi saya yang bekerja seperti kalong dan mendapat privilese ke kantor lancar tanpa macet, berkeliaran saat matahari bertahta adalah sebuah kengerian. Terpanggang matahari di tengah udara pengap oleh asap di tengah-tengah lautan kendaraan bermotor.

Pagi ini saya diundang menjadi pembicara di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Sebetulnya tidak pagi sih, tepatnya pukul 11 WIB. Dengan alasan ingin bersantai di perjalanan, saya tinggal "gerobak Jepang" yang telah mengantar saya lebih dari lima tahun di rumah dan naik bus Trans BSD jurusan BSD-Ratu Plaza. Saya membayangkan enaknya memejamkan mata sejenak di dalam bus menikmati perjalanan sekitar satu setengah jam untuk kemudian bangun dengan segar.

Bus terisi padat dengan manusia berbagai macam. Namun satu yang menyenangkan, semuanya wangi. Wah ini memang perjalanan yang menyenangkan. Setelah melaju lancar di jalan tol Serpong - Bintaro, perjalanan itu berubah menjadi melelahkan. Harapan untuk rileks tidak terlaksana. Menjelang kawasan Pondok Indah, bus dihadang oleh rangkaian kendaraan yang mengular dengan padat. Mata ini yang sebelumnya setengah terpejam langsung terbuka lebar, karena ingin melihat macetnya lalu lintas yang sebegini dahsyat. Wooo, begini to, namanya macet di Hari Senin, maklumlah saya sudah lupa rasanya kena macet.

Perjalanan ini masih dilanjutkan dengan Bus Trans Jakarta. Nah kalau yang ini jauh lebih menyenangkan, karena belum banyak mobil yang melaju di jalur three in one sepanjang Jalan Sudirman-MH Thamrin. Alhasil saya bisa lebih cepat sampai di tujuan, walaupun pinggang masih pegal setelah duduk lama di bus pertama.

Setelah menyelesaikan sesi yang sulit sekaligus menyenangkan di hadapan staf humas yang antusias pada sekitar pukul 18.00 WIB, saya pun harus kembali ke habitat asli di pusat perbelanjaan di Senayan. Kebetulan tempat saya bicara tidak jauh dari halte busway; cukup jalan lima menit saya sudah masuk ke antrean calon penumpang yang lain.

Wah lagi neh, pikir saya. Bagaimana tidak, saya berhadapan dengan dua kondisi yang membuat hati saya ciut. Di hadapan saya ada puluhan rekan penunggu bus premium Trans Jakarta. Rupanya bus program peninggalan Gubernur Sutiyoso belum menjemput mereka setelah sekian lama, sehingga terbentuk antrean ini. Penyebabnya terjawab dengan situasi di jalan raya, yaitu lagi-lagi macet, dan kendaraan merayap secepat gerakan ulat.

Sebagai komuter sekaligus pekerja media, saya tahu dan mengapresiasi usaha Sutiyoso dan Fauzi Bowo dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di ibu kota. Sebut saja pembangunan underpass atau fly over (dua sebutan yang malas dicari padanan dalam Bahasa Indonesianya: terowongan dan jalan layang) di beberapa tempat yang sering menjadi biang kemacetan seperti Kebayoran Lama dan Cawang. Juga pembangunan jalur busway baru sampai Koridor XI (sampai sekarang saya tidak hapal daerah-daerah mana yang dilalui Koridor I-XI).

Saya yakin Anda sependapat dengan saya, bahwa negeri ini tidak kekurangan orang pintar untuk dapat menemukan solusi persoalan menahun Jakarta ini. Tapi kok bukannya tambah ringan perjalanan menuju dan melintasi Jakarta malahan kian hari kian berat dan susah.

Rasanya ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada pengelola negeri ini atau daerah, yaitu apakah mereka pernah berpikir untuk mengintegrasikan semua usulan solusi yang ada. Penyelesaian yang terpadu dengan memasukkan setiap faktor penyelesai masalah adalah hal yang tidak pernah terlihat. Sebut saja masalah bus pengumpan yang tidak kunjung terselesaikan, jumlah bus Trans Jakarta yang masih jauh dari cukup, belum lagi rencana Monorel yang tiangnya sudah dibuat di beberapa kawasan, kini hanya jadi monumen besi beton yang mencoklat karena karat.

Beberapa waktu lalu muncul dua wacana untuk mendukung pengaturan jumlah mobil yang masuk Jakarta. Di antaranya adalah melalui nomor polisi genap dan ganjil yang masuk bergantian, kemudian kendaraan luar Jakarta yang hendak masuk harus membayar retribusi, juga menyiapkan mass rapid transport sepanjang jalur Blok M-Kota. Wah ususl-usul yang brilian dan layak bisa menyelesaikan masalah kemacetan. Namun lagi-lagi masalah yang ada tidak diselesaikan secara integral sehingga wacana itu cenderung seperti rumput yang baru tumbuh di tengah terik matahari; tumbuh kemudian mati.

Saya yakin sekali lagi, pasti para pemimpin kita punya kebijaksanaan yang di atas rata-rata masyarakatnya. Hanya masalahnya mesti berapa lama saya menunggu kebijaksanaan itu muncul pada waktunya. Huaaaahheeemmmm bisa mengantuk saya menunggu. Tidak hanya jam ukurannya tapi bisa lima tahun.

Salam,
Indi

No comments: