Wednesday, February 25, 2009

Clinton dan Acara Musik

Tulisan ini mungkin sudah out of date. Tetapi saya tidak tahan untuk tidak menulisnya, karena ini mungkin saja bentuk kedongkolan saya atas kejadian di sekitar kedatangan Menlu AS Hillary Rodham Clinton ke Indonesia pertengahan bulan ini. Subyektif, tak berdasar, emosional, atau tidak dewasa adalah label yang bisa Anda sematkan untuk saya setelah membacanya.

Pasalnya: Hillary Clinton tampil di sebuah acara musik di dua stasiun televisi swasta nasional. Ckckck.

Acara musik! Terus terang saya sulit mencari justifikasi arti pemilihan acara musik untuk penampilan seorang mantan ibu negara, mantan calon presiden yang bersaing ketat dengan Obama untuk Konvensi Partai Demokrat dan yang kini menjadi menteri luar negeri sebuah negara Hyperpower (meminjam istilah menlu Hassan Wirajuda di acara Atas Nama Rakyat TVOne yang berarti lebih dari superpower). Satu-satunya pembenar alasan adalah betapa acara itu memiliki rating tinggi di pagi hari, karena itulah waktu kosong beliau saat waktu kunjungan ke Indonesia dan acara itu ditonton banyak orang.

Memang sah-sah saja staf pemerintahan AS atau bahkan Hillary sendiri untuk memilih acara tv mana yang akan diisi. Hampir semua pemilik dan pengelola tv membuka programnya untuk menjadi tuan rumahnya. Namun manakala ada persoalan hubungan yang krusial, rasanya sangat masuk akal bagi seorang pejabat publik untuk hadir di tengah program yang mengusung talkshow serius di stasiun tv mana saja. Apalagi untuk hubungan sekelas AS-Indonesia yang diwarnai berbagai isu.

Saya ingat betul saat kampanye konvensi Partai Demokrat Agustus tahun lalu. Di mata saya, citra yang melekat pada diri Hillary Clinton adalah wanita tangguh, yang berani menghadapi siapa saja, serbuan argumentasi apa saja demi menyampaikan pemikirannya. Sosok Hillary Clinton betul-betul lepas dari bayang-bayang suaminya Bill Clinton yang sukses menjabat presiden AS dua periode. Ia giat "bertempur" melawan Barack Obama. Ketika menjelang konvensi dan semua polling menunjukkan keunggulan Obama, tak sepatah kata pun terucap dari mulut Hillary yang menyatakan menyerah kalah. Dengan lantang ia menyatakan akan terus berjuang sebagai penghargaan untuk mereka yang telah mendukungnya. Akibat persaingan itu, kubu Demokrat sempat khawatir terjadi pelemahan pascakonvensi, karena posisi internal yang terbelah.

Namun kini saya tidak lagi memandangnya seperti itu setelah ia tampil di sebuah acara musik dengan perbincangan ringan seperti selebriti Indonesia dan bukan sekelas menlu negara hyperpower! Saya tidak menilai rendah pembawa acara program musik. Tetapi logikanya menjadi sangat tidak mungkin atmosfir program musik akan menggiring narasumber pada perbincangan yang serius, tajam dan mendalam. Pembawa acara yang serius pun menurut saya, dapat terbawa oleh atmosfir yang ringan itu dan sulit untuk menghadirkan perbincangan berbobot.

Saya bisa saja dituding iri, karena gagal menghadirkan perbincangan dengan Hillary Clinton. Saya akui, saya iri dan merasa gagal. Namun dengan besar hati saya terima kekalahan itu bila datang dari sesama jurnalis yang biasa berkecimpung di dunia jurnalistik.

Oh Clinton yang Dahsyat! Bagaimana kalau di Bukan Empat Mata?

indi

Sunday, February 22, 2009

Lelucon Madura

Saya dapat lagi lelucon. Tapi mohon maaf kalau menyinggung rekan-rekan saya dari Pulau Madura.

Adalah sebuah cerita tentang seorang madura yang kaya raya pergi ke suatu tempat dan menginap di sebuah hotel yang mewah. Sebelum tidur malam ia memanggil pelayan hotel untuk pesan sarapan agar besok pagi dia tidak perlu repot.

Orang Madura ( OM ): “Pelayan saya mau pesan sarapan untuk besok pagi ya, tolong dicatat, saya minta diantar di kamar saya jam 6 pagi, jangan telat ya sebab saya ada rapat.”

Pelayan (P): Mau pesan apa Tuan?

OM: Saya mau pesan bret jembret.

P: Apa Tuan???

OM: Bret jembret!!!

P: Maaf Tuan apa itu bret jembret???

OM: Sampeyan ini gimana sih, jadi pelayan hotel terkenal kok bego. Anda bisa bahasa inggris nggak ?? Bahasa inggrisnya roti apa??

P: Bread (bret) Tuan.

OM: Nah sekarang bahasa inggrisnya selai apa???

P: Jam (Jem) Tuan.

OM: Lah itu kalau roti dikasih selai terus atasnya dikasih roti lagi apa nggak bread jam bread tak iye… doh sampeyan ini gimana sih!!!

P: Ooooooooooh itu Tuan. Lalu minumnya apa Tuan??

OM: Susu soda!!!

P: Pakai es Tuan?

OM: Lho lha iya pakai es dong, kalo nggak pake es kan jadi “u u oda” tak iye, dok re mak sampeyan ini!!!

P: ???!!! @@@&&^%%%$###))** *))&&&&

Monday, February 9, 2009

Harga Sebuah Kegiatan

Di hadapan kami (saya dan rekan siaran) sepasang suami istri paruh baya duduk dengan wajah muram. Mereka dalam suasana berkabung. Anak kedua mereka baru saja dipanggil pulang Yang Maha Kuasa dalam sebuah kegiatan unit pecinta alam di kampus Institut Teknologi Bandung. Sang anak digambarkan sebagai pemuda yang sehat, walau berat badannya di atas rata-rata. Namun saat kegiatan, ia dan 81 rekannya harus berjalan di malam hari di kawasan perbukitan di Lembang, dengan jarak relatif jauh. Kembali menurut orang tuanya, Wisnu demikian nama panggilan almarhum sempat menyatakan kelelahan. Hanya saja panitia acara tidak memiliki rencana dan fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat. Wisnu hanya diminta berjalan pelan-pelan. Akhirnya saat tengah malam, ia terjatuh dan tak dapat meneruskan perjalanan. Kesulitan mendapatkan alat transpor, panitia akhirnya baru dapat membawanya ke RS Boromeus Bandung, itupun dengan bantuan warga setempat pada pukul 2 pagi dan meninggal dunia di sana.

Saya tidak dapat menyalahkan kedua orang tua itu yang tidak ingin mempermasalahkan kematian anak mereka. Visum pun tidak ada, sehingga berkembang isu Wisnu meninggal karena ia mengidap kelainan jantung. Sejauh ini tidak ada pihak yang menyatakan rasa bersalah dan meminta maaf. Rektorat (entah dekanat dan panitia) hanya datang untuk menyatakan bela sungkawa.

Cuaca hujan, tengah malam, dan semangat rasanya menjadi bahan bakar bagi sejumlah orang untuk unjuk kemampuan diri dan disiplin. Situasi itu pernah saya rasakan belasan tahun lalu. Dalam suatu kesempatan, pengurus Senat Mahasiswa di FakultasFarmasi Universitas Airlangga Surabaya merencanakan kegiatan untuk mempererat persaudaraan. Acara perkemahan disiapkan di kawasan perkemahan Trawas, Mojokerto. Saya ingat betul, saat itu musim penghujan (bayangkan musim hujan di pegunungan tinggi, pasti deh identik dengan hujan setiap hari).

Mahasiswa Fakultas Farmasi dikenal sebagai mahasiswa penggemar belajar dan kuper (saat itu, nggak tahu sekarang). Sehari-hari urusannya kuliah, laboratorium dan perpustakaan. Akibatnya yang ikut saat itu kurang dari 30 orang. Angkatan yang dituju dan pengurus senat pun agaknya enggan keluar rumah. Padahal satu angkatan bisa 100 orang dan pengurus senat sekitar 25 orang, Bayangkan betapa sedikitnya.

Tidak pernah terpikirkan di benak kami bahwa berkemah di musim hujan membutuhkan usaha yang luar biasa (maklum bukan pecinta alam). Bekal seadanya, kemah seadanya, pakaian pun seadanya (karena maksudnya cuma nginep dua malam). Setibanya di lokasi, seingat saya siang hari, kami langsung disambut hujan rintik-rintik. Kian gelap cuaca hujan kian lebat. sebagai kaum amatiran kami tidak berhasil mendirikan tenda yang baik di tengah curah hujan. Kalau tidak bocor ya tenda tidak berdiri. Akibatnya sepanjang malam kami hanya bisa berteduh di tenda seadanya, asal tidak basah (dan itu tidak berhasil).

Kedinginan, kelaparan dan kelelahan adalah musuh bersama. Gelap, tidak ada tempat kering, baju hangat, dan makanan. Sepanjang malam.

Kembali ke masa kini saat saya membayangkan situasi itu, saya membandingkannya dengan kondisi almarhum Wisnu; betapa hampir sama. Perbedaannya, saya tidak berjalan dengan jarak tertentu, sementara Wisnu mendapat tekanan dari lingkungan untuk menempuh jarak tertentu.

Mengatasnamakan kegiatan Senat Mahasiswa, saya dan teman-teman menyelenggarakan acara temu dan kenal mahasiswa baru. Rasanya saat itu kami tidak pernah meminta ijin dari dekanat atau rektorat. Kami merasa sudah cukup dewasa mengelola adik-adik kami saat itu. Saya yakin hal yang sama pula yang dilakukan panitia acara almarhum Wisnu. Mana mau rektorat atau dekanat bertanggungjawab kalau ada apa-apa?

Di luar panggung dan materi dialog kami tentang kasus kematian mahasiswa Fakultas Geodesi ITB, ada banyak perguruan tinggi, banyak fakultas dengan unit kegiatan masing-masing. Mereka memiliki banyak kegiatan mengatasnamakan persaudaraan, pengetahuan atau kedisiplinan. Namun mungkin tidak banyak yang mengingat, bahwa keselamatan dan masa depan para mahasiswa di atas segala-galanya. saya pikir akan lebih bijaksana bila penyelenggara kegiatan menyiapkan rencana dengan bertanggungjawab dan bertanggungjawab pula bila ada sesuatu yang terjadi pada setiap peserta kegiatan.

Mungkinkah ada yang mau bersikap sejantan itu?

indi

Thursday, February 5, 2009

Iseng

Sebagai orang Jawa terutama kelahiran Surabaya, rasanya tidak sreg kalau tidak berbicara bahasa ibu serta menggunakan istilah-istilah kota kelahiran saya. Bahasa dan istilah Jawa 'Suroboyoan' berbeda dengan bahasa Jawa Jawa Tengah, karena lebih kasar, egaliter atau mengabaikan perbedaan status. Bahkan kata makian pun bisa menjadi berbeda makna sesuai konteksnya. Kata jan*** adalah makian yang kasar, tetapi menjadi sapaan yang hangat bila diucapkan bengan hangat kepada sahabat yang lama tak dijumpai.

Nah, saya mendapat surat elektronik (email) dari teman tentang kisah-kisah lucu berlatarbelakang budaya Suroboyoan. Saya sengaja menambahkan ke blog ini karena mungkin ini bisa menjadi penambah gambaran tentang gaya hodip orang Surabaya. Maaf kalau Anda tidak mengerti. Tetapi jika Anda ingin bertanya atau berkomentar saya persilakan---monggo---.

ASMUNI

Bunali lagi kulak sandal nang pasar.
Moro-moro onok arek marani Bunali.

"Lho sampeyan iki Asmuni Srimulat yo?"takok arek mau.
"Dhudhuk! Ngawur ae!" jarene Bunali.
"Ojo mbujuki aku tah. Sampeyan mesti Asmuni!" jarene arek mau ngeyel.

Bolak-balik Bunali negesno lek dheke dhudhuk Asmuni Srimulat, tapi arek mau tetep ae ngotot gak percoyo.
Ndhik endi ae Bunali ditututi ambek arek iku mau.

Mergo mangkel, akhire bunali ngiyakno, cik arek iku ndang ngalih.
"Yo wis tak akoni aku pancene Asmuni Srimulat!. Kate lapo kon!"
"Tapi kok gak mirip blas yo?" jare arek mau ambek nginclik.


SEMONGKO

Bunali lagi pusing soale kebon semongkone ben bengi dijarahi wong, padahal lagi wayahe panen.
Wis diakali macem-macem sik pancet ae akeh sing ilang.
Jarene wong sing nyolong iku Wonokairun, tapi Bunali gak wani nangkep.

Akhire Bunali nemokno cara cik malinge kapok.
Sore-sore sak durunge mulih, bunali masang papan peringatan sing ono tulisane ngene,"Awas!!! ati-ati nek arep nyolong, salah siji semongkoku iki wis tak suntik racun".

Mari ngitung semongkone sing mateng, kabeh onok limolas, bunali mulih.
Sisuke Bunali nyambangi kebone maneh, pas di ijir semongkone sik pancet limolas.
"Wah tibake malinge gocik, tak bujuki ambek pengumuman ae wis wedhi" pikire Bunali.

Mari ngono Bunali ndhelok papan pengumuman ambruk, wah paling ketiup angin, pikire Bunali maneh.

Pas diwalik, tibake papan pengumuman ditambahi tulisan ambek malinge,
"Awas!!! Saiki onok loro".


Wedhus

Bunali pethuk Wonokairun lagi angon wedhus.
"Mbah, waduh wedhuse sampeyan akeh yo?" jare Bunali.
"Yo lumayan" jare si Mbah.
"Piro kabehe , mbah?" takon Bunali maneh.
"Sing putih opo sing ireng? "
"Sing putih, wis "
"Selawe"
"Wik, cik akehe. Lha sing ireng? "
"Podho.... " jare Wonokairun ambek ngarit suket.
Bunali takon maneh.
"Mangan sukete yo akeh pisan, mbah.. "
"Yo... "
"Pirang kilo mangane sakdino? "
"Sing putih opo sing ireng? "
"Sing ireng, wis "
"Yo kiro-kiro limang kiloan"
"Lha sing putih? "
"Podho.... "
Bunali bingung, laopo lek ditakoki kok kudu mbedakno sing putih tah ireng, wong jawabane yo podho ae.
"Mbah, opoko lek tak takoni perkoro wedhusmu, sampeyan mesti leren takon sing putih tah sing ireng barang. Padahal masiyo putih utawa ireng, jawabanmu podho terus. Sakjane ngono onok opo? "
"Ngene lho, sing putih iku wedhusku.... "
"Lha sing ireng? "
"Podho.......... "


Njegur

Onok juragan tambak jenenge Sablah, ngadakno sayembara.
"Sopo ae sing wani njegur nang tambakku, bakal oleh hadiah Sepeda Motor " jare Sablah.
Akeh wong sing ngumpul ndhelok sayembarane, tapi gak onok sing wani njegur Nang tambak.
Masalae tambake isine dhudhuk Iwak, tapi boyo, nyambik, bajul lan sak panunggalane.
Mergo gak onok sing wani njegur, hadiae digenti dhadhi montor kijang anyar.
Tapi tetep ae gak onok sing wani njegor mergo merinding ndhelok boyone guedhe-guedhe mangap kabeh.
Akhire ambek Sablah hadiae ditambah maneh, montor kijang anyar ambek omah sak isine.
Tapi tetep ae gak onok sing wani njegur. Mari sepi meneng kuabeh, moro-moro Muntiyadi njegur nang tambak.
Penontone keplok-keplok kuabeh ndhelok Muntiyadi gelut ambek boyo.
Kiro-kiro wis sak jam, akhire Muntiyadi tampil sebagai pemenang.
Cumak yo ngono, awake dhedhel kuabeh.
Wis mari ambekan, Sablah marani arep nyerahno hadiae, tapi Muntiyadi nolak.
"Yo wis tak tambahi duit limangatus juta" jare Sablah, tapi Muntiyadi tetep nolak.
"Tak tambahi mas-masan sak kilo" jare Sablah maneh, Muntiyadi tetep gak gelem.
" Wis ngene ae, awakmu njaluk opo ae, tak turuti" jare Sablah gak gelem kalah.
"Aku njaluk arek sing njungkrakno aku mau digowo mrene" jare Muntiyadi.


ASI

Yuk Jah lungo nang dokter anak ambek nggendong bayek.
Gak sui yuk Jah diceluk mlebu, tibake doktere guanteng.
Mari merikso bayeke, doktere takok nang yuk Jah, "Ning, arek iki ngombe ASI opo susu botol? "
"ASI pak dokter..... " jare yuk Jah.
"Wah lek ngono tulung aku perlu merikso susu sampeyan, " jare doktere.
Yuk Jah nurut, klambine di bukak.
Mari ngono ambek doktere diperikso alon-alon.
Yuk Jah seneng ae, soale enak ambek doktere kan ganteng pisan.
Wis mari merikso, doktere ngomomg ngene, "Waduh ning, yo pantes bayek sampeyan kuru, wong sampeyan iku gak ndhuwe susu. "
Jare yuk Jah, "dhudhuk aku sing nyusoni pak dokter".
"Lha sopo maneh lho? " doktere bingung
"Aku iki ewange....... "

Kebon Semongko

Bunali pusing soale ben isuk ndhik kebon semongkone onok tembelek.
Sak jane Bunali weruh lek sing ndhodhok Nang kebone ben isuk iku Wonokairun, Cuma gak wani nyeneni.
Akhire Bunali Madang pengumuman sing tulisane ngene "ini kebunku, bukan WC mu!! "
Dhadhak tulisane onok sing ngganti ngene "Ini pupukku, untuk kebun mu!!!!!! "

Ngelindur

Muntiyadi turu ngeloni Romlah, bojone. Pas enak-enak turu, Romlah dhadhak ngelindur celuk-celuk pacare.
"Mas Gembil....aku kangen mas. Mas Gembil peluklah aku...... "
Krungu ngono Muntiyadi malih cemburu ngamuk-ngamuk gak karuan, Romlah langsung diseret nang jedhing.
"Hayo ngomongo!!!! Awakmu pengen pethuk ambek Gempil tah???!!, " jare Muntiyadi mbentak bojone.
"Iyo cak...... " jare Romlah.
Langsung sirahe Romlah didelepno nang banyune bak mandi, cik kapok pikire Muntiyadi.
Mari oleh sak menit Romlah gelagepen, ambek Muntiyadi sirahe diangkat terus ditakoni maneh.
" Wis saiki ngomongo maneh!!!awakmu sik pengen pethuk ambek Gempil tah???!!, "jare Muntiyadi maneh.
"Iyo cak..... " jare Romlah.
Langsung sirahe Romlah didelepno nang bak mandi luwih sui maneh, sik gak kapok ae arek iki pikire Muntiyadi.
Mari oleh rong menit Romlah gelagepen, ambek Muntiyadi sirahe diangkat terus ditakoni maneh.
"Hayo ngomongo maneh!!!awakmu sik pengen pethuk ambek Gempil tah???!!, " jare Muntiyadi maneh.
"Iyo cak........ " jare Romlah.
Muntiyadi tambah muntab. Pas arep didelepno nang banyu maneh, Romlah berontak terus takon nang Muntiyadi.
"Sik tah cak, sampeyan yakin tah lek mas Gempil onok nang jero banyu? "

Putus Asa

Sore-sore Muntiyadi jagongan ngelamun nang warung, pandangane kosong ambek tangane ngudek es teh.
Moro-moro Paidi, koncone, teko ngageti terus nyaut ngombene Muntiyadi diglogok sampek enthek, karepe ngejak guyon.
Muntiyadi nuangis gerung-gerung, koncone malih gupuh kabeh.
"Wok!!Kon iku jarene tentara tapi kok cik gembenge, ngombemu tak saut ae nangis, " jare Paidi.
"Sak dino iki apes thok uripku, " jare Muntiyadi.
"Lho opoko, mbok menowo aku isok nulungi, " jare Paidi.
"Isuk mau, aku dipecat mergo ngilangno bedhile komandan, " jare Muntiyadi.
"Walah ngono ae lho, laopo se dipikir. Awakmu lak dhempal tah, dadi bodyguard utowo preman pasar sik payu, " jare Paidi.
"Iku sik gak sepiro, mari dipecat, aku mulih gasik, pas sampek omah ndhadhak aku mergoki bojoku lahi indehoi ambek koncoku, " jare Muntiyadi.
" Wis gak usah dipikir. Bojomu lak pancen ngono kelakuane, pegaten ae, wong wedhok sik uakeh sing tahes komes, " jare Paidi.
"Iku sik gak sepiro. Aku wis putus asa, katene bunuh diri ae. Mari ngono aku tuku potas terus tak cambur es teh, bareng arep tak ombe dhadhak kon saut pisan. "

Malam Pertama

Cak Mar sik tas rabi, lenger-lenger nang pos hansip koyok wong liwung. Gak sui Cak So liwat.
"Mar, kon iku manten anyar gak tambah seger lha kok malah lungset nyaprut. Opoko kon iku Mar? "
"Iyo Cak, aku kepikiran bojoku. " are Cak Mar.
"Opoko bojomu iku, wong tak dhelok bojomu iku tahes ngono lho. " jare Cak So.
"Ngene lho Cak. Aku iki biasa 'njajan'. Lha pas mari main malam pertama wingi, aku ngetokno duit seketan. Pikirku, arek wedhok sing bodine koyok ngene paling banter taripe seket ewu. Aku luali pol tibake iku bojoku dhewe. "jare Cak Mar.
"Kon yo ngawur ae. Tapi wis gak usah dipikir nemen-nemen, paling bojomu tersinggung sedhiluk terus mari ngono yo kangen ambek peno maneh. "
"Aku kepikiran gak perkoro wedhi bojoku tersinggung" jare Cak Mar.
"Lha opo lho masalae? " Cak So malih bingung.
"Mari tak ke'i seket ewu, dhadhak aku disusuki selawe."

Wednesday, February 4, 2009

Anarkisme

Lakon Rama dan Sinta adalah salah satu kisah yang saya ingat betul waktu kecil, sejak bapak memperkenalkan epos Mahabharata di kisah pewayangan. Demikian pula kisah peperangan antara Pandawa dan Kurawa di Bharatayuda. Bagi saya, kedua kisah itu tidak hanya berbicara tentang yang bathil dan yang adil, tetapi juga menggambarkan kondisi abu-abu psikologis para tokohnya.

Sebut saja Sang Rama yang tidak memercayai kesucian Sang Sinta sehingga harus repot-repot membakar isterinya guna mencari pembuktian. Kesetiaan sang isteri dipertanyakan, dan pernyataan Trijata diabaikan karena alam pikiran sang raja diamuk kecemburuan.

Demikian halnya suasana hati Adipati Karna menjelang perang Bharatayuda di Padang Kurusetra. Sang Adipati merasa perlu tetap membela Kurawa yang ia ketahui bermandikan dusta, licik dan picik, hanya karena ia ingin menunjukkan betapa ia juga layak disebut ksatria keturunan Kunti, ibu para Pandawa, yang berani, teguh, percaya diri.

Dari kedua kisah itu pula saya mendapat gambaran penting bagaimana bersikap di tengah konflik. Ada Kumbakarna adik Rahwana, yang tidak mau membantu sang abang berbuat nista, tetapi ia rela mempertahankan negara saat diserbu pasukan kera. Lalu juga sikap Resi Bhisma, yang rela berjuang untuk Kurawa, karena terikat harga diri. Keduanya gugur dengan julukan pahlawan oleh kelompok 'putih', walau mereka membela kelompok yang bersalah. Keduanya menonjolkan sikap ksatria yaitu berani berbuat, berani pula bertanggungjawab.

Ingatan tentang kisah pewayangan dari tanah India itu seolah melekat pada kejadian di Sumatera Utara beberapa hari lalu. Saya tidak bisa membayangkan betapa ratusan orang memaksakan diri masuk ke dalam sidang paripurna DPRD memorakporandakan gedung yang dibangun dari uang pajak rakyat agar anggota dewan mendengar aspirasi mereka.

Lebih dari itu, atas nama nafsu dan amarah sekelompok orang memaksa ketua dewan yang terhormat, memukuli hingga akhirnya ia meninggal dunia. Saya membayangkan orang-orang itu bermata merah bak raksasa, gigi berkeriut, dan ludah memburai saat meneriakkan makian, sumpah serapah. Seolah Abdul Aziz Langkat, Ketua DPRD TK I Sumut bertanggung jawab sepenuhnya atas belum tuntasnya pembicaraan pembentukan Provinsi Tapanuli. Massa mungkin lupa, bahwa sang ketua dewan baru dua bulan menjabat.

Berada di tengah massa yang beringas, walau beberapa orang berusaha melindungi (hanya ada satu atau dua anggota polisi), Abdul Aziz Langkat menjadi bulan-bulanan pukulan. Gambar televisi dan foto menunjukkan sedikitnya dua pukulan mengenai wajahnya. Entah berapa lagi yang bersarang di tubuhnya. Entah pula apa yang ia alami saat ia ditarik dari dalam ruangan ke halaman gedung.

Massa bisa saja merasa benar saat beralasan mereka tengah memperjuangkan aspirasi masyarakat Tapanuli. Dapat dimengerti pula bila mereka mempertanyakan kelanjutan pembicaraan proses pemekaran itu, karena sudah dilakukan lebih dari setahun lalu.

Namun peristiwa itu menjadi jauh bedanya dengan kisah kepahlawanan Kumbakarna, Resi Bhisma yang berjuang tanpa niat apapun selain membela diri. Massa yang bertindak anarkis layak dipertanyakan alasan dan tujuannya. Mereka juga tidak ksatria karena tidak berada dalam posisi diserang, bahkan mereka menyerang orang yang tidak bisa membela diri atau bersenjata.

Dalam era reformasi rakyat Indonesia mendapat anugerah berupa kebebasan menyampaikan pendapat. Tidak ada Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang begitu berkuasa di era Soeharto, yang dapat menangkap dan menahan orang tanpa perintah pengadilan. Atau intel yang selalu memata-matai orang yang berkumpul.

Kebebasan ini diartikan sebagai sebuah hak yang bebas diekspresikan untuk apa saja, kepada siapa saja dan di mana saja (terutama di gedung dewan atau rumah para wakil rakyat). Itu sebabnya sering dijumpai aksi massa yang berujung pada anarkisme.

Rekan saya Indy Rahmawaty bertanya ketika kamera sedang "on" kepada saya, dapatkah tindakan brutal massa propemekaran Provinsi Tapanuli disebut sebagai tindakan barbar? Saya langsung menjawab, ya. Itu tindakan barbar. Tanpa ada pustaka yang mendukung definisi apa itu tindakan barbar, saya merasa benar menyatakan hal tersebut. Alasan saya, orang berpendidikan (ada di antara massa yang mantan anggota dewan serta mahasiswa) akan mengedepankan akal bukan 'okol' atau otot dan nafsu.

Rahwana adalah wakil citra orang yang menggunakan otot dan nafsu tanpa akal sehat. Demikian pula wangsa Kurawa yang ngiler melihat daerah kekuasaan Pandawa serta Burisrawa yang bernafsu melihat kecantikan Dewi Drupadi istri para Pandawa. Seluruh citra itu seolah melekat pada massa propemekaran Provinsi Tapanuli. Padahal saya yakin, masih ada di antara mereka yang bisa berpikir jernih dan bersikap demokrat.

Janganlah cederai demokrasi dengan anarkisme, karena terlalu mahal harganya.

indi