Tuesday, July 7, 2015

Tempat Berkesan


Dari sekian banyak tempat yang pernah saya kunjungi, ada dua lokasi yang paling saya ingat. Memori saya terisi penuh dengan hal-hal khas dari kedua tempat itu. Yang pertama adalah Seattle, AS dan kedua Sindangraja di Sukabumi, Jawa Barat.

Bukan karena di luar negeri atau di Amerika, kota Seattle menjadi pilihan pertama tempat favorit saya. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk mendukung pilihan itu. Setiap mengunjungi sebuah daerah asing, terutama untuk jangka panjang, saya menyempatkan diri berkeliling, baik dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.

Walaupun hampir 4 tahun lalu, rasanya seperti baru kemarin saya mengunjungi kota Seattle. Setiap sudut kota mudah terbayang di benak. Cuacanya yang sejuk (walaupun masuk musim gugur yang biasanya dapat menggigilkan saya jika di negara empat musim lainnya) memudahkan saya berjalan di waktu malam atau dini hari.

Ya, saya senang menelusuri jalan-jalannya yang berbukit. Kota itu tidak besar (dibanding Surabaya bahkan), sehingga dengan berjalan kaki pun dengan mudah sudut-sudut kota terjangkau. Dalam satu pandangan, kita bisa melihat pegunungan, laut (tepatnya teluk) dan dataran. Three in one.

Salah satu tujuan favorit saya adalah pasar ikan. Hoho, jangan pikir ini seperti pasar ikan atau tempat pelelangan ikan di Indonesia. Jauh! Bersih lorong-lorongnya, tanpa bau amis pula. Bahkan yang paling seru, beberapa pedagang menawarkan dagangan berupa ikan segar atau hewan laut lainnya dengan gaya yang atraktif. Baik dengan gerak tubuh ataupun dengan teriakan-teriakan yang mengundang.

Belum lagi ada obyek wisata yang mengingatkan saya pada film romantik Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan; namanya The Needle. Bentuknya seperti menara TVRI di Senayan, tetapi lebih tinggi dan cara melihatnya adalah dari perbukitan. Indah.

Yang juga tak terlupakan adalah desa Indian bernama Tilicum Village. Tempat ini dicapai dengan menggunakan ferry penyeberangan selama sekitar 30 menit. Sebetulnya yang tersisa hanyalah karya masa lalu berupa barang-barang lawas dan diorama, tetapi pengunjung dapat membayangkan kejadian masa lalu itu melalui sebuah sandiwara di panggung dengan tata cahaya dan suara yang lumayan untuk kelas pertunjukan biasa. Hebatnya turis menikmati itu sambil makan-makanan khas Indian dan salmon panggang yang nikmat dan all you can eat. Saya sampai tambah dua kali makan salmon itu, karena endang bambang (enak banget).

Lalu bagaimana dengan tempat di Indonesia?

Banyak tempat bagus di tanah air beta. Namun untuk terbilang berkesan harus ada yang menyentuh perasaan. Nah yang itu baru saja saya rasakan ketika saya dan teman-teman menggarap program Suara Keadilan akhir Juli 2010. Tempatnya relatif dekat saja dengan Jakarta, yaitu Sukabumi. Namun jangan salah, ini bukan kota Sukabumi, tetapi di sebuah desa bernama Sindangraja.

Sebelumnya, produser saya hanya menyatakan tempatnya 15 km dari Sukabumi. Tidak jauh saya pikir. Tetapi ia menambahkan, bahwa perjalanan itu menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Lho. Hati ini jadi bertanya-tanya atas informasi itu.

Faktanya: buseettt.

Dari Sukabumi setelah makan mie ayam sehat buatan istri saya, kami berkendara dulu sekitar 30 km dengan jalan menanjak dan berkelok. Jalan itu sempit dengan aspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Setiap berpapasan dengan mobil lain semuanya harus melambatkan kendaraan dan berhati-hati melintas jika tidak ingin senggolan atau masuk jurang.

Nah di sebuah kawasan kebun teh, pergantian kendaraan dilakukan. Kami tinggalkan mobil yang kami gunakan dari Jakarta dengan sebuah LandRover tahun 1980. Kokoh. Tangguh. Pengendaranya adalah kontributor kami di Sukabumi. Di situlah ia membuka alasan mengapa kendaraan berpenggerak 4 roda diperlukan. Yaitu berbatu, menanjak dengan kemiringan tajam, sempit dan kadang berlumpur. Dari tempat itu hingga Sindangraja tujuan kami jaraknya 15 km. Itulah jarak yang disampaikan rekan saya. Wah bonus yang 30 km tadi itu, pikir saya.

Lalu dimulailah perjalanan yang mengesankan itu.

Terik matahari siang kalah oleh sejuknya udara. Namun hati ini deg-degan ketika mobil mulai bergerak. Bahkan pada 100 meter pertama. Lebar jalan hanya untuk 1 mobil, batu-batu sebagai landasan jalan berukuran minimal sebesar bola kaki menikung ke kiri dan ke kanan. Di beberapa bagian, sang pilot LandRover harus berhenti untuk berancang-ancang sebelum melintasi kubangan lumpur atau tanjakan berkemiringan sekitar 45 derajat (atau kurang ya? Pokoknya miring banget deh).

Praktis keindahan kebun teh milik Goal Para (kata pak kades setempat pada suatu kesempatan) terabaikan. Kami semua harus berpegangan di dinding mobil jika tidak ingin terjatuh dari tempat duduk akibat guncangan mobil.

Sekitar satu jam perjalanan itu kami tempuh dengan gerakan tak keruan tanpa henti. Hingga akhirnya kami sampai tujuan di desa yang dimaksud. Anda bisa bayangkan perjalanan kami turun dari tempat itu setelah urusan liputan selesai. Mungkin analoginya seperti naik rodeo di atas seekor kuda gila yang mabuk dan seorang kejam melecuti kuda itu dengan semena-mena.

Perjalanan yang mengesankan, karena itu adalah bagian negara saya. Warga desa Sindangraja pasti harus bersusahpayah jika harus mengurus kegiatan mereka ke kota besar; ke rumah sakit, berbelanja atau sekolah. Di sana baru ada sebuah sekolah dasar, sehingga untuk pendidikan lanjut para remaja harus memiliki punggung, pinggang dan pantat baja melawan guncangan di jalan.

Ya Tuhan, betapa dua tempat seperti kutub itulah yang saya ingat. Pertama karena kenyamanannya dan kedua karena ketidaknyamanannya. Yang pertama saya ingin kunjungi atau bahkan saya tinggali, tetapi yang kedua, di negara sendiri, saya tidak ingin ke sana lagi selama infrastrukturnya masih seperti itu.

MUDIK LAGI

(urusan pribadi hingga masalah nasional)

Tak terasa sebentar lagi Jakarta akan lengang. Jutaan jiwa dalam beberapa hari meninggalkan ibu kota ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, bahkan keluar Jawa. Bisa jadi mudik Lebaran adalah peristiwa tahunan yang biasa. Namun jika kita berbicara masalah hati dan emosi, tetaplah ada keluarbiasaan yang sangat terasa, ketika keluarga-keluarga menggunakan berbagai jenis kendaraan melintasi jalan-jalan penghubung kota2 menuju kampung halaman.

Saya belum pernah terlibat dalam arus mudik. Baik sebagai peliput di lapangan, apalagi menjadi mudiker (peserta mudik, hehehehe). Namun saya bisa membayangkan, betapa ada banyak rasa campur aduk. Mulai dari persiapannya, di jalan hingga sampai tujuan. Perasaan bersemangat, cemas, emosional dan tentu kebahagiaan memenuhi dada semua mudikers.

Semasa SMA (sekitar 30 tahun lalu), saya pernah melakukan perjalanan Jakarta-Surabaya menggunakan kereta Gaya Baru Malam. Saya lupa apakah saat itu menjelang Lebaran atau tidak, tetapi yang pasti kereta sangat penuh. Saya mendapat tempat berdiri di depan wc sejak Pasar Senen, Jakarta hingga Semarang, ketika sejumlah penumpang kereta turun dan ruang gerak lebih lega. Total selama sekitar 6 jam perjalanan itu, hampir tidak ada ruang gerak. Para pemudik berdesak-desakan.

Rupanya sejak beberapa jam sebelum berangkat, rebutan tempat telah terjadi. Tidak mendapat kursi, berarti lantai dan ruang di antara kursi diisi. Diduduki. Bayangkan panasnya udara. Jangan lupa, saat itu kereta rakyat tanpa AC hanya kipas angin dan jendela yang terbuka lebar. Bayangkan pula berbagai jenis bau campur aduk. Bau makanan, parfum, minyak angin, keringat bahkan kentut dalam satu gerbong kereta minim ventilasi.

Soal bau rasanya masih bisa diabaikan. Sebagai penumpang kereta (walau penumpang gelap, bayar di atas ke kondektur saat pemeriksaan karcis), saya sangat dongkol pada pedagang asongan. Hampir tidak ada saat tenang. Setiap saat akan terdengar tahu...tahu, sprit...sprit (sprit bukan sprait loh), plus langkah-langkah kaki di antara manusia yang berjuang memperoleh ruang duduk, tidur, jongkok atau berdiri. Ugh! Yahhh, namanya mencari sesuap nasi. Nggak apa-apa deh. Mereka, para pedagang itu, juga punya hak mengais uang kecil di antara mudikers. Toh, sepengetahuan saya tidak ada yang protes. Saya juga hanya bisa menggerutu dalam hati. Sungguh masyarakat Indonesia penuh toleransi.

Ketika kedua mertua masih hidup sampai lima tahun lalu, kami sekeluarga minimal setahun sekali berkendara dari Jakarta ke Madiun menjenguk mereka. Jalur Pantura adalah satu-satunya opsi perjalanan. Tidak ada jalur Selatan. Walau tidak pernah ikut arus mudik, perjalanan itu pun bukan perkara mudah. Menuju pintu tol Cikampek, persaingan dengan bus malam, truk dan sesama kendaraan pribadi relatif ketat. Lalu perjuangan berikut menembus jalan berlubang di Karawang hingga Subang. Indramayu relatif menawarkan kelancaran. Namun kami pernah terjebak berjam-jam di kawasan Ajibarang. Saat itu tengah malam. Karena tidak juga bergerak, mesin saya matikan dan tidur. Rasanya tidak lama, namun saat terbangun karena mobil diketuk orang yang meminta kami bergerak, jam seingat saya menunjukkan sekitar pukul 3 pagi.

Itu kesulitan saat peristiwa non-mudik. Bayangkan saat ribuan kendaraan pemudik baik roda dua, roda empat hingga roda 6 berada di tempat yang sama dan pada jam yang sama. Sementara ukuran jalan tidak bisa dimelarkan. Andai pula di tengah kesulitan itu, anak kita yang berusia di bawah 7 tahun mengatakan; pak, mau pipis.Ugh!

Hari ini, 7 Juli 2015, sebuah kendaraan niaga terguling di Tol Cipali. Tujuh orang meninggal di tempat. Ya, Tuhanku. Itu adalah kecelakaan kesekian kali sejak jalan tol tersebut dibuka untuk umum sebulan sebelumnya dengan jumlah korban terbanyak.

Mudik belum lagi dimulai, tetapi hati ini trenyuh mendengar kabar itu. Apakah itu akan menjadi korban terakhir, atau akan bertambah saat arus pemudik meningkat minggu-minggu ini.

Sudah cukup kesulitan saat memeras keringat untuk mencari sesuap nasi dan membawa kegembiraan waktu kembali ke kampung halaman. Jangan tambah kesulitan itu dengan ketidakhati-hatian di perjalanan yang membawa malapetaka. Mudik adalah perjalanan sarat emosi, tetapi tujuan mulianya jangan dinodai. Dengan apapun.

Selamat mudik, selamat sampai tujuan, selamat bergembira. Selamat Lebaran