Monday, May 26, 2008

Liburan

Satu bulan. Itulah hitungan kasar waktu libur anak-anak sekolah di penghujung tahun ajaran. Yang terbayang di kepala, bagaimana mengisi waktu libur anak-anak (terutama kedua anak saya) agar menyenangkan, sekaligus konstruktif dan terarah.

Bila uang cukup, segalanya tampak mudah. Kirim mereka dan ibunya ke tempat-tempat yang oke, beri uang jajan dan inapkan di hotel berkelas. Beres. Tapi kalau karyawan seperti saya, tentu hal itu masalah besar. Apalagi harga BBM baru 'berontak'. Belum selesai mengirit penggunaan bensin, masalah sekolah (karena dua-duanya naik ke jenjang yang lebih tinggi) baru selesai dengan susah payah, kini urusan liburan turut bikin pusing.

Secara spesifik anak-anak saya tidak pernah usul untuk berlibur ke tempat-tempat tertentu. Tetapi melihat aktifitas mereka yang hanya berkutat di depan playstation dalam beberapa hari terakhir ini (maklum sekolah mereka sudah habis, sambil menunggu pengumuman ujian mereka libur), rasanya ada yang tidak benar. Belum lagi beberapa teman membawa mainan berupa kartu yang membuat anak-anak itu duduk berjam-jam bermain kartu yang tidak jelas juntrungannya (bapaknya tidak mengerti mainan kartu Yu Gi Oh).

Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding pengalaman liburan saya tiga puluh tahun lalu. Berhubung bapak saya juga bukan orang berada, maka saat liburan panjang selalu saya isi dengan bermain bersama teman-teman sepermainan. Namun rasanya tiap hari permainan itu selalu berbeda. Hari ini ngobak (berenang di rawa), lalu bermain petak umpet, mencari burung, mencuri buah jamblang/juwet Pak Haji, main layangan dan seabreg petualangan lainnya.

Itulah yang hilang dari kegiatan anak-anak kota jaman sekarang; minimal di lingkungan tempat tinggal kami di BSD, Tangerang. Ketiadaan lahan kosong, jenis mainan yang tersedia dan peran orang tua sangat berpengaruh terhadap aktifitas anak-anak. Rumah dan ruko menjamur di lingkungan kami, sehingga anak-anak tidak memiliki ruang gerak untuk beraktifitas seseru jaman saya dulu. Paling-paling mereka hanya bisa main bola di areal seadanya atau bersepeda. Kemudian sangat jarang terdapat tanaman yang eksotis seperti jamblang, kesemek atau rambutan. Paling-paling yang tersisa kini hanya kersen atau seri; itupun banyak anak yang dilarang orang tuanya memakan buah makanan burung. Yang membuat trenyuh adalah mainan anak-anak sekarang didominasi mainan elektronik, seperi PS, HP dan komputer. Tidak ada lagi gobak sodor, demprak, gala asin atau petak umpet. Anak-anak menjadi individualistis dan minim aktifitas fisik.

Bagi saya pribadi sulit untuk memperkenalkan kedua anak saya dengan mainan yang saya kenal saat kecil dulu. Ada sih keinginan, tetapi waktu yang habis di kantor dan jalan selama 5 hari seminggu membuat waktu libur begitu berharga untuk dibuang dengan bermain (enaknya tidur). Alhasil anak-anak bermain tanpa orang tua (egois yach kedengarannya).

Kompromi yang juga beresiko saat mengisi liburan adalah dengan mengajak mereka ke mal. Tapi yach begitulah, tetap menghabiskan uang untuk makan dan bermain, serta membuat mereka hedonis dan konsumtif.

Buat saya inilah pilihan yang tidak mudah untuk membuat anak-anak berlibur tenang, asyik sekaligus konstruktif dan edukatif. Mungkin ada di antara Anda yang bisa berbagi pengalaman?

indi

Friday, May 23, 2008

Ujian nasional

Tidak ada yang membuat anak saya lebih gembira daripada memegang kembali Playstationnya saat ini. Praktis dalam dua bulan terakhir, ia dipisahkan dari benda yang membuatnya berkhayal memiliki kemampuan super dan mengalahkan para penjahat. Ibunya, istri saya, menyembunyikan benda itu, agar ia dapat berkonsentrasi menghadapi ujian nasional sekolah dasar. Dan kini, ia bebas memainkannya karena ujian telah selesai.



Anak saya memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ia tidak khawatir menghadapi apapun, baik ulangan, ujian, lomba, bahkan publik. Beberapa kali ia kedapatan mencuri-curi membaca komik atau main game; padahal ketika dites ibunya, banyak hal yang ia tak mampu jawab. Ck ck ck.



Hari-hari menjelang ujian nasional adalah saat yang paling membosankan. Hampir setiap hari ia mengulang-ulang pelajaran. Di beberapa kesempatan, kami berdua mengajaknya ke toko buku hanya untuk mencari soal-soal sebagai bahan latihan. Belum lagi kemudian dengan materi-materi tambahan dari sekolah.



Sambil menyaksikan ia mengerjakan latihan, saya berpikir, benarkah apa yang kami orang tuanya buat, yaitu menekan bocah yang tumbuh remaja ini (oh ya, tinggi anak saya yang pertama ini sudah lewat dari ibunya) untuk belajar setiap hari dengan mengabaikan waktu main.

Kami, saya, orang tuanya begitu khawatir ia tidak lulus ujian. Bayangkan, usaha yang dilakukan selama setahun, akan gagal hanya dengan soal yang dikerjakan dalam waktu 90 menit (ada tiga pelajaran yaitu BI, Matematika dan IPA). Rasanya tidak adil, karena masa depan seorang siswa ditentukan oleh soal buatan orang atau lembaga yang tidak mengetahui kekuatan atau kelemahan sehari-harinya.



Saya orang yang percaya, bahwa ujian diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang pelajar. Namun saya juga harus mempertimbangkan proses belajar mengajar selama rentang waktu tertentu sebelum mengambil sebuah keputusan agar hasilnya adil dan teliti. Namun sejak Depdiknas mencanangkan Ujian Nasional untuk SD tahun 2008, saya rasa pemerintah terlalu ambisius untuk membuat standar pendidikan siswa di seluruh Indonesia. Padahal efektifitas Ujian Nasional SMU dan SMP belum dapat mencerminkan keberhasilan yang diinginkan (setidaknya saya belum mengetahui ada evaluasi tentang hal itu).



Apakah pemerintah sudah mempertimbangkan efek psikologis untuk anak-anak yang tertekan karena orangtua masing-masing khawatir mereka tidak lulus? Sudahkah mereka mempertimbangkan betapa banyaknya waktu anak-anak yang terbuang untuk tidak menikmati masa kecil mereka ganti waktu belajar?



Sebuah iklan sabun deterjen memperlihatkan betapa ada anak SD tertidur saat belajar Matematika. Ia sempat menuliskan hitung-hitungan di atas sapu tangan tanpa sadar. Sewaktu mengerjakan soal di kelas, ia terlihat begitu tertekan dan mengeluarkan sapu tangan yang sama untuk mengelap peluh yang mengucur di dahi. Kemudian tampak sang guru merebut sapu tangan itu dengan tujuan untuk membuktikan si anak mencontek. Kenyataannya sapu tangan itu telah bebas dari tulisan karena kehebatan si sabun yang diiklankan dan sebagai gantinya ada tulisan (kalau tidak salah) "ingin pintar jangan mencontek". Selamatlah anak itu. Tanpa membicarakan si sabun, saya mengangkap gambaran betapa tertekannya si anak, saat belajar sampai tertidur saat belajar. Betapa lelah lahir dan batinnya bocah itu.



Kini ujian telah selesai. Anak saya kembali menemukan dunianya yang terabaikan. Pengumuman masih dua minggu lagi. Saya pun pasrah menunggu apa pun hasilnya. Bagaimanapun pemerintah sudah memutuskan dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta anak saya bekerja sebaik-baiknya. Semoga anak saya dan anak Anda baik di SD, SMP maupun SMU yang mengiktui Ujian Nasional dapat lulus dan meraih cita-cita masing-masing.



Semoga

indi

Wednesday, May 21, 2008

Aduh, negeriku!

Ada apa dengan negaraku? Pertanyaan ini timbul dalam dialog imajiner saya dengan almarhum bapak saya. Sebagai pejuang Angkatan '45, saya yakin beliau merasa miris melihat kondisi negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya, belum lagi menikmati kemerdekaan lahir batin.

Atas pertanyaan bapak itu, saya tidak dapat menjawab. Tepatnya, saya tertegun beberapa lama untuk menemukan kata-kata yang tepat. Bagaimanapun saya hidup di era ini dan sedikit banyak tindak tanduk saya turut mewarnai kehidupan di negara ini.

Dalam beberapa minggu terakhir ada begitu banyak kejadian luar biasa di dunia dan negara kita. Harga minyak dunia melonjak drastis hingga 135 dollar AS per barrel (angka pada 21 Mei 2008). Pemerintah Indonesia panas dingin, karena APBN-P hanya menggunakan asumsi 95 dollar AS per barrel. Tidak ada yang bisa menjamin harga minyak dunia akan berhenti di angka tersebut. Keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tidak serta merta diamini setiap lapisan masyarakat. Demo menolak kenaikan harga BBM meluas. Terakhir, Istana lambang pusat pemerintahan negeri jamrud katulistiwa ini dilempar bom molotov sebagai bukti kemarahan mahasiswa. Kontan aparat keamanan meradang dan bertindak keras. Sejumlah mahasiswa dipukuli dan ditangkap.

Ada apa dengan negaraku?

Kepala BIN menuduh seorang mantan menteri menjadi dalang demo antikenaikan BBM. Kok masih ada tuduh menuduh era orde baru? Demikian tanya banyak orang pintar negeri ini. Bukan masalah benar atau salah dalam menyampaikan aspirasi, tetapi mengapa harus ada tuduh menuduh? Toh, saat ini orang bebas berpendapat. Namun memang ada aksi yang membuat panas beberapa orang di pemerintahan. Atau mungkin beberapa orang paranoid dengan kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh orang-orang tertentu. Yah, seperti mengail di air keruh begitu.

Ada apa dengan negaraku?

Sejumlah guru di Medan dan Sulawesi Selatan diperiksa polisi karena didugamembantu para muridnya dalam mengerjakan soal ujian nasional. Tidak dapat dimungkiri di sekolah-sekolah gurem di luar Jawa terutama, ujian nasional adalah momok yang menakutkan. Mereka tidak memiliki fasilitas untuk dapat mempermudah para murid kelas akhir lulus ujian. Tidak ada buku, pengajar dan fasilitas lain agar si anak percaya diri melewati ujian yang hanya sekali namun menentukan kelulusan. Tetapi sampai Densus 88, sebuah satuan antiteror Polri diturunkan menangkap guru yang melanggar itu, adalah sebuah hal yang luar biasa. Mungkinkah pelanggaran hukum para guru setara dengan kegiatan terorisme?

Ada ada dengan negaraku?

Kemarin isteri saya berbelanja keperluan dapur di Pasar Modern BSD. Ia terkejut saat membeli tempe. Bukan karena harganya naik (setelah harga baru akibat kenaikan harga kedele), tetapi karena harganya tetap Rp. 4000 per lempeng. Harga itu mencengangkan, karena harga barang lain perlahan tapi pasti naik dan tidak pernah berhenti (apalagi turun). Memang cuma Rp.100 sampai seribu rupiah untuk sayur mayur dan telur, tetapi secara psikologis mengganggu pikiranya dalam mengatur uang belanja yang belum berubah.

Ada apa dengan negaraku? Mungkinkah ini karena salah dua pejuang dan negarawannya meninggalkan negeri yang aku perjuangkan dan pertahankan kemerdekaannya dari Belanda, PKI dan Permesta? bapak bertanya sambil matanya menerawang ke langit yang tak berbatas. SK Trimurti dan Ali Sadikin adalah dua orang yang sangat kuhormati, apalagi Bang Ali pernah menjadi komandanku saat aku menjadi anggota KKO (sekarang Marinir). Mungkinkah negara ini kehilangan panutan? Ia kembali bertanya sambil menghela nafas. Di sebelahnya, ibuku hanya bisa menepuk-nepuk bahunya mencoba menenangkan dan memberi dukungan. Mungkin ibu juga berusaha memberi keyakinan pada bapak, bahwa anaknya bersama isteri dan anak-anak mereka (cucu-cucunya) akan baik-baik saja bersama negara yang ia cintai.

Bapak saya, Yudyanus Soedibyo wafat 25 tahun lalu, saat saya masih duduk di kelas 2 SMP. Sedang ibu, Muji Rahayu menyusul beliau 18 tahun lalu, beberapa waktu sebelum saya meraih gelar sarjana di Surabaya.

Pertanyaan imajiner Bapak begitu sederhana namun sukar dijawab. Bagaimana tidak; negeri yang merdeka lebih dahulu dari Malaysia dan sama-sama terpuruk dengan Thailand saat krisis ekonomi tahun 1998, belum juga berlari dan berdiri sejajar dengan keduanya. Apalagi dibandingkan dengan Singapura yang sebesar tahi lalat dibandingkan negeri kita yang besar laksana raksasa. Begitu banyak persoalan yang perlu dijawab dengan kerja keras tanpa pamrih, dengan menghilangkan batas agama, suku dan golongan. ego pribadi dan kelompok harus diberantas agar kita dapat berdiri tegak dan diperhitungkan di mata dunia.

Bapak juga Ibu, jawab saya perlahan dalam perbincangan imajiner itu, negeri ini sudah menderita sejak jaman Belanda, Jepang hingga saat ini. Namun percayalah, masih banyak orang yang bersedia membaktikan diri untuk memajukannya tanpa pamrih. Yakinlah anakmu ini dan keluarganya ada di antara mereka.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional Indonesiaku.
indi

Sunday, May 18, 2008

BBM

Hari-hari ini akan jadi menarik untuk diperhatikan. Bangsa Indonesia menunggu acara penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup mendatang (cieeee, bisa aja nggak segitu-gitu amat). Harga BBM naik! Yang ditunggu banyak orang sejak awal bulan Mei, tetapi tak jua muncul. Padahal secara psikologis hal itu sudah mengganggu keuangan banyak keluarga Indonesia. Harga barang-barang yang sudah naik sejak Lebaran tahun lalu (bulan Oktober) tak pernah lagi turun. Dan sekarang kebingungan masyarakat dimanfaatkan sejumlah orang untuk menaikkan harga tanpa alasan yang jelas.

Tengok saja harga telur. Istri saya yang kebetulan suka masak (tidak jago sekali, tapi lumayanlah) begitu dongkol mengetahui posisi harga telur di pasar. Masih teringat petrtengahan tahun 2007, angka itu bertengger di Rp. 7000 per kg, tetapi kini rasanya kok tidak mau turun dan malah naik ke Rp. 14.000 per kg. Kebetulan saya dan anak-anak yang gemar makan kue buatan ibunya, harus mengurangi pesanan. Dulu istri biasa membuat kue dua kali seminggu, tetapi kini paling banter sekali dalam dua minggu. Maklum, sekali bikin ia bisa membutuhkan dua kilogram telur, belum termasuk tepung terigu yang harganya juga tidak rasional, margarin yang harganya sudah mencapai dua kali lipat dan gula pasir (yang satu ini masih dapat ditoleransi).

Itulah gambaran betapa gamangnya banyak keluarga karena kepastian yang tidak kunjung datang. sampai kapan halini berlangsung kita masih menunggu.

Rumor memang sudah beredar. Harga baru BBM akan diumumkan pekan depan. Nah ini kian dekat, kenapa? Karena sejak kemarin (Minggu 18 Mei, Pertamina Jakarta sudah membatasi pembelian bensin premium maksimal Rp. 75.000 untuk mobil dan Rp. 15.000 untuk motor. Kemudian mulai 15 Mei, program konversi minyak tanah (mitan) dinyatakan selesai. Artinya tidak ada lagi mitan berharga Rp. 2400 per liter. Yang ada, pembeli mitan harus mencarinya ke SPBU dengan harga Rp. 8000 per liter. Saya bayangkan masih banyak orang yang belum dapat gas dan tidak punya uang cukup untuk beli gas (karena nggak bisa ngecer).

Saya membayangkan betapa saya harus mengurangi jatah makan siang di kantor, untuk menekan pengeluaran. termasuk program diet sih, karena perut saya sudah demikian membesar susah kecilnya hehehe

Sunday, May 11, 2008

Pak SBY dan Om Bill

Lega rasanya saat wajah Bill Gates muncul di layar televisi pada 8 Mei 2008. Persiapan, tarik menarik kepentingan dan masalah keamanan yang muncul sejak usulan ini disetujui begitu banyak. Sampai 7 Mei malam ijin untuk menayangkan kuliah umum raja Microsoft asal AS itu tak juga keluar.

Bermula dari undangan untuk meliput kuliah salah satu orang terkaya dunia yang dating ke Indonesia dua minggu sebelumnya. Kami hanya memandangnya sebagai sebuah liputan yang besar tetapi tidak luar biasa. Namun pandangan itu menjadi berbeda, ketika saya diajak bos saya untuk menemui panitia pengundang.

Saat itu kami ditawari untuk meliput seluruh kegiatan Bill dan Presiden SBY pada tanggal 9 Mei. Tentu saja kami mengiyakan, karena pastilah pertemuan itu bermakna besar bagi negeri ini. Bayangkan, orang nomer 1 di negeri berpenduduk 200 juta lebih ini bertemu dengan orang terkuat perusahaan raksasa software dunia. Wow!

Namun perjalanan menuju siaran itu tidaklah mulus (saya tidak pernah berpikir ada yang selalu mulus dan lancer dalam mengerjakan setiap tugas, karena masalah adalah tantangan). Pertama kami harus berhadapan dengan persiapan internal. Banyak sekali peralatan dan tenaga yang dibutuhkan untuk menyiarkan pertemuan tersebut. 10 kamera dengan 10 kameraman, bayangkan! Itu belum termasuk audioman, transmisi, editor, perkabelan dan PD. Oh ya produsernya dua orang termasuk saya.

Budget! Nah ini yang luar biasa. Tidak ada urusan dengan rating, karena orang Indonesia sepertinya lebih suka menonton sinetron, film atau lawak (riset AGB Nielsen Media Research menunjukkannya). Untuk program yang kayaknya bakal sepi rating ini, kami mengajukan budget yang lumayan banyak. Namun kami yakin prestise bida diraih.

Kemudian yang merepotkan adalah pendaftaran kru. Ada tiga kelompok yang semua berkepentingan di acara tersebut. Pertama Kadin sebagai penyelenggara, kedua pihak istana, yang harus menjaga keamanan Pak Presiden, dan ketiga Microsoft sebagai “pemilik” Bill Gates. Nah, tugas saya menghubungi ketiga pihak itu lumayan menguras tenaga, karena banyak orang yang harus dihubungi. Sampai malam terakhir saya dikejar-kejar atasan (dia juga dikejar-kejar boss tertinggi, yang ingin memastikan anak buahnya siap di acara tersebut) dengan pertanyaan apakah semua orang sudah siap dengan tanda pengenal. Untungnya teman-teman di Kadin bersedia menjawab pertanyaan saya yang cenderung memaksa dengan lemah lembut (mungkin bos Kadin dan pemilik perusahaan tempat saya bekerja orangnya sama).

Sekarang yang paling ribet. Tidak pernah ada kata ok yang jelas untuk penyiaran Om Bill Gates dan Pak SBY. Malam hari 12 jam menjelang kegiatan, perintah itu belum turun. Pemilik berulang-kali menelepon atasan saya untuk membicarakan itu. Keputusan sementara adalah jalan terus sampai ada tuntutan dari pihak Microsoft (setelah acara saya bertemu PR Microfot Indonesia, ia bilang ada aturan internal untuk Bill Gates yaitu tidak boleh siaran langsung). Sambil melihat pemasangan panggung dan alat siaran, kami bertemu dengan staf Setneg. Kebetulan saya sudah beberapa kali berhubungan dengan salah seorang di antaranya. Mulailah lobi dan persuasi agar teman-teman setneg bersedia mendukung siaran langsung dan meminta Presiden mengijinkannya.

Luar biasa! Pernyataan dari pihak istana siaran langsung ok! Ini yang kami butuhkan untuk memuluskan jalannya siaran esok hari. Kemudian atasan saya memerintahkan teman-teman di kantor untuk menjalankan tulisan pemberitahuan adanya siaran langsung itu.

Perasaan senang karena ijin istana hanya berlangsung lima menit. Setelah itu sebuah sms pemilik kepada wapemred menyebutkan adanya protes dari Microsoft. Kontan, tulisan itu dicabut dan ijin istana seolah tidak bermakna. Alasannya, Bill Gates dan Microsoft adalah orang yang ditunggu bukan Presiden. Kepala ini menjadi cenat-cenut. Bayangan ketidakberhasilan siaran langsung adalah sebuah kegagalan dari upaya yang dicanangkan sejak seminggu sebelumnya.

Belum lagi keputusan pada pukul berapa siaran langsung itu ditayangkan adalah sebuah keputusan sulit. Mengapa? Jadwal kedatangan Presiden ke acara simpang siur! Bill Gates dipastikan tetap pada rencana yaitu pukul 8 WIB tiba di JCC, tetapi waktu Presiden datang belum dapat dikonfirmasi. Bagian Programming dan Marketing berulangkali meminta kepastian yang sulit dipenuhi. Akhirnya dengan keberanian ditetapkanlah pukul 9.30 WIB acara dimulai.

Di tengah kegalauan dan ketidakpastian, saya pulang sekitar pukul 23.30 WIB. Udara malam yang dingin membuat kepala ini bertambah berat. Kaki pun sulit dibuat melangkah, karena sudah lebih dari 19 jam saya bekerja hari itu. Sesampai di rumah, tak ada lagi keinginan untuk membersihkan diri. Cukup dengan ganti baju, cuci muka dan kaki, saya langsung merebahkan diri di kasur yang nyaman.

Namun tidur pun bukan perkara mudah. Berbagai pikiran berkecamuk, tentang bagaimana bila ada pihak-pihak yang tidak menyetujui siaran langsung esok dan memerintahkan kami untuk mematikan semua peralatan. Terasa singkat rasanya tidur ini, karena saya segera terbangun mendengar dering telpon. Perintahnya saya harus siaran pagi harinya untuk menggantikan teman yang dinilai lebih penting berada di JCC. Siap! Namanya bawahan, perintah harus dijalankan dengan sebaik-baiknya terutama bila Anda adalah orang baru.

Dengan langkah gontai dan mata berat, pukul 5 saya meluncur ke pusat Jakarta untuk siaran di studio di sebuah pusat perkantoran. Cukup hanya sepertiga dari seluruh satu setengah jam program, saya tinggalkan program dan menuju JCC. Saya bayangkan betapa beratnya kolega pasangan siaran saya menangani para tamu selama sejam yang tersisa.

Setibanya di lokasi saya mendapati semua orang sudah siap di posisi. Peralatan terpasang tanpa masalah. Namun tetap belum ada lampu hijau untuk siaran langsung. Pemilik sempat mampir ke ruang siaran dan mengingatkan kami untuk menerapkan strategi “hit and run” saat siaran nanti. Artinya, bila ditegur kami hentikan siaran, bila tidak, siara jalan lagi. Baiklah. Doa pun dilayangkan bersama dengan harapan Tuhan berbaik hati agar kami tak kena masalah.

Tepat pukul 8 WIB, Presiden SBY tiba di pelataran JCC, yang artinya the show will begin immediately. Tak lama kemudian Om Bill datang. Pada saat yang bersamaan kamera dan siaran kami sudah “on”. Terus-terus dan terus.

Tidak ada yang protes? Tidak ada yang datang dan meyuruh penghentian siaran? Wah! This is great, man! Jalan terusss!!

Sampai akhir pidato Om Bill dan Ibu Mari Pangesti, Menteri Perdagangan yang jadi moderator acara, siaran lancar. Saya berkata dalam hati, apakah semalam ada orang yang begitu paranoid sehingga ada ancaman pelarangan siaran. Nyatanya aman-aman saja.

Dari peristiwa itu saya dapat pelajaran berharga, yaitu adalah penting untuk percaya diri, siapkan lebih dari satu rencana pendukung bila rencana utama gagal. Yang berikutnya adalah perkokoh kerjasama dengan semua orang dan semua lini. Yang terakhir, jadilah pemimpin kuat agar di bawah Anda memiliki keyakinan dengan siapa Anda bekerja.

Tabik,
indi

Sunday, May 4, 2008

Spirit

Waktu menjadi pelajar SMP tahun 1982, saya memiliki kebiasaan naik truk trailer (pengangkut peti kemas) yang kosong tentunya, untuk pulang sekolah. Terletak di perempatan Permai Jakarta Utara, sekolah saya berada di jalur sibuk se Jakarta Utara. Kendaraan pribadi dan umum berebut tempat dengan truk peti kemas yang akan ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kendaraan selalu berjalan lambat di perempatan itu, karena adanya lampu lalu lintas, penuh kendaraan dan anak- sekolah menyeberang (sedikitnya ada tiga sekolah di sekitar tempat itu).

Saya dan beberapa teman selalu memanfaatkan truk trailer kosong yang memang berjalan lambat untuk pulang sekolah. Trus kenapa nggak pake kendaraan lainnya? Pertama nggak punya kendaraan pribadi (maklum keluarga bukan orang berpunya), kedua karena nggak punya duit lebih buat naik kendaraan umum (kalau bisa ngirit), ketiga kayaknya ada penyaluran semangat dan keinginan ingin jadi orang hebat.

Bubaran sekolah pukul 13, kami (biasanya berempat: yaitu saya, Yani, Benny dan John) menunggu truk, pas di lampu merah. Oh ya Yani adalah anak orang berada. Ia mau ikut saya dan teman lainnya lebih karena solidaritas. Begitu si truk datang, kami melompat di belakang hampir tanpa memedulikan bahayanya lalu lintas.

Hup, kami saling membantu untuk bisa naik. Dan kalau sudah di atas rasanya luar biasa; kami yang terhebat, saya yang terhebat. Pada bberapa kesempatan, truk yang masih bergerak kami kejar untuk dapat meraihnya dan naik. Bayangkan, panas menyengat, asap mobil dan peluh jadi satu di tubuh kami. Tapi rasanya semua itu hilang jika kami berhasil mencapai truk yang dimaksud.

Semangat untuk meraih truk itu rasanya kini saya rasakan kembali saat saya memasuki habitat baru. Sejak April 2008 (namun secara reguler baru Mei 2008) saya menjadi anggota TV baru dengan berbagai kekurangannya. Namun atmosfir yang saya rasakan begitu luar biasa.

Pucuk pimpinan memiliki semangat untuk mendapat perhatian publik yang mengalir ke mana-mana. Alhasil hingga di level bawah semangat itu memompa energi untuk berbuat yang terbaik. Banyak orang baru dari berbagai institusi yang melebur di sini, tetapi rasanya jaket lama itu ditinggalkan dan kini kami semua memiliki label baru yang harus diperjuangkan bersama.

Pada saat berlari, meraih dinding truk dan melompat ke atas, saya merasakan ada energi dahsyat yang mengalahkan semua rintangan dan tidak takut menghadapi apapun. Perasaan yang sama kurang lebih menyelimuti saya setiap saat saya melangkahkan kaki ke kantor baru saya. Walaupun di sana sini banyak kekurangan yang jauh bila dibandingkan kantor lama saya, semuanya lebur dalam semangat untuk mengejar ketertinggalan dan meraih hasil terbaik.

Spirit itu begitu kuat, sehingga mau rasanya saya berada di kantor ini 24 jam sehari untuk membuat karya yang lebih besar dari sebelumnya.

indi