Thursday, August 26, 2010

Pengalaman Suara Keadilan

Ada beberapa keuntungan besar setelah saya pegang program Suara Keadilan, yang tayang setiap Selasa pk 19.30-20.30 WIB (jangan lupa tvOne ya).

Pertama: Saya berhadapan dan berbincang dengan orang-orang yang tersisih. Merasakan kesulitan dan beban mereka, saya diingatkan untuk dapat berbuat lebih pada sekeliling. Terutama yang berkekurangan dan tidak beruntung. lebih dari itu, saya terpanggil untuk membantu melalui profesi ini. Sebut saja ibu Lely, yang 12 tahun tak berhasil mengurus pensiun suaminya sejak ia wafat tahun 1998. Perempuan sepuh itu harus menghidupi tiga putranya seorang diri, tanpa pemasukan lain. Usahanya mengurus pensiun itu selalu gagal dengan berbagai alasan. Surat yang dikirimkan ke atasan suaminya, menteri di departemennya, bahkan presiden tak berjawab. Untunglah setelah tayangan tersebut, sebuah jawaban dari PT Taspen datang. Semoga pekerjaan Suara Keadilan bermanfaat.

Kedua: Banyak kasus terjadi di luar Jakarta. Akibatnya saya berkeliling terus. Setidaknya seminggu 2 atau 3 hari keluar kota. Perjalanan itu membawa pengalaman luar biasa. Salah satunya adalah mengetahui betapa luasnya, beragamnya dan jauhnya perbedaan kota yang saya kunjungi dengan Indonesia.

Pengalaman menarik pertama di kota Sukabumi. Kota yang hanya berjarak sekitar 100 kilo meter dari Jakarta itu menunjukkan betapa tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Jalanan sempit, macet, berlubang. Apalagi yang menuju tempat liputan. Hanya bertatahkan batu2an besar, berlumpur, minim penerangan, menanjak dan berliku.

Pengalaman menarik kedua adalah kota Purwokerto. Saya menemukan kedamaian di kota ini. Walaupun perjalanan ke kota itu melalui jalur selatan melelahkan dan menjemukan, praktis semua itu hilang saat merasakan hawa sejuk dan ketenangan kota. Ramai tapi tidak terlalu macet, dan banyak makanan yang enak.

Kota ketiga adalah Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Saya membayangkan yang namanya ibu kota provinsi pasti tumbuh besar penuh fasilitas dan keramaian, karena tingkat perekonomian baik. Tapi saya lupa. Ini bukan di Jawa. Kendari sudah lebih jauh dari Jakarta. Akibatnya akses menuju kemodernan kian sulit. Kota ini indah. Di kota tua ada sebuah dataran tinggi yang langsung berhadapan dengan pelabuhan. Tapi ada daya, keindahan itu tak tersingkap sepenuhnya. Bahkan ada permukiman di tengah kota, yang aksesnya harus melalui jalan setapak, licin, dan mendaki. Sulit ditempuh. Motor pun tidak mudah memasukinya. Padahal di tempat itu sedikitnya ada beberapa belas rumah.

Sekali lagi, saya pikir inilah sebuah bentuk ketidakadilan. Saya yang tinggal di ibu kota negara dengan mudah melakukan banyak hal. Begitu mudah pergi ke banyak tempat. Namun kemudahan itu tak didapat saudara-saudara saya di luar Jakarta.

Salam keadilan

Wednesday, August 4, 2010

Tempat Berkesan

Dari sekian banyak tempat yang pernah saya kunjungi, ada dua lokasi yang paling saya ingat. Memori saya terisi penuh dengan hal-hal khas dari kedua tempat itu. Yang pertama adalah Seattle, AS dan kedua Sindangraja di Sukabumi, Jawa Barat.

Bukan karena di luar negeri atau di Amerika, kota Seattle menjadi pilihan pertama tempat favorit saya. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk mendukung pilihan itu. Setiap mengunjungi sebuah daerah asing, terutama untuk jangka panjang, saya menyempatkan diri berkeliling, baik dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.

Walaupun hampir 4 tahun lalu, rasanya seperti baru kemarin saya mengunjungi kota Seattle. Setiap sudut kota mudah terbayang di benak. Cuacanya yang sejuk (walaupun masuk musim gugur yang biasanya dapat menggigilkan saya jika di negara empat musim lainnya) memudahkan saya berjalan di waktu malam atau dini hari.

Ya, saya senang menelusuri jalan-jalannya yang berbukit. Kota itu tidak besar (dibanding Surabaya bahkan), sehingga dengan berjalan kaki pun dengan mudah sudut-sudut kota terjangkau. Dalam satu pandangan, kita bisa melihat pegunungan, laut (tepatnya teluk) dan dataran. Three in one.

Salah satu tujuan favorit saya adalah pasar ikan. Hoho, jangan pikir ini seperti pasar ikan atau tempat pelelangan ikan di Indonesia. Jauh! Bersih lorong-lorongnya, tanpa bau amis pula. Bahkan yang paling seru, beberapa pedagang menawarkan dagangan berupa ikan segar atau hewan laut lainnya dengan gaya yang atraktif. Baik dengan gerak tubuh ataupun dengan teriakan-teriakan yang mengundang.

Belum lagi ada obyek wisata yang mengingatkan saya pada film romantik Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan; namanya The Needle. Bentuknya seperti menara TVRI di Senayan, tetapi lebih tinggi dan cara melihatnya adalah dari perbukitan. Indah.

Yang juga tak terlupakan adalah desa Indian bernama Tilicum Village. Tempat ini dicapai dengan menggunakan ferry penyeberangan selama sekitar 30 menit. Sebetulnya yang tersisa hanyalah karya masa lalu berupa barang-barang lawas dan diorama, tetapi pengunjung dapat membayangkan kejadian masa lalu itu melalui sebuah sandiwara di panggung dengan tata cahaya dan suara yang lumayan untuk kelas pertunjukan biasa. Hebatnya turis menikmati itu sambil makan-makanan khas Indian dan salmon panggang yang nikmat dan all you can eat. Saya sampai tambah dua kali makan salmon itu, karena endang bambang (enak banget).

Lalu bagaimana dengan tempat di Indonesia?

Banyak tempat bagus di tanah air beta. Namun untuk terbilang berkesan harus ada yang menyentuh perasaan. Nah yang itu baru saja saya rasakan ketika saya dan teman-teman menggarap program Suara Keadilan akhir Juli 2010. Tempatnya relatif dekat saja dengan Jakarta, yaitu Sukabumi. Namun jangan salah, ini bukan kota Sukabumi, tetapi di sebuah desa bernama Sindangraja.

Sebelumnya, produser saya hanya menyatakan tempatnya 15 km dari Sukabumi. Tidak jauh saya pikir. Tetapi ia menambahkan, bahwa perjalanan itu menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Lho. Hati ini jadi bertanya-tanya atas informasi itu.

Faktanya: buseettt.

Dari Sukabumi setelah makan mie ayam sehat buatan istri saya, kami berkendara dulu sekitar 30 km dengan jalan menanjak dan berkelok. Jalan itu sempit dengan aspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Setiap berpapasan dengan mobil lain semuanya harus melambatkan kendaraan dan berhati-hati melintas jika tidak ingin senggolan atau masuk jurang.

Nah di sebuah kawasan kebun teh, pergantian kendaraan dilakukan. Kami tinggalkan mobil yang kami gunakan dari Jakarta dengan sebuah LandRover tahun 1980. Kokoh. Tangguh. Pengendaranya adalah kontributor kami di Sukabumi. Di situlah ia membuka alasan mengapa kendaraan berpenggerak 4 roda diperlukan. Yaitu berbatu, menanjak dengan kemiringan tajam, sempit dan kadang berlumpur. Dari tempat itu hingga Sindangraja tujuan kami jaraknya 15 km. Itulah jarak yang disampaikan rekan saya. Wah bonus yang 30 km tadi itu, pikir saya.

Lalu dimulailah perjalanan yang mengesankan itu.

Terik matahari siang kalah oleh sejuknya udara. Namun hati ini deg-degan ketika mobil mulai bergerak. Bahkan pada 100 meter pertama. Lebar jalan hanya untuk 1 mobil, batu-batu sebagai landasan jalan berukuran minimal sebesar bola kaki menikung ke kiri dan ke kanan. Di beberapa bagian, sang pilot LandRover harus berhenti untuk berancang-ancang sebelum melintasi kubangan lumpur atau tanjakan berkemiringan sekitar 45 derajat (atau kurang ya? Pokoknya miring banget deh).

Praktis keindahan kebun teh milik Goal Para (kata pak kades setempat pada suatu kesempatan) terabaikan. Kami semua harus berpegangan di dinding mobil jika tidak ingin terjatuh dari tempat duduk akibat guncangan mobil.

Sekitar satu jam perjalanan itu kami tempuh dengan gerakan tak keruan tanpa henti. Hingga akhirnya kami sampai tujuan di desa yang dimaksud. Anda bisa bayangkan perjalanan kami turun dari tempat itu setelah urusan liputan selesai. Mungkin analoginya seperti naik rodeo di atas seekor kuda gila yang mabuk dan seorang kejam melecuti kuda itu dengan semena-mena.

Perjalanan yang mengesankan, karena itu adalah bagian negara saya. Warga desa Sindangraja pasti harus bersusahpayah jika harus mengurus kegiatan mereka ke kota besar; ke rumah sakit, berbelanja atau sekolah. Di sana baru ada sebuah sekolah dasar, sehingga untuk pendidikan lanjut para remaja harus memiliki punggung, pinggang dan pantat baja melawan guncangan di jalan.

Ya Tuhan, betapa dua tempat seperti kutub itulah yang saya ingat. Pertama karena kenyamanannya dan kedua karena ketidaknyamanannya. Yang pertama saya ingin kunjungi atau bahkan saya tinggali, tetapi yang kedua, di negara sendiri, saya tidak ingin ke sana lagi selama infrastrukturnya masih seperti itu.