Monday, November 16, 2009

Iklim

Hujan deras bertubi-tubi mengguyur Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu terakhir. Kawasan tempat kami tinggal di Barat Jakarta sedikitnya sudah tiga kali diterpa angin kencang dan hujan lebat. Sejumlah pohon dan papan reklame bertumbangan. Untung saja (mudah-mudahan betul-betul untung) belum ada laporan rumah yang roboh.

Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.

Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.

Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.

Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.

Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.

Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.

Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.

Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.

Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.

Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.

Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.

indi

Thursday, November 12, 2009

Sao Paulo

Matahari terik, tetapi suhu udara tak lebih dari 25 derajat Celcius. Mobil ber-CC kecil dan sedang bergerak teratur, dengan kecepatan sedang dalam rangkaian panjang. Di sebelah kiri jalan, dalam jalur yang tetap bis kota berjalan rapi. Tak ada asap hitam mengepul dari knalpot. Orang-orang bergerombol di halte, bukan di perempatan jalan. Tertib.

Itulah gambaran sekilas kondisi lalu lintas kota Sao Paulo, salah satu kota besar di Brasil, selain Rio de Janeiro dan Brasilia ibukota negara itu.

Berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, membuat kota itu berpotensi pada berbagai masalah sosial seperti Jakarta, terutama kemacetan. Tetapi empat hari di kota itu pada awal November, tidak membuat saya risau dengan transportasi. Bahkan pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, lalu lintas yang padat tidak membuat kota itu terisi kemacetan. Kendaraan yang saya tumpangi masih dapat berjalan di antrian. Tidak berhenti kecuali di lampu merah.

Kesimpulan saya mungkin terlalu cepat, karena hanya empat hari mengamati. Namun demikian, praktis saya tidak menemui hambatan bergerak di jalan-jalan di kota itu, walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung kota ke ujung lainnya.

Dari pengamatan singkat itu saya menyimpulkan juga beberapa hal yang membuat kemacetan menjadi barang langka.
Pertama: manajemen kota yang tidak meletakkan pusat perdagangan dan aktifitas massal lainnya di satu atau dua titik. Saya menemukan paling tidak ada 5 titik aktifitas utama berupa perkantoran, mal, pusat perdagangan dan hiburan yang tersebar di berbagai sudut kota. Dengan itu berarti warga Sao Paulo tidak perlu berbondong-bondong ke satu titik untuk beraktifitas. Bandingkan dengan Jl. Sudirman, dan Thamrin di Jkt atau Jalan Basuki Rahmat di Surabaya. Terbayang kan macetnya bila jam-jam sibuk?

Kedua: manajemen transportasi, yang mengandalkan angkutan massal berupa bis dan metro. Jalur bis dan metro yang tersedia ke berbagai penjuru kota memudahkan warga kota hilir mudik. Tanpa angkot dan metro mini yang bikin macet plus menyebarkan gas buangan dengan semena-mena.

Ketiga: sikap dan tingkah laku pengemudi. Rasanya saya harus belajar kesabaran dan disiplin pada kota Sao Paulo. Saya tidak pernah melihat satupun kendaraan yang saling serobot atau keluar jalur yang tersedia. Tidak ada jalan yang diciptakan hanya dua jalur, kemudian menjadi tiga jalur kendaraan saat jam-jam sibuk. Teratur orang bergerak pada jalurnya, walau kondisi padat sekalipun. Klakson pun jarang terdengar dari kendaraan yang meminta jalan. Kebetulan pula, sepeda motor, dapat dihitung dengan jari. Alhasil, semua pasti bergerak walau perlahan.

Kembali ke Jakarta, saya tetap mencintai negeri ini. Hanya saja, saya membayangkan kapankah waktunya ibukota ini ramah tidak hanya lingkungan tetapi juga pengguna jalan.

MRT atau mass rapid transport atau alat transportasi massal memang sudah didengang-dengungkan bertahun-tahun lalu oleh otoritas Jakarta. Tetapi baru bus trans-Jakarta yang berjalan. Itupun belum semua koridor terlayani. Kereta atau metro dalam kota pun baru tiang-tiangnya yang berdiri dan kini besinya berkarat termakan cuaca. Jumlah kendaraan terutama sepeda motor bertambah dengan cepat tidak sebanding dengan panjang dan jumlah jalan.

Hemmmm...

Andaikan kota ini seperti Sao Paulo, mungkin saja penduduknya akan lebih hebat bermain sepakbola dari tim Samba dan lebih cantik dan ganteng daripada pemain sinetron telenovela.

Andaikan....


indi