Monday, February 25, 2008

GAYA HIDUP

Hi, all

Inilah saya, duduk di tengah-tengah taman SMS, Summarecon Mal Serpong, sebuah mal di Jakarta Barat. Cuaca sore ini enak sekali, karena saya berada di udara terbuka. Mendung tampak menggantung di beberapa bagian langit, namun angin berembus tenang. Hujan tampaknya tidak bakan turun dalam waktu dekat.

Sambil membuka laptop dan “browsing internet” saya mengedarkan pandangan saya berkeliling. Rasanya ada yang menarik dari wajah-wajah yang saya lihat. Tempat yang saya duduki adalah sejenis wadah orang kota berduit untuk menghabiskan uang dan waktu. Kongkow-kongkow, makan-minum dan main internet.

Di hadapan saya ada sepasang suami isteri berusia paruh baya. Mereka tampak menikmati perbincangan ditemani penganan kecil. Di seberang sana seorang pria duduk sendiri menikmati setiap hirupan asap rokoknya. Dua gelas bir yang satu kosong dan yang lain terisi separuh terletak di hadapannya. Di ujung barisan tempat duduk saya, sekelompok remaja bersenda-gurau dengan hangatnya. Tidak perlu ada makanan dan minuman cukup materi yang seru, yang akan menjadi santapan mereka sore ini. Tak henti-hentinya kaum hawa berpenampilan rapi baik sendiri, maupun berkelompok berjalan ke depan dan belakang saya. Aroma parfum menebarkan kenyamanan berpadu dengan wangi kopi Arabica dan makanan hangat yang menggugah selera.

Di dalam situasi inilah saya berada. Di sini waktu seolah berhenti. Tidak ada ketergesa-gesaan, tak terlihat wajah murung. Semua rileks, tenang dan nyaman. Di udara menggantung musik jazz dengan irama sedang, menebarkan kesan ceria. Ia seperti berada di ruang dan waktu yang berbeda sama sekali dengan hiruk pikuk kota besar di luar sana.

Ketika saya melangkah masuk kawasan ini, seolah saya memasuki sebuah kotak tidak kasat mata yang melindungi isinya dari pengaruh eksternal.

Perlahan cuaca meredup. Matahari tak lagi garang menyinarkan kekuatannya, terhalang oleh belahan bumi di sebelah barat. Awan tebal kian erat melingkupi atmosfer, nyaris tak memberi kesempatan kepada sisa-sisa cahaya keemasan memeluk permukaan bumi. Lampu-lampu di taman mal ini satu per satu menyala. Cahayanya membentuk rangkaian bunga dan pohon yang meliuk-liuk.

Tak terasa sudah lebih dari dua jam saya di sini. Rasanya ini salah satu tempat terbaik yang saya bisa temukan. Saya bukan pecinta mal. Kalaupun sering ke mal, saya biasanya mengajak anak-anak makan, ke toko buku atau mengantar isteri berbelanja. Jadi tidak pernah saya menjadikan mal sebagai tujuan utama bersantai. Tapi yang satu ini berbeda. Saya menikmati kesendirian dan kenyamanan di tengah suasana mal. Kalaupun ada yang mengganggu saat ini adalah gigitan nyamuk. Rasanya mereka dapat berpesta pora dengan giat, karena praktis lingkungan yang mendukung. Remang-remang, dingin, banyak pohon dan tubuh-tubuh yang tidak banyak aktifitas.

Sunday, February 17, 2008

New Office

Rasanya tidak ada bedanya pindah ke kantor baru seperti sekarang ini. Secara fisik kami memasuki orbit kaum berada di pusat Jakarta (maklum Senayan City je, tempat pria wanita berbusana tertib dan bermandikan parfum), tetapi faktanya tempat kami berkantor khususnya redaksi saya) masih amburadul. Aduuh!

Andaikan Anda diijinkan masuk ke kantor kami, saya yakin kalimat ini yang akan Anda ucapkan; bener neh, ini stasiun tv yang katanya numero uno? Lho apa pasal?

Bayangkan (saya ajak anda mulai dari redaksi) studio belum ada, infrastruktur siaran masih amburadul, software pendukung belum terpasang dengan lengkap (itupun sering mati tiba-tiba) dan listrik beberapa kali byar pet. Tak lupa juga Anda bisa melihat penyelesaian ruang rapat yang sering mengepulkan debu karena prosesnya belum tuntas.

Trus Anda bisa melongok ruang IT. Di beberapa perusahaan, departemen IT menempati ruang steril, bebas debu, teratur sesuai dengan penggunaannya. Namun di sini, ck ck ck seperti gudang. Ketika mencari petugas untuk membereskan komputer saya yang flu kena debu, saya melihat ruangan departemen ini tidak lebih baik dari tempat saya bekerja. Ya sudahlah biarkan mereka membereskan persoalan dalam negeri, toh mereka akan repot membantu saya karena fasilitas pendukung masih berantakan.

Nah ini yang seru. Jantung sebuah media penyiaran adalah master control yang mengatur lalu lintas isi siaran baik sinetron, berita, film, talk show, musik sampai iklan. Nah jantung kami ini mungkin seperti jantung Frankenstein alias tambal sulam. Kabel bersliweran (bayangin kalau orang tersandung kabel itu. Orangnya bisa benjol dan kabel siaran lepas; kebayangkan?), peralatan tersambung seadanya pokoke siaran.

Dari berbagai kondisi ini, saya merasa perusahaan tempat saya ini hebat betul. Dengan situasi darurat seperti ini, kok ya bisa jawara (menurut lembaga pemeringkat) andaikan sudah dibereskan dengan canggih, pasti di atasnya jawara atau nomer nol. Luar biasa.

Tapi saya memikirkan perkara lain. Lha wong kayak gini aja sudah hebat, buat apa pemilik repot-repot memperbaiki kan ngabisin dana, tenaga dan waktu. Mending duitnya untuk beli pulau atau perusahaan lain.

Welah, don't be so nyinyir and nyindir gitu, man. Positive thinking lah. Mungkin ada persoalan berat lain yang perlu ditangani sehingga penyelesaian fasilitas dan gedung di kantor ini menjadi tertunda-tunda. Kan para petinggi memiliki kebijakan yang mengayomi seluruh kawulo alitnya.

Persoalan fasilitas pendukung seringkali menjadi perdebatan seru antara atasan dan bawahan. Atasan menilai namanya pendukung yang bukan persoalan primer jadi bisa dinomorduakan karena ada hal lain yang dianggap lebih penting, toh dengan kondisi ad hoc bisa jalan. Namun bawahan merasa fasilitas pendukung akan membuat proses pengerjaan tugas menjadi lebih mudah, dan hasilnya toh untuk kemajuan perusahaan.

Sebagai orang yang berada di level tengah, saya merasa kedua belah pihak perlu berempati terhadap masing-masing pihak. Gunakan cara pandang dari sudut masing-masing. Mungkin kesenjangan pengertian yang ada akan bisa terjembatani. Toh, sekali lagi semuanya untuk kemajuan bersama.

Peace,
indi

Friday, February 8, 2008

SEKALI LAGI BANJIR

Hi all,

Rasanya semua orang Jakarta lagi pada gemes sama gubernurnya sekarang ini. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya yang namanya banjir cuma dikenal istilah lima tahunan atau muncul lima tahun sekali, eh dalam dua tahun berturut-turut Jakarta terendam dengan gegap gempita. Serunya lagi pada awal tahun baru ini, jalan tol ke arah Bandara Soekarno-Hatta seperti lautan dan jalan protokol menjadi danau karena hujan beberapa jam saja pada Jumat, 1 Februari lalu.

Benarkah gubernur menjadi satu-satunya pihak yang layak disalahkan karena daerah pemerintahannya kebanjiran? Saya tidak menyalahkan Anda bila namanya segera disebut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimanapun saat ia berkampanye sebagai calon gubernur ia pasti mengetahui salah satu persoalan krusial yang harus dibenahi di ibu kota adalah banjir.

Saya hanya ingin membuka perspektif lain dalam mengelola persoalan banjir di Jakarta. Waktu saya melihat kembali buku IPS anak saya yang duduk di kelas VI, ada termaktub masalah lingkungan temasuk banjir. Dinyatakan di sana penyebab banjir di antaranya adalah penggundulan hutan, pendangkalan sungai dan berkurangnya resapan air terutama di kota-kota besar. Membaca ini pikiran saya segera melayang ke mal-mal di ibu kota.

Rasanya dalam beberapa tahun terakhir pembangunan di Jakarta berfokus pada pembuatan pusat perbelanjaan baru; memang saya tidak memiliki data riil, tetapi saya bisa sebutkan berdirinya Senayan City, Pacific Place, Plaza EX, ITC Permata Hijau, WTC Mangga Dua dan masih banyak lagi. Kehadiran tempat-tempat tersebut memang menyenangkan untuk cuci mata, tetapi jangan lupa, biasanya bangunan bertingkat membutuhkan tempat parker yang besar. Kerimbunan pepohonan yang dapat menampung air hujan pun menjadi korban. Semen, paving block dan aspal mengganti akar-akar dan tanah. Akibatnya saat hujan turun air tidak sempat lagi meresap ke dalam tanah, dan banjir pun terjadi.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberian ijin pembangunan mal dan gedung-gedung tadi? Tentu saja pemerintah daerah. Namun naïf kalau sekedar menyalahkan pemda, karena pihak pembangunnya pun tidak memiliki wawasan lingkungan. Dengan menutupi seluruh tanah kosong dengan lapisan yang tidak menyerap air berarti pengusaha dan pembangun mengabaikan perannya dalam pencegahan banjir di ibu kota.

Sekali lagi di sini peran pemerintah untuk menegakkan usaha-usaha pencegahan banjir sangat penting. Sudahkan pengusaha property diwajibkan untuk menyediakan lahan untuk serapan air? Sudahkan ada penegakan hukum yang kuat dan adil terhadap pelanggar peraturan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan daerah serapan air di tengah maraknya pembangunan di ibu kota.

Lahan parkir adalah faktor penting untuk kelancaran bisnis. Anda dapat merasakan betapa tidak menyenangkannya bila sebuah tempat usaha tidak memiliki tempat parkir. Tidak hanya itu, tempat parkir yang nyaman akan memastikan konsumen datang dan datang lagi. Pemikiran ini ternyata hanya satu dari banyak sisi kebutuhan masyarakat kota besar. Adalah elok bila lahan parkir juga menyisakan tanah kosong dengan tumbuhan hijau. Tidak hanya mobil-mobil dapat tempat berlindung, air hujan pun dapat tertampung dan udara segar selalu tersedia.

Wahai pengusaha ikutlah dalam menyediakan tempat untuk menampung air hujan agar banjir di ibu kota bisa terkurangi.

indi