Monday, December 29, 2008

Pulang Kampung

Penyakit menahun adalah salah satu masalah kami keluarga asli Jawa ini, yaitu mudik. Alasan pertama kebutuhan mengisi liburan anak-anak, kedua, yang paling penting mencari makanan kampung hehehe.

Yang pertama sih bisa dilakukan tanpa pikir panjang, karena ... ya sekedar jalan-jalan mengisi liburan para precil yang sudah mulai gampang protes kalau bapak mereka kelamaan kerja. Nah yang kedua ini harus dipikirkan masak-masak. Maklum tempatnya kan banyak jadi harus ada pengaturan waktu, tempat yang harus dikunjungi, bujet dab perut (maklum usia bertambah sehingga jenis dan jumlah yang dapat ditolerir menjadi terbatas).

Karena belum bisa cuti, saya manfaatkan hutang libur yang sebelumnya sehingga ada cukup waktu untuk melesat ke Madiun. Lho kok Madiun? Ya namanya sudah nggak punya orang tua kandung, akhirnya keluarga mertualah yang jadi sasaran tujuan. Oh ya jangan salah, cukup waktu artinya bukan seminggu apalagi dua minggu; itu hanya empat hari ya empat hari. Pokoke cukup untuk memenuhi dua hal itu tadi.

Lupakan alasan yang pertama, karena kewajiban suddah dipenuhi dengan pemenuhan yang kedua hehehe. Makanan kampung bagi saya lebih sophisticated daripada makanan modern alias yang banyak ditemui di rumah makan, restoran dan mal. Walaupun sudah banyak makanan kampung yang masuk mal, dijual di restoran dan hotel, rasanya kok ya lebih afdhol makan makanan kampung di tempatnya.

Anda bisa bayangkan dijual di pinggir jalan, dalam bentuk kaki lima atau rumah makan dengan dinding gedek (bambu yang dianyam), dan masak mungkin jarang cuci tangan. Tapi rasanya dan atmosfernya itu lho....hmm...irreplaceable. Tapi kalau dipikir-pikir ini bukan sekedar rasa di lidah, tetapi juga di hati dan memori. Ada relung-relung benak yang terisi oleh ingatan betapa menyenangkannya menikmati makanan kampung di tempat asalnya. Yaaach...romantisme masa lalu kira-kira.

Makanan yang saya incar adalah jajanan pasar di Pasar Kawak Madiun, Pecel Madiun Edi dan Bakso 77. Sekali lagi makanan-makanan itu bisa ditemui dengan mudah di Jakarta atau kota besar lainnya, tetapi kok ya masih lebih enak kalau menikmatinya dari tempat asalnya. Misalnya Pecel Edi yang berisi nasi, sayur, siraman saus kacang, rempeyek yang disajikan (nah ini mungkin bedanya) di pincukan daun pisang. Pelengkapnya ada telur mata sapi, daging empal, telur balado atau jerohan goreng. Sama kan? Terus baksonya ya sama, wong cuma glundungan bakso sebesar telur ayam dan somay. Demikian pula jajanan pasarnya: kue bugis, nagasari, pastel, dsb. Sama lagi kan?

Tapi kok rasanya menurut saya (mungkin bertambah dengan romantisme masa lalu) kok ya lebih enak. Tak percaya? Coba deh, hehehe.

Rasa makanan menurut saya sangat subyektif. Ada pengaruh-pengaruh internal dan eksternal, budaya bahkan pengetahuan. Contohnya makanan Jawa Tengah yang bernuansa manis tentu dianggap tidak enak oleh penduduk non-Jawa Tengah. Alhasil saya tidak pernah percaya pada acara-acara wisata makanan yang disajikan oleh banyak tv dan dilabeli mak nyusss. Bagi saya itu hanya sekedar pengetahuan. Pengalaman menikmati makanan dan rasa makanan adalah dua hal yang berbeda.

Oleh sebab itu pulang kampung bagi saya tetap menjadi ritual menarik, karena ada perjalanan nostalgia dan menjelajah masa lalu melalui makanan-makanan kampung.

indi

Sunday, December 21, 2008

Kisah Sedih di Hari Ibu

Seorang anak menangis di pelukan ayahnya, sementara ibunya berusaha menarik sang anak. Sejurus kemudian sang anak menjambak rambut ibunya dan berseru: Tidak mau, tidak mau! Aku lebih suka bersama papa. Mama jahat! Itulah tayangan yang mengawali program kami di Senin pagi ini tepat pada Hari Ibu. Disaksikan puluhan pasang mata, sepasang suami isteri (kabarnya sudah bercerai) memperebutkan anak ketiga mereka di sekolah sang anak di Semarang.

Ingatan saya menerawang jauh ke masa kecil saya. Sebagai anak kolong (sebutan bagi anak anggota ABRI sekarang TNI), saya tidak memiliki kemewahan bertemu alm. bapak dalam waktu yang cukup. Selain kerap berpindah tugas, beliau pun wafat saat saya masih berusia 13 tahun. Waktu yang cukup lama untuk membongkar kembali ingatan itu. Salah satu yang saya ingat adalah betapa bapak yang fotonya gagah terbaring lunglai akibat stroke karena darah tinggi. Saya membayangkan betapa beliau pasti kehilangan kebanggaan menjadi kepala rumah tangga yang bisa menjamin keamanan dan kenyamanan keluarga. Kemudian tampillah ibu saya mengurusi kami semua berenam sebelum beliau terbaring sakit dan wafat 17 tahun lalu.

Kasih sayang dan jerih payah mereka berdua membuat saya merasa tidak berguna karena saya tidak sempat membahagiakan mereka saat ini. Saya bisa membayangkan betapa mereka bahu membahu untuk memastikan anak-anak mereka mendapat makanan yang cukup, pakaian yang baik, sekolah yang lancar dan masa depan terjamin. Walau bapak tidak sampai membangun dinding keberhasilan anak-anaknya secara tuntas, minimal ia telah memastikan dinding itu berdiri secara kokoh dan ke arah yang tepat. Sementara ibu membuat dinding itu penuh dekorasi keindahan dalam budi pekerti dan kebaikan.

Kembali ke tayangan tadi, saya kemudian mengasihani sang anak yang baru duduk di bangku taman kanak-kanak. Sedikitnya Rafael demikian nama nak itu mengalami dua kerugian. Pertama ia mengalami trauma batin akibat menjadi bahan rebutan kedua orang tua kandungnya. Alih-alih harus melindungi sang anak dari buruknya dunia, keduanya justru menunjukkan bahwa mereka adalah sumber bencana bagi sang anak. Bahkan diperlukan dua
ibu guru untuk membuat sang anak merasa aman. Kedua sang anak secara tidak langsung tertekan oleh lingkungan yang menyaksikan betapa kedua orang tuanya bukan orang tua yang bijaksana dalam menyelesaikan persoalan. Ia akan menjadi bahan gunjingan lingkungan baik yang simpati maupun yang menyakiti.

Sedikitnya saya mengetahui dua rumah tangga yang tercabik dan berujung pada perceraian serta perebutan hak asuh anak. Satu yang menjadi tamu dialog program kami dan satu lagi rekan sejawat saya di kantor.

Tamu dialog kami seorang bintang sinetron menyatakan sudah enam tahun mengusahakan agar anaknya jatuh ke pangkuannya. Dua hasil pengadilan baik di tingkat awal maupun banding memenangkannya. Suaminya tidak puas mengajukan kasasi dan hasilnya masih menunggu. "Hebatnya", walau putusan bersifat serta merta, yang artinya sang anak harus dikembalikan kepada sang ibu, eksekusi tetap tak dapat dilakukan. Sang suami dan keluarganya menghilangkan jejak sang anak agar ibunya tak dapat memeluknya lagi.

Satu kasus lagi serupa tapi tak sama. Rekan saya harus menempuh ratusan kilometer untuk dapat bertemu buah hatinya dan menemukan sang putri yang berusia 6 tahun menyebutnya sebagai tante. Teman saya itu tak dapat berbuat banyak, walau pengadilan memutuskan hak asuh anak ia menangkan. Penyebabnya ia tak dapat melawan kekuatan mantan suami yang seorang aparat negeri ini.

Dua kasus itu memiliki latar belakang dan proses yang sama sebelum bermuara pada perceraian dan rebutan anak; yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Suami kerap berlaku ringan tangan dan kaki terhadap isteri. Perlakuan sebagai sansak hidup ini perlahan membuat isteri yang dipercaya berasal dari tulang rusuk kaum pria tidak lagi merasa terlindungi dan percaya pada suaminya.

Namun sialnya di hampir sebagian besar kasus perebutan anak menyebabkan sang anak menjadi korban atau obyek. Seorang psikolog menyatakan kemampuan verbal yang belum sempurna menyebabkan anak tidak dapat menyuarakan kata hati yang layak diperhitungkan. Pertanyaan berikutnya, di mana hak anak dalam kasus ini? Seorang pejabat Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan anak memiliki hak di antaranya untuk merasa aman, mendapat pendidikan untuk masa depannya dan hak bermain. Di antara ketiga hak itu anak-anak korban perceraian mungkin hanya memperoleh satu atau paling banyak dua. Yang pasti ia akan tidak aman karena kedua orang tuanya berseteru dan mengabaikan rasa amannya.

Pikiran saya kembali menerawang puluhan tahun lalu. Pernah saya melihat bapak ibu saya bertengkar di hadapan kami anak-anak, karena masalah orang ketiga. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah saya merasa betapa rumah saat itu kehilangan kenyamanan. Untunglah pertengkaran itu tidak sampai berlanjut ke tingkat yang lebih buruk, namun tetap saja saya bisa merasakan betapa anak-anak kehilangan kepercayaan bila sesuatu terjadi pada orang tua mereka.

Saya tidak mau hal itu terulang pada anak-anak saya sekarang. I promise.
indi

Monday, December 1, 2008

Shabu-shabu vs Bogana

Ini adalah istilah yang bisa bikin orang merinding atau kenyang. Yang pertama adalah karena barang haram alias narkotika. Sedang yang kedua adalah makanan khas Jepang. Itulah yang kami nikmati saat akhir pekan lalu.

Tidak mudah untuk memutuskan makan di rumah makan Jepang bersama keluarga. Masalahnya, saya terbiasa untuk makan karya nyonya rumah untuk shabu-shabu. Ya, saya rasa, shabu-shabu karya isteri saya patut diacungi jempol (hehehe Anda yidak boleh ngiri atau protes, lagu pula siapa lagi yang bisa memuji kalau bukan suaminya).

Akhir pekan lalu, saya anggap keluarga kami sudah biasa makan di kawasan BSD, Tangerang; jadi saatnya untuk menjelajah kawasan kuliner lainnya. Jadilah kami mengarah ke Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tujuannya restoran Jepang. Sumpah, saya belum punya referensi restoran Jepang kecuali di Mal Kelapa Gading, Jakarta Timur.

Rada ngeri juga kalau saya diprotes para precil dan ibunya jika saya gagal memuaskan mereka. Maklum saya berpromosi gencar untuk membawa mereka makan siang dengan gaya berbeda.
Dimulai dengan kesulitan mendapatkan parkir. Kami berputar-putar untuk mendapatkan ruang. Setelah hampir satu jam, ada tempat di Basement 3. Jauuuh di bawah tanah. Fiuuuh, saya masih bisa menyelamatkan muka, karena para pengikut setia hampir putus asa.

Keliling punya keliling, kami temukan Shabu-Tei di lantai 3. Tapi...ini yang repot. Antreee...padahal waktu sudah menunjukkan pk 14 WIB. Perut sudah teriak-teriak, kaki sudah gemetar dan kerongkongan sudah mengering. Rapat singkat menyepakati untuk mencari tempat lain. Eh, ketika kami mau beranjak, satu demi satu mereka yang berbaris di depan kami beranjak pergi. Saya beranikan untuk maju ke kasir. Ada seorang pria paruh baya menemui kami. Akhirnya, horeee... kami diminta menunggu sekitar 5 menit untuk menyiapkan dan membersihkan meja untuk kami berempat.

Shabu-shabu untuk dua orang, seporsi tempura sayuran, dua porsi sushi ayam dan salmon serta minuman adalah makanan yang rasanya begitu banyak dan belum pernah kami pesan sebelumnya. Tapi apa yang terjadi, semua tandas. Konstituen saya sukses menandaskan semua makanan itu. Bahkan si kecil minta lagi seporsi Banana Split. Ckckck...

Enak, tapi kantung juga mengurus dengan segera. Tapi karena diniati ya sudahlah. Untungnya ada diskon, karena pakai kartu kredit, ada potongan 25%. Lumayanlah.

Masih soal makanan, rapat rutin saya awal minggu di kantor kami buka dengan makan siang. Wah, menunya berbeda dan boleh juga. Biasanya, kalau tidak masakan Padang, ya Gado-gado. Kali ini yang tersedia adalah Nasi Bogana . Nasi campur dari Tegal Jawa Tengah ini dibungkus dengan daun pisang tersembunyi di balik kotak berukuran sedang.

Bagi perut saya yang tidak besar, ukuran nasi Bogana ini sangat tepat. Pas untuk menghalau rasa lapar, namun tidak sampai kekenyangan. Kasihan buat rekan-rekan saya yang biasa gembul. Jadinya mereka harus menambah beberapa gelas air minum untuk mengenyangkan perut. Masalahnya mereka tidak bisa tambah, karena jumlah nasi yang sesuai peserta rapat.

Kesamaan dari kedua jenis makanan itu adalah sama-sama memuaskan lidah dan perut saya. Akhirnya saya teringat kriteria makan enak karya saya sendiri. Saya simpulkan ada 3 kriteria makan enak, yaitu:
1. Makanlah saat lapar. Seorang bijak menyebutkan, lauk terbaik saat makan adalah rasa lapar itu sendiri. Makanan pasti jadi sangat nikmat. Namun rasa makanan seberapapun mahalnya akan tidak memuaskan bila perut Anda sudah kenyang dan perut mulai menolak tambahan lagi.
2. Makanlah bersama teman, kerabat, orang yang Anda cintai. Amsal Salomo menulis, betapa enaknya makan bersama saudara tanpa disertai perbantahan. Bayangkan betapa tidak enaknya makan sendirian atau bersama musuh.
3. Nah, ini yang paling penting. Makan bila dibayari alias gratis. Hehehe. 2 hal di atas tambah gratisa. Hmmmmm. Endang bambang.

Setuju?
indi

Wednesday, November 26, 2008

Melindungi Anak-anak

Dalam dua hari, berturut-turut program Apa Kabar Indonesia Pagi menghadirkan persoalan anak-anak; walaupun bukan semua narasumbernya anak-anak. Pertama soal majunya jam sekolah SD, SMP dan SMA di Jakarta mulai awal tahun 2009, peristiwa penculikan dua siswi SD kelas 6 dan pelatihan merakit robot untuk anak-anak. Materi perbincangan saat itu saya nilai begitu dekat dengan kehidupan keseharian orang tua dan anak-anak, walau dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu Jakarta dan sekitarnya.

Sebuah pengumuman menyentak warga Jakarta. Wakil Gubernur DKI Prijanto menyatakan mulai 2 Januari 2009 jam sekolah dimajukan 30 menit dari pukul 07.00 menjadi 06.30 WIB. Alasannya, jam keberangkatan anak-anak ke sekolah menyumbang kemacetan di Jakarta. Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah DKI menyebutkan sumbangan kemacetan itu mencapai 14 persen, sehingga dinilai adalah penting untuk mengurangi kemacetan melalui jam masuk sekolah.

Jika anak-anak adalah alat atau barang atau benda mati yang sekedar angka statistik mungkin saja mengatur jam masuk sekolah menjadi salah satu solusi penting untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Faktanya anak-anak adalah manusia yang mengenal lapar, haus, mengantuk, marah dan kondisi emosional lainnya. Mereka bukan sekedar obyek yang dapat dengan mudah diatur tanpa memperhitungkan kondisi psikologis dan petumbuhan fisik dan mental.

Salah satu alasan penting birokrat pemerintah Jakarta tentang keuntungan berangkat lebih pagi adalah anak-anak yang beragama Islam akan dapat melaksanakan ibadah sholat subuh yang akan meingkatkan keimanan mereka. Selain itu mereka juga dapat menghirup udara segar yang belum terpolusi jika kendaraan belum banyak berlalu lalang di jalan raya.

Namun alasan indah dan cita-cita itu terdengar terlalu muluk. Pertama, birokrat rasanya tidak memperhitungkan beban yang akan ditanggung para pelajar, ketika mereka harus bangun lebih pagi. Mungkin saja (memang masih menggunakan kata mungkin) mereka belum cukup istirahat, karena saat mereka pulang toh mereka akan berhadapan dengan dengan kemacetan sehingga belum tentu cepat sampai ke rumah dan beristirahat. Kemudian, sudah menjadi rahasia umum bahwa para pelajar sekarang mendapat beban pelajaran yang banyak sehingga secara psikologis keharusan bangun pagi bisa mmebuat mereka lebih lelah (lagi-lagi ini masih kemungkinan). Namun yang ini pasti bukan mungkin, yaitu ketika seorang anak tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk sekolah ia harus berhadapan dengan ketidakpastian memperoleh angkutan umum di jalan raya. Seorang anak dari keluarga mampu dapat beristirahat atau bahkan tidur lagi di mobil, tetapi jika ia dari keluarga tidak mampu, ia harus menunggu angkot atau metromini atau bajaj yang balum tentu dapat dipastikan jadwalnya. Alhasil ia bisa menjadi 'korban' kondisi yang ada.

Kasus kedua adalah tentang penculikan anak kelas 6 SD di Tamansari Jakarta Barat. Dengan iming-iming akan diikutkan lomba menulis indah, seorang wanita paruh baya berhasil membawa Egi dan Nanda. Keduanya sempat mempertanyakan keabsahan ajakan itu, tetapi dengan alasan telah memperoleh ijin dari kepala sekolah sang wanita berhasil memperdaya kedua bocah. Dari Jakarta Barat mereka dibawa ke Mal Kalibata, Jakarta Selatan dan ditinggal di sana setelah kalung emas salah seorang di antaranya diambil. Masih beruntung anak-anak itu hanya diambil perhiasannya, hal yang lebih buruk lagi, mereka dapat diculik dan dijadikan budak, atau pengemis atau pekerja seks.


Banyak orangtua mengajar anak mereka untuk berhati-hati terhadap orang asing. Langkah itu sudah benar, sayangnya belum cukup. Keluguan anak-anak sering dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Seperti kisah di atas, sang penculik menggunakan nama kepala sekolah sebagai alasan yang kemudian dipercaya anak-anak.


Anak-anak rasanya perlu diajak lebih kritis, diperjatikan lebih mendalam dan dilindungi di setiap zona. Mulai dari rumah, jalan hingga sekolah.

Yang terakhir tentang pelatihan merancang robot. Begitu saya melihat beberapa unit robot mainan yang digelar di panggung. Mata saya berbinar (kalau Anda menyaksikan lebih seksama, hehehe. Pati tidak ya). Terus terang di dalam diri saya keinginan menjadi anak-anak terus membara. Itu sebabnya saya senang membaca buku fiksi, komik, melihat dan kadang bermain games. Kembali pada robot tadi, betapa saya menyaksikan betapa dua anak, masing-masing Michael 5 tahun dan Anastasia 9 tahun memiliki keinginan luar biasa untuk menciptakan benda yang lebih dari sekedar mainan.

Michael membuat mainan mobil-mobilan yang rumit dan berbentuk bat-mobile, yaitu mobil Batman sang jagoan. Kemudian Anastasia membuat miniatur portal yang bisa naik turun dengan menggunakan sensor gerak. Anda bisa bayangkan dengan usia semuda itu mereka berhasil menciptakan benda-benda yang sepertinya di luar kemampuan normal anak-anak berusia sama.

Alangkah bersyukurnya kedua bocah itu memperoleh lingkungan yang begitu kondusif sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan seluas-luasnya. Orangtua yang mendukung secara moral dan material. Tempat latihan membuat robot yang berisi tenaga-tenaga muda yang sabar namun mumpuni dalam membimbing. Alhasil kita boleh berharap Michael dan Anastasian akan menjadi dua dari sekian banyak anak-anak yang akan mengharumkan nama bangsa dengan karya-karya yang luar biasa.

Anak-anak identik dengan bersenang-senang dan bermain. Namun di usia merekalah orang tua mendapatkan waktu yang tepat untuk membimbing, membentuk dan mengasah kemampuan mereka hingga sempurna. Namun juga menjadi kewajiban orang tua dan lingkungan untuk melindungi mereka dari pedang jahat orang-orang yang tak bertanggungjawab yang hendak memisahkan mereka dari masa depan dan kehangatan keluarga mereka.

indi

Sunday, November 23, 2008

Mal-ku sayang, mal-ku gemilang

Siapa bilang hari-hari ini adalah saat-saat kelabu di dunia finansial? Bursa dunia boleh jatuh dan nilai tukar Rupiah nyungsep terhadap Dollar AS ke hampir Rp 13.000 per Dollar. Angka pengangguran dikhawatirkan meningkat tahun depan dan para buruh menolak Surat Peraturan Bersama 4 Menteri yang menyatakan kenaikan Upah Minimum Provinsi tidak boleh lebih dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6 persen; padahal inflasi sudah sampai ke angka 12 persen. Nyatanya masyarakat masih bisa bergembira ria dan membuang uang.

Pertanyaan dan pernyataan saya itu bisa membuat banyak orang berang. Boleh saja, tetapi saya punya data empiris yang begitu kasat mata. Inilah pengalaman saya.

Berhubung Sabtu kemarin anak sulung saya, Jojo berulangtahun ke 12, kami sekeluarga merayakannya secara sederhana dengan makan bersama. Siang hari sekitar pukul 13, kami menuju Summarecon Mal Square (SMS) di Gading Serpong, Tangerang.

Menuju tempat parkir adalah sebuah perjuangan tersendiri. Padat. Hampir tidak ada ruang kosong untuk memasukkan mobil kecil kami. Mobil berbagai merek dan ukuran memenuhi lahan parkir dai dalam dan luar gedung. Setelah berputar-putar hampir 15 menit, tempat pun terbuka karena sebuah mobil meninggalkan parkiran itu.

Tidak ada tujuan lain kecuali makan, namun yang terpampang di mal itu adalah lautan (mungkin saya berlebihan menggunakan istilah ini) manusia, karena begitu banyaknya pengunjung mal siang itu. Di ruang tengan mal juga ada obralan sepatu dan sandal yang padat calon pembeli atau yang hanya sekedar "window shopping". Wow, seru saya dalam hati. Mana nih krisis yang katanya bikin dunia panas dingin. Kayaknya semua berjalan mulus, karena bisnis di SMS jalan lancar dan orang masih berjubel.

Menurut saya, mal saat ini adalah salah satu ruang publik, yaitu tempat publik berkumpul dan menikmati hari. Nyatanya mal adalah tempat bisnis yang berubah tujuan wisata masyarakat. Hampir di setiap akhir pekan, mal penuh sesak manusia. Mereka bisa berbelanja, cuci mata, makan-makan atau sekedar "see or to be seen".

Mestinya dengan angin krisis yang menerpa seperti sekarang, logikanya akan semakin banyak orang mengurangi konsumsi. Kalau makan, ya "downgrade" jenis makanan dan harganya. Belanja, ya mengurangi jumlahnya, atau memprioritaskan hanya yang sangat penting dan mendesak. Itu berarti kunjungan ke mal berkurang, korelasinya dalah jumlah pengunjung menurun. Betul? Nah, ini. Faktanya? Saya menggeleng.

Anda bisa mendesak saya untuk membuktikan angka penurunan itu. Sialnya saya memang hanya memandang dan tidak menghitung angka dan membandingkannya mulai dari awal sebelum krisis hingga sekarang. Namun (saya nggak mau kalah) selain pengunjung di selasar, di toko-toko yang penuh, tempat makan menjadi salah satu acuan saya. Penuh. Ckckck. Memang luar biasa. Tempat makan yang menurut saya kualitas makanannya biasa-biasa saja laku keras. Jadi siapa bilang orang mengurangi ongkos atau biaya "entertain" diri dan keluarga.

Setelah makan di Jia Noodle, yang menurut kami not bad dan menguras dompet, kami langsung pulang. Hujan menerpa keras kawasan Tangerang. Angin bertiup nyaris menerbangkan payung yang menudungi kami ke tempat parkir kendaraan. Saya teringat sebuah lagu lawas yang juga judul sebuah film "Badai Pasti Berlalu". Yah, badai pasti berlalu. Be optimistic-lah.

indi

Wednesday, November 19, 2008

Grafologi

Mulai saat ini saya berjanji (ini sebetulnya salah satu beban, karena yang lama pun belum terpenuhi) untuk selalu menuliskan kesan saya terhadap tamu-tamu dialog saya di Apa Kabar Indonesia Pagi.

Tidak pernah terpikir untuk menyelesaikan persoalan kejiwaan dengan hal-hal di luar diskusi berupa curhat atau dialog. Hari ini salah satu tamu dialognya adalah seorang psikolog yang khusus menangani para kliennya dengan tulisan. Artinya klien ia suruh menulis, tulisannya dianalisa dan diberi saran atau terapi juga dengan cara menulis. Aneh kan? Minimal bagi saya hal itu tidak masuk diakal. Ini adalah lanjutan dari dialog sehari sebelumnya, yang kami anggap kurang cukup waktu walau menarik.

Mbak Shinta, Sang psikolog itu bertutur kata lembut yang rasanya tipikal wanita penyabar. Jilbab yang digunakannya menambah kesan anggun. Yang menarik kalimat-kalimatnya meluncur dengan lugas seperti berbicara pada anak-anak sekolah.

Bersama seorang anak autis berusia 14 tahun dan ibunya, sang psikolog menggambarkan betapa grafologi berhasil menyelesaikan banyak masalah psikologi. Irsyad demikian nama sang anak di masa kecilnya digambarkan tidak dapat menulis, berbicara dan tidak mau menatap mata lawan bicara. Dari tulisannya, menurut Mbak Shinta tidak menggambarkan kepribadian yang bertumbuh. Setiap kata berukuran sama, tidak berjarak, dan seperti cakar ayam.

Setelah melalui terapi selama hampir setahun, lewat perbandingan jenis tulisan sebanyak tiga buah, Irsyad mengalami kemajuan. Ia mau menatap lawan bicara lebih lama, berbicara lebih panjang dan dapat duduk tenang. Tulisan-tulisannya sudah berbeda. Ukuran, jarak dan kejelasan tulisannya sudah terlihat.

Grafologi, menurut psikolog lulusan Amerika itu digunakan untuk meyelami kepribadian seseorang. Hal ini terlihat dari bentuk tulisan, ukuran, kejelasan huruf dan kata-katanya serta cara penulisannya. Secara umum area menulis dibagi menjadi tiga zona, yaitu atas, tengah dan bawah. Bagian atas, contohnya huruf k, l, h dan d seperti halnya bagian kepala menunjukkan imajinasi. Zona tengah, contoh huruf a, c yaitu badan adalah kawasan materialistik dan bagian bawah. Sedangkan daerah bawah seperti untuk huruf g, j, dan y menggambarkan kekokohan diri dan nafsu.

Seseorang yang memiliki keseimbangan diri haruslah mampu mengekspresikan dirinya dalam bentuk tulisan yang mencakup ketiga area. Jika tidak, salah satu area tidak akan terlingkupi dalam setiap huruf yang digoreskan. Di situlah masalahnya, sehingga cara penyelesaiannya pun diarahkan dengan menulis secara tepat sesuai zona-zona yang seharusnya.

Saya sempat mengkritisi ilmu itu, dengan mempertanyakan penerapannya pada bentuk tulisan yang dibuat-buat terutama pada tulisan indah. Shinta menyatakan tulisan boleh dibuat-buat, tetapi ada goresan-goresan yang menjadi ciri yang tidak bisa dibohongi. Ya untuk itu perlu sekolah khusus. Itu bedanya dengan sekolah psikologi biasa.

Shinta mmpersilakan teman-teman yang bersedia tilisannya dianalisa, termasuk saya. Yang membuat saya bangga, tulisan saya dikomentari sebagai gambaran orang yang tegas, detil dan to the point alias nggak mau bertele-tele (Asyiiik, kayaknya emang sih, hehehe). Beramai-ramailah kami mengantre tulisan untuk dikomentari.

selesai acara, saya meminta nomor telepon sang psikolog, karena saya pikir boleh juga nih anak-anak saya diteliti kondisi emosionalnya. Maklum anak-anak itu tidak pernah dalam kondisi seperti saya kecil yang penuh perjuangan. Apalagi si perempuan kecil buah hati saya, yang keras kepribadiannya, maunya menang sendiri dan sering menantang orang tuanya, tetapi cengeng dan kolokan. Mungkin berguna pula untuk Anda.

indi

Saturday, November 8, 2008

Durian Medan

Saat itu tidak ada yang lebih menyebalkan daripada tidak bisa berlibur setelah seminggu penuh bekerja ekstra padat. Itulah yang terjadi pekan ini. Lima hari penuh saya harus bekerja pagi-pagi buta hingga malam tiba atau lebih dari dua belas jam. Jumat kemarin saya sudah berencana untuk tidur nikmat selepas pulang sore hari. Namun apa lacur menjelang sore perintah itu datang (sebetulnya salah sendiri). Saya bertanya pada atasan tentang wakil kantor yang akan dikirim menghadiri pernikahan rekan kami di Medan Minggu siang. Saya menanyakan hal itu, karena tidak ada tanda-tanda pengiriman orang dan semua perhatian tertuju pada siaran langsung rencana eksekusi pelaku Bom Bali I Amrozi cs. Ups, I am wrong. Perintah itu langsung turun kepada saya saat itu juga. You, he said, go!

Mata yang saat itu separuh menutup karena serangan kantuk segera membuka lebar. Gua? Tanya diri dalam hati. Wah sial neh (lagi-lagi dalam hati). Langsung saya bayangkan kapan mata ini enak terpejam di atas bantal dan kasur nan empuk dilingkari lengan-lengan halus isteri dan anak-anak. Harapan pulang agak siang pun batal. Saya harus mengurus tiket dan berkas-berkas wawancara, karena ada beberapa pelamar yang akan mengisi sebuah posisi di biro Medan.

Wait wait wait, saya langsung teringat satu hal yang membuat pikiran saya lebih tenang menyambut tugas itu. Medan, bung. Ada yang sulit ditemukan di Jakarta pada hari-hari ini, yang banyak dan berharga murah dan pasti enak. Bukan bika ambon, bukan bolu meranti yang berlemak itu. Yesss dureeeennnn!!!!!!

Sudah terbayang protes belahan jiwa saya saat ia mendengar suaminya akan pergi lagi akhir minggu. Bayangkan untuk yang ketiga ia tak ada di rumah karena keluar kota. Ckckckc. Suami macam apa saya ini. Apa mau dikata, lha wong suaminya masih orang gajian dan bawahan. Belum termasuk protes precil-precil yang sudah mulai tahu minta jatah jalan-jalan akhir minggu. Ya terpaksa ada janji-janji manis sepulang dari Medan.

Sabtu dinihari, saya meluncur ke bandara. Usaha untuk mendapatkan pesawat yang lebih siang tidak berhasil. dengan Batavia air di penerbangan pertama saya meninggalkan Jakarta. Praktis tidak ada masalah selama penerbangan. Atau saya mungkin tidak sadar, karena begitu duduk saya tidak lagi merasakan apa-apa alias tidur pulas sampai pesawat hampir mendarat.

Setelah mendarat dan beristirahat dua jam di hotel saya dijemput untuk mewawancarai empat pelamar. Di tengah-tengah wawancara itu, tawaran yang paling saya tunggu pun datang. Salah seorang staf di biro menanyakan makanan untuk saya. Langsung saya jawab: durian. Loh, kok makan durian? Bukannya makan nasi dulu? No way, kalau makan nasi dulu pasti saya tak mampu menghabiskan durian yang akan dibelikan. Lalu kalau makan durian dulu, kasihan nasinya yang akan dibeli. Jadi hanya durian.

Akhirnya setelah wawancara selesai, saya digiring ke belakang kantor. Pertama yang tercium adalah bau khas durian yang menyengat. Langsung saya yakin pasti mantap rasanya. Kemudian yang terlihat adalah setumpuk duren seukuran bola kaki. Ckckck. Ini namanya luarrr biasa.

Tak sampai hitungan detik, saya ambil sebuah durian untuk saya injak. Beberapa teman kaget dengan perilaku saya. Kenapa tidak pakai pisau. Saya yakinkan mereka, jika durian ini baik ia akan mudah terbuka saat diinjak. Benar, dalam dua hentakan terbukalah durian itu. Terpampang rangkaian daging putih yang kering, harum, dan ketika saya cukil sedikit, hmmm manissss rasanya.

Saya adalah penggemar durian. Dalam setiap kesempatan pulang kampung ke Madiun di akhir tahun, saya akan menyempatkan diri berburu durian sampai ke Ponorogo. Bagi saya durian kampung jauh lebih eksotis daripada durian monthong yang sebesar semangka. Durian yang katanya dari Thailand itu walaupun berbiji kecil dan berdaging tebal, bagi saya telalu kering, manisnya kurang tajam dan tak cukup menggugah selera.

Durian Medan disebut-sebut selalu tersedia sepanjang tahun. Kemudahannya ditemui di kota Medan membuat banyak penggemar durian akan selalu menyempatkan diri menikmati buah tropis ini setiap berkunjung ke Medan.

Namun saya menyesal tidak memiliki pengetahuan untuk mengenali jenis-jenis durian yang saya nikmati. Hanya ada rasa manis, ngarak (jika sudah muncul rasa pahit akibat daging buahnya mengalami fermentasi), dan hambar. Akibatnya saya tidak bisa menunjukkan durian macam apa yang paling baik dikonsumsi.

Rasanya kita bisa berbagi informasi bila membicarakan buah yang satu ini guna menambah pengetahuan.

indi

Thursday, November 6, 2008

O....bama

Selain rencana eksekusi pelaku peledakan bom Bali I Amrozi cs. gegap gempita pemberitaan juga terjadi menjelang pemilihan umum Amerika Serikat. Sejak akhir Oktober sampai pascapengumuman pemenang pemilu, media cetak dan elektronik mengarahkan pemberitaan mereka ke negeri adidata yang sedang sakit flu ekonomi.

Sejak minggu ketiga Oktober, tempat saya bekerja mengirimkan dua tim peliput ke Amerika. Mereka adalah juga tim yang sama yang meliput kegiatan konvensi partai Republik dan Demokrat 2 bulan sebelumnya. Saya rasa, kami adalah televisi yang paling ambisius dan berani mengirimkan dua tim untuk mengetahui aktifitas dan aksi kedua pasangan kandidat pemimpin negeri AS. Yang kami inginkan adalah penonton mendapat gambaran sejernih dan seadil-adilnya dari kedua sisi. Maklimlah, seorang Obama yang hitam, bukan dari kelas pengusaha cukup seksi untuk dapat perhatian. Kebetulan juga jajak pendapat di berbagai negeri menunjukkan keunggulannya dari Mc Cain.

Kasak-kusuk melihat televisi tetangga yang hanya mengirimkan tim peliput ke sisi Obama membuat kami yakin, bahwa keputusan kami mengirim dua peliput menunjukkan kredibilitas kami yang tida memihak adalah benar. Walaupun begitu soal biaya memang sangat besar untuk ukuran tv yang baru lahir seperti kami (baru 8 bulan).

Selain tim peliput dari Indonesia yang berbondong-bondong ke Chicago, masyarakat nusantara juga seperti kena euforia Obama. Ini yang saya khawatirkan kita terlalu ke-ge er-an.

Kisah Obama yang pernah empat tahun tinggal di Indonesia diulang-ulang. Sebuah media cetak menulis judul "Anak Menteng Jadi Presiden AS" menunjukkan suasana hati itu. Memang adalah fakta ia pernah tinggal di Jakarta Pusat dan bersekolah di SDN 04 Besuki Menteng. Namun itu kan hanya setahun. Namun benarkah seorang Obama masih mengingatnya? Jangan-jangan ia hendah melupakan sekelumit kisah sejarahnya itu.

Saat perhitungan suara Selasa malam atau Rabu pagi waktu Indonesia, saya mengikuti sebuah acara resmi Kedutaan Besar AS di sebuah hotel di Jakarta. Banyak tokoh diundang. Politisi, birokrat, akademisi hingga jurnalis. Saat itu terasa sekali betapa banyak orang yang memperbincangkan kans Obama memenangkan pemilu. Mereka rasanya begitu tersihir oleh kharisma sang "Anak Menteng".

Situasi cemas menanti itu pecah, ketika Obama-Biden dinyatakan memenangkan pemilu karena unggul mutlak dari McCain-Palin. Penonton bertepuktangan dan bersorak gembira. Mereka seolah yakin Obama akan menghargai sorakan itu dari seberang samudra Pasifik. Bahkan saat Obama menyampaikan pidato kemenangan, saya melihat beberapa perempuan menitikkan air mata mendengar pidato dan suara Obama (menurutku bagus).

Keesokan harinya, semua media cetak menampilkan kemenangan Obama baik sebagai head line atau pun sekadar di halaman muka. Namun semuanya menampilkan wajah yang selama beberapa bulan terakhir membuat Amerika terkenal tidak hanya karena krisis finansial tetapi juga karena capres kulit hitam.

Sehari setelah Obama terpilih, seorang narasumber acara kami menyebutkan, Indonesia jangan ke-ge er-an atas terpilihnya "Anak Menteng" itu. Ia yakin Obama memiliki pola pikir seperti halnya orang Demokrat yang anti perang, pro-HAM dan ekonomi dalam negeri. Hal-hal itu membuat Indonesia masuk daftar ke sekian dari prioritas pemerintahannya.

Jawaban itu mmebuat saya termangu. Benarkah tidak ada artinya terpilihnya Obama bagi Indonesia? salahkah harapan dunia yang berharap dunia akan lebih baik jika AS dipimpin orang yang pernah tersia-sia akibat warna kulitnya?

Time will reveal the answer.

indi

Raker 2

Saya merasa tidak cukup nikmat menceritakan hotel tempat kami raker minggu lalu. Gambaran yang muncul karena iklan ternyata cukup berbeda dengan fakta di lapangan. Mungkin juga hal itu karena saya kurang cukup mengeksplorasi fasilitas hotel tempat raker kami.

Sore hari selepas sesi pertama, panitia raker mengundang kami untuk berolahraga. Menurut panitia fasilitas di hotel itu cukup banyak dan bagus. Boleh juga nih saya pikir.

Memang sepintas halaman belakang hotel tampak luas dan hijau. Terlihat pula lapangan tenis, futsal, kolam renang dan lapangan basket. Oh ya ada gym di sebelah fasilitas olah raga itu.

Hanya saja saya melihat fasilitas-fasilitas itu terkesan dipaksakan (maaf ya penggunaan kata yang subyektif). Kolam renang kecil dengan area berjemur yang sempit. Area futsal lumayan untuk bersepakbola dan sebuah lapangan tenis yang tergenang air. Juga ada sebuah meja tenis meja yang ujungnya bolong sehingga sulit untuk tempat mengikat net. Belum lagi hanya tersedia dua bet untuk main. Akibatnya kami harus mengantre untuk bermain tenis meja.

Harapan saya untuk menemukan lokasi campingnya dan main tembak-tembakan dengan cat, seperti yang tertera di lobi hotel tidak ketemu. Memang sih saya belum sempat berkeliling. Namun keengganan saya melakukan pencarian itu tak lepas dari kondisi halaman belakang yang seperti hutan. Tanaman dengan sesemakan rimbun menghalangi pandang. Oh ya selama waktu week end itu saya hanya melihat seorang anak kecil yang menggunakan fasilitas hotel. Apakah itu berarti tidak banyak keluarga yang memanfaatkan hotel itu untuk berlibur?

Namun saya harus mengacungkan jempol untuk makanannya. Sekali sarapan, dua kali makan siang dan sekali makan malam memuaskan lidah saya dan cocok dengan selera. Beragam sup, roti, nas putih, nasi kuning dan nasi lemak, lauk ikan, ayam dan daging dimasak dengan berbeda, serta dessert yang lumayan variatif. Memang tidak dua jempol, tapi saya hampir tidak dapat menahan pola diet saya (takut gendut sih).

Ulasan ini (kalau bisa disebut ulasan) sangat tidak obyektif dan kompeten. Maklum saya hanya mengenal kata gratis dalam menciptakan dan mengelola pengalaman seperti itu.

Selamat mempertimbangkan.

Salam
indi

Friday, October 31, 2008

Raker

Saya menyebut kepanjangannya Rapat Kera. Hehehe. Maksud saya adalah Raker itu rapat kerja lho. Habisnya, isinya membicarakan dengan serius hal-hal yang luar biasa penting. Disambut oleh pihak lain "cowat cowet". Alhasil sepintas seperti itu tuh....

Anyway, selama dua hari saya ikut raker perusahaan, yang membicarakan masa depan perusahaan. Maklumlah tipi baru. Kami harus bersaing dengan mereka yang sudah mapan. Baik rating, program maupun citranya. Alhasil kami harus memeras isi kepala guna mencari celah untuk menyelip di tengah persaingan.

Bersama-sama menginap di sebuah hotel resort di kawasan Cikarang, Jawa Barat, saya melihat hotel ini cukup menarik. Lingkungannya hampir mirip kawasan Sukabumi, hanya lebih panas. Sejauh mata memandang terlihat kehijauan, mulai dari persawahan, perkebunan dan taman. Padahal Bukit Indah Plaza Hotel terletak di tengah-tengah kawasan pabrik dan perkantoran. Oh ya bedanya, kawasan ini tidak seburuk Kawasan Berikat Pulo Gadung, Jakarta Timur atau Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Sekarang saya memang masih di tengah raker. Tetapi nanti jika sesi ini selesai, saya berjanji akan mengeksplorasi tempat ini. Katanya sih ada kolam renang, area outbound, kawasan olah raga, dll. Mudah-mudahan nanti saya memiliki catatan positif, sehingga tempat ini bisa menjadi pilihan Anda yang ingin berlibur akhir pekan. Janji.

Salam,
indi

Monday, October 20, 2008

Kunjungan Mahasiswa

Untuk kesekian kalinya, tv tempat saya mencangkul kedatangan tamu istimewa. Bukan para tamu untuk dialog, tetapi para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Bagi saya, kunjungan ini selalu membawa makna penting. Berbeda dengan para tamu dialog yang akan kami wawancarai sehubungan dengan topik-topik yang tengah hangat. Para mahasiwa ini saya pandang sebagai wakil pemikiran kritis sekaligus calon penerus aktifitas kami saat ini.

Frekuensi kunjungan para mahasiswa ke tempat saya bekerja sekarang jauh lebih rendah daripada di tempat kerja saya yang lama. Saya menilainya karena stasiun tv ini masih relatif baru. Belum lagi karena luas cakupan siaran yang lebih rendah, juga karena rating secara umum di bawah tv lama.

Namun yang mengejutkan, dari beberapa tanya jawab informal dengan beberapa mahasiswa dengan pertanyaan mengapa tidak ke tv tetangga yang memiliki ruang redaksi indah (maklum kelihatan di tv), mereka menjawab tidak. Wahhh! Alasannya, penampilan fisik tidak berkorelasi dengan substansi program. Tv ini sesuai dengan cara pandang kami, kata mereka. Wahh lagi.

Benarkah begitu? saya mencoba menganalisa dengan merendah, bisa saja itu karena mereka tidak ingin melukai hati saya yang sudah berlelah-lelah menerangkan apa yang ingin mereka ketahui. Atau mereka hanya bisa berkunjung ke tv ini (hehehe, yang ini sih nggak usah dibahas).

Anyway, those conversations made proud that some people, especially students gitu loh, appreciated what I have done, what we have achieved. We, especially me, will always do the best to satisfy public with our programs and acts.

This writing is an expression of my gratitude for those who have criticised and support us. You all have strengthened me no matter what you've said and done. Thank you.

indi

Friday, October 17, 2008

Sepuluh Kota Mati Yang Mengerikan di Dunia

Saya mendapat email yang berisi tentang kota-kota mati akibat tingkah laku manusia. Mengerikan sekaligus membuat saya menganga. Rasanya bisa untuk introspeksi diri. Sayang fotonya tidak bisa dimasukkan.

Berikut ini adalah 10 kota yang tidak berpenduduk sama sekali karena berbagai bencana sehingga kota tersebut ditinggalkan penduduknya.

1. KOLMANSKOP ( Namibia ) : Dikubur dalam Pasir

Kolmanskop adalah sebuah kota mati di selatan Namibia , beberapa kilometer dari pelabuhan Luderitz. Di tahun 1908 Luderitz mengalami demam berlian, dan orang-orang kemudian menuju ke padang pasir Namib untuk mendapatkan kekayaan dengan mudah. Dalam dua tahun terciptalah sebuah kota yang megah lengkap dengan segala prasarananya seperti kasino, sekolah, rumah sakit, juga dengan bangunan tempat tinggal yang eksklusif yang berdiri di lahan yang dulunya tandus dan merupakan padang pasir.

Tetapi setelah perang dunia pertama, jual beli berlian menjadi terhenti, ini merupakan permulaan berakhirnya semuanya. Sepanjang tahun 1950 kota mulai ditinggalkan, pasir mulai meminta kembali apa yang menjadi miliknya. Papan metal yang kokoh roboh, kebun yang cantik dan jalanan yang rapi dikubur dibawah pasir, jendela dan pintu bergeretak pada setiap engselnya, kaca-kaca jendela terpecah membelalak seperti menunjukan kehancuran pada hamparan pasir yang menjulang.

Sebuah kota mati baru telah dilahirkan, sampai saat ini masih nampak sepasang banguna yang berdiri, juga terdapat bangunan seperti sebuah teater masih dalam kondisi yang sangat baik, dan sisanya, rumah-rumah tersebut hancur digerus pasir dan menjadi deretan rumah-rumah hantu yang menakutkan.

2. PRYPIAT ( Ukraine ): Rumah para pekerja Chernobyl

Prypiat adalah sebuah kota besar di daerah terasing di Ukraina Utara, merupakan daerah perumahan para pekerja kawasan nuklir Chernobyl . Kawasan ini mati sejak terjadinya bencana nuklir Chernobyl yang menelan hamper 50.000 jiwa. Setelah kejadian, lokasi ini praktis seperti sebuah museum, menjadi bagian dari sejarah Soviet. Bangunan apartement (empat merupakan bangunan yang belum sempat ditempati), kolam renang, rumah sakit, dan banyak bangunan yang lain hancur. Dan semua isi yang terdapat dalam bangunan tersebut dibiarkan ada di dalamnya, seperti arsip, TV, mainan anak-anak, meubel, barang berharga, pakaian dan lain-lain semua seperti kebanyakan milik keluarga-keluarga pada umumnya.

Penduduk hanya boleh mengambil dokumen penting, buku dan pakaian yang tidak terkontaminasi oleh nuklir. Namun sejak abad 21, tidak lagi ada barang berharga yang tertinggal, bahkan tempat duduk dikamar kecilpun dibawa oleh para penjarah, banyak dari bangunan yang isinya dirampok dari tahun ke tahun. Bangunan yang tidak lagi terawat, dengan atap yang bocor, dan bagian dalam bangunan yang tergenang air di musim hujan, semakin membuat kota tersebut benar-benar menjadi kota mati. Kita bisa melihat pohon yang tumbuh di atap rumah, pohon yang tumbuh di dalam rumah.

3. SAN ZHI ( Taiwan ): Tempat peristirahatan yang futuristik

Disebelah Utara Taiwan , terdapat sebuah kampong yang futuristic, pada awalnya dibangun sebagai sebuah tempat peristirahatan yang mewah bagi kaum kaya. Bagaimanapun, setelah terjadi banyak kecelakaan yang fatal pada masa pembangunannya akhirnya proyek tersebut dihentikan. Setelah mengalami kesulitan dana dan kesulitan para pekerja yang mau mengerjakan proyek tersebut akhirnya pembangunan resort tersebut benar-benar dihentikan ditengah jalan. Desas-desus kemudian bermunculan, banyak yang bilang kawasan kampung tersebut menjadi tempat tinggal para hantu, dari mereka yang sudah meninggal.

4. CRACO ( Italy ): Kota pertengahan yang mempesona

Craco terletak didaerah Basilicata dan provinsi Matera sekitar 25 mil dari teluk Taranto . Kota pertengahan ini mempunyai area yang khas dengan dipenuhi bukit yang berombak-ombak dan hamparan pertanian gandum serta tanaman pertanian lainnya. Ditahun 1060 ketika kepemilikan lahan Craco dimiliki oleh uskup Arnaldo pimpinan keuskupan Tricarico. Hubungan yang berjalan lama dengan gereja membawa pengaruh yang banyak kepada seluruh penduduk. Di tahun 1891 populasi penduduk Craco lebih dari 2000 orang, waktu itu mereka banyak dilanda permasalahan social dan kemiskinan yang banyak membuat mereka putus asa, antara tahun 1892 dan 1922 sekitar 1300 orang pindah ke Amerika Utara. Kondisi pertanian yang buruk ditambah dengan bencana alam gempa bumi, tanah longsor serta peperangan inilah yang menyebabkan mereka bermigrasi massal.

Antara tahun 1959 dan 1972 Craco kembali diguncang gempa dan tanah longsor. Di tahun 1963 sisa penduduk sekitar 1300 orang akhirnya dipindahkan ke suatu lembah dekat Craco Peschiera, dan sampai sekarang Craco yang asli masih tertinggal dalam keadaan hancur dan menyisakan kebusukan sisa-sisa peninggalan penduduknya.
5. ORADOUR-SUR-GLANE ( France ): the horror of WWII

Perkampungan kecil Oradour Sul Glane di Perancis menunjukan sebuah kondisi keadaan yang sangat mengerikan. Selama perang dunia ke II, 642 penduduk dibantai oleh tentara Jerman sebagai bentuk pembalasan atas terhadap perlakuan Perancis waktu itu. Jerman yang waktu itu sebenarnya berniat menyerang daerah di dekat Oradour Sul Glane tapi akhirnya mereka menyerang perkampungan kecil tersebut pada tanggal 10 Juni 1944. menurut kesaksian orang-orang yang selamat, penduduk laki-laki dimasukan kedalam sebuah gudang dan tentara jerman menembaki kaki mereka sehingga akhirnya mereka mati secara pelan-pelan. Wanita dan anak-anak yang dimasukan ke dalam gereja, akhirnya semua mati tertembak ketika mereka berusaha keluar dari dalam gereja. Kampung tersebut benar-benar dihancurkan tentara Jerman waktu itu. Dan sampai saat ini reruntuhan kampung tersebut masih berdiri dan menjadi saksi betapa kejamnya peristiwa yang terjadi saat itu.

6. GUNKANJIMA ( Japan ): the forbidden island

Pulau ini adalah salah satu dari 505 pulau tak berpenghuni di Nagasaki Daerah Administratsi Jepang, sekitar 15 kilometer dari Nagasaki . Pulau ini juga dikenal sebagai “Gunkan Jima” atau pulau kapal perang. Pada tahun 1890 ketika suatu perusahaan (Mitsubishi) membeli pulau tersebut dan memulai proyek untuk mendapatkan batubara dari dasar laut di sekitar pulau tersebut. Di tahun 1916 mereka membangun beton besar yang pertama di pulau tersebut, sebuah blok apartemen dibangun untuk para pekerja dan juga berfungsi untuk melindungi mereka dari angin topan.

Pada tahun 1959, populasi penduduk pulau tersebut membengkak, kepadatan penduduk waktu itu mencapai 835 orang per hektar untuk keseluruhan pulau (1.391 per hektar untuk daerah pusat pemukiman), sebuah populasi penduduk terpadat yang pernah terjadi di seluruh dunia.
Ketika minyak tanah menggantikan batubara tahun 1960, tambang batu bara mulai ditutup, tidak terkecuali di Gunkan Jima, di tahun 1974 Mitsubishi secara resmi mengumumkan penutupan tambang tersebut, dan akhirnya mengosongkan pulau tersebut. Pada tahun 2003 pulau ini dimbil sebagai setting film “Battle Royal II” dan mengilhami sebuah game popular “Killer7”.

7. KADYKCHAN ( Russia ): memories of the Soviet Union

Kadykchan merupakan salah satu kota kecil di Rusia yang hancur saat runtuhnya Uni Soviet. Penduduk terpaksa berjuang untuk mendapatkan akses untuk memperoleh air, pelayanan kesehatan dan juga sekolah. Mereka harus keluar dari kota itu dalam jangka waktu 2 minggu, untuk menempati kota lain dan menempati rumah baru. Kota dengan penduduk sekitar 12.000 orang yang rata-rata sebagai penambang timah ini dikosongkan. Mereka meninggalkan rumah mereka dengan segala perabotannya. Jadi anda dapat menemukan mainan, buku, pakaian dan berbagai barang didalam kota yang kosong.

8. KOWLOON WALLED CITY ( China ): A lawless city

Kota besar Kowloon yang terletak di luar Hongkong , China . Dulunya diduduki oleh Jepang selama perang dunia II, yang kemudian diambil alih oleh penduduk liar setelah Jepang menyerah. Pemerintahan Inggris ingin China bertanggung jawab terhadap kota ini, karena kota tersebut menjadi kota yang tidak beraturan dan tidak taat pada hukum pemerintah. Populasi tidak terkendali, penduduk membangun koridor lybirint yang setinggi jalan yang penuh tersumbat oleh sampah, bangunan yang sangat tinggi sehingga membuat cahaya matahari tidak bisa menyinari. Seluruh kota disinari dengan neon. Kota tersebut penuh dengan rumah pelacuran, kasino, rumah madat dan obat bius dan kokain, banyak terdapat makanan-makanan dari daging anjing dan juga terdapat pabrik-pabrik rahasia yang tidak terganggu oleh otoritas.Keadaan ini akhirnya berakhir ketika di tahun 1993, diambil keputusan oleh pemerintah Inggris dan otoritas China untuk menghentikan semua itu.

9. FAMAGUSTA ( Cyprus ): once a top tourist destination, now a ghost town

Varosha adalah sebuah daerah yang tidak diakui oleh republic Cyprus Utara. Sebelum tahun 1974 Turki menginvasi Cyprus , daerah ini merupakan daerah wisata modern di kota Famagusta . Pada tiga dekade terakhir, kota ini ditinggalkan dan menjadi kota mati. Di tahun 1970-an, kota ini menjadi kota tujuan wisata utama di Cyprus . Untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada para wisatawan, kota ini membangun berbagai bangunan mewah dan hotel.
Ketika tentara Turki menguasai daerah tersebut, mereka menjaga dan memagari daerah tersebut, tidak boleh ada yang keluar masuk kota tersebut tanpa seijin dari tentara Turki dan tentara PBB. Rencana untuk kembali mengembalikan Varosha ke tangan kendali Yunani, namun rencana tersebut tidak pernah terwujud. Hampir selama 34 tahun kota tersebut dibiarkan dan tidak ada perbaikan. Perlahan bangunan-bangunan tersebut hancur, metal mulai berkarat, jedela pecah, dan akar-akar tumbuhan menembus dinding dan trotoar. Kura-kura bersarang di pantai yang ditinggalkan. Di tahun 2010 Pemerintahan Turki bermaksud untuk membuka kembali Varosha untuk para turis dan kota kembali bisa didiami dan akan menjadi salah satu kota yang paling berpengaruh di uatara pulau.

10. AGDAM ( Azerbaijan ): once a 150,000 city of people, now lost

Kota besar Agdam di Azerbaijan adalah salah satu kota besar yang populasi penduduknya mencapai 150.000 orang. Namun kemudian hilang setelah pada tahun 1993 sepanjang perang Nagorno Karabakh. Walaupun kota ini tidak secara langsung menjadi basis peperangan, namun kota ini tetap mendapatkan efek dari perang tersebut, dengan menjadi korban dari sikap para Armenians yang merusak kota tersebut. Bangunan-bangunan dirusak dan akhirnya ditinggalkan penghuninya, hanya menyisakan masjid-masjid yang masih utuh berdiri. Penduduk Agdam sendiri sudah berpindah ke area lain, seperti ke Iran .

Bagaimana menurut Anda?

Tuesday, September 30, 2008

Budaya Lebaran

Yang enak saat Lebaran adalah makan ketupat dan opor ayam. Pernak-perniknya adalah sayur labu siam bersantan, sambal goreng ati dan rendang. Kuenya ada nastar, kastengel dan biskuit lainnya. Nyam nyam.

Kalau dipikir-pikir tidak ada keharusan untuk membuat itu, tetapi setahu saya, itulah yang selalu saya temui di setiap Lebaran. Mulai dari orang tua yang walaupun tidak berlebaran ikut membikin hingga kiriman para tetangga sejak di Surabaya, Madiun hingga sekarang di Jakarta.

Ada beberapa perilaku dan kebiasaan yang saya catat merupakan aktifitas khas Indonesia atau kalau dipersempit aktifitas Suku Jawa.

Pertama adalah makanan yang saya sebut pertama. Kedua adalah mudik menjelang Lebaran. Tentang hal itu sudah saya tulis sebelum ini. Berikutnya bagi-bagi duit (bukan sedekah atau amal atau zakat). Yang terakhir adalah takbiran.

Saya ingat waktu kecil di pelosok Jakarta Utara, saya sering ikut keliling bersama teman-teman mengetuk rumah-rumah saat Lebaran. Walaupun tidak berlebaran apalagi puasa, tidak ada rasa malu yang terasa (namanya anak-anak, cuek bebek) saat mengacungkan tangan meminta jatah uang Rp. 5 atau Rp. 10 (baca: lima rupiah dan sepuluh rupiah). Jangan salah pada sekitar tahun 70-an, uang itu sudah bisa untuk jajan.

Benarkah kebiasan-kebiasaan itu khas Indonesia? Rasanya memang tidak ada literatur pendukung yang menyebutkan ada budaya sejenis di negeri lain. Entah kalau saya ketelingsut(atau terlewatkan). Walaupun harga ekonomi dan sosialnya cukup tinggi (ya iyalah untuk masak kan pake uang, untuk bagi uang butuh banyak uang, untuk mudik pake bensin dan uang, untuk takbiran pun pake uang dan tenaga alias nasi) kebiasaan itu selalu terulang dengan bangganya.

Luar biasa manifestasi kebersamaan dan silaturahim bangsa kita.

Hidup Indonesia.
indi

Monday, September 29, 2008

Mudik

Seorang penelpon acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne hari Selasa, 30 September 2008 menyatakan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang aneh. Pernyataan mengejutkan itu merujuk dari kebiasaan yang timbul di seputar hari Idul Fitri, yaitu mudik. Saya kira pemikiran beliau bisa membuat kuping merah beberapa orang, tetapi juga bisa tidak jika ia setuju dengannya.

Kalau dipikir-pikir memang ada harga sosial dan ekonomis yang mahal untuk membuat mudik menjadi sebuah peristiwa rutin tahunan.

Kita mulai dari skala kecil, yaitu seorang manusia yang akan pulang kampung baik di sekitar Jawa maupun ke luar Jawa dan sebaliknya, ia harus menyiapkan pernak-pernik yang tidak sedikit bahkan bisa dibilang banyak dan mahal. Ada seorang kenalan saya pulang kampung bersama keluarga (seorang isteri dan dua anak berusia 7 dan 5 tahun) menggunakan motor. Ia menyatakan motor menjadi pilihan utama karena biayanya yang murah. Untuk menuju Cirebon, ia cukup mengeluarkan uang bensin kurang dari Rp. 100.000 pulang pergi. Bandingkan bila ia sekeluarga naik kereta yanfg bisa mencapai 5 kali lipatnya. Dengan tambahan kayu yang diikat di belakang, kenalan saya itu memperoleh ruang tambahan berupa "bagasi darurat". Segala pernak-pernik perlengkapan perjalanan dan oleh-oleh dapat diletakkan di sana. Anak sulungnya duduk paling depan menantang angin dan si bungsu diapit ayah bundanya. Jika situasi macet di perjalanan, hal terburuk, ia akan tiba di Cirebon tengah malam, bila ia berangkat dini hari. Murah secara matematis.

Namun seorang psikolog mengingatkan besarnya harga kejiwaan yang diterima seseorang terutama anak-anak yang mudik; apalagi menggunakan motor. Berada di jalanan macet bahkan sampai berjam-jam membawa perubahan besar pada emosi seseorang. Susah buang air, kepanasan bila tidak ada pendingin udara, kelaparan, atau hanya sekedar dongkol saat melihat orang lain menyalip adalah hal-hal penekan keseimbangan kejiwaan seseorang yang timbul saat terjebak kemacetan parah. Akibatnya muncul makian, kata-kata kasar dan kemarahan. Bagi anak-anak semua itu bisa menjadi pengalaman buruk yang terekam saat menghadapi persoalan serupa.

Bagi anak-anak yang diajak mudik bermotor disebutkan sang psikolog, akan mendapat tekanan yang jauh lebih besar lagi. Posisi tubuh yang tidak bebas, kepanasan, terkena terpaan angin kencang dan ancaman dari kendaraan lain adalah tambahan resiko yang diterima dibandingkan mudik bermobil. Dan hal itu terjadi dua kali yaitu saat mudik dan kembali.

Lalu harga skala besar. Setiap menjelang Lebaran, pemerintah pusat dan daerah pasti berteriak-teriak menyatakan sarana jalan, fasilitas lalu lintas dan keamanan sudah siap untuk menyambut para pemudik. Proses perbaikan jalan dikebut. Penerangan jalan ditambah. Pos-pos baru dibuat. Pertanyaannya, kemana saja para pejabat dan programnya saat sebelum Ramadhan? Sudahkah semua itu dibuat dengan perencanaan dan pelaksanaan yang baik? Jangan-jangan semuanya dikebut dengan istilah pokoknya jadi sebelum mudik berlangsung. Kualitas? Ntar deh, pokoknya jadi dulu. Soal nanti rusak, ya bikin lagi. Kan proyek seperti itu penting untuk melancarkan roda ekonomi. Ya toh? Ya toh? Praktis semua energi para pejabat
negeri ini tercurah untuk mengamankan pemudik. Presidennya, menterinya, polisinya, berlomba-lomba membuat program untuk menyelamatkan para pemudik pulang kampung. Terus bagaimana dengan harga-harga melambung, rupiah yang melorot, dan para koruptor yang belum tertangkap?

Kalau dua hal itu saja yang kita lihat, memang tampak betapa mudik menyedot energi kelewat besar, walau hanya terjadi dalam hitungan hari saja. Namun jangan sampai diabaikan nilai-nilai lain yang muncul karena peirstiwa fenomenal khas Indonesia itu.

Pertama nilai keakraban dan silaturahim. Rasanya jarang ada negara yang begitu mengagungkan kebersamaan sebesar Indonesia. Bayangkan, kebersamaan itu sudah dimulai dari sejak persiapan keberangkatan pemudik. Kenalan saya ketika akan berangkat mendapat perhatian dari para tetangga. Mulai dari ucapan selamat, bantuan sekedar uang, hingga doa. Selama di jalan pun ada persahabatan yang begitu kasat mata, yaitu pertolongan bila ada yang mengalami kerusakan kecil, kecelakaan, ataupun sekedar menyapa. Lalu yang lebih penting yaitu silaturahim dengan keluarga di kampung. Merajut kasih dengan keluarga dan kerabat yang mungkin sudah lama tak berjumpa.

Kedua nilai ekonomi. Saya belum membaca ada hitung-hitungan nilai uang yang beredar pada menjelang dan selama Lebaran. Secara kasar saya rasa angka itu meningkat. Mungkin Anda bertanya apa dasar saya mengatakan itu. Begini, harga barang yang meningkat pasti menyebabkan peredaran uang meningkat, contohnya harga daging sapi yang melonjak hingga Rp 100 ribu per kg. Lalu kebutuhan tampil baru saat Idul Fitri membuat banyak departement store banting harga dan antrean orang di kasir sambil menenteng bawaan. Lalu adanya tunjangan hari raya yang rata-rata sebulan gaji membuat orang mudah menghamburkan uang untuk memenuhi kebutuhan primer hingga tersier. Yang terakhir adalah meningkatnya iklan di media massa terutama televisi. Yang ini berhubungan dengan perhatian media terhadap arus mudik, sehingga banyak perusahaan berlomba-loma memasang iklan di semua televisi. Jadi salahkah saya bila menyatakan ada nilai ekonomi tinggi di peristiwa mudik?

Begitulah salah satu dari sekian banyak fenomena khas Indonesia. Suka atau tidak, bermasalah atau tidak, mudik jalan terus!

Selamat Idul Fitri, minal aidin wal faidzin maaf lahir batin.
indi

Monday, September 1, 2008

Kartu Kredit

Seorang perencana keuangan, Ligwina Hananto mengecam keras penggunaan kartu kredit yang didasarkan pada emosi belaka. Saat berbicara di Apa Kabar Indonesia pagi tadi, ia mengatakan betapa banyak orang terjebak dalam hutang yang bertumpuk akibat tidak dapat menggunakan kartu kredit secara bijak.

Kalimat-kalimat dari wanita mungil berjilbab itu membuat saya terenyak. Memang saya termasuk orang yang cukup berhati-hati dalam memiliki dan menggunakan kartu sakti itu (Sampai saat ini saya hanya punya 1 kartu kredit dengan pengeluaran yang sangat saya batasi). Namun kalimat kerasnya itu menunjukkan bahwa banyak orang merasa kartu kredit bukan kartu untuk kredit tetapi kartu sakti yang dapat memebrikan uang tambahan. Akibatnya muncullah istilah gali lobang tutup lobang. Mencari hutang dari kartu kredit lain untuk menutup hutang dari kartu yang lain.

Saya sering mendapat telpon dari suara-suara ramah, mendayu dan seksi yang menawarkan utang sampai ratusan juta rupiah karena saya menjadi nasabah bank yang mengeluarkan kartu kredit saya. Iming-imingnya menggiurkan, yaitu proses cepat tidak ribet dan langsung transfer. Namun masalahnya saya kadang lupa menanyakan berapa bunga. Nah ini yang sering jadi masalah.

Para marketer atau penjual kredit tanpa agunan kartu kredit tampaknya selalu menyembunyikan berapa bunga yang dikenakan pada calon peminjam. Jika si penjual tidak ditanya informasi itu pasti tak akan dimunculkan. Berhubung saya berpendirian berhutanglah seminimal mungkin, saya tidak menanggapi tawaran-tawaran tersebut. Namun pada satu kesempatan saya menanyakan besaran bunga kredit itu dan kemudian saya terkaget-kaget mengetahuinya. 3-4 persen per bulan. Ck ck ck.

Seorang pemirsa menyampaikan pengalamannya tentang kartu kredit yang telah menghancurkan hidupnya sehingga ia menyatakan jangan ada lagi orang yang terjebak sepertinya. Dikisahkan, ia pernah memiliki sampai 12 kartu kredit. Dan ia menggunakannya untuk membiayai usahanya. Namun karena satu sebab usahanya gagal dan ia menanggung hutang sampai sekarang. Dengan emosional ia meminta jangan sampai orang mengalami masalah sepertinya.

Ligwina dengan bijak menyatakan kartu kredit tetap dapat diperlakukan dengan baik selama kita tetap mengukur kemampuan kita membayar. Seberapapun jumlah kartu kredit itu. Ia menyebutkan 30 persen penghasilan kita dapat digunakan untuk berhutang termasuk untuk membayar kartu kredit. Toh ada keuntungan-keuntungan yang bisa kita dapatkan di antaranya potongan untuk pembelian-pembelian tertentu.

Saya pikir memang yang disalahkan bukanlah kartu kreditnya karena ia tetap benda mati. Kitalah yang bersalah karena otak dan kemauan kitalah yang menyebabkan berbagai masalah datang melalui benda seperti kartu kredit.

indi

Aduh

Hari ini tepat sebulan lebih satu hari saya tidak membuka Blog tercinta saya ini. Artinya saya mengkhianati janji yang pernah terucap yaitu saya akan membuat tulisan sebulan sekali demi menjalankan talenta dan kemampuan yang Tuhan telah berikan.

Penyakit yang selalu menghinggapi orang seperti saya adalah kemalasan. Alasannya selalu beragam, mulai dari keluar kota, rekaman program, pelatihan, hingga ngantuk. Padahal kalau dipikir-pikir di antara waktu-waktu itu pasti ada selang waktu yang bisa digunakan untuk membuat dan mengirim tulisan walaupun hanya singkat. Oh ya adalagi alasan lain yaitu internet yang "lambretta lamborghini" atau lambat dan lamaaa sekali. Maklum kantor saya yang ini belum mantap infrastrukturnya.

Anyway, here I am back to my beloved blog. Tuhan sudah mengaruniakan banyak berkatnya; talenta, waktu, pekerjaan, fasilitas and so on and so on, so I have to use all of my abilities to do the best of me including this site.

indi

Friday, August 1, 2008

Stuck in Bandung

Dear friends,

It's been 3 weeks I haven't updated my blog since I wrote my last experience. I found so much fun and problems in living my life. However, I believe all of those experiences gave me huge spirit in facing the world.

I wrote this letter while I was in Bandung to participate a meeting with local election commission (KPU Bandung). Though it was late at night and my body was struggle with fatigue, the meeting was fruitfully succeed. Unfortunately I couldn't taste all the famous magically blended and cooked Bandung food. I had to return to Jakarta in the middle of the night.

Ooh I'm glad that tomorrow is Saturday. I can wake up late and not to worry for the busy day.

Alright, see you soon, because I have something in mind about the serial killer from Jombang, Ryan.
indi

Wednesday, July 16, 2008

Ke Laut (bag-2)

Gambaran tentang Pantai Carita yang hitam dan kumuh lenyap. Hamparan pasir putih dengan gelombang relatif bersahabat dan dasar laut yang dangkal adalah sebuah bonus atas perjalanan yang lumayan melelahkan selama sekitar 3 jam dari Jakarta. Mungkin pantai yang langsung berada di belakang hotel Wira Carita membuat kawasan itu relatif aman, bersih dan nyaman. Pohon-pohin besar bertumbuhan di tepi pantai tidak hanya kelapa tetapi juga ketapang.

Hari telah petang saat kami menjejakkan kaki ke pantai. Harapan untuk melihat matahari terbenam gagal sudah. Tetapi angin yang lembut dan udara sejuk cukup untuk menyegarkan tubuh dan mental yang penat.

Bagi penggemar makan seperti saya, kawasan Carita bukanlah tempat yang elok untuk berburu makanan khas. Selain sulit mendapatkan tempat makan yang layak, jenis makanan yang dijual pun tidak ada yang spesifik. Alhasil, kami cukup menggunakan insting untuk mengembalikan energi tubuh; yaitu makan untuk kenyang dan hidup. Cukup nasi goreng dengan telur dan sayur daun singkong bersantan. Biasa saja kan?

Sasaran kami selanjutnya adalah first ray of light. Memang tidak mungkin mendapatkan 'sunrise' di Carita, karena posisi pantai yang membelakangi matahari. Tetapi menikmati pagi yang segar tentu cita-cita yang menarik. Untuk itu kami segera tidur cepat. Tidak ada tv dan baca buku sebelum tidur. Apalagi memang tubuh cukup penat untuk beraktifitas yang lain malam itu.

Tidak ada kokok ayam saat mata terbuka. Lagi pula mana mungkin penduduk atau petugas hotel memelihara ayam di sekitar pantai. Bisa-bisa sang ayam kecemplung laut atau bikin kotor pantai yang indah itu. Matahari secara perlahan memecah kegelapan, ketika jam menunjukkan pukul 5.50 WIB.

Berhubung semua sudah sepakat untuk bangun pagi (sebetulnya perintah sang jenderal ini), kedua precil yang masih terlihat nyaman di balik selimut dan bantal segera kami bangunkan. Herannya, mereka pun tidak protes. Berbeda kalau di rumah, rasanya banyak alasan yang bisa dijadikan penahan untuk tidak segera bangun dari kasur.

Tanpa mandi dan gosok gigi (bayangkan joroknya, hiiii) kami segera ke pantai. Nggak peduli ah, yang penting asiik. Toh kami tidak perlu repot-repot ngeceng atau mencium orang hehehe.

Melihat kondisi pantai rasanya masuk akal kalau saya bertanya minimal kepada diri sendiri dan isteri saya, dengan pantai seindah ini, kenapa sih banyak orang harus berbondong-bondong ke Bali.

Ijinkan saya menggambarkan keindahan pantai Carita lebih detil dari perspektif saya yang subyektif ini. Pertama, hingga seratus meter ke arah laut kedalaman kurang dari satu meter. Kedua ombak relatif besar cocok untuk bermain papan seluncur. Ketiga pasir putih yang bersih terhampar hingga lebih dari tiga kilometer. Tampaknya anak-anak saya (lagi-lagi subyektif) setuju dengan saya; mereka bermain air, berseluncur, mencari kerang dan bersantai di bawah rimbunnya pepohonan.

Namun ada negatifnya: infrastruktur pendukung di obyek wisata itu sangat kurang. Di antaranya adalah: hotel dan rumah makan tua dan sedikit, jalan banyak rusak, banyak pengemis dan penjaja dagangan yang tidak tertata.

Menyebalkannya para penjaja dagangan dan pengemis terasa, saat sayadan isteri beristirahat di bibir pantai. Satu kata yang berulangkali terucap adalah kata 'tidak'. Kami terus terang sampai bosan mengicapkan penolakan atas tawaran ikan asin, layang-layang, otak-otak, pijat, tikar, pisang dan nasi bungkus. Cape deh. Kami tak sempat menikmati pantai dan keindahannya, karena tak henti-hentinya mereka datang menawarkan dagangan dengan suara memelas.

Hari bergulir, matahari meredup di ufuk barat. Pesanan ikan bakar kami datang. Hmmm baunya sedap menguar membuat perut berontak. Di bawah sinar bulan setengah purnama, kami berempat menyantap tiga ekor ikan baronang dan kakap besar-besar penuh nafsu. Diiringi musik debur ombak yang mengalun ritmis, rasanya itulah makanan ternikmat yang pernah kami santap. Pedasnya sambal kecap dan terasi bercampur dengan gurihnya daging empuk nan harum serta minuman kelapa muda langsung dari batoknya, ahh indah sekali malam itu. Pantai Carita kami kan datang lagi. Semoga saat itu, pantaimu terjaga dan tetap indah.

indi

Monday, July 14, 2008

Ke Laut (bag-1)

Jangan salah mengartikan judul "ke laut" dengan sebutan yang umum terdengar saat ini bila seseorang tidak menyukai sebuah permintaan atau pernyataan. Ke laut memang benar-benar ke laut, yaitu saat saya dan keluarga menikmati liburan di akhir pekan lalu

Ceritanya begini:
Belum pernah saya menikmati keindahan laut yang benar-benar dalam konteks berwisata. Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan TNI AL (almarhum bapak saya seorang marinir), laut adalah bukan barang aneh. Bapak pernah punya kapal penangkap ikan yang awaknya secara rutin mengirim hasil tangkapan berupa ikan, rajungan, cumi dan udang ke rumah kami. Selama beberapa tahun sewaktu saya siswa SD, rumah pun hanya seratus meter dari bibir Laut Jawa. Setiap hari Minggu pagi, saya selalu berenang di laut yang tenang, biru dan jernih. Namun, saya belum pernah berwisata ke pantai. Itulah masalahnya.

Menjelang akhir liburan sekolah lalu, kedua anak saya (termasuk ibunya) memprotes kepada jenderal rumah tangga ini, alasannya saya tidak pernah mengajak mereka berlibur. Kerja, kerja, dan kerja; itulah keluhan mereka terhadap saya. Yang terakhir saya menghabiskan waktu dengan berkeliling le beberapa daerah selama hampir dua minggu untuk membuat program debat pilkada (program tv di kantor saya).

Memang sebuah keluhan yang tidak boleh diabaikan. Bisa repot kalau ibunya anak-anak ikut dalam demo anti-jenderal diikuti para precil yang mulai lantang menyuarakan aspirasi mereka. Setelah menghitung kemampuan finansial (maklum semua pos pengeluaran telah terukur) saya putuskan untuk pergi ke laut. Masalahnya kalau ke gunung cukup sulit untuk mencari tempat yang enak. Ke Bandung pun kemacetan menjadi hantu yang mengancam.

Mencari hotel atau penginapan ternyata tidak mudah. Di internet juga tidak banyak situs yang menyediakan informasi tentang penginapan di Anyer dan Carita, Banten. Memang Hotel Sol Elite Marbella mudah diakses, tetapi harga kamar per malamnya, amboi, bukan level saya. Entah saya yang tidak 'gape' mengorek isi perut Google dan Yahoo, atau karena memang karena tidak ada informasi hotel di pinggir kedua pantai itu, saya pun menyerah.

Untunglah ada teman yang menginformasikan hotel Wira Carita. Mungkin karena putus asa, saya mengiyakan untuk memesan tempat di sana. Pokoke berlibur sesuai permintaan para kawula di rumah. Dengan harga Rp. 440.000 per malam, saya mendapat kamar di hotel itu dengan pemandangan laut. Kamarnya dijanjikan besar dengan kapasitas untuk empat orang. Hmmm 'not bad' lah. Anda tahu, anak saya yang besar (anak saya cuma dua orang, seperti di foto) tidak antusias dengan keputusan jenderalnya ini. Habis, ia lebih suka ke gunung; adem katanya (kalau masalah dingin kan bisa pake AC, ya kan?)

Singkat cerita, Jumat pagi selepas siaran, saya langsung pulang. Beruntung para bos saya murah hati. Mereka tidak protes saat saya membolos langsung berangkat ke Carita. Hehehe padahal saya belum tiga bulan bekerja di sini. Thank you, guys.

Perjalanan ke Carita relatif tidak ada hambatan. Saya memberi apresiasi terhadap pengelola jalan tol Jakarta-Merak yang berusaha memperlebar, memperhalus dan meningkatkan keamanan penggunanya. Walaupun di beberapa tempat ada perbaikan jalan dan mengganggu kelancaran, secara umum langkah itu saya nilai positif untuk jangka panjang.

Nah ini yang justru membuat kami puyeng. Pengetahuan saya tentang Pantai Carita begitu minim. Perjalanan yang mestinya sudah mulai membangun kebersamaan di antara kami justru menambah kepala nyut-nyutan. Masalahnya, si kecil, cewek, yang cerewet itu tak henti-hentinya memprotes, kenapa tidak segera sampai. Jawaban saya yang berusaha meredam protesnya tak jua berhasil. Pakai pendekatan kekuasaan juga sama saja. Ibunya ikut merengut. Hahaha. Inilah tim yang tidak solid saat itu.

Ah sudahlah. Anggap saja itu bumbu penyedap.

Pas tiga jam saya melihat plang Wira Carita. Nahhhh itu dia!!! Saya bersorak sebagai bentuk pelepasan rasa puas yang mendera selama itu. Laut, here we come.....!!!!
(nanti sambung lagi ya. udah malam neh, saya pulang dulu)

Monday, July 7, 2008

Makan Enak

Bagi saya nama Nyoto memiliki arti penting. Bukan saja artinya yang memang menunjukkan kenyataan hidup yang harus kita hadapi, tetapi nama itu berarti makan enak.

Begini ceritanya. Nun jauh di pojok Surabaya sebelah Barat, saya dikenalkan seorang temapn tempat makan yang sederhana, tetapi bercitarasa mantap. Tepatnya sewaktu saya mengabdi di tempat lama dan bertugas di Kota Pahlawan.

Sebagai seorang penganut Kristen Advent yang puritan dengan makanan, daging bukanlah pilihan utama makanan saya. Namun begitu diajak menikmati makanan bernama kare kambing Pak Nyoto, saya melupakan sejenak pilihan tersebut.

Bisa dibilang tidak ada yang istimewa dari rupa tempat makan itu. Panas, berdebu, sempit dan pengap. Terletak di pinggir jalan besar dan berdekatan dengan Kantor Imigrasi Surabaya Barat membuat warung tersebut benar-benar tidak higienis. Saya cukup toleran dengan tempat makan yang tidak higienis asal enak; dan inilah tempat tersebut.

Melihat makanannya pun Anda mungkin bisa mengerenyitkan dahi. Betapa tidak. Kare kambing Pak Nyoto berisi makanan yang full lemak. Bagi pengidap asam urat dan kolesterol serta penyakit jantung disarankan untuk berpikir ulang untuk menyantapnya. Di dalam kotak kaca etalase hidangan, terpampang usus, limpa, otak, torpedo (kemaluan kambing), hati, paru dan kikil. Hebatnya, semua digoreng (entah minyak gorengnya sudah berapa kali digunakan). Kita bisa memilih apa isi kare kita; sejenis, dua jenis atau campur semua.

Praktis hanya potongan jeroan itu isi mangkuk yang akan disantap. Dengan siraman kuah kare yang merah tanpa santan dan potongan kucai, kare kambing siap disantap. Oh ya kucuran air jeruk tak lupa ditambahkan serta sekepyur irisan bawang goreng. Bila ingin berbeda rasa, tersedia kecap dan sambal.

Campuran inilah yang membuat saya menyukai kare kambing yang jauh dari menyehatkan tersebut. Dalam setiap kesempatan ke Surabaya saya akan mengunjungi sang maestro kare kambing di tepi Surabaya. Seperti pada hari ini 7 Juli 2008, secara khusus saya mengajak dua teman untuk mengunjungi Pak Nyoto, walau dari tengah kota Surabaya di tengah hari bolong (saya khawatir torpedonya sudah habis jika lewat jam makan siang). Sampai-sampai sang supir taksi pengantar kami berceletuk: makan saja kok jauh-jauh mas? Kayak nggak ada makanan lain).

Setelah dipikir-pikir, pertanyaan tersebut masuk akal. Sedemikian tergila-gilanyakah saya pada makanan tersebut? Masak cuma karena jeroan saya harus menyisihkan waktu, tenaga, uang yang tidak sedikit untuk menikmatinya.

Ada yang menurut saya sangat penting dalam menikmati makanan. Selain rasa dan harga yang menjadi pertimbangan terbesar, sikap penjual dalam melayani pelanggan menurut saya berperan cukup signifikan. Adakah calon pembeli mendapat pelayanan baik dan bersahabat ketika ia hendak mengeluarkan uang pembeli makanan.

Tidak hanya rasa, aura keramahan Pak Nyoto selalu menarik ingatan bila ingin makan di Surabaya. Sesaat setelah masuk warung yang padat manusia, saya menyapa sang juragan dengan suara sedikit keras. Begitu tahu kalau saya yang memanggil, kontan ia dan isteri menyambut dengan teriakan yang jauh lebih keras. Rasanya seluruh warung bergetar oleh kehangatan sambutannya pada kami.

Tangannya yang berlumur minyak karena memotong jerohan diulurkan untuk menjabat saya. Guncangannya mantab dan disertai guyonan khas orang Surabaya. Inilah yang jarang saya temui jika makan di restoran bersih, mahal dan ternama.

Rasa enak dan harga mahal pasti biasa. Rasa enak berharga murah mungkin jarang ditemui. Tetapi sepertinya lebih jarang lagi bila ada makanan seperti kare kambing yang berharga hanya 10 ribu rupiah yang berisi banyak, enak, serta disertai keramahan yang betul-betul hangat.

What a food. It's worth to try.
indi

Sunday, July 6, 2008

Malas

Penyakit yang satu ini hampir selalu menjangkiti saya jika harus mengerjakan hal-hal yang saya anggap penting, tetapi tidak cukup penting (you know what I mean lah). Itulah yang terjadi pada saya akhir-akhir ini, tepatnya pada blog ini.

Ketika membuat situs ini akhir tahun lalu, saya tidak ingin bercanda atau main-main. Tidak pernah terlintas untuk mengabaikannya. Bahkan saya berjanji untuk memperbaruinya minimal seminggu sekali. Kenyataannya, saya terakhir mengunjungi "bayi" ini dua pekan lalu. Berarti saya tidak menepati janji.

Pilkada adalah penyebabnya. TV tempat saya bekerja telah memproklamirkan diri sebagai TV Pemilu. Penyelenggaraan pilkada di beberapa provinsi kemudian menjadi program "appetizer" sebelum "main course" yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. Tiga provinsi secara berturutan menyelenggarakan pilkada yaitu NTB, Bali, dan Jawa Timur dalam waktu seminggu. Ckckck. Jadilah saya dan teman-teman berkeliling ke daerah-daerah itu. Sebelumnya pun saya harus berkutat dengan pembuatan program yang menyita waktu hingga berjam-jam. Situs ini akhirnya menjadi korban.

Namun jika dipikir-pikir sebetulnya ada lho waktu untuk membuka internet walau hanya beberapa menit dan mengetik pikiran saya dalam beberapa paragraf. Ya itu tadi, dengan alasan lelah saya mengabaikannya. Kayaknya kata malas yang paling tepat untuk menggambarkan tindakan saya.

Sudah berulangkali saya melakukan tindakan serupa, yaitu menunda pekerjaan. Salah satunya adalah masalah kartu kredit. Oktober tahun lalu, saya dan isteri sepakat untuk menambah kartu kredit, yaitu HSBC setelah berbelanja di Hypermart. karena tertarik dengan program gratis belanja senilai tertentu dan iuran gratis setahun, saya mendaftar pada staff kartu kredit itu. Setelah melalui berbagai uji (baik isian formulir maupun verifikasi faktual ke rumah) kartu kredit saya disetujui. Namun saya memutuskan untuk tidak mengaktifkannya, karena ternyata program belanja gratis itu tidak ada lagi.

Yang lebih mendongkolkan lima bulan kemudian muncul tagihan iuran tahunan. Wah apa lagi ini pikir saya. Lha wong belum setahun kok sudah ada tagihan yang katanya gratis. Nah ini dia penyakit saya, yaitu saya menunda-nunda mempertanyakan tagihan itu. Sebulan kemudian muncul lagi tagihan serupa. Serunya, ada lagi tagihan untuk keterlambatan pembayaran iuran tahunan itu. Mendongkolkan memang. Tapi saya saya lagi, yaitu kembali saya menunda-nunda untuk menelepon. Baru dua minggu lalu saya menelepon customer service HSBC untuk membatalkan kartu sebagai bentuk protes atas tagihan beruntun yang menurut saya tidak pada tempatnya.

Selain itu, saya yang juga sekretaris jemaat GMAHK CPBSD Tangerang menunda sebuah pekerjaan yaitu memproses perpindahan beberapa anggota jemaat yang keluar atau masuk. Sudah hampir empat bulan, tetapi belum ada yang beres, karena saya terus menunda dengan alasan-alasan yang masih diterima akal, tetapi sudah kelewatan lamanya.

Kasus-kasus ini menunjukkan betapa buruknya penyakit malas saya. Memang belum memberikan dampak negatif, tetapi keputusan untuk menunda-nunda penyelesaian sebuah masalah hanya akan memperbesar persoalan. Akhirnya saya sendiri seringkali kehilangan momentum untuk menyelesaikan persoalan itu.

Untuk kasus Situsindi, malam ini saya memutuskan harus mengisi dan memperbaruinya. Walaupun mengantuk karena belum cukup tidur setelah melintasi Bali dan pesisir Jawa Timur, saya berusaha membayar janji dan mulai mengisi.

Tolong, jika Anda memiliki persoalan yang harus ditangani segera...kerjakanlah. Suatu saat Anda pasti bersyukur karena tidak menunda pekerjaan itu.

indi

Sunday, June 8, 2008

Melewati Malam di Semarang

Perut ini melilit karena rasa lapar, setelah hampir empat jam didera emosi saat mengerjakan Debat Antarcalon Gubernur Jawa tengah Kamis malam pekan lalu. Belum lagi kaki yang rasanya enggan diajak berdiri begitu semua tayangan dinyatakan selesai. Betul-betul malam itu tim kami tidak hanya berusaha menampilkan tampilan yang menarik di panggung, tetapi juga di layar kaca; alhasil pikiran dan tubuh habis diperas. Boro-boro makan besar, ngemil pun tak sempat.

Waktu menunjukkan pk 23 lebih sedikit, ketika kami beramai-ramai meninggalkan hotel untuk mencari tempat makan. Sekitar 20 orang berbondong-bondong keluar dari Gumaya Tower Hotel di kawasan Kranggan Semarang menyusuri jalan yang lengang. Pucuk dicinta di sepanjang jalan tampak berderet penjual sate ayam dengan format lesehan. Berhubung tidak mungkin lagi untuk berwisata kuliner di tengah malam itu, kami pun menyiapkan diri untuk mengunyah sate ayam yang biasanya sebesar lalat (alias kecil-kecil).

Dengan keramahan ala Jawa Tengah, Pak Slamet (namanya saya tahu dari bentangan kain butut di depan angkringnya) mempersilakan kami untuk duduk. Kebetulan tempatnya yang paling luas daripada penjual sate ayam yang lain. Sambil menunggu sate ayam yang tengah dibakar, saya memesan minuman jeruk manis panas, sekedar untuk menenangkan jeritan si perut. aya mencuri lihat sate ayam yang dibakar. Wuih....ukurannya kok lebih generous dibandingkan sate ayam yang saya biasa saya temui. Paling tidak potongannya sebesar ukuran jempol kaki saya (pasti lebih gede dari kelingking kan). Mantap neh...

Setelah sekitar 10 menit (maklum yang dibakar banyak sekali), datanglah sepiring sate ayam dengan potongan lontong bersiram bumbu kacang. Hmmmm...the smell is good pikir saya. Mencoba untuk tidak memberi penilaian dini, saya pikir bau enak itu muncul karena perus saya yang sangat lapar.

Mulailah ritual makan sate dimulai. Mula-mula saya lihat dulu satenya. Betul besar-besar potongannya. Trus saya menemukan adaya berwarna kuning kehitaman, berbentuk bulat. Aneh. Biasanya daging ayam tidak seperti itu. Ternyata telur muda dan potongan ati. Tanpa mencelupnya ke bumbu kacang, saya menggigit telur itu. Bau sangit karena terbakar membuat sensasi yang lain. Enak. Setelah itu baru bumbu kacang, bawang dan potongan cabai rawit menyusul hingga menjadi perpaduan yang tepat.

Sate ayam berukuran besar itu membuat saya tidak dapat menghabiskan seluruhnya. Hanya 10 tusuk sate daging, ati dan telur yang ludes. Nyam...nyam...nyam. Gelontoran air jeruk manis yang sudah tidak lagi panas membuat perut harus berkonsolidasi lebih ketat. Ini nikmat sekali.

Saya pernah menyampaikan hipotesis kepada beberapa teman tentang enak-tidaknya makanan. Makanan menjadi enak bila:
1. Makanan itu dimakan saat kita lapar (bayangkan betapa tidak enaknya makanan bila kita kenyang. Walaupun pemasaknya adalah koki terkenal, makanan buatannya pasti kita tolak bila perut terisi penuh)
2. Kita makan dengan orang yang kita senangi (baik kekasih, atau sahabat). Saya membayangkan, sop buntut Hotel Borobudur yang kondang itu pasti terasa seperti batu kerikil, bila kita memakannya bareng musuh atau orang yang tidak kita sukai.
3. Kita tidak perlu membayar satu peser pun alias gratis. Ini sih semua orang mau hehehe.

Nah, sate ayam yang saya makan di pinggir jalan Kranggan itu memenuhi tiga kriteria tadi. Yaitu saya makan saat lapar, makan bersama teman-teman yang baik dan asik, dan makan dibayari kantor. Anyway, asik kok sate ayam Pak Slamet itu. Saya belum pernah menemui sate ayam yang terbuat dari telur muda dan potongan ati yang guede-guede.

Walaupun wisata kuliner di Semarang batal (saya harus kembali ke Jakarta Jumat siang, setelah beli oleh-oleh yang wajib yaitu lumpia dan moaci), sate ayam malam itu boleh menjadi catatan lain jika berkunjung lagi ke Semarang.


indi

Wednesday, June 4, 2008

Pilkada 2

Memang hebat para tokoh yang berani mencalonkan diri sebagai pemimpin kepala daerah. Hitung-hitungannya, tokoh itu harus memiliki visi, berani memimpin masyarakat yang heterogen, dan yang kini harus diperhitungkan adalah memiliki uang untuk membiayai kampanyenya. Yang terakhir ini benar-benar bergizi, karena uang yang dikeluarkan tentu tidak sedikit mulai dari membayar tim sukses, membuat atribut kampanye, memberi setoran ke partai pendukung, hingga memberi oleh-oleh pendukung kampanye.

Mungkin orang-orang dengan jenis itu mudah ditemui juga. Toh orang berpunya pasti bervisi dan bisa memimpin (kalau tidak dari mana ia memperoleh hartanya). Masalahnya, dalam sebuah kampanye seorang kandidat harus mampu menyatakan semua program yang diusungnya sejelas mungkin agar publik mendapatkan figur pemimpin yang dapat dipercaya; dalam hal ini tidak semua orang berani dan mampu berbicara di sebuah forum terbuka. Apalagi sampai diadu macam Obama vs Clinton.

Dua nama yang terakhir begitu mewarnai persaingan calon presiden Partai Demokrat AS. Walaupun belum sampai menentukan presiden, keduanya bertarung sedemikian rupa sehingga publik sendiri (termasuk kubu Republik) mendapat suguhan yang seru dan mencekam. Dalam setiap kesempatan debat keduanya adu kepiawaian berbicara dan olah pikir.

Sebagai penikmat dan pelaku pertelevisian, saya merasa terpuaskan dengan aksi keduanya di panggung yang sama. Inilah bentuk terbaik menurut saya, untuk menakar seberapa mampu seorang calon pemimpin meyakinkan konstituennya bahwa ialah figur terbaik.

Begitu mengalihkan pandangan ke dalam negeri, saya kembali ke dunia nyata. Inilah Indonesia yang saat ini harus bergelut dengan persoalan-persoalan mendasar sehingga belum mampu bagi seorang calon pemimpin mengadu argumentasinya secara terbuka melawan kandidat lain.

Pertengahan minggu di awal Juni ini, stasiun tv tempat saya bekerja menyelenggarakan penyampaian visi misi kandidat gubernur Jawa Tengah bersama KPU setempat. Rencananya, kami membuat setiap pasangan calon beradu visi, misi dan program secara terbuka, tanya jawab dan berdebat. Sayang seribu sayang rencana itu tinggal rencana. KPU menolak usulan kami dengan alasan ada peraturan pemerintah yang melarangnya. Hal itu ditegaskan lagi saat tim kami bertemu lengkap dengan tim sukses seluruh calon. Mereka kembali menegaskan penolakan atas rencana crossfire (saling adu argumen secara terbuka).

Mendengar itu saya berpikir benarkah masyarakat akan mendapat sajian program terbaik dari para calon atau tengah dibodohi karena mereka tidak mendapat ujian dari lawan politik. Taruhlah memang ada panelis yang membedah setiap pernyataan kandidat, tetapi ada kecenderungan panelis menempatkan diri bukan sebagai lawan, tetapi sebagai akademisi yang berhati-hati untuk tidak dipandang berpihak.

Benarkah saya berlebihan bila berharap kita memiliki kultur terbuka dalam mencari calon pemimpin seperti di Amerika? Tidakkah cara itu merupakan salah satu cara terbaik menyimak gagasan dan cara penyampaian yang baik sekaligus mendapatkan janji terbuka tentang apa yang akan dilakukannya jika seseorang memimpin. Banyak orang bilang kultur masyarakat Indonesia tidak seperti itu (seperti yang disampaikan salah satu anggota tim kampanye satu calon di Semarang), sehingga dikhawatirkan akan timbul kesan buruk di akar rumput. Kalaupun seperti itu, mengapa kita tidak mulai mengubahnya? Membuat semua calon membuka diri akan jauh lebih baik daripada sekedar menyampaikan program searah yang sukar diuji. Jangan sampai kita membeli kucing dalam karung.

indi

Sunday, June 1, 2008

Kekerasan

Dua pekan lalu saya berdialog secara imajiner dengan Bapak saya almarhum. Dalam pembicaraan yang saya kutip dan saya masukkan ke blog ini adalah betapa Bapak merisaukan kekerasan yang terjadi di negeri ini. Keprihatianan itu mencuat, karena saat memperjuangkan kemerdekaan betapa perbedaan suku, agama, ideologi dan status sosial tidak pernah dipersoalkan.

Yang terjadi saat ini sungguh memprihatinkan. Indonesia seolah terpisah oleh garis batas yang begitu jelas, tegas. Kepercayaan seseorang atau sekelompok orang disampaikan kepada pihak lain dalam bentuk atribut, unjuk rasa dan publikasi. Yang lebih gila, kelompok yang tidak sepaham dengan kepercayaan itu dengan mudahnya diberangus, ditindas, dizolimi atas nama agama dan ideologi.

Monumen Nasional, salah satu simbol kebanggan negeri ini menjadi saksi tindak kekerasan FPI terhadap sekelompok orang (bahkan sebagian besar perempuan dan anak-anak) Minggu, 1 Juni. Dengan alasan berpegang pada peraturan yang melarang ajaran kelompok tertentu, FPI merasa berhak mengayunkan kepalan, kayu, dan pemukul lainnya terhadap massa yang notabene tidak siap berkonfrontasi secara fisik (secara ideologis siapa tahu?).

Stasiun TV tempat saya bekerja dalam sebulan terakhir menayangkan program Debat. Seperti namanya, program ini berisi pro-kontra sebuah pemikiran dalam konteks mengetahui argumentasi pihak lawan. Namun berbeda dengan program dialog lainnya yang menerapkan adanya moderator yang tak berpihak, dua pembawa acara program ini memosisikan diri sebagai pendukung ide yang berseberangan. Setelah tiga episode, Debat secara jelas menunjukkan kepada publik keinginan kami bahwa bangsa Indonesia dapat menyampaikan pokok pikiran dengan keras tanpa harus sakit hati atau bahkan berbenturan fisik. Hal itu terbukti dengan ucapan keras, wajah serius kalau tidak dapat disebut garang, dan teriakan. Namun semua itu diakhiri dengan wajah riang, dan saling bersalaman di antara seluruh peserta program.

Kembali kepada kekerasan atas nama kelompok tertentu, saya merasa tindakan-tindakan tersebut sudah keterlaluan. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal toleran, ramah dan egaliter secara perlahan berubah menjadi sektarian, pemarah dan antiperbedaan.

Beberapa kali saya melihat (karena terekam kamera televisi dan ditayangkan), tindakan kelompok-kelompok sejenis begitu mudah beraksi. Seolah mereka berada di atas hukum dalam menerapkan sanksi bagi kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Pertanyaan kemudian: di mana polisi? Sampai kapan polisi berdiam diri dengan hanya bermain kata: kami akan menindak pelaku kekerasan namun tanpa bukti? Apakah polisi tidak berani? Atau mungkinkah polisi tidak berani, karena kelompok-kelompok itu mendapat beking dari orang dengan pangkat tertentu? Di mana keadilan?

Perbedaan adalah sebuah anugerah Yang Maha Kuasa. Ciptaan-Nya yang beragam menunjukkan betapa luasnya pandangan Beliau terhadap alam semesta. Mengapa kita mengebiri pandangan itu dengan alasan yang begitu dangkal; agama. Bukankah hanya Dia yang berhak menghakimi, karena kita pun tak luput dari dosa?

indi

Monday, May 26, 2008

Liburan

Satu bulan. Itulah hitungan kasar waktu libur anak-anak sekolah di penghujung tahun ajaran. Yang terbayang di kepala, bagaimana mengisi waktu libur anak-anak (terutama kedua anak saya) agar menyenangkan, sekaligus konstruktif dan terarah.

Bila uang cukup, segalanya tampak mudah. Kirim mereka dan ibunya ke tempat-tempat yang oke, beri uang jajan dan inapkan di hotel berkelas. Beres. Tapi kalau karyawan seperti saya, tentu hal itu masalah besar. Apalagi harga BBM baru 'berontak'. Belum selesai mengirit penggunaan bensin, masalah sekolah (karena dua-duanya naik ke jenjang yang lebih tinggi) baru selesai dengan susah payah, kini urusan liburan turut bikin pusing.

Secara spesifik anak-anak saya tidak pernah usul untuk berlibur ke tempat-tempat tertentu. Tetapi melihat aktifitas mereka yang hanya berkutat di depan playstation dalam beberapa hari terakhir ini (maklum sekolah mereka sudah habis, sambil menunggu pengumuman ujian mereka libur), rasanya ada yang tidak benar. Belum lagi beberapa teman membawa mainan berupa kartu yang membuat anak-anak itu duduk berjam-jam bermain kartu yang tidak jelas juntrungannya (bapaknya tidak mengerti mainan kartu Yu Gi Oh).

Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding pengalaman liburan saya tiga puluh tahun lalu. Berhubung bapak saya juga bukan orang berada, maka saat liburan panjang selalu saya isi dengan bermain bersama teman-teman sepermainan. Namun rasanya tiap hari permainan itu selalu berbeda. Hari ini ngobak (berenang di rawa), lalu bermain petak umpet, mencari burung, mencuri buah jamblang/juwet Pak Haji, main layangan dan seabreg petualangan lainnya.

Itulah yang hilang dari kegiatan anak-anak kota jaman sekarang; minimal di lingkungan tempat tinggal kami di BSD, Tangerang. Ketiadaan lahan kosong, jenis mainan yang tersedia dan peran orang tua sangat berpengaruh terhadap aktifitas anak-anak. Rumah dan ruko menjamur di lingkungan kami, sehingga anak-anak tidak memiliki ruang gerak untuk beraktifitas seseru jaman saya dulu. Paling-paling mereka hanya bisa main bola di areal seadanya atau bersepeda. Kemudian sangat jarang terdapat tanaman yang eksotis seperti jamblang, kesemek atau rambutan. Paling-paling yang tersisa kini hanya kersen atau seri; itupun banyak anak yang dilarang orang tuanya memakan buah makanan burung. Yang membuat trenyuh adalah mainan anak-anak sekarang didominasi mainan elektronik, seperi PS, HP dan komputer. Tidak ada lagi gobak sodor, demprak, gala asin atau petak umpet. Anak-anak menjadi individualistis dan minim aktifitas fisik.

Bagi saya pribadi sulit untuk memperkenalkan kedua anak saya dengan mainan yang saya kenal saat kecil dulu. Ada sih keinginan, tetapi waktu yang habis di kantor dan jalan selama 5 hari seminggu membuat waktu libur begitu berharga untuk dibuang dengan bermain (enaknya tidur). Alhasil anak-anak bermain tanpa orang tua (egois yach kedengarannya).

Kompromi yang juga beresiko saat mengisi liburan adalah dengan mengajak mereka ke mal. Tapi yach begitulah, tetap menghabiskan uang untuk makan dan bermain, serta membuat mereka hedonis dan konsumtif.

Buat saya inilah pilihan yang tidak mudah untuk membuat anak-anak berlibur tenang, asyik sekaligus konstruktif dan edukatif. Mungkin ada di antara Anda yang bisa berbagi pengalaman?

indi

Friday, May 23, 2008

Ujian nasional

Tidak ada yang membuat anak saya lebih gembira daripada memegang kembali Playstationnya saat ini. Praktis dalam dua bulan terakhir, ia dipisahkan dari benda yang membuatnya berkhayal memiliki kemampuan super dan mengalahkan para penjahat. Ibunya, istri saya, menyembunyikan benda itu, agar ia dapat berkonsentrasi menghadapi ujian nasional sekolah dasar. Dan kini, ia bebas memainkannya karena ujian telah selesai.



Anak saya memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ia tidak khawatir menghadapi apapun, baik ulangan, ujian, lomba, bahkan publik. Beberapa kali ia kedapatan mencuri-curi membaca komik atau main game; padahal ketika dites ibunya, banyak hal yang ia tak mampu jawab. Ck ck ck.



Hari-hari menjelang ujian nasional adalah saat yang paling membosankan. Hampir setiap hari ia mengulang-ulang pelajaran. Di beberapa kesempatan, kami berdua mengajaknya ke toko buku hanya untuk mencari soal-soal sebagai bahan latihan. Belum lagi kemudian dengan materi-materi tambahan dari sekolah.



Sambil menyaksikan ia mengerjakan latihan, saya berpikir, benarkah apa yang kami orang tuanya buat, yaitu menekan bocah yang tumbuh remaja ini (oh ya, tinggi anak saya yang pertama ini sudah lewat dari ibunya) untuk belajar setiap hari dengan mengabaikan waktu main.

Kami, saya, orang tuanya begitu khawatir ia tidak lulus ujian. Bayangkan, usaha yang dilakukan selama setahun, akan gagal hanya dengan soal yang dikerjakan dalam waktu 90 menit (ada tiga pelajaran yaitu BI, Matematika dan IPA). Rasanya tidak adil, karena masa depan seorang siswa ditentukan oleh soal buatan orang atau lembaga yang tidak mengetahui kekuatan atau kelemahan sehari-harinya.



Saya orang yang percaya, bahwa ujian diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang pelajar. Namun saya juga harus mempertimbangkan proses belajar mengajar selama rentang waktu tertentu sebelum mengambil sebuah keputusan agar hasilnya adil dan teliti. Namun sejak Depdiknas mencanangkan Ujian Nasional untuk SD tahun 2008, saya rasa pemerintah terlalu ambisius untuk membuat standar pendidikan siswa di seluruh Indonesia. Padahal efektifitas Ujian Nasional SMU dan SMP belum dapat mencerminkan keberhasilan yang diinginkan (setidaknya saya belum mengetahui ada evaluasi tentang hal itu).



Apakah pemerintah sudah mempertimbangkan efek psikologis untuk anak-anak yang tertekan karena orangtua masing-masing khawatir mereka tidak lulus? Sudahkah mereka mempertimbangkan betapa banyaknya waktu anak-anak yang terbuang untuk tidak menikmati masa kecil mereka ganti waktu belajar?



Sebuah iklan sabun deterjen memperlihatkan betapa ada anak SD tertidur saat belajar Matematika. Ia sempat menuliskan hitung-hitungan di atas sapu tangan tanpa sadar. Sewaktu mengerjakan soal di kelas, ia terlihat begitu tertekan dan mengeluarkan sapu tangan yang sama untuk mengelap peluh yang mengucur di dahi. Kemudian tampak sang guru merebut sapu tangan itu dengan tujuan untuk membuktikan si anak mencontek. Kenyataannya sapu tangan itu telah bebas dari tulisan karena kehebatan si sabun yang diiklankan dan sebagai gantinya ada tulisan (kalau tidak salah) "ingin pintar jangan mencontek". Selamatlah anak itu. Tanpa membicarakan si sabun, saya mengangkap gambaran betapa tertekannya si anak, saat belajar sampai tertidur saat belajar. Betapa lelah lahir dan batinnya bocah itu.



Kini ujian telah selesai. Anak saya kembali menemukan dunianya yang terabaikan. Pengumuman masih dua minggu lagi. Saya pun pasrah menunggu apa pun hasilnya. Bagaimanapun pemerintah sudah memutuskan dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta anak saya bekerja sebaik-baiknya. Semoga anak saya dan anak Anda baik di SD, SMP maupun SMU yang mengiktui Ujian Nasional dapat lulus dan meraih cita-cita masing-masing.



Semoga

indi

Wednesday, May 21, 2008

Aduh, negeriku!

Ada apa dengan negaraku? Pertanyaan ini timbul dalam dialog imajiner saya dengan almarhum bapak saya. Sebagai pejuang Angkatan '45, saya yakin beliau merasa miris melihat kondisi negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya, belum lagi menikmati kemerdekaan lahir batin.

Atas pertanyaan bapak itu, saya tidak dapat menjawab. Tepatnya, saya tertegun beberapa lama untuk menemukan kata-kata yang tepat. Bagaimanapun saya hidup di era ini dan sedikit banyak tindak tanduk saya turut mewarnai kehidupan di negara ini.

Dalam beberapa minggu terakhir ada begitu banyak kejadian luar biasa di dunia dan negara kita. Harga minyak dunia melonjak drastis hingga 135 dollar AS per barrel (angka pada 21 Mei 2008). Pemerintah Indonesia panas dingin, karena APBN-P hanya menggunakan asumsi 95 dollar AS per barrel. Tidak ada yang bisa menjamin harga minyak dunia akan berhenti di angka tersebut. Keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tidak serta merta diamini setiap lapisan masyarakat. Demo menolak kenaikan harga BBM meluas. Terakhir, Istana lambang pusat pemerintahan negeri jamrud katulistiwa ini dilempar bom molotov sebagai bukti kemarahan mahasiswa. Kontan aparat keamanan meradang dan bertindak keras. Sejumlah mahasiswa dipukuli dan ditangkap.

Ada apa dengan negaraku?

Kepala BIN menuduh seorang mantan menteri menjadi dalang demo antikenaikan BBM. Kok masih ada tuduh menuduh era orde baru? Demikian tanya banyak orang pintar negeri ini. Bukan masalah benar atau salah dalam menyampaikan aspirasi, tetapi mengapa harus ada tuduh menuduh? Toh, saat ini orang bebas berpendapat. Namun memang ada aksi yang membuat panas beberapa orang di pemerintahan. Atau mungkin beberapa orang paranoid dengan kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh orang-orang tertentu. Yah, seperti mengail di air keruh begitu.

Ada apa dengan negaraku?

Sejumlah guru di Medan dan Sulawesi Selatan diperiksa polisi karena didugamembantu para muridnya dalam mengerjakan soal ujian nasional. Tidak dapat dimungkiri di sekolah-sekolah gurem di luar Jawa terutama, ujian nasional adalah momok yang menakutkan. Mereka tidak memiliki fasilitas untuk dapat mempermudah para murid kelas akhir lulus ujian. Tidak ada buku, pengajar dan fasilitas lain agar si anak percaya diri melewati ujian yang hanya sekali namun menentukan kelulusan. Tetapi sampai Densus 88, sebuah satuan antiteror Polri diturunkan menangkap guru yang melanggar itu, adalah sebuah hal yang luar biasa. Mungkinkah pelanggaran hukum para guru setara dengan kegiatan terorisme?

Ada ada dengan negaraku?

Kemarin isteri saya berbelanja keperluan dapur di Pasar Modern BSD. Ia terkejut saat membeli tempe. Bukan karena harganya naik (setelah harga baru akibat kenaikan harga kedele), tetapi karena harganya tetap Rp. 4000 per lempeng. Harga itu mencengangkan, karena harga barang lain perlahan tapi pasti naik dan tidak pernah berhenti (apalagi turun). Memang cuma Rp.100 sampai seribu rupiah untuk sayur mayur dan telur, tetapi secara psikologis mengganggu pikiranya dalam mengatur uang belanja yang belum berubah.

Ada apa dengan negaraku? Mungkinkah ini karena salah dua pejuang dan negarawannya meninggalkan negeri yang aku perjuangkan dan pertahankan kemerdekaannya dari Belanda, PKI dan Permesta? bapak bertanya sambil matanya menerawang ke langit yang tak berbatas. SK Trimurti dan Ali Sadikin adalah dua orang yang sangat kuhormati, apalagi Bang Ali pernah menjadi komandanku saat aku menjadi anggota KKO (sekarang Marinir). Mungkinkah negara ini kehilangan panutan? Ia kembali bertanya sambil menghela nafas. Di sebelahnya, ibuku hanya bisa menepuk-nepuk bahunya mencoba menenangkan dan memberi dukungan. Mungkin ibu juga berusaha memberi keyakinan pada bapak, bahwa anaknya bersama isteri dan anak-anak mereka (cucu-cucunya) akan baik-baik saja bersama negara yang ia cintai.

Bapak saya, Yudyanus Soedibyo wafat 25 tahun lalu, saat saya masih duduk di kelas 2 SMP. Sedang ibu, Muji Rahayu menyusul beliau 18 tahun lalu, beberapa waktu sebelum saya meraih gelar sarjana di Surabaya.

Pertanyaan imajiner Bapak begitu sederhana namun sukar dijawab. Bagaimana tidak; negeri yang merdeka lebih dahulu dari Malaysia dan sama-sama terpuruk dengan Thailand saat krisis ekonomi tahun 1998, belum juga berlari dan berdiri sejajar dengan keduanya. Apalagi dibandingkan dengan Singapura yang sebesar tahi lalat dibandingkan negeri kita yang besar laksana raksasa. Begitu banyak persoalan yang perlu dijawab dengan kerja keras tanpa pamrih, dengan menghilangkan batas agama, suku dan golongan. ego pribadi dan kelompok harus diberantas agar kita dapat berdiri tegak dan diperhitungkan di mata dunia.

Bapak juga Ibu, jawab saya perlahan dalam perbincangan imajiner itu, negeri ini sudah menderita sejak jaman Belanda, Jepang hingga saat ini. Namun percayalah, masih banyak orang yang bersedia membaktikan diri untuk memajukannya tanpa pamrih. Yakinlah anakmu ini dan keluarganya ada di antara mereka.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional Indonesiaku.
indi