Friday, April 17, 2009

Berwisata atau Off Road?

Memang agak basi saya pengalaman saya ini, karena dua hal yang saya kerjakan yang akan saya ceritakan berikut sudah berlangsung seminggu dan dua minggu sebelumnya. hanya saja kalau tidak saya ceritakan, kok ada yang ngganjel.

Minggu lalu, usai membanting tulang, begadang dan memeras otak untuk menjalankan program Pemilu Indonesia selama dua hari, saya sekeluarga ikut berkemah bersama rekan-rekan segereja di kawasan wisata Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.

Anak sulung saya sudah jalan lebih dahulu, jadi kami hanya berangkat bertiga: saya, istri dan si bungsu. Memulai perjalanan dengan kepala sakit, karena kurang tidur selama beberapa hari membuat perjalanan tidak cukup nyaman. Lalu lintas pagi itu yang relatif lengang tidak menolong mencerahkan "mood" saya. Menurut hitung-hitungan kilometer jarak antara BSD dan Gunung Bunder yang hanya sekitar 50 kilometer seharusnya membuat ringan "beban" itu.

Apa lacur, yang kami temui selama perjalanan adalah betapa buruknya infrastruktur jalan kita. Selepas BSD yang relatif nyaman, kami harus berhadapan dengan jalan rusak di Ciseeng (pasti jarang Anda dengar nama itu). Jalan itu seharusnya menjadi jalan pintas ke daerah Parung. Namun nyatanya, lubang berdiameter sekitar 1 meter sedalam lebih dari 10 cm membentang berkilometer. Guna menutupnya, batu dan kerikil disebar, tetapi terkesan seadanya.

Berjalan perlahan adalah sebuah keterpaksaan untuk mencegah ketidaknyamanan dan kerusakan kendaraan kami. Akibatnya kami beringsut perlahan. Kondisi Parung jauh lebih baik. Jalan-jalan mulus dan lebar memudahkan kami bergerak hingga selepas Kampus IPB di Dramaga. Kemudian beberapa kilometer sesudahnya kami bergerak ke kiri menuju Gunung Bunder melalui Cibatok. Mungkin karena sesama ci, seperti Ciseeng, daerah ini pun serupa. Jalan sempit, berlubang, dan bersaing dengan angkot itulah kenyataannya.

Total kami harus menempuh sekitar 3 (tiga) jam untuk ke kawasan Gunung Bunder. Rasanya kepala saya bertambah sakit setelah menyetir sekian lama.

Pengalaman dengan jalan rusak juga saya alami dua minggu sebelumnya. Dengan alasan baru perlu penyegaran setelah ujian tengah semester, saya mengajak keluarga berlibur ke pantai. Tujuan kami adalah Pantai Carita untuk bermain ombak laut. Hmmm, terbayang segarnya udara pantai, makan ikan bakar, berenang dan berselancar. Endang bambang gulindang.

Sabtu petang, kami meluncur. Hati senang membuat lalu lintas jalan tol Tangerang-Cilegon yang padat truk tak terasa. Justru kedongkolan timbul setelah melewati Cilegon memasuki Anyer. Jalan rusak membentang!

Rasanya pada kunjungan sebelum itu beberapa bulan sebelumnya, jalan di kawasan itu memang berlubang, tetapi masih dapat ditolerir. Kali ini tidak. Puluhan kilometer jarak dari kawasan industri Cilegon sampai pantai Carita, hampir tidak ada jalan mulus. Mungkin saya membesar-besarkan hal itu, tetapi itu ekspresi kedongkolan saya.

Dua kenyataan itu membuat saya "gumun", heran. Saya heran dengan petinggi negara ini. Antara ucapan dan tindakan di lapangan hampir tidak ada kesesuaian. Pejabat Departemen Pariwisata sudah mencanangkan Visit Indonesia Year 2009. Pejabat Daerah menyatakan sudah menjual potensi wisata di daerah masing-masing. para petinggi negeri mengakui wisata adalah sumber devisa potensial bagi negara. Tapi mana? Bagaimana mungkin menjual obyek wisata tanpa membenahi infrastruktur. Apakah wisatawan mau berkunjung bila perjalanan menuju daerah itu tidak nyaman? Mana jalan yang baik, yang katanya akan dibuat dari uang pajak masyarakat. Mana?

Saya teringat bencana Situ Gintung Tangerang, Banten akhir bulan lalu. Nyata-nyata persoalan infrastruktur bendungan terlibat di sana. Saling lempar tanggung jawab. Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Provinsi tidak membuat infrastruktur yang baik, aman dan nyaman bagi penduduk negeri yang sudah membayar pajak ini.

Kalau yang berhubungan langsung dengan nyawa manusia saja pemerintah ini lalai, bagaimana pula yang tidak secara langsung seperti pembuatan dan perbaikan jalan? Sampai kapan kita memiliki pejabat yang memerhatikan kebutuhan hajat hidup orang banyak?

Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang (kata Ebiet G. Ade).

Thursday, April 9, 2009

Pusingggg!!!!

Arti kata ini menyerang saya begitu saya membuka lembaran-lembaran kertas suara. Setelah berangkat ke TPS di sebelah rumah menjadi sebuah perjuangan tersendiri bagi saya, memberikan hak suara ternyata adalah sebuah masalah baru. Alhasil bisa saja pilihan atau contrengan saya bukanlah hasil pemikiran terbaik. Mengapa begitu? Begini...

Selepas menjalankan tugas di Wisma Nusantara selama dua setengah jam pagi itu 9 April, dengan gagah berani saya memutuskan untuk pulang dan memenuhi imbauan KPU. Padahal jarak rumah saya di BSD, Tangerang ke Wisma Nusantara di Bundaran HI, Jakarta sekitar 30 km. Lumayan membuat pegal kaki dan pinggang selama perjalanan. Jadi pagi itu saja, saya sudah menempuh 60 km dan empat jam total di luar rumah.

Pikiran saya hanya satu saat itu; begitu banyak orang kehilangan hak pilih mereka karena tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jadi, saya yang beruntung ini berpikir mengapa tidak ikut memberikan suara.

Dalam setiap kesempatan kami membicarakan betapa mudahnya mencontreng. Tinggal buka, pilih nama, contreng, lipat, dan celup jari ke tinta. Beres. Di bilik suara, ternyata saya menemukan kenyataan yang berbeda.

Semangat saya seketika luluh, saat membuka lembar demi lembar surat suara. Deretan nama partai dan nama caleg membuat saya pusing. Siapa mereka? Apa janji mereka untuk saya? Bagaimana menguji integritas mereka? Bagaimana menagih janji mereka? Itu adalah daftar pertanyaan saya, yang tidak bisa saya tanyakan. Selain mereka tidak di depan saya, saya pun tidak pernah mendengar atau melihat langsung wajah, ucapan dan tindak tanduk mereka. Pusing!

Untuk beberapa saat, saya hanya membolak-balik kertas tanpa dapat memutuskan nama yang akan saya contreng. Sebelumnya sempat terlintas keinginan untuk golput alias tidak ingin memilih, tetapi rasanya kok tidak enak. Tapi masalahnya, saya tidak tahu mereka.

Dan tahukah Anda apa yang saya lakukan? Saya memilih nama seorang artis untuk caleg DPR RI, nama yang terkesan akrab untuk DPRD provinsi dan kota, serta nama seorang mantan pejabat pemberantas korupsi untuk DPD. Seperti saya sampaikan sebelumnya, itu bukanlah pilihan terbaik, tetapi daripada saya menghabiskan waktu berlama-lama di bilik suara rasanya itu adalah pilihan terbaik di antara yang buruk.

Walaupun begitu, beban saya terasa lebih ringan, karena saya melaksanakan aktifitas yang saya dengungkan berulang-ulang. Saya tidak ingin terkesan berkhianat dengan menyatakan Pemilu adalah sebuah pesta demokrasi, tetapi tidak memberikan suara. Buktinya di jari kelingking saya ada warna ungu tinta yang sudah memudar hanya dalam waktu 24 jam (sepertinya lebih cepat daripada tinta pemilu tahun 2004).

indi