Wednesday, February 4, 2009

Anarkisme

Lakon Rama dan Sinta adalah salah satu kisah yang saya ingat betul waktu kecil, sejak bapak memperkenalkan epos Mahabharata di kisah pewayangan. Demikian pula kisah peperangan antara Pandawa dan Kurawa di Bharatayuda. Bagi saya, kedua kisah itu tidak hanya berbicara tentang yang bathil dan yang adil, tetapi juga menggambarkan kondisi abu-abu psikologis para tokohnya.

Sebut saja Sang Rama yang tidak memercayai kesucian Sang Sinta sehingga harus repot-repot membakar isterinya guna mencari pembuktian. Kesetiaan sang isteri dipertanyakan, dan pernyataan Trijata diabaikan karena alam pikiran sang raja diamuk kecemburuan.

Demikian halnya suasana hati Adipati Karna menjelang perang Bharatayuda di Padang Kurusetra. Sang Adipati merasa perlu tetap membela Kurawa yang ia ketahui bermandikan dusta, licik dan picik, hanya karena ia ingin menunjukkan betapa ia juga layak disebut ksatria keturunan Kunti, ibu para Pandawa, yang berani, teguh, percaya diri.

Dari kedua kisah itu pula saya mendapat gambaran penting bagaimana bersikap di tengah konflik. Ada Kumbakarna adik Rahwana, yang tidak mau membantu sang abang berbuat nista, tetapi ia rela mempertahankan negara saat diserbu pasukan kera. Lalu juga sikap Resi Bhisma, yang rela berjuang untuk Kurawa, karena terikat harga diri. Keduanya gugur dengan julukan pahlawan oleh kelompok 'putih', walau mereka membela kelompok yang bersalah. Keduanya menonjolkan sikap ksatria yaitu berani berbuat, berani pula bertanggungjawab.

Ingatan tentang kisah pewayangan dari tanah India itu seolah melekat pada kejadian di Sumatera Utara beberapa hari lalu. Saya tidak bisa membayangkan betapa ratusan orang memaksakan diri masuk ke dalam sidang paripurna DPRD memorakporandakan gedung yang dibangun dari uang pajak rakyat agar anggota dewan mendengar aspirasi mereka.

Lebih dari itu, atas nama nafsu dan amarah sekelompok orang memaksa ketua dewan yang terhormat, memukuli hingga akhirnya ia meninggal dunia. Saya membayangkan orang-orang itu bermata merah bak raksasa, gigi berkeriut, dan ludah memburai saat meneriakkan makian, sumpah serapah. Seolah Abdul Aziz Langkat, Ketua DPRD TK I Sumut bertanggung jawab sepenuhnya atas belum tuntasnya pembicaraan pembentukan Provinsi Tapanuli. Massa mungkin lupa, bahwa sang ketua dewan baru dua bulan menjabat.

Berada di tengah massa yang beringas, walau beberapa orang berusaha melindungi (hanya ada satu atau dua anggota polisi), Abdul Aziz Langkat menjadi bulan-bulanan pukulan. Gambar televisi dan foto menunjukkan sedikitnya dua pukulan mengenai wajahnya. Entah berapa lagi yang bersarang di tubuhnya. Entah pula apa yang ia alami saat ia ditarik dari dalam ruangan ke halaman gedung.

Massa bisa saja merasa benar saat beralasan mereka tengah memperjuangkan aspirasi masyarakat Tapanuli. Dapat dimengerti pula bila mereka mempertanyakan kelanjutan pembicaraan proses pemekaran itu, karena sudah dilakukan lebih dari setahun lalu.

Namun peristiwa itu menjadi jauh bedanya dengan kisah kepahlawanan Kumbakarna, Resi Bhisma yang berjuang tanpa niat apapun selain membela diri. Massa yang bertindak anarkis layak dipertanyakan alasan dan tujuannya. Mereka juga tidak ksatria karena tidak berada dalam posisi diserang, bahkan mereka menyerang orang yang tidak bisa membela diri atau bersenjata.

Dalam era reformasi rakyat Indonesia mendapat anugerah berupa kebebasan menyampaikan pendapat. Tidak ada Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang begitu berkuasa di era Soeharto, yang dapat menangkap dan menahan orang tanpa perintah pengadilan. Atau intel yang selalu memata-matai orang yang berkumpul.

Kebebasan ini diartikan sebagai sebuah hak yang bebas diekspresikan untuk apa saja, kepada siapa saja dan di mana saja (terutama di gedung dewan atau rumah para wakil rakyat). Itu sebabnya sering dijumpai aksi massa yang berujung pada anarkisme.

Rekan saya Indy Rahmawaty bertanya ketika kamera sedang "on" kepada saya, dapatkah tindakan brutal massa propemekaran Provinsi Tapanuli disebut sebagai tindakan barbar? Saya langsung menjawab, ya. Itu tindakan barbar. Tanpa ada pustaka yang mendukung definisi apa itu tindakan barbar, saya merasa benar menyatakan hal tersebut. Alasan saya, orang berpendidikan (ada di antara massa yang mantan anggota dewan serta mahasiswa) akan mengedepankan akal bukan 'okol' atau otot dan nafsu.

Rahwana adalah wakil citra orang yang menggunakan otot dan nafsu tanpa akal sehat. Demikian pula wangsa Kurawa yang ngiler melihat daerah kekuasaan Pandawa serta Burisrawa yang bernafsu melihat kecantikan Dewi Drupadi istri para Pandawa. Seluruh citra itu seolah melekat pada massa propemekaran Provinsi Tapanuli. Padahal saya yakin, masih ada di antara mereka yang bisa berpikir jernih dan bersikap demokrat.

Janganlah cederai demokrasi dengan anarkisme, karena terlalu mahal harganya.

indi

1 comment:

bergerak said...

saya dan istri paling senang kalau pas muncul di tv. Jangan salah sangka, bukan karena gantenya, sama sekali bukan. tetapi ngomonge enak. mBanyol, tetep dalam jalur etika, maka tampak cerdas dan lugas.
Sialnya juga mungkin pada kampunge.

Boleh nggak tulisan anda tak kutip dalam blog saya ?

blog saya tukijantaruno.blogspot.com

terima kasih.