Sunday, January 11, 2009

Biopori

Dingin bangeeettt. Itulah yang saya rasakan dalam seminggu terakhir. Jakarta yang biasanya panas, lengket, berdebu dan polutif kali ini terasa segar, bahkan kelewat dingin. Badan Meteorologi dan Geofisika menyebutkan bulan-bulan ini adalah puncak musim penghujan di Indonesia terutama di Kawasan Barat. Artinya bersiap-siaplah kita menghadapi banjir dan teman-temannya.

Sebagai kawasan langganan banjir, Jakarta seharusnya sudah siap menghadapi penyakit menahun ini. Tidak boleh ada lagi kumpulan air yang menggenang berhari-hari seperti yang terjadi pada banjir besar Februari 2002.

Saya melihat ada dua langkah utama yang sudah dibuat aparat negara. Pertama pembangunan banjir kalan timur dan kedua peninggian jalan tol bandara Soekarno Hatta. Yang kedua memang tidak 'an sich' negara, karena pembuatnya adalah Jasa Marga, sebuah perusahaan/ BUMN yang berorientasi keuntungan.

Khusus yang pertama, saya melihat pembangunan yang tengah berlangsung di kawasan Jakarta Timur (dekat Pondok Kopi). Setiap lewat jalan tol lingkar luar Jakarta ke arah Cakung, saya menyaksikan penggalian saluran sebesar anak sungai. Rasanya ini adalah sepotong saluran penampung air limpahan hujan di Jakarta. Sayang sekali saya belum pernah mengonfirmasi status saluran itu ke otoritas banjir kanal timur.

Namun anehnya di tengah-tengah calon sungai/ kanal itu ada sebentuk bangunan yang tersisa. Bangunan itu berdiri sendiri karena samping-sampingnya sudah digerus. Kembali melalui pengamatan, saya merasa bangunan itu adalah mushala atau masjid kecil yang tidak segera dirobohkan untuk menyelesaikan saluran air. Kembali saya tidak berani berspekulasi tentang penyebab tersisanya bangunan soliter itu.

Jika banjir kanal timur selesai dibangun, Pemerintah DKI berani menantang hujan dan banjir dengan jurus baru itu. Namun demikian, mengatasi banjir hanya dengan banjir kanal timur rasanya kok naif sekali. Apa iya saluran yang mengelilingi Jakarta itu dapat menampung air hujan dan buangan limbah lainnya. Masalahnya, masyarakat Jakarta menghadapi persoalan lingkungan yang pelik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta masih menarik kaum pendatang. Artinya mereka membutuhkan tempat untuk tinggal dan menjadi beban tambahan bagi tanah Jakarta. Belum lagi pembangunan terus menerus baik di Jakarta maupun daerah penyangganya. Masih baik bila para pembangun menyediakan saluran pembuang atau drainase; kenyataannya lebih banyak yang mengabaikan dan air pun mengalir di jalan-jalan tak terarahkan.

Pekan lalu, kami mengundang seorang pencipta. Kamir Brata namanya. Dari tangannya tercipta benda sederhana berbentuk tongkat dengan ujung terbuat dari logam lancip dan tangkai seperti kemudi sepeda. Alat inilah yang dijadikan pengebor tanah untuk membuat lubang resapan bernama biopori.

Saya tidak ingin membahas biopori secara teknis, tetapi betapa saya terkagum-kagum oleh sumbangsihnya/ Pak Kamir mengklaim, alat tersebut dapat membangun ekosistem tanah yang meningkatkan kesuburan tanah sekaligus mencegah banjir. Memang terdengar utopis bila satu biopori akan menciptakan kondisi ideal itu. Tetapi, menurut beliau bila semua rumah tangga menyiapkan satu atau dua lubang resapan, maka betapa banyak lubang penampung air yang akan menjadi rumah bagi makhluk-makhluk kecil penyubur tanah seperti cacing.

Bagi saya yang memiliki sepetak tanah kecil untuk rumah bagi keluarga, saya sadar pentingnya ketersediaan ruang untuk ekosistem. Cacing, tanaman, kumbang, dan kotoran adalah lingkungan yang baik bagi dunia ini, kendati hanya berukuran kecil. Itu sebabnya kehadiran biopori saya pikir dapat membantu saya pribadi membantu pulihnya ekosistem.

Ya itu kan kata saya.

indi

Tuesday, January 6, 2009

Terkutuklah Perang

Dua kelompok anak berpakaian layaknya tentara bermain perang-perangan. Di kepala mereka terikat serumpun daun dan wajah coret hitam dari arang untuk kamuflase. Di tangan terlihat senapan dan pistol mainan dari pelepah pisang atau kayu. Mereka memperebutkan bendera di tengah kampung di sebuah kecamatan di Tangerang, Banten sebagai tanda kemenangan.

Menyaksikan polah mereka, saya teringat masa lalu saat memainkan perang-perangan bersama teman-teman. Pelepah pisang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibunyikan menyerupai suara tembakan. Yang lebih maju, kami membuat senjata dari semacam rumut yang kaku dengan amunisi kacang hijau. Jika ditiup, kacang hijau itu bisa membuat sakit siapa saja yang terkena.

Permainan perang-perangan selalu menarik untuk dimainkan. Selain melibatkan jumlah yang banyak sehingga terasa seru, kami juga merasa menjadi pahlawan karena membayangkan berhasil mengalahkan lawan bahkan penjajah.

Di tahun 1970-an, salah satu kegemaran saya adalah menonton film perang di telvisi. TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu seringkali memutar film perang antara Amerika /sekutu dan Jerman. salah satunya adalah film Baa baa Black Sheep (betul nggak, ya tulisannya?). Menyaksikan film perang saat itu membuat saya menghargai pihak Amerika yang selalu menang karena membela kebenaran dan membenci tentara Jerman yang menjadi penjahat dan menjajah dunia (baca Eropa).

Namun itu perang jaman saat saya masih anak-anak. Perang dari kaca mata saya sebagai orang dewasa bahkan setua sekarang memiliki arti yang berbeda. Perang identik dengan kehancuran sebuah peradaban, lumatnya kemanusiaan dan menyakitkan karena kematian dan penderitaan. Mari kita lihat dampak itu mulai dari perang Teluk tahun 1990-an, saat Irak menginvasi Kuwait. Dilanjutkan dengan serbuan Amerika ke Irak sengan alasan untuk menumbangkan Saddam Hussein sekitar sepuluh tahun kemudian. Perang ini tidak bisa dikatakan selesai, karena menyisakan berbagai aktifitas bom bunuh diri yang menelan jiwa tidak sedikit. Dan kini kita disajikan peristiwa serangan Israel ke Jalur Gaza. Dalam waktu dua minggu sampai tulisan ini saya buat, hampir seribu orang tewas dalam pertempuran itu. Korban terbanyak tentu di pihak Palestina, karena persenjataan kaum Yahudi begitu modern dan berskala besar. Ini yang paling menyedihkan, yaitu anak-anak yang tidak berdosa juga menjadi korban dengan jumlah seratur lebih.

Oh ya jangan lupakan mereka yang luka-luka akibat bom, peluru, atau tertimpa reruntuhan. Tercatat jumlah itu 3000 lebih. Nyawa mereka terancam, karena Israel mencegati bantuan kemanusiaan. Dokter dilarang masuk, walau obat-obatan boleh. Cuaca dingin dan fasilitas medis yang minim adalah faktor pemberat situasi.

Tidak ada yang berani memastikan kapan penderitaan itu akan berakhir. Usaha-usaha dunia internasional menghentikan peperangan belum membuahkan hasil. Dewan Keamanan PBB bak singa ompong, karena resolusi yang diharapkan dapat menekan Tel Aviv diveto Amerika Serikat. Dunia Arab juga terbelah sikapnya. Suriah nyata-nyata marah terhadap Israel, tetapi Mesir bersikap lunak dengan menyalahkan Hamas karena sengaja memprovokasi Israel.

Sikap pemerintah Indonesia yang berada di seberang lautan jauh lebih tegas daripada dunia Arab. Bahkan kalau bisa dibilang lebih luas daripada sekedar menyalahkan Israel. Dengan berunjukrasa di Kedubes AS dan permintaan boikot terhadap produk-produk seperti KFC, Mc Donald dan Coca Cola, sekelompok masyarakat Indonesia menjadikan perang Palestina sebagai bagian dari bentuk keprihatinan sendiri. Pemerintah AS dianggap melindungi Israel, kaum Zionis, yang perlu ditekan. Untunglah Presiden SBY mengingatkan kita bahwa pertempuran di Tanah Perjanjian itu bukan perang agama.

Terlepas dari alasan peperangan (dua pihak yang berperang pasti selalu menyalahkan lawannya), umat manusia kini tengah diuji. Dimanakah letak kemanusiaan? Perang memang selalu membawa korban, tetapi korban yang tidak perlu seperti anak-anak, orang tua dan wanita (kecuali yang jadi tentara) seharusnya diminimalisasi.

Saya teringat lagu karya John Lennon: Imagine. Lagu yang sarat harapan tentang keindahan dunia bila tanpa perang; sesuatu yang rasanya musykil di saat-saat ini ataupun mendatang. Namun demikian harapan rasanya perlu selalu ditumbuhkan, dijaga dan disebarkan, harapan untuk dunia yang lebih baik. Ingat kata pepatah: Menang jadi arang, kalah jadi abu. Perang tidak pernah mendatangkan keuntungan bahkan kerugian di kedua belah pihak. Jadi lebih baik damai. Atau paling jauh perang-perangan menggunakan senapan pelepah pisang.

Dor, dor, dor!

indi

Thursday, January 1, 2009

Met Taon Baru

Saya kagum, terpana, tercengang dan kemudian geleng-geleng saat melihat pesta kembang api pada perayaan tahun baru 2009. Di Serpong, Tangerang dekat rumah kami dan di televisi pada hasil penayangan liputan teman-teman. Indah, gemerlap , seru dan ... mahal! Angkasa malam yang gelap, menjadi bercahaya dengan warna beraneka ragam. Merah, kuning, hijau. Bentuknya pun bermacam-macam dengan suara khas ledakan petasan.

Sebuah hitung-hitungan yang muncul saat laporan (dari luar negeri, saya lupa negaranya) itu disampaikan adalah sekitar Rp 50 miliar. Di Indonesia menurut laporan yang saya dengar dan saya baca tidak ada hitung-hitungan serupa . Mungkin karena reporternya males cari data, tanya atau nggak pengen tahu, sehingga info yang seru itu tidak terekspos. Atau penyelenggara enggan membuka diri dan memaparkan nilai uang yang dibakar di angkasa. Namun kalau dengan hitung-hitungan kasar di sebuah mal di Tangerang yang menyelenggarakan pesta kembang api dan menyediakan 17 satu bokor kembang api seharga 1 juta rupiah berarti 17 juta rupiah untuk menghibur warga Tangerang saja. Sebuah angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan biaya pesta di luar negeri yang saya singgung di atas. Hanya saja kemudian saya menjadi bertanya-tanya betulkah kita membutuhkan biaya sebesar itu untuk terhibur saat malam pergantian tahun.

Seingat saya saat kecil dulu, malam pergantian tahun bukan sesuatu hal urgent untuk dirayakan secara besar-besaran. Paling-paling kami berkumpul makan-makan, menonton televisi (saat itu hanya TVRI) dan praktis tidak ada ajakan untuk ke tempat keramaian atau begadang semalaman. Namun seiring waktu perubahan bergerak menuju ke hedonisme dan pemuasan nafsu. Mengapa saya menyatakan itu, karena saya tidak pernah membayangkan betapa pergantian tahun dirayakan salah satunya dengan belanja. Betapa serunya sejumlah pusat perbelanjaan membanting harga barang-barang dagangannya di tengah malam sesaat sebelum pk 00.00.

Seberapa pentingkah kita merayakan tahun baru? Itu juga pertanyaan saya. Toh harinya sama saja. Matahari terbenam di ufuk Barat dan terbit di Timur. Jumlah jamnya pun tetap sama 24 jam dengan sedikit variasi pada cuaca berupa hujan atau tidak di daerah khatulistiwa atau salju di belahan utara. Mengapa sebagian orang perlu berhura-hura merayakan pergantian tahun? Kalaupun perlu diperhatikan tidakkah lebih baik dengan berintrospeksi, merenung, mengevaluasi diri terhadap apa yang sudah kita kerjakan 12 bulan sebelumnya.

Bagi yang senang akan tahun yang baru, ia dapat menyatakan penyebabnya adalah harapan di masa mendatang. Hari esok selalu membawa harapan jika kita melihatnya dengan rasa optimistis. Namun kembali muncul pertanyaan: setiap hari kan juga membawa hari esok, jadi apa bedanya dengan tahun baru?

Waahhhh, apa sih maksudmu, Indi? Kok repot ngurusin perlu tidaknya perayaan tahun baru? Biarin dong kalau orang mau hepi. Toh tidak salah dengan membuat orang hepi dengan cara masing-masing atau ada orang mau hepi dengan cara sendiri, baik belanja, makan-makan, atau merenung. Iya toh iya toh?

Saya teringat berita saat penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 30 Desember 2008. Saat itu para pialang, staf dan orang yang bekerja di BEI di Jl. Sudirman Jakarta berpesta tanpa terompet, sebuah gambaran betapa suasana muram karena krisis global masih terasa. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang selalu meriah, karena BEI saat masih bernama BEJ termasuk bursa terbaik di Asia bahkan dunia. Tetapi kini BEI nomor tiga terburuk di dunia, karena Indeksnya jatuh lebih dari 50%.

Mungkinkah kita melihat tahun baru selain penuh harapan juga penuh kehati-hatian. Tidak ada yang bisa memastikan tahun depan mendatangkan harapan yang lebih baik dari tahun ini. Oleh sebab itu mengapa kita tidak lebih bijaksana membelanjakan uang, membakar berjuta-juta rupiah di udara hanya untuk kesenangan sesaat. Atau belanja barang-barang berdiskon untuk memuaskan impuls kesenangan beberapa jam saja. Pernahkah kita berpikir lebih panjang untuk bersikap hati-hati menghadapi ketidakpastian esok hari? Yang pasti saya melakukan itu.

Selamat tahun baru 2009
indi