Tuesday, December 22, 2009

Tahun Baru Tahun Berinvestasi

Ada pertanyaan penting, namun terdengar klise di setiap penghujung tahun, yaitu: Apa yang akan Anda buat di tahun depan? Klise, karena banyak orang menanyakan dan membicarakannya di sekitar bulan November dan Desember. Keluarga, teman, kekasih, bisa muncul dengan pertanyaan itu. Penting, karena itulah gambaran atau mungkin resolusi yang akan kita kerjakan di tahun depan.

Lalu bagaimana jawabannya? Saya bayangkan jawabannya bisa berlembar-lembar kertas folio atau bahkan berhari-hari bicara. Tergantung Anda ingin melakukan apa. Namun saya membayangkan ada hal spesifik yang bisa saya sarankan. Melihat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan, tantangan mendatang dan kecenderungan untuk selalu bergerak maju, maka saya mengusulkan INVESTASI sebagai rencana di tahun depan.

Investasi=uang? Ya dan tidak.

Ya, karena hampir semua kegiatan kita berhubungan dengan atau membutuhkan uang. Pakaian yang baik untuk bekerja atau bersosialisasi perlu dibeli. Kendaraan untuk memperlancar bisnis perlu uang untuk dibeli atau diservis. Itu semua investasi agar kegiatan kita terkelola dengan lebih baik. Ya, investasi butuh uang. Tentu saja uang untuk ditanamkan di pengembangan bisnis, pasar saham, pasar uang dsb. Itu pasti juga investasi.

Namun ada investasi yang tidak butuh uang, yaitu kesehatan. Seberarapun kemampuan finansial Anda, tak akan mampu berkembang atau dinikmati tanpa tubuh yang sehat. Penyakit adalah salah satu momok dalam kehidupan manusia. Ribuan tahun manusia memerangi penyakit, mencari obat, vaksin, dan penawar agar kehidupan lebih bermakna.

Faktanya, penyakit tak juga hilang, bahkan kalau dapat saya sebut berkembang baik jenis maupun kualitasnya. Sebut saja flu babi, TBC, dan AIDS. Belum termasuk penyakit yang timbul akibat pola hidup dan penuaan usia.

Investasi di bidang kesehatan sesungguhnya hampir tidak membutuhkan uang. Anda cukup menerapkan pola hidup yang seimbang. Bangun pagi-pagi, hiruplah udara segar, berolahraga, minum air putih (beli juga sih, tapi murah kan?), makan-makanan bergizi (boleh sederhana, tetapi gak perlu yang mahal), bekerja tanpa stress, dan tidur yang cukup (jangan begadang kata Rhoma Irama jika tidak penting banget). Apalagi kalau tidak pakai rokok dan alkohol. Hmmmm.
Investasi murah, tetapi menjadi landasan investasi lanjutan maupun beraktifitas di tahun baru.

Jika keduanya digabungkan, maka yang kita dapatkan adalah hidup senang, sehat dan panjang umur. Bagaimana?

Monday, November 16, 2009

Iklim

Hujan deras bertubi-tubi mengguyur Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu terakhir. Kawasan tempat kami tinggal di Barat Jakarta sedikitnya sudah tiga kali diterpa angin kencang dan hujan lebat. Sejumlah pohon dan papan reklame bertumbangan. Untung saja (mudah-mudahan betul-betul untung) belum ada laporan rumah yang roboh.

Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.

Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.

Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.

Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.

Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.

Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.

Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.

Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.

Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.

Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.

Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.

indi

Thursday, November 12, 2009

Sao Paulo

Matahari terik, tetapi suhu udara tak lebih dari 25 derajat Celcius. Mobil ber-CC kecil dan sedang bergerak teratur, dengan kecepatan sedang dalam rangkaian panjang. Di sebelah kiri jalan, dalam jalur yang tetap bis kota berjalan rapi. Tak ada asap hitam mengepul dari knalpot. Orang-orang bergerombol di halte, bukan di perempatan jalan. Tertib.

Itulah gambaran sekilas kondisi lalu lintas kota Sao Paulo, salah satu kota besar di Brasil, selain Rio de Janeiro dan Brasilia ibukota negara itu.

Berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, membuat kota itu berpotensi pada berbagai masalah sosial seperti Jakarta, terutama kemacetan. Tetapi empat hari di kota itu pada awal November, tidak membuat saya risau dengan transportasi. Bahkan pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, lalu lintas yang padat tidak membuat kota itu terisi kemacetan. Kendaraan yang saya tumpangi masih dapat berjalan di antrian. Tidak berhenti kecuali di lampu merah.

Kesimpulan saya mungkin terlalu cepat, karena hanya empat hari mengamati. Namun demikian, praktis saya tidak menemui hambatan bergerak di jalan-jalan di kota itu, walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung kota ke ujung lainnya.

Dari pengamatan singkat itu saya menyimpulkan juga beberapa hal yang membuat kemacetan menjadi barang langka.
Pertama: manajemen kota yang tidak meletakkan pusat perdagangan dan aktifitas massal lainnya di satu atau dua titik. Saya menemukan paling tidak ada 5 titik aktifitas utama berupa perkantoran, mal, pusat perdagangan dan hiburan yang tersebar di berbagai sudut kota. Dengan itu berarti warga Sao Paulo tidak perlu berbondong-bondong ke satu titik untuk beraktifitas. Bandingkan dengan Jl. Sudirman, dan Thamrin di Jkt atau Jalan Basuki Rahmat di Surabaya. Terbayang kan macetnya bila jam-jam sibuk?

Kedua: manajemen transportasi, yang mengandalkan angkutan massal berupa bis dan metro. Jalur bis dan metro yang tersedia ke berbagai penjuru kota memudahkan warga kota hilir mudik. Tanpa angkot dan metro mini yang bikin macet plus menyebarkan gas buangan dengan semena-mena.

Ketiga: sikap dan tingkah laku pengemudi. Rasanya saya harus belajar kesabaran dan disiplin pada kota Sao Paulo. Saya tidak pernah melihat satupun kendaraan yang saling serobot atau keluar jalur yang tersedia. Tidak ada jalan yang diciptakan hanya dua jalur, kemudian menjadi tiga jalur kendaraan saat jam-jam sibuk. Teratur orang bergerak pada jalurnya, walau kondisi padat sekalipun. Klakson pun jarang terdengar dari kendaraan yang meminta jalan. Kebetulan pula, sepeda motor, dapat dihitung dengan jari. Alhasil, semua pasti bergerak walau perlahan.

Kembali ke Jakarta, saya tetap mencintai negeri ini. Hanya saja, saya membayangkan kapankah waktunya ibukota ini ramah tidak hanya lingkungan tetapi juga pengguna jalan.

MRT atau mass rapid transport atau alat transportasi massal memang sudah didengang-dengungkan bertahun-tahun lalu oleh otoritas Jakarta. Tetapi baru bus trans-Jakarta yang berjalan. Itupun belum semua koridor terlayani. Kereta atau metro dalam kota pun baru tiang-tiangnya yang berdiri dan kini besinya berkarat termakan cuaca. Jumlah kendaraan terutama sepeda motor bertambah dengan cepat tidak sebanding dengan panjang dan jumlah jalan.

Hemmmm...

Andaikan kota ini seperti Sao Paulo, mungkin saja penduduknya akan lebih hebat bermain sepakbola dari tim Samba dan lebih cantik dan ganteng daripada pemain sinetron telenovela.

Andaikan....


indi

Tuesday, September 29, 2009

Menghargai Hidup

Kisah ini sebenarnya terjadi sebelum Lebaran lalu, tetapi rasanya baru kemarin saya alami dan ingin saya bagikan pada semua orang. Pengalaman ini semoga membuat saya lebih bijaksana dan menghargai betapa berharganya hidup itu.

Di suatu Rabu malam, sepulang siaran Debat saya mengalami kejadian ini. Bermobil di jalan yang hampir lengang di Jakarta, saat sebagian besar umat Muslim bertarawih, adalah saat yang menyenangkan bagi penggemar kecepatan. Hampir sepanjang jalan dari kawasan Cawang, Jaktim hingga Tangerang, saya bisa menekan gas mobil 1500 cc hingga speedometer berkisar di angka 140 km/jam.

Saya membayangkan angka itu bisa lebih besar lagi bila yang saya kendarai adalah mobil bertenaga besar. Apalagi udara malam terasa sangat segar menyeruak dari jendela mobil yang saya buka separuh. Mata yang lelah seharian diajak melek dan membaca ikut berkonsentrasi menyerap informasi di jalanan yang berganti dengan cepat.

Dalam waktu kurang dari 30 menit, saya hampir tiba di kawasan BSD (biasanya saya tempuh hampir 1 jam). Keluar dari jalan tol Pondok Aren-BSD, saya tidak juga mengurangi kecepatan. Bahkan saat ada sebuah sepeda motor "memberi perlawanan" saya salip dengan gagah perkasa.

Namun, saya tak menyadari bahaya yang menunggu di muka.

Jalan itu sepi, menikung, dan agak gelap. Di kiri-kanannya terdapat beberapa warung makan yang sudah tutup, karena hari telah malam. Hanya sebuah restoran Padang yang buka 24 jam, yang masih beroperasi. Itu pun dengan penerangan yang tidak cukup untuk menerangi seluruh kawasan.

Situasi ini membuat saya tetap menekan pedal gas dalam-dalam, walau rumah hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Apalagi perasaan hangat masih terasa, saat meninggalkan sang motor yang tidak juga mau mengalah.

Apa lacur, dengan kecepatan sekitar 100 km per jam, saya harus menghadapi sebuah sepeda motor, yang memotong jalan. Dalam hitungan detik, saya melihat ada tiga orang di atas motor tersebut. Tanpa lampu, dan tanpa helm, melintas pelan mengabaikan kondisi jalan.

Saya sadar konsekuensinya bila saya tidak segera mengambil keputusan drastis. Nyawa adalah taruhannya.

Lampu besar saya mainkan. Tidak ada perubahan laju motor tersebut. Klakson saya tekan keras-keras menandai sebuah kendaraan berlalu dengan cepat memohon jalan. Tak ada reaksi. Refleks, saya membuang kemudi ke kanan menghindari benturan.

Berhasil!

Ah, tidak!

Rasanya putaran kemudi saya begitu ekstrim untuk menghindari tabrakan, tetapi laju mobil yang kencang membuat bagian belakang masih memiliki momentum dan...brak!

Benturan. Gesekan. Suara keras. Sambil berusaha menguasai olengnya mobil, saya berpikir. Mati! Ketiga orang itu mati!

Ketika mobil stabil, saya segera menepikan mobil. Orang-orang berdatangan, karena mereka pasti mendengar suara klakson, decitan rem dan ban, serta suara benturan.

Entah kenapa, saya merasa tenang. Tidak gugup, tetapi juga tidak khawatir, walaupun saya merasa pasti ada korban akibat tabrakan tadi. Di sana-sini saya mendengar teriakan orang menghujat saya dan mobil yang telah menyebabkan kecelakaan. Puluhan orang mengelilingi mobil dan pengemudi sepeda motor. Tanpa mengetahui permasalahannya, saya mendengar teriakan meminta pertanggungjawaban atas tabrakan itu. Beruntunglah ada sejumlah orang yang mengenal saya dan menjamin keselamatan saya.

Perlahan saya mendekati kerumunan orang yang mengelilingi sepeda motor dan ketiga orang tadi. Saya bersiap melihat orang berlumuran darah, luka parah bahkan meninggal.

Ya, Tuhan! Tidak ada yang terluka, bahkan segores pun tidak. Ketiga orang yang baru saja keluar dari masjid bertarawih itu sehat wal afiat. Selain ban motor yang hampir tak berbentuk, praktis tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.

Kejadian itu mengajar satu hal pada saya. Berkendaralah dengan baik. Tidak hanya bermobil, tetapi juga bersepeda motor. Pada kasus saya pribadi, mengemudi dengan kecepatan tinggi meningkatkan kemungkinan kecelakaan. Seberapapun hebatnya Anda di belakang setir, tetap tidak dapat mengontrol sepenuhnya kendaraan yang melaju di jalan raya bukan lintasan balap. Setiap orang memang berhak memperlakukan kendaraannya sesuka hati, namun ketika kita menggunakan fasilitas publik, kita harus menghormati pengguna lain dan mematuhi peraturan. Dengan itu, kita menghargai nyawa yang Tuhan telah titipkan.

Oh ya, persoalan tabrakan sudah kami selesaikan baik-baik. Selain mengganti kerusakan di motor itu (pemiliknya adalah penjaga rel kereta di Serpong, Tangerang), kami saling meminta maaf dan memaafkan.

Terima kasih Tuhan, atas hidup yang Kau berikan.
indi

Friday, September 25, 2009

Monas

Harapan untuk mengunjungi salah satu bangunan ciri khas Indonesia, yaitu Monumen Nasional akhirnya kesampaian. Seumur-umur saya belum pernah ke monumen hebat itu, walau sudah sering melewati, melihat dan mengedit beritanya. Hanya saja kunjungan itu menyisakan duka di batin, karena menyaksikan kondisi di lingkungan Monas yang sulit untuk dijadikan kebanggaan karena berbagai kekurangannya.

Atas desakan para jagoan(baca: isteri dan anak-anak) saya, akhirnya ada waktu untuk berkeliling Jakarta beberapa hari lalu. Mumpung ibukota masih lengang karena ditinggal mudik jutaan penduduknya.

Berangkat pagi-pagi dari gubuk kami di BSD (sekitar 20 km di selatan Jakarta), praktis tidak ada halangan selama di perjalanan. Lengang, udara segar dan sedikit berkabut. Itulah gambaran jalan tol BSD-Bintaro dan jalan di Kebayoran Lama. Hanya 30 menit, yang kami butuhkan untuk sampai di Bundaran HI dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya lalu lintas Jakarta saat itu.

Setelah sempat menggoda rekan-rekan yang siaran Apa Kabar Indonesia di Bundaran HI, kami melaju ke Monas. Inilah tujuan utama libur hari itu. Betapa tidak. Hampir semua teman saya dan teman anak-anak saya sudah mencicipi kunjungan ke monumen yang didirikan atas perintah Presiden Soekarno tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian.

Cuaca belum lagi panas, ketika mobil kami parkir di pelataran parkir resmi Monas di IRTI (berhadapan dengan Balai Kota). Calon pengunjung relatif bisa dihitung dengan jari, yang bergerak menuju monumen berkepala emas itu. Tak banyak mobil yang parkir dan hanya sebuah bus pariwisata di sana.

Menyusuri pelataran udara menyapa segar, dengan matahari mengintip di balik rerimbunan daun di taman. Mestinya saya puas dengan kondisi ini, tetapi apa daya mata ini tertumbuk pada sampah yang berserakan.

Sebuah tempat sampah terguling dan isinya berupa sisa-sisa makanan menyebar. Bungkus mie siap saji teronggok bersama puntung rokok dan plastik minuman. Tidak ada petugas kebersihan saat itu. Saya berpikir sampah belum dibersihkan karena saat itu belum jam kerja.

Kian dekat ke bangunan luar biasa itu, cuaca kian cerah (baca: panas). Pepohonan hanya tersedia di taman, yang berjarak 100 meter lebih dari tugu raksasa itu. Di sana hanya ada beberapa tanaman yang kami gunakan untuk berteduh sementara. Taman di pelataran Monas sebenarnya indah, tetapi yang ada hanyalah rerumputan yang menguning dan tanaman hias yang meranggas. Ada memang banyak bunga bangkai (Raflesia Arnoldii), tetapi itu terbuat dari semen.

Menunggu hampir 20 menit, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Bersama beberapa keluarga lain kami di pintu Selatan tak tahu harus menunggu berapa lama, karena penjaga parkir menyebutkan Monas dibuka pukul 8.30 WIB. Saat itu jam tangan sudah 8.20 WIB. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tidak ada tanda-tanda bagian informasi atau petunjuk arah.

Di tengah kebingungan dan keheranan karena tidak adanya bantuan, seorang penjual air minum yang kebetulan pernah melihat wajah saya sebelumnya, menunjukkan pintu masuk. Tempatnya di seberang, katanya. Jadi kami harus berjalan memutari Monas ke pintu utara dan masuk dari terowongan. Atau bisa menunggu mobil gandeng.

Wah, informasi terakhir membuat saya bingung (jawabannya saya dapatkan setelah meninggalkan Monas beberapa jam sesudahnya). Sebagai kepala rombongan, saya putuskan kami berjalan.

Wuihhh!!! Masih pukul 8.30 tetapi matahari mamancar dengan kekuatan penuh. Mateng neh muka. Tidak ada awan, peneduh, pepohonan atau apapun yang dapat dijadikan perlindungan dari kehangatan sang raja siang. Kami berjalan mengelilingi sisi Barat sekitar 500 meter. Lumayan.

Sesampai pintu utara, rasanya tidak ada lagi petunjuk. Di atas tangga Monas tampak sejumlah pekerja mengepel, tetapi terlalu jauh untuk ditanya bagaimana kami bisa masuk. Tidak hanya rombongan BSD ini, tetapi ada pula kelompok lain yang terpaku di pinggir pagar. Sekali lagi tak ada petugas di sana.

Cuaca kian panas. Tidak ada penghalang sinarnya ke bumi. Kelompok orang mulai menyemut ke obyek wisata di jantung kota Jakarta.

Ah di sana! ada papan kecil yang berjumlah dua buah kalau saya tidak salah. Ukurannya kenapa sih tidak dibikin besar? Apa ruginya kalau bisa 1 m X 1,5m? Rasanya tidak akan mengganggu keindahan taman raksasa ini.

Memasuki lorong menuju Monas. Saya melihat sudah banyak orang di sana. Anak-anak dan kaum perempuan mendominasi. Saya yakin tidak ada yang berpakaian perlente atau wangi. Panas dan pengap membuat bau keringat menguar memenuhi terowongan yang kurang cukup dingin, walau sudah terdengar deru pendingin ruangan di atas.

Antrean tiket masuk sudah mengular. Dari 4 loket yang tersedia, hanya dua yang buka. Dalam hati saya mencari alasan mengapa dua loket lain tidak digunakan: masih banyak petugas yang cuti, toh masih suasana Lebaran. Beberapa kali saya mendengar petugas menolak uang dengan pecahan besar Rp. 100.000 dan Rp. 50.000. Mereka beralasan belum ada kembalian. Ckckck. Tak ada persiapan ya? Akibat penolakan itu antrean tersendat, karena calon pengunjung mencari pecahan lebih kecil tetapi tidak mau meninggalkan antrean. Huaaahhhh!!! Beruntung uang pecahan Rp. 50.000 saya tidak ditolak, mungkin karena petugas mengenal wajah saya (hehehe ada untungnya juga).

Kondisi lebih nyaman saat kami masuk ruang diorama, karena lega dan udara yang dingin. Berbeda dengan suhu di luar.

Puas berkeliling di ruang sejara itu, dan mengenalkan sejarah kepada para punggawa, saya mengajak mereka ke puncak. Nah, ini perjuangan yang lain.

Mengantre tiket dan mengantre lift naik adalah dua hal berbeda, tetapi sama-sama melelahkan. Dari dua loket penjual tiket lift, hanya satu yang beroperasi. Antrean kembali mengular. Demikian juga antrean ke lift. Lebih panjang lagi. 25 menit untuk mendapat tiket. 1 jam untuk sampai ke lift. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Saya pandang barisan di belakang, wah, ternyata terus memanjang.

Memasuki lift adalah sebuah kenyamanan yang lain. Bisa dibilang itu adalah langkah terakhir sebelum menikmati Jakarta dari puncak tertinggi di Jakarta.

Puas melihat-lihat, termasuk menggunakan teropong berharga Rp. 2000 per 90 detik, kami turun kembali. Tidak terlalu lama menunggu lift yang sama yang akan membawa kami ke bawah. Sekeluarnya dari cawan Monas, saya menyaksikan antrean itu bahkan kian panjang. Kalau sebelumnya hanya sekitar 25 meter, maka kini lebih panjang lagi. Bisa 100 meter (dua baris). Berapa jam antrean paling belakang dapat sampai ke puncak. Saat itu waktu baru menunjukkan pk. 11.00 WIB. Waktu buka Monas tinggal 4 jam lagi.

Dimulai kembali perjalanan yang sama. Melewati terowongan yang masih belum cukup dingin di tengah aliran manusia. Di sana-sini saya melihat penjual cindera mata miniatur Monas dari bambu dengan harga antara Rp. 5000 sampai Rp. 25.000 per buah. Namun saya tidak tertarik untuk membeli.

Panas yang kian menyengat kembali menyapa sekeluarnya kami dari terowongan. Antrean lain tampak di sana. Antrean apa? Ooooh itu dia. Dua buah mobil gandeng beriringan menepi. Dibatasi rantai-rantai, ada tiga lajur antrean yang memudahkan pengunjung naik ke mobil. Di atas mobil, kami menunjukkan karcis naik ke puncak yang berwarna hijau untuk dewasa dan putih untuk anak-anak. Dan kami pun meluncur ke tempat masuk, di tempat kami parkir mobil.

Berpandang-pandangan dengan isteri, tanpa suara kami bersepakat untuk tidak akan lagi ke Monas. Cukup sudah petualangan hari itu. Panas, lelah, berkeringat, bau, tanpa tambahan informasi yang berarti membuat Monas tidak cukup untuk menarik kami kembali di lain waktu.

Entah jika pemerintah DKI atau pusat memperbaiki fasilitas monumen kebangsaan negara, yang ada di depan hidung Istana Negara dan Balai Kota di tahun-tahun mendatang, hal itu bisa saja kami pertimbangkan lagi. Tapi jika tidak, maaf deh, TIDAK.

indi

Maaf Lahir Batin

Ijinkan saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.

Tuesday, July 21, 2009

Tragedi

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah

Dua baris lirik lagi Panggung Sandiwara-nya God Bless mengisi batok kepala saya berulangkali, saat saya melihat peristiwa-peristiwa besar dalam sebulan terakhir. Tidak tahu kenapa justru lagu itu yang terngiang bukan lagu Ebiet G Ade atau Mbah Surip.

Sejak kampanye pemilihan presiden diikuti dengan pencontrengan dan perhitungan suara, saya menangkap nuansa yang berwarna-warni dari aktifitas politik saat itu. Belum selesai haru biru protes tim sukses capres 1 dan 3, bom mengguncang Jakarta. Korban tewas dan luka terserak tak berdaya dengan wajah-wajah panik mereka yang selamat menghiasi layar kaca dan koran-koran. Terakhir saya melihat sendiri beberapa korban bom Marriott dan Kedubes Australia 6 dan lima tahun lalu. Terselip di antaranya kisah si Tegar dari Caruban Madiun. Bocah 4 tahun itu kakinya putus terlindas kereta api ulah bapak tirinya. Sang bapak tiri, yang tidak puas atas penolakan isterinya (ibu Tegar) untuk bersetubuh membawa Tegar ke rel kereta api dan hingga kereta mnghancurkan kaki kanan Tegar. Trenyuh hati ini menyaksikan tubuh-tubuh yang cacat, termasuk ketakutan yang tak juga pupus akibat trauma saat itu.

Rasanya bumi kita tercinta ini seperti panggung sandiwara yang nyata. Cerita itu mudah berubah untuk setiap aktor dan aktrisnya di skala mikro dan terlebih di skala makro yang mengubah nasib banyak orang. Satu demi satu peristiwa bermunculan menjadi perhatian publik internasional berubah secara cepat dan drastis dalam hitungan hari, sehingga menafikan arti kisah sebelumnya. Media segera mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak karena adanya persitiwa baru yang lebih dramatis.

Sebagai produser (yang kadang-kadang mengarahkan aktor di panggung siaran tv) saya merasa puas dengan sandiwara (baca: peristiwa) yang tengah berlangsung. Seru, dramatis, penuh emosi, masif dan penuh kejutan. Bahkan kalau bicara komersial, saya ingin hal seperti ini terjadi setiap hari, karena rating berita akan tinggi.

Namun apa daya saya masih orang biasa yang cenderung sentimentil bila lihat penderitaan orang. Para korban bom, keluarga mereka dan mereka yang membawa cacat seumur hidup akibat bom bertahun-tahun lalu menimbulkan pertanyaan besar untuk sang sutradara panggung sandiwara besar bernama hidup di bumi ini.

Apa tujuan ia menciptakan kisah yang penuh tragedi bagi sekelompok orang bahkan kelompok yang besar bernama negara? Mengapa ia membuat peran dengan aktor-aktris yang berada di kutub berbeda dalam hal ideologi, nasib dan tindakan? Berapa lama kisah ini akan dimainkan? Bagaimana akhir dari kisah ini?

Bersyukurlah orang yang beriman, yang tetap tabah menahan cobaan tanpa harus kritis terhadap pembuat kisah. Hanya saja tidak semua orang mampu menanggung efek kejadian itu. Tidak sedikit yang patah dan kehilangan semangat menghadapi kisah yang dramatis dan tragis tersebut. Apa yang harus mereka perbuat.

Saya terus terang tidak tahu harus berbicara apa terhadap para aktor-aktris tersebut. Saat saya bertemu dengan korban Marriott 6 tahun lalu, yang tubuhnya penuh luka parut akibat luka bakar mayor, lidah ini terlipat dan mulut terkunci. Tapi mudah-mudahan mereka bisa membaca keprihatinan saya atas penderitaan mereka.

Sebagai aktor lain di panggung sandiwara di bumi ini, saya memang tidak terlibat langsung dengan kisah bom Jakarta. Namun saya sadar kisah tragis itu bisa saja terjadi pada saya dan keluarga, pada Anda dan keluarga dalam bentuk lain, setiap saat, di mana saja.

Be prepared!
indi

Tuesday, July 14, 2009

Kutagih Janjimu

Bahasanya tentu tidak seperti itu, tetapi dengan gaya yang berbeda; yaitu ketika anak bungsu saya Diva Josephina menagih janji saya untuk memasang internet. Bulan lalu sambungan Speedy di rumah saya putus, karena lambat dan tagihannya kurang masuk akal. Sejak itu, anak-anak tidak lagi dapat mengakses mainan, obrolan atau mengerjakan tugas yang menggunakan internet.

Adapun saya berjanji pada anak-anak untuk memasang sambungan baru segera setelah saya memperoleh provider internet terbaik. Sialnya, hehehe, sampai hari ini belum ada tanda-tanda pilihan itu jatuh pada siapa. Akhirnya muncullah kalimat yang baik itu: Kutagih janjimu.

Banyak orang bilang janji adalah utang, jadi harus dibayar atau janji harus ditepati. Namun sialnya bagi banyak orang lainnya janji bisa hanya sekedar janji. Janji adalah kata-kata tanpa makna yang keluar dari mulut untuk menyenangkan orang untuk sesaat saja dan kemudian terlupakan seiring perjalanan waktu.

Menjelang pemilu legislatif dan presiden, kita dijejali janji-janji setiap hari. media cetak dan elektronik penuh kampanye berisi rencana-rencana yang akan dikerjakan bila si calon duduk di kursi yang diinginkan. Bahkan ada pula yang bersedia membuat kontrak politik berisi hal-hal yang akan dilakukan kemudian ditandatangani.

Nah, sekarang pemili sudah selesai. Orang-orang yang akan duduk di kursi legislatif dan eksekutif sudah diketahui. Artinya, kita masyarakat baik yang memilih atau tidak memilih berhak menagih janji yang sudah disampaikan saat mereka berkampanye.

Sialnya, apakah rakyat masih ingat apa yang dijanjikan itu? Adakah dari kita yang mencatat butir-butir yang akan dikerjakan calon pemimpin kita? Saya, terus terang tidak. Andaikan semua masyarakat Indonesia tidak ada yang ingat atau mencatat, bagaimana mereka bisa ditagih? Hehehe apalagi bila mereka tipe pelupa alias tidak ingat akan janji-janji yang sudah digembar-gemborkan.

Sebuah pepatah Cina menyebutkan: sekali kata terucap tujuh ekor kuda tak dapat menariknya kembali. Artinya, setiap janji yang keluar memiliki konsekuensi berat yang tidak dapat dilupakan dan diabaikan. Hanya orang yang tidak memiliki harga diri saja yang akan mencederai janji yang pernah terucap.

Adakah para pemimpin dan calon pemimpin kita orang-orang yang memiliki harga diri yang akan merealisasikan janji mereka tanpa harus ditagih. Yah minimal jangan kayak saya yang harus selalu ditagih anak-anak saya untuk memasang internet.

Semoga.
indi

Thursday, July 9, 2009

Contreng (Centang)

Sudah dua hari ini kuku saya tidak indah (hehehe...emangnye pernah?). Warna ungu akibat tinta itu belum hilang. Walaupun begitu saya tetap bangga menggunakan hak pilih. Jujur saja, belum pernah saya sebangga ini saat memberikan suara.

Jago saya memang kalah. Tetapi saya puas melihat ia bertarung dengan segenap tenaga, hati dan kemampuan. Tidak banyak orang yang berani menghadapi lawan di gelanggang, walau ia tahu betapa kuatnya pesaing. Hanya sedikit orang yang mau berusaha, walau secara matematis kecil kemungkinan ia akan keluar sebagai pemenang.

Dalam sebuah pertandingan, seorang pemenang pasti memperoleh kemuliaan di atas pecundang. Tetapi bagi orang sportif, hasil akhir hanyalah bonus, karena proses memiliki peran penting untuk mengukur gagah tidaknya seorang kontestan.

Pemilihan presiden memang bukan pertandingan sepakbola, catur atau tinju. Intelektualitas, gaya kepemimpinan dan program yang baik adalah modal untuk meraih kepercayaan publik. Di sinilah letak keandalan para kontestan beradu strategi dalam mengampanyekan citra dan kehebatan mereka masing-masing. Jika publik percaya terhadap komoditas yang ditawarkan, itulah yang mereka "beli" (baca: contreng) pada 8 Juli lalu.

Itulah yang saya lakukan. Saya puas dengan gaya, program, retorika seorang capres, sehingga saya mencontreng fotonya dan pasangannya. Setttt.... Tutup... Cemplung...Celup. Selesai.

Saya tidak mempedulikan jago saya akan menang atau tidak. Tidak penting menurut saya. Saya juga tidak kecewa ketika hitung cepat semua lembaga survei memenangkan calon lainnya. Bahkan pada setiap perbincangan dengan teman (tidak di blog ini) saya mengumumkan siapa yang saya pilih sambil mengangkat kelingking saya.

Kalaupun saya siaran dengan membicarakan ketiga pasang capres cawapres, mengumumkan, mengkritisi, membuat lelucon tentang aktifitas kampanye itu hanya sebuah pekerjaan. Pilihan saya tidak mempengaruhi pemilihan kata dan kerangka berpikir saya. Kepuasan saya adalah ketika saya memberikan suara pada orang yang saya percayai dapat memimpin negeri ini lima tahun lagi. Pilihan dan pekerjaan adalah dua hal berbeda.

Terus terang saya menunggu lima tahun lagi adakah orang yang seperti jago saya. Saya rindu pribadi seperti itu muncul dan memimpin negeri ini. Bukan berarti saya tidak suka warga negara yang sedang memimpin sekarang, tetapi lebih karena saya merasa cocok dengan jago saya.

Memang juga tidak ada jaminan jago saya akan dapat memimpin negeri ini seperti Superman dan menyelesaikan semua masalah dengan lebih cepat dan lebih baik, tetapi sekali lagi saya nyaman dengan apa yang ia tawarkan pada saya pribadi.

Anyway, pencontrengan (yang tepat pencentangan) sudah selesai. Perhitungan di KPU sedang berlangsung. Hasilnya rasanya akan sama dengan hasil perhitungan cepat (quick count) seperti yang lalu-lalu. Selamat untuk yang menang dan selamat pula untuk yang kalah karena Anda telah menjadi kontestan dan negarawan yang luar biasa bagi negeri ini.

indi

Monday, June 29, 2009

Killing Time

Membunuh waktu. Itulah yang saya kerjakan sekarang. Saya harus menunggu adik istri saya untuk bersama-sama pulang kampung ke Madiun. Tiga jam di Citos sejak pukul 16. Pegel! Mau nonton Transformers 2 sudah kehabisan tiket. Mau tidur nggak ada tempat enak. Jadilah saya tersandera di Burger King.

Apa yang saya kerjakan? Ah! Untung di laptop ada permainan catur. Lumayan untuk killing time alias membunuh waktu. Setelah setengah jam, permainan ini menjadi tidak menarik. Ya, kalah terus sih! Padahal masih level cecere alias kelas bawah. Memang otak tumpul nggak bisa diajak berpikir keras.

Sambil menunggu pula (the most invaluable thing to do) saya berkesempatan mengedarkan mata ke sekeliling. Rupanya ini kegiatan yang lumayan menarik. Citos di waktu malam ternyata lebih menarik daripada yang dikisikkan beberapa teman. Maklumlah, saya kan orang rumahan yang jarang dugem malam.

Hebatnya, penampilan pengunjung pusat makan di kawasan selatan Jakarta ini begitu bervariasi. Tidak hanya yang kaum muda, tetapi remaja hingga yang berumur. Mulai dari yang pulang kantoran berseragam seperti saya, sampai yang dandan abizz. Dari yang bau keringat, karena biasa berjemur di bawah matahari hingga wangi Chanel no 5. Bagi pria normal seperti saya, haum hawa tentunya lebih menarik untuk diperhatikan lebih seksama.

Sambil minum minuman ringan, saya mencoba menghitung (ini bener-bener gak ada kerjaan) rata-rata pengunjung yang datang dalam waktu satu menit. Setelah lima kali penghitungan rata-rata 10 orang dari segala usia dan gaya pakaian. Bagi saya aliran manusia ini relatif banyak. Dengan mengabaikan orang yang meninggalkan Citos, maka dalam lima menit saja sudah 50 orang yang datang.

Kalau melihat jumlah pengunjung di cafe-cafe dan restoran yang ada, tampaknya jumlah yang datang terus meningkat. Wah, ini cocok betul dengan catatan para ekonom hebat negeri ini, yaitu kelas menengah Indonesia banyak yang tidak peduli dengan krisis. Acara akhir minggu mulai dari Jumat hingga Minggu harus jalan terus. Makan-makan, minum-minum, nonton-nonton dan belanja-belanja.

Di depan saya melintas seorang wanita berbalut busana terusan motif polkadot dengan bagian bawah lumayan tinggi di atas lutut. Legging (celana ketat biasanya berbahan katun) membungkus kakinya yang jenjang. Tubuhnya menguarkan bau wangi lembut. Ia berjalan dengan langkah pasti penuh percaya diri menuju kasir Burger King dan memesan makanan.

Di luar restoran ini beberapa wanita paruh baya dengan dandanan menor membawa belanjaan di seluruh tangan mereka. Ceria, penuh canda dan asik menikmati waktu mereka menyusuri lorong Citos.

Mengutip seorang petinggi Indosat (entah datanya dari mana) hanya ada tiga negara yang mengalami pertumbuhan positif pascakrisis finansial akhir tahun lalu. Negara-negara tersebut adalah Cina, India dan Indonesia. Keberhasilan Indonesia mencatat pertumbuhan itu adalah karena konsumsi domestik yang tinggi. Ekspor kita yang kecil praktis tidak terpengaruh penciutan pasar Amerika dan Eropa.

Isteri saya adalah tipikal wanita yang gemar belanja. Hanya sayangnya kegemaran itu kurang tersalurkan karena dukungan keuangan suaminya yang lemah. Alhasil ia hanya puas menikmati iklan obral (sale) dan potongan harga (discount) dari koran. Setiap saya membaca koran di pagi hari sebelum berangkat, ia seringkali nimbrung ikut membaca, tetapi bukan berita melainkan mengajak suaminya berkomentar tentang harga khusus dan iming-iming kemudahan belanja di iklan yang ada.

Pertama-tama saya terganggu dengan aktifitasnya. Tetapi lama-kelamaan saya pun turut menikmati ritual itu. Saya menemukan adanya kenikmatan melihat iklan-iklan yang menampilkan warna, tulisan dan tawaran yang menarik.

Saya menghubungkan aktifitas membaca iklan itu dengan kondisi di Citos ini. Korelasinya memang terlihat nyata. Iklan yang menarik menantang pemilik uang berbelanja baik secara tunai maupun kredit. Tak ada uang kertas uang plastik pun jadi. Gesek sana gesek sini. Tak bisa lunas sekaligus cicilan pun jadi.

Sekarang jam tangan sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Tidak ada tanda-tanda kedatangan orang yang saya tunggu. Saya pun malas pula untuk meneruskan aktifitas cuci mata. Balik main catur lagi deh.

Indi
Jkt, 26 Jun. 09

Thursday, June 11, 2009

Inspirasi

Rasanya daftar berikut cukup menarik untuk diikuti. Saya sih berjanji untuk mencobanya. Mungkin Anda sependapat?

LIFEBOOK 2009
Health:
1. Drink plenty of water.
2. Eat breakfast like a king, lunch like a prince and dinner like a beggar.
3. Eat more foods that grow on trees and plants, and eat less food that is manufactured in plants.
4. Live with the 3 E's -- Energy, Enthusiasm, and Empathy.
5. Make time for prayer.
6. Play more games.
7. Read more books than you did in 2008.
8. Sit in silence for at least 10 minutes each day.
9. Sleep for 7 hours.
10. Take a 10-30 minutes walk every day ---- and while you walk, smile.

Personality:
11. Don't compare your life to others'. You have no idea what their journey is all about.
12. Don't have negative thoughts or things you cannot control. Instead invest your energy in the positive present moment.
13. Don't over do ; keep your limits.
14. Don't take yourself so seriously ; no one else does.
15. Don't waste your precious energy on gossip.
16. Dream more while you are awake.
17. Envy is a waste of time. You already have all you need.
18. Forget issues of the past. Don't remind your partner with his/her mistakes of the past. That will ruin your present happiness.
19. Life is too short to waste time hating anyone. Don't hate others.
20. Make peace with your past so it won't spoil the present.
21. No one is in charge of your happiness except you.
22. Realize that life is a school and you are here to learn. Problems are simply part of the curriculum that appear and fade away like algebra class but the lessons you learn will last a lifetime.
23. Smile and laugh more.
24. You don't have to win every argument. Agree to disagree.

Community:
25. Call your family often.
26. Each day give something good to others.
27. Forgive everyone for everything.
28. Spend time with people over the age of 70 &under the age of 6.
29. Try to make at least three people smile each day.
30. What other people think of you is none of your business.
31. Your job won't take care of you when you are sick. Your family and friends will. Stay in touch.

Life:
32. Do the right things.
33. Get rid of anything that isn't useful, beautiful or joyful.
34. GOD heals everything.
35. However good or bad a situation is, it will change.
36. No matter how you feel, get up, dress up and show up.
37. The best is yet to come.
38. When you awake alive in the morning, thank GOD for it.
39. Your Inner most is always happy. So, be happy.

Last but not the least :
40. Do forward this to everyone you care about.

Menjadi Presiden

Andaikan menjadi presiden seperti melamar pekerjaan, mungkinkah KPU akan menerima lamaran hingga berlemari-lemari? Pertanyaan ini muncul karena melihat aktifitas kampanye ketiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden dalam beberapa bulan terakhir.

Mereka ini kok kayaknya getol banget sih untuk jadi pemimpin negeri. Kalau gitu enak kali ya? Jalan-jalan, makan-makan, merintah-merintah, ngresmikan ini itu, mitang-miting dan apa lagi. Tapi apa memang begitu?

Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 200 juta yang memiliki banyak keinginan. Sekian juta yang harus diayomi agar bebas dari kemiskinan dan ketakutan. Mereka bukan sekedar kelompok suku, bahasa, agama dan status sosial. Artinya pemimpin bangsa harus bekerja keras. Semakin banyak yang kaya semakin baik. Semakin maju semakin baik. Semakin sejahtera apa lagi.

Dengan hutang negeri yang ratusan triliun, pengangguran yang jutaan orang (menyusul peningkatan pengangguran karena krisis), dan kemiskinan yang puluhan juta artinya pekerjaan rumah presiden dan wakil presiden sangat banyak. Harga sembako yang terus terbang. Minyak mentah dunia (yang harus kita beli) melambung dan kemampuan ekspor yang rendah memaksa penguasa negeri mengurangi tidur untuk terus berpikir.

Jadi apa ya enak menjadi presiden? Tapi kok ya masih ada yang mau?

Mungkin seperti ini: bayangkan telunjuk Anda bisa membuat banyak orang bertekuk lutut; atau kedikan mata Anda menggetarkan lutut orang-orang di sekeliling.

Kalau begitu alasannya, berarti kekuasaanlah yang membuat beberapa orang mau berlelah-lelah menjadi presiden atau wakil presiden. Mengatur ini itu dan memerintah sana sini bisa menjadi bonus yang luar biasa.

Sekali lagi, kalau menjadi presiden adalah sebuah pekerjaan, apakah Anda tertarik?

Friday, April 17, 2009

Berwisata atau Off Road?

Memang agak basi saya pengalaman saya ini, karena dua hal yang saya kerjakan yang akan saya ceritakan berikut sudah berlangsung seminggu dan dua minggu sebelumnya. hanya saja kalau tidak saya ceritakan, kok ada yang ngganjel.

Minggu lalu, usai membanting tulang, begadang dan memeras otak untuk menjalankan program Pemilu Indonesia selama dua hari, saya sekeluarga ikut berkemah bersama rekan-rekan segereja di kawasan wisata Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.

Anak sulung saya sudah jalan lebih dahulu, jadi kami hanya berangkat bertiga: saya, istri dan si bungsu. Memulai perjalanan dengan kepala sakit, karena kurang tidur selama beberapa hari membuat perjalanan tidak cukup nyaman. Lalu lintas pagi itu yang relatif lengang tidak menolong mencerahkan "mood" saya. Menurut hitung-hitungan kilometer jarak antara BSD dan Gunung Bunder yang hanya sekitar 50 kilometer seharusnya membuat ringan "beban" itu.

Apa lacur, yang kami temui selama perjalanan adalah betapa buruknya infrastruktur jalan kita. Selepas BSD yang relatif nyaman, kami harus berhadapan dengan jalan rusak di Ciseeng (pasti jarang Anda dengar nama itu). Jalan itu seharusnya menjadi jalan pintas ke daerah Parung. Namun nyatanya, lubang berdiameter sekitar 1 meter sedalam lebih dari 10 cm membentang berkilometer. Guna menutupnya, batu dan kerikil disebar, tetapi terkesan seadanya.

Berjalan perlahan adalah sebuah keterpaksaan untuk mencegah ketidaknyamanan dan kerusakan kendaraan kami. Akibatnya kami beringsut perlahan. Kondisi Parung jauh lebih baik. Jalan-jalan mulus dan lebar memudahkan kami bergerak hingga selepas Kampus IPB di Dramaga. Kemudian beberapa kilometer sesudahnya kami bergerak ke kiri menuju Gunung Bunder melalui Cibatok. Mungkin karena sesama ci, seperti Ciseeng, daerah ini pun serupa. Jalan sempit, berlubang, dan bersaing dengan angkot itulah kenyataannya.

Total kami harus menempuh sekitar 3 (tiga) jam untuk ke kawasan Gunung Bunder. Rasanya kepala saya bertambah sakit setelah menyetir sekian lama.

Pengalaman dengan jalan rusak juga saya alami dua minggu sebelumnya. Dengan alasan baru perlu penyegaran setelah ujian tengah semester, saya mengajak keluarga berlibur ke pantai. Tujuan kami adalah Pantai Carita untuk bermain ombak laut. Hmmm, terbayang segarnya udara pantai, makan ikan bakar, berenang dan berselancar. Endang bambang gulindang.

Sabtu petang, kami meluncur. Hati senang membuat lalu lintas jalan tol Tangerang-Cilegon yang padat truk tak terasa. Justru kedongkolan timbul setelah melewati Cilegon memasuki Anyer. Jalan rusak membentang!

Rasanya pada kunjungan sebelum itu beberapa bulan sebelumnya, jalan di kawasan itu memang berlubang, tetapi masih dapat ditolerir. Kali ini tidak. Puluhan kilometer jarak dari kawasan industri Cilegon sampai pantai Carita, hampir tidak ada jalan mulus. Mungkin saya membesar-besarkan hal itu, tetapi itu ekspresi kedongkolan saya.

Dua kenyataan itu membuat saya "gumun", heran. Saya heran dengan petinggi negara ini. Antara ucapan dan tindakan di lapangan hampir tidak ada kesesuaian. Pejabat Departemen Pariwisata sudah mencanangkan Visit Indonesia Year 2009. Pejabat Daerah menyatakan sudah menjual potensi wisata di daerah masing-masing. para petinggi negeri mengakui wisata adalah sumber devisa potensial bagi negara. Tapi mana? Bagaimana mungkin menjual obyek wisata tanpa membenahi infrastruktur. Apakah wisatawan mau berkunjung bila perjalanan menuju daerah itu tidak nyaman? Mana jalan yang baik, yang katanya akan dibuat dari uang pajak masyarakat. Mana?

Saya teringat bencana Situ Gintung Tangerang, Banten akhir bulan lalu. Nyata-nyata persoalan infrastruktur bendungan terlibat di sana. Saling lempar tanggung jawab. Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Provinsi tidak membuat infrastruktur yang baik, aman dan nyaman bagi penduduk negeri yang sudah membayar pajak ini.

Kalau yang berhubungan langsung dengan nyawa manusia saja pemerintah ini lalai, bagaimana pula yang tidak secara langsung seperti pembuatan dan perbaikan jalan? Sampai kapan kita memiliki pejabat yang memerhatikan kebutuhan hajat hidup orang banyak?

Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang (kata Ebiet G. Ade).

Thursday, April 9, 2009

Pusingggg!!!!

Arti kata ini menyerang saya begitu saya membuka lembaran-lembaran kertas suara. Setelah berangkat ke TPS di sebelah rumah menjadi sebuah perjuangan tersendiri bagi saya, memberikan hak suara ternyata adalah sebuah masalah baru. Alhasil bisa saja pilihan atau contrengan saya bukanlah hasil pemikiran terbaik. Mengapa begitu? Begini...

Selepas menjalankan tugas di Wisma Nusantara selama dua setengah jam pagi itu 9 April, dengan gagah berani saya memutuskan untuk pulang dan memenuhi imbauan KPU. Padahal jarak rumah saya di BSD, Tangerang ke Wisma Nusantara di Bundaran HI, Jakarta sekitar 30 km. Lumayan membuat pegal kaki dan pinggang selama perjalanan. Jadi pagi itu saja, saya sudah menempuh 60 km dan empat jam total di luar rumah.

Pikiran saya hanya satu saat itu; begitu banyak orang kehilangan hak pilih mereka karena tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jadi, saya yang beruntung ini berpikir mengapa tidak ikut memberikan suara.

Dalam setiap kesempatan kami membicarakan betapa mudahnya mencontreng. Tinggal buka, pilih nama, contreng, lipat, dan celup jari ke tinta. Beres. Di bilik suara, ternyata saya menemukan kenyataan yang berbeda.

Semangat saya seketika luluh, saat membuka lembar demi lembar surat suara. Deretan nama partai dan nama caleg membuat saya pusing. Siapa mereka? Apa janji mereka untuk saya? Bagaimana menguji integritas mereka? Bagaimana menagih janji mereka? Itu adalah daftar pertanyaan saya, yang tidak bisa saya tanyakan. Selain mereka tidak di depan saya, saya pun tidak pernah mendengar atau melihat langsung wajah, ucapan dan tindak tanduk mereka. Pusing!

Untuk beberapa saat, saya hanya membolak-balik kertas tanpa dapat memutuskan nama yang akan saya contreng. Sebelumnya sempat terlintas keinginan untuk golput alias tidak ingin memilih, tetapi rasanya kok tidak enak. Tapi masalahnya, saya tidak tahu mereka.

Dan tahukah Anda apa yang saya lakukan? Saya memilih nama seorang artis untuk caleg DPR RI, nama yang terkesan akrab untuk DPRD provinsi dan kota, serta nama seorang mantan pejabat pemberantas korupsi untuk DPD. Seperti saya sampaikan sebelumnya, itu bukanlah pilihan terbaik, tetapi daripada saya menghabiskan waktu berlama-lama di bilik suara rasanya itu adalah pilihan terbaik di antara yang buruk.

Walaupun begitu, beban saya terasa lebih ringan, karena saya melaksanakan aktifitas yang saya dengungkan berulang-ulang. Saya tidak ingin terkesan berkhianat dengan menyatakan Pemilu adalah sebuah pesta demokrasi, tetapi tidak memberikan suara. Buktinya di jari kelingking saya ada warna ungu tinta yang sudah memudar hanya dalam waktu 24 jam (sepertinya lebih cepat daripada tinta pemilu tahun 2004).

indi

Thursday, March 5, 2009

2 X 1

Dalam seminggu terakhir saya menghadiri dua pemakaman. Pertama, pada Senin lalu, dan pengalaman itu sudah saya tuangkan di salah satu tulisan saya. Kedua, hari ini. Seorang kerabat wafat semalam di usia spektakuler untuk ukuran kita: hampir 86 tahun! Namun bukan panjangnya umur beliau itu yang ingin saya perbincangkan.

Di hadapan saya terbaring tubuh tua. Kebaya putih membalut tubuhnya yang mungil. Tangannya tak lagi hangat. Wajah-wajah kuyu, mata sembab dan paras yang pucat berkeliling di seputar jenazah yang membujur kaku. Mulut mereka terkunci dengan isakan yang sesekali terdengar. Tidak ada canda tawa yang biasanya muncul saat berkumpul bersama.

Seketika saya teringat sebuah kata bijaksana, yang saya lupa siapa yang menulis.

"SEHARI DI RUMAH DUKA LEBIH BAIK DARIPADA SERIBU HARI DI TEMPAT PESTA PORA"

Bukannya tidak peduli pada usia tua atau kematian, tetapi sampai kemarin saya merasa hidup ini indah pada hari ini, dan akan semakin membahagiakan bila berada di tengah keriaan dan pesta pora.

Benarkah suasana seperti ini baik?

Ibu saya terbaring seperti ini 18 tahun lalu. Hampir satu dekade sebelumnya, bapak saya dalam keadaan serupa. Menyusul kemudian dua kakak saya menghadap Khalik Sang Pencipta dalam hitungan tahun sebelum tahun 2009. Orang-orang yang saya cintai tak lagi bersama. Hanya kenangan yang tersisa. Pukulan gesper bapak masih terasa di punggung, bila saya melompat pagar untuk bermain, walau sudah ada larangan sebelumnya. Belaian sayang ibu di punggung sebagai pengganti rasa sakit itu seolah tetap lekang.

Kita semua akan ke tempat itu. Ya, ke tempat yang tak seorang pun dapat menolaknya. Seberapapun kuat seorang pria, secantik apapun seorang wanita, sebanyak apapun kekayaan seorang pengusaha, cepat atau lambat kematian akan menjemput. Saat di mana tak ada lagi tawa, harapan untuk bercinta, ataupun keinginan untuk menghibur.

Bukan berarti setelah ini saya menjadi antihiburan. rasanya naif sekali untuk meniadakan sama sekali hiburan dari berbagai aktifitas kemanusiaan kita. Karena saya yakin Dia Yang Maha Kuasa pasti bergembira bila kita umat-Nya menghargai ciptaan-Nya dengan penuh sukacita. Hanya saja kegembiraan yang hakiki tidak terletak di tempat pesta pora; tempat nafsu diumbar dan kegelojohan timbul tanpa batas.

Menghargai setiap detik nafas kehidupan dan aliran darah di dalam nadi dengan mengucap syukur rasanya menjadi penting bagi saya. Tanda-tanda vital itu menandai kesempatan untuk berbuat yang lebih baik pada diri, sesama dan pujian untuk Yang Maha Esa.

Tidak ada lagi hak untuk melakukan sesuatu bagi yang sudah berada di tempat masa depan itu: 2 X 1.

indi

Tuesday, March 3, 2009

Pekuburan untuk Semua

Sudah pasti untuk semua, karena setiap orang akan meninggal. Itulah makna harafiah dari kubur dan pekuburan. Namun yang saya maksud bukan itu. Selain perlambang kesedihan, karena membawa arti perpisahan yang sebenarnya, makam justru menyediakan hidup untuk sekelompok orang. Itulah pengalaman yang saya temui hari ini. Begini ceritanya:

Senin malam selepas membawakan program rutin, saya mendapat pesan singkat. Isinya: ibunda salah seorang rekan saya meninggal dunia. Karena letak rumahnya terlalu jauh dari perjalanan pulang, saya memutuskan untuk mengikuti pemakaman esok hari.

Pukul 10 kurang saya tiba di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Rombongan keluarga yang berduka dengan jenazah yang akan dikubur belum tiba, sehingga saya berkesempatan memandang sekeliling. Ini adalah saat pertama saya dapat mengamati situasi sebuah kompleks "rumah masa depan". Hasilnya cukup mengejutkan.

Gambaran muram sebuah makam yang sepi jauh dari aktifitas manusia jauh sama sekali. TPU Karet Bivak cukup ramai. Bukan! Mereka bukanlah keluarga yang berduka, yang mengantar seorang kerabat ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Mereka adalah orang-orang yang hidup justru dari pemakaman itu!

Mari kita hitung bersama. Pertama sudah tentu para penggali kubur (rasanya tidak mungkin kita menggali kubur sendiri). Kemudian para penyabit rumput makam dan penjaja minuman (kehadiran mereka penting untuk mereka yang lelah berjemur setelah menghadiri pemakaman atau berziara). Tak ketinggalan (ini menurut saya yang menarik) sekelompok orang yang saya sebut para pendoa dan sejumlah anak-anak (terutaman perempuan berusia antara 8 sampai 12 tahun).

Dua kelompok terakhir itulah yang menjadi obyek pengamatan singkat saya. Kelompok para pendoa rata-rata berusia setengah baya. Mereka memiliki kostum khusus: berkopiah dan bersarung. Saya tidak pernah menyadari kehadiran mereka sampai aktifitas penguburan jenazah dimulai. Entah darimana sekonyong-konyong ada tiga orang ikut nimbrung di depan kubur yang baru saja ditimbun. Karena posisi saya cukup dekat dengan makam, saya mendengar jelas ajakan salah satu anggota kelompok kepada rekannya untuk segera maju ikut dalam ritual pembacaan doa.

Maaf bukannya saya mengabaikan doa dan kekhidmatan upacara, tetapi saya telanjur tertarik dengan kelompok ini. Apalagi saat doa dilantunkan, suara mereka paling keras dan mengatasi suara yang lain. Setelah doa selesai tanpa memedulikan seorang wakil keluarga yang berduka yang menyampaikan sambutan atas nama keluarga, mereka (tak ada yang mempersilakan lho) menyerbu sekotak makanan kecil yang tersedia. Tidak tanggung-tanggung, satu orang membawa lebih dari satu jenis makanan dan dibawa menyingkir dari tempat tersebut. Di bawah kerimbunan pohon, mereka menikmati bolu kukus dan kue lapis serta air mineral. Rasanya mereka puas menikmati imbalan atas jerih payah mendoakan sang jenazah.

Nah, saat kelompok pendoa mengambil kudapan itu, sekelompok anak-anak ikut berpartisipasi. Rasanya saat itu tidak kurang dari lima orang yang saya hitung. Kelompok anak-anak ini pun turut saya perhatikan sebelumnya, karena saya sempat berbincang dengan salah seorang di antaranya yang duduk di belakang saya (sebelumnya ia bertanya pukul berapa saat itu). Saya kemudian menanyakan sekolah (ia menjawab masih bersekolah di kelas lima) dan jam masuk sekolahnya (dijawabnya pukul 1 siang).

Anak-anak itu hanya duduk-duduk hingga doa selesai dipanjatkan. Mereka kemudian menyerbu kotak mekanan dengan penuh semangat (lha wong setiap orang mengambil lebih dari satu buah) dan segera menyingkir. Oh ya, mereka sempat diusir, karena dinilai mengganggu prosesi yang belum selesai.

Saya tidak ingin menilai benar salah dari aktifitas tersebut. Saya hanya terkejut melihat fungsi pekuburan yang jauh dari sekedar tempat peristirahatan terakhir kita umat manusia. Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak mungkin bisa mewakili pemakaman umum di seluruh Indonesia, yaitu tempat yang dapat memberi hidup bagi sekelompok orang. Dalam kondisi yang ekstrim, saya pun menyaksikan tempat pemakaman umum yang dijadikan tempat mesum, tempat mencari penghidupan pelacur kelas bawah, yaitu Pemakaman Kembang Kuning Surabaya, Jawa Timur. Di antara nisan-nisan Cina yang besar, banyak perempuan menyediakan diri mereka bagi kaum hidung belang, dengan hanya Rp. 50 ribu.

Sungguh sebuah pengalaman yang membuat saya miris sekaligus takjub. Betapa kuburan dan kompleks pemakaman memiliki makna sosial yang sangat penting bagi sekelompok masyarakat marjinal (jangan-jangan kelompok ini tidak pernah terhitung di Badan Pusat Statistik). Inilah salah satu potret kehidupan di sekitar kita. Sebuah realita.

indi

Wednesday, February 25, 2009

Clinton dan Acara Musik

Tulisan ini mungkin sudah out of date. Tetapi saya tidak tahan untuk tidak menulisnya, karena ini mungkin saja bentuk kedongkolan saya atas kejadian di sekitar kedatangan Menlu AS Hillary Rodham Clinton ke Indonesia pertengahan bulan ini. Subyektif, tak berdasar, emosional, atau tidak dewasa adalah label yang bisa Anda sematkan untuk saya setelah membacanya.

Pasalnya: Hillary Clinton tampil di sebuah acara musik di dua stasiun televisi swasta nasional. Ckckck.

Acara musik! Terus terang saya sulit mencari justifikasi arti pemilihan acara musik untuk penampilan seorang mantan ibu negara, mantan calon presiden yang bersaing ketat dengan Obama untuk Konvensi Partai Demokrat dan yang kini menjadi menteri luar negeri sebuah negara Hyperpower (meminjam istilah menlu Hassan Wirajuda di acara Atas Nama Rakyat TVOne yang berarti lebih dari superpower). Satu-satunya pembenar alasan adalah betapa acara itu memiliki rating tinggi di pagi hari, karena itulah waktu kosong beliau saat waktu kunjungan ke Indonesia dan acara itu ditonton banyak orang.

Memang sah-sah saja staf pemerintahan AS atau bahkan Hillary sendiri untuk memilih acara tv mana yang akan diisi. Hampir semua pemilik dan pengelola tv membuka programnya untuk menjadi tuan rumahnya. Namun manakala ada persoalan hubungan yang krusial, rasanya sangat masuk akal bagi seorang pejabat publik untuk hadir di tengah program yang mengusung talkshow serius di stasiun tv mana saja. Apalagi untuk hubungan sekelas AS-Indonesia yang diwarnai berbagai isu.

Saya ingat betul saat kampanye konvensi Partai Demokrat Agustus tahun lalu. Di mata saya, citra yang melekat pada diri Hillary Clinton adalah wanita tangguh, yang berani menghadapi siapa saja, serbuan argumentasi apa saja demi menyampaikan pemikirannya. Sosok Hillary Clinton betul-betul lepas dari bayang-bayang suaminya Bill Clinton yang sukses menjabat presiden AS dua periode. Ia giat "bertempur" melawan Barack Obama. Ketika menjelang konvensi dan semua polling menunjukkan keunggulan Obama, tak sepatah kata pun terucap dari mulut Hillary yang menyatakan menyerah kalah. Dengan lantang ia menyatakan akan terus berjuang sebagai penghargaan untuk mereka yang telah mendukungnya. Akibat persaingan itu, kubu Demokrat sempat khawatir terjadi pelemahan pascakonvensi, karena posisi internal yang terbelah.

Namun kini saya tidak lagi memandangnya seperti itu setelah ia tampil di sebuah acara musik dengan perbincangan ringan seperti selebriti Indonesia dan bukan sekelas menlu negara hyperpower! Saya tidak menilai rendah pembawa acara program musik. Tetapi logikanya menjadi sangat tidak mungkin atmosfir program musik akan menggiring narasumber pada perbincangan yang serius, tajam dan mendalam. Pembawa acara yang serius pun menurut saya, dapat terbawa oleh atmosfir yang ringan itu dan sulit untuk menghadirkan perbincangan berbobot.

Saya bisa saja dituding iri, karena gagal menghadirkan perbincangan dengan Hillary Clinton. Saya akui, saya iri dan merasa gagal. Namun dengan besar hati saya terima kekalahan itu bila datang dari sesama jurnalis yang biasa berkecimpung di dunia jurnalistik.

Oh Clinton yang Dahsyat! Bagaimana kalau di Bukan Empat Mata?

indi

Sunday, February 22, 2009

Lelucon Madura

Saya dapat lagi lelucon. Tapi mohon maaf kalau menyinggung rekan-rekan saya dari Pulau Madura.

Adalah sebuah cerita tentang seorang madura yang kaya raya pergi ke suatu tempat dan menginap di sebuah hotel yang mewah. Sebelum tidur malam ia memanggil pelayan hotel untuk pesan sarapan agar besok pagi dia tidak perlu repot.

Orang Madura ( OM ): “Pelayan saya mau pesan sarapan untuk besok pagi ya, tolong dicatat, saya minta diantar di kamar saya jam 6 pagi, jangan telat ya sebab saya ada rapat.”

Pelayan (P): Mau pesan apa Tuan?

OM: Saya mau pesan bret jembret.

P: Apa Tuan???

OM: Bret jembret!!!

P: Maaf Tuan apa itu bret jembret???

OM: Sampeyan ini gimana sih, jadi pelayan hotel terkenal kok bego. Anda bisa bahasa inggris nggak ?? Bahasa inggrisnya roti apa??

P: Bread (bret) Tuan.

OM: Nah sekarang bahasa inggrisnya selai apa???

P: Jam (Jem) Tuan.

OM: Lah itu kalau roti dikasih selai terus atasnya dikasih roti lagi apa nggak bread jam bread tak iye… doh sampeyan ini gimana sih!!!

P: Ooooooooooh itu Tuan. Lalu minumnya apa Tuan??

OM: Susu soda!!!

P: Pakai es Tuan?

OM: Lho lha iya pakai es dong, kalo nggak pake es kan jadi “u u oda” tak iye, dok re mak sampeyan ini!!!

P: ???!!! @@@&&^%%%$###))** *))&&&&

Monday, February 9, 2009

Harga Sebuah Kegiatan

Di hadapan kami (saya dan rekan siaran) sepasang suami istri paruh baya duduk dengan wajah muram. Mereka dalam suasana berkabung. Anak kedua mereka baru saja dipanggil pulang Yang Maha Kuasa dalam sebuah kegiatan unit pecinta alam di kampus Institut Teknologi Bandung. Sang anak digambarkan sebagai pemuda yang sehat, walau berat badannya di atas rata-rata. Namun saat kegiatan, ia dan 81 rekannya harus berjalan di malam hari di kawasan perbukitan di Lembang, dengan jarak relatif jauh. Kembali menurut orang tuanya, Wisnu demikian nama panggilan almarhum sempat menyatakan kelelahan. Hanya saja panitia acara tidak memiliki rencana dan fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat. Wisnu hanya diminta berjalan pelan-pelan. Akhirnya saat tengah malam, ia terjatuh dan tak dapat meneruskan perjalanan. Kesulitan mendapatkan alat transpor, panitia akhirnya baru dapat membawanya ke RS Boromeus Bandung, itupun dengan bantuan warga setempat pada pukul 2 pagi dan meninggal dunia di sana.

Saya tidak dapat menyalahkan kedua orang tua itu yang tidak ingin mempermasalahkan kematian anak mereka. Visum pun tidak ada, sehingga berkembang isu Wisnu meninggal karena ia mengidap kelainan jantung. Sejauh ini tidak ada pihak yang menyatakan rasa bersalah dan meminta maaf. Rektorat (entah dekanat dan panitia) hanya datang untuk menyatakan bela sungkawa.

Cuaca hujan, tengah malam, dan semangat rasanya menjadi bahan bakar bagi sejumlah orang untuk unjuk kemampuan diri dan disiplin. Situasi itu pernah saya rasakan belasan tahun lalu. Dalam suatu kesempatan, pengurus Senat Mahasiswa di FakultasFarmasi Universitas Airlangga Surabaya merencanakan kegiatan untuk mempererat persaudaraan. Acara perkemahan disiapkan di kawasan perkemahan Trawas, Mojokerto. Saya ingat betul, saat itu musim penghujan (bayangkan musim hujan di pegunungan tinggi, pasti deh identik dengan hujan setiap hari).

Mahasiswa Fakultas Farmasi dikenal sebagai mahasiswa penggemar belajar dan kuper (saat itu, nggak tahu sekarang). Sehari-hari urusannya kuliah, laboratorium dan perpustakaan. Akibatnya yang ikut saat itu kurang dari 30 orang. Angkatan yang dituju dan pengurus senat pun agaknya enggan keluar rumah. Padahal satu angkatan bisa 100 orang dan pengurus senat sekitar 25 orang, Bayangkan betapa sedikitnya.

Tidak pernah terpikirkan di benak kami bahwa berkemah di musim hujan membutuhkan usaha yang luar biasa (maklum bukan pecinta alam). Bekal seadanya, kemah seadanya, pakaian pun seadanya (karena maksudnya cuma nginep dua malam). Setibanya di lokasi, seingat saya siang hari, kami langsung disambut hujan rintik-rintik. Kian gelap cuaca hujan kian lebat. sebagai kaum amatiran kami tidak berhasil mendirikan tenda yang baik di tengah curah hujan. Kalau tidak bocor ya tenda tidak berdiri. Akibatnya sepanjang malam kami hanya bisa berteduh di tenda seadanya, asal tidak basah (dan itu tidak berhasil).

Kedinginan, kelaparan dan kelelahan adalah musuh bersama. Gelap, tidak ada tempat kering, baju hangat, dan makanan. Sepanjang malam.

Kembali ke masa kini saat saya membayangkan situasi itu, saya membandingkannya dengan kondisi almarhum Wisnu; betapa hampir sama. Perbedaannya, saya tidak berjalan dengan jarak tertentu, sementara Wisnu mendapat tekanan dari lingkungan untuk menempuh jarak tertentu.

Mengatasnamakan kegiatan Senat Mahasiswa, saya dan teman-teman menyelenggarakan acara temu dan kenal mahasiswa baru. Rasanya saat itu kami tidak pernah meminta ijin dari dekanat atau rektorat. Kami merasa sudah cukup dewasa mengelola adik-adik kami saat itu. Saya yakin hal yang sama pula yang dilakukan panitia acara almarhum Wisnu. Mana mau rektorat atau dekanat bertanggungjawab kalau ada apa-apa?

Di luar panggung dan materi dialog kami tentang kasus kematian mahasiswa Fakultas Geodesi ITB, ada banyak perguruan tinggi, banyak fakultas dengan unit kegiatan masing-masing. Mereka memiliki banyak kegiatan mengatasnamakan persaudaraan, pengetahuan atau kedisiplinan. Namun mungkin tidak banyak yang mengingat, bahwa keselamatan dan masa depan para mahasiswa di atas segala-galanya. saya pikir akan lebih bijaksana bila penyelenggara kegiatan menyiapkan rencana dengan bertanggungjawab dan bertanggungjawab pula bila ada sesuatu yang terjadi pada setiap peserta kegiatan.

Mungkinkah ada yang mau bersikap sejantan itu?

indi

Thursday, February 5, 2009

Iseng

Sebagai orang Jawa terutama kelahiran Surabaya, rasanya tidak sreg kalau tidak berbicara bahasa ibu serta menggunakan istilah-istilah kota kelahiran saya. Bahasa dan istilah Jawa 'Suroboyoan' berbeda dengan bahasa Jawa Jawa Tengah, karena lebih kasar, egaliter atau mengabaikan perbedaan status. Bahkan kata makian pun bisa menjadi berbeda makna sesuai konteksnya. Kata jan*** adalah makian yang kasar, tetapi menjadi sapaan yang hangat bila diucapkan bengan hangat kepada sahabat yang lama tak dijumpai.

Nah, saya mendapat surat elektronik (email) dari teman tentang kisah-kisah lucu berlatarbelakang budaya Suroboyoan. Saya sengaja menambahkan ke blog ini karena mungkin ini bisa menjadi penambah gambaran tentang gaya hodip orang Surabaya. Maaf kalau Anda tidak mengerti. Tetapi jika Anda ingin bertanya atau berkomentar saya persilakan---monggo---.

ASMUNI

Bunali lagi kulak sandal nang pasar.
Moro-moro onok arek marani Bunali.

"Lho sampeyan iki Asmuni Srimulat yo?"takok arek mau.
"Dhudhuk! Ngawur ae!" jarene Bunali.
"Ojo mbujuki aku tah. Sampeyan mesti Asmuni!" jarene arek mau ngeyel.

Bolak-balik Bunali negesno lek dheke dhudhuk Asmuni Srimulat, tapi arek mau tetep ae ngotot gak percoyo.
Ndhik endi ae Bunali ditututi ambek arek iku mau.

Mergo mangkel, akhire bunali ngiyakno, cik arek iku ndang ngalih.
"Yo wis tak akoni aku pancene Asmuni Srimulat!. Kate lapo kon!"
"Tapi kok gak mirip blas yo?" jare arek mau ambek nginclik.


SEMONGKO

Bunali lagi pusing soale kebon semongkone ben bengi dijarahi wong, padahal lagi wayahe panen.
Wis diakali macem-macem sik pancet ae akeh sing ilang.
Jarene wong sing nyolong iku Wonokairun, tapi Bunali gak wani nangkep.

Akhire Bunali nemokno cara cik malinge kapok.
Sore-sore sak durunge mulih, bunali masang papan peringatan sing ono tulisane ngene,"Awas!!! ati-ati nek arep nyolong, salah siji semongkoku iki wis tak suntik racun".

Mari ngitung semongkone sing mateng, kabeh onok limolas, bunali mulih.
Sisuke Bunali nyambangi kebone maneh, pas di ijir semongkone sik pancet limolas.
"Wah tibake malinge gocik, tak bujuki ambek pengumuman ae wis wedhi" pikire Bunali.

Mari ngono Bunali ndhelok papan pengumuman ambruk, wah paling ketiup angin, pikire Bunali maneh.

Pas diwalik, tibake papan pengumuman ditambahi tulisan ambek malinge,
"Awas!!! Saiki onok loro".


Wedhus

Bunali pethuk Wonokairun lagi angon wedhus.
"Mbah, waduh wedhuse sampeyan akeh yo?" jare Bunali.
"Yo lumayan" jare si Mbah.
"Piro kabehe , mbah?" takon Bunali maneh.
"Sing putih opo sing ireng? "
"Sing putih, wis "
"Selawe"
"Wik, cik akehe. Lha sing ireng? "
"Podho.... " jare Wonokairun ambek ngarit suket.
Bunali takon maneh.
"Mangan sukete yo akeh pisan, mbah.. "
"Yo... "
"Pirang kilo mangane sakdino? "
"Sing putih opo sing ireng? "
"Sing ireng, wis "
"Yo kiro-kiro limang kiloan"
"Lha sing putih? "
"Podho.... "
Bunali bingung, laopo lek ditakoki kok kudu mbedakno sing putih tah ireng, wong jawabane yo podho ae.
"Mbah, opoko lek tak takoni perkoro wedhusmu, sampeyan mesti leren takon sing putih tah sing ireng barang. Padahal masiyo putih utawa ireng, jawabanmu podho terus. Sakjane ngono onok opo? "
"Ngene lho, sing putih iku wedhusku.... "
"Lha sing ireng? "
"Podho.......... "


Njegur

Onok juragan tambak jenenge Sablah, ngadakno sayembara.
"Sopo ae sing wani njegur nang tambakku, bakal oleh hadiah Sepeda Motor " jare Sablah.
Akeh wong sing ngumpul ndhelok sayembarane, tapi gak onok sing wani njegur Nang tambak.
Masalae tambake isine dhudhuk Iwak, tapi boyo, nyambik, bajul lan sak panunggalane.
Mergo gak onok sing wani njegur, hadiae digenti dhadhi montor kijang anyar.
Tapi tetep ae gak onok sing wani njegor mergo merinding ndhelok boyone guedhe-guedhe mangap kabeh.
Akhire ambek Sablah hadiae ditambah maneh, montor kijang anyar ambek omah sak isine.
Tapi tetep ae gak onok sing wani njegur. Mari sepi meneng kuabeh, moro-moro Muntiyadi njegur nang tambak.
Penontone keplok-keplok kuabeh ndhelok Muntiyadi gelut ambek boyo.
Kiro-kiro wis sak jam, akhire Muntiyadi tampil sebagai pemenang.
Cumak yo ngono, awake dhedhel kuabeh.
Wis mari ambekan, Sablah marani arep nyerahno hadiae, tapi Muntiyadi nolak.
"Yo wis tak tambahi duit limangatus juta" jare Sablah, tapi Muntiyadi tetep nolak.
"Tak tambahi mas-masan sak kilo" jare Sablah maneh, Muntiyadi tetep gak gelem.
" Wis ngene ae, awakmu njaluk opo ae, tak turuti" jare Sablah gak gelem kalah.
"Aku njaluk arek sing njungkrakno aku mau digowo mrene" jare Muntiyadi.


ASI

Yuk Jah lungo nang dokter anak ambek nggendong bayek.
Gak sui yuk Jah diceluk mlebu, tibake doktere guanteng.
Mari merikso bayeke, doktere takok nang yuk Jah, "Ning, arek iki ngombe ASI opo susu botol? "
"ASI pak dokter..... " jare yuk Jah.
"Wah lek ngono tulung aku perlu merikso susu sampeyan, " jare doktere.
Yuk Jah nurut, klambine di bukak.
Mari ngono ambek doktere diperikso alon-alon.
Yuk Jah seneng ae, soale enak ambek doktere kan ganteng pisan.
Wis mari merikso, doktere ngomomg ngene, "Waduh ning, yo pantes bayek sampeyan kuru, wong sampeyan iku gak ndhuwe susu. "
Jare yuk Jah, "dhudhuk aku sing nyusoni pak dokter".
"Lha sopo maneh lho? " doktere bingung
"Aku iki ewange....... "

Kebon Semongko

Bunali pusing soale ben isuk ndhik kebon semongkone onok tembelek.
Sak jane Bunali weruh lek sing ndhodhok Nang kebone ben isuk iku Wonokairun, Cuma gak wani nyeneni.
Akhire Bunali Madang pengumuman sing tulisane ngene "ini kebunku, bukan WC mu!! "
Dhadhak tulisane onok sing ngganti ngene "Ini pupukku, untuk kebun mu!!!!!! "

Ngelindur

Muntiyadi turu ngeloni Romlah, bojone. Pas enak-enak turu, Romlah dhadhak ngelindur celuk-celuk pacare.
"Mas Gembil....aku kangen mas. Mas Gembil peluklah aku...... "
Krungu ngono Muntiyadi malih cemburu ngamuk-ngamuk gak karuan, Romlah langsung diseret nang jedhing.
"Hayo ngomongo!!!! Awakmu pengen pethuk ambek Gempil tah???!!, " jare Muntiyadi mbentak bojone.
"Iyo cak...... " jare Romlah.
Langsung sirahe Romlah didelepno nang banyune bak mandi, cik kapok pikire Muntiyadi.
Mari oleh sak menit Romlah gelagepen, ambek Muntiyadi sirahe diangkat terus ditakoni maneh.
" Wis saiki ngomongo maneh!!!awakmu sik pengen pethuk ambek Gempil tah???!!, "jare Muntiyadi maneh.
"Iyo cak..... " jare Romlah.
Langsung sirahe Romlah didelepno nang bak mandi luwih sui maneh, sik gak kapok ae arek iki pikire Muntiyadi.
Mari oleh rong menit Romlah gelagepen, ambek Muntiyadi sirahe diangkat terus ditakoni maneh.
"Hayo ngomongo maneh!!!awakmu sik pengen pethuk ambek Gempil tah???!!, " jare Muntiyadi maneh.
"Iyo cak........ " jare Romlah.
Muntiyadi tambah muntab. Pas arep didelepno nang banyu maneh, Romlah berontak terus takon nang Muntiyadi.
"Sik tah cak, sampeyan yakin tah lek mas Gempil onok nang jero banyu? "

Putus Asa

Sore-sore Muntiyadi jagongan ngelamun nang warung, pandangane kosong ambek tangane ngudek es teh.
Moro-moro Paidi, koncone, teko ngageti terus nyaut ngombene Muntiyadi diglogok sampek enthek, karepe ngejak guyon.
Muntiyadi nuangis gerung-gerung, koncone malih gupuh kabeh.
"Wok!!Kon iku jarene tentara tapi kok cik gembenge, ngombemu tak saut ae nangis, " jare Paidi.
"Sak dino iki apes thok uripku, " jare Muntiyadi.
"Lho opoko, mbok menowo aku isok nulungi, " jare Paidi.
"Isuk mau, aku dipecat mergo ngilangno bedhile komandan, " jare Muntiyadi.
"Walah ngono ae lho, laopo se dipikir. Awakmu lak dhempal tah, dadi bodyguard utowo preman pasar sik payu, " jare Paidi.
"Iku sik gak sepiro, mari dipecat, aku mulih gasik, pas sampek omah ndhadhak aku mergoki bojoku lahi indehoi ambek koncoku, " jare Muntiyadi.
" Wis gak usah dipikir. Bojomu lak pancen ngono kelakuane, pegaten ae, wong wedhok sik uakeh sing tahes komes, " jare Paidi.
"Iku sik gak sepiro. Aku wis putus asa, katene bunuh diri ae. Mari ngono aku tuku potas terus tak cambur es teh, bareng arep tak ombe dhadhak kon saut pisan. "

Malam Pertama

Cak Mar sik tas rabi, lenger-lenger nang pos hansip koyok wong liwung. Gak sui Cak So liwat.
"Mar, kon iku manten anyar gak tambah seger lha kok malah lungset nyaprut. Opoko kon iku Mar? "
"Iyo Cak, aku kepikiran bojoku. " are Cak Mar.
"Opoko bojomu iku, wong tak dhelok bojomu iku tahes ngono lho. " jare Cak So.
"Ngene lho Cak. Aku iki biasa 'njajan'. Lha pas mari main malam pertama wingi, aku ngetokno duit seketan. Pikirku, arek wedhok sing bodine koyok ngene paling banter taripe seket ewu. Aku luali pol tibake iku bojoku dhewe. "jare Cak Mar.
"Kon yo ngawur ae. Tapi wis gak usah dipikir nemen-nemen, paling bojomu tersinggung sedhiluk terus mari ngono yo kangen ambek peno maneh. "
"Aku kepikiran gak perkoro wedhi bojoku tersinggung" jare Cak Mar.
"Lha opo lho masalae? " Cak So malih bingung.
"Mari tak ke'i seket ewu, dhadhak aku disusuki selawe."

Wednesday, February 4, 2009

Anarkisme

Lakon Rama dan Sinta adalah salah satu kisah yang saya ingat betul waktu kecil, sejak bapak memperkenalkan epos Mahabharata di kisah pewayangan. Demikian pula kisah peperangan antara Pandawa dan Kurawa di Bharatayuda. Bagi saya, kedua kisah itu tidak hanya berbicara tentang yang bathil dan yang adil, tetapi juga menggambarkan kondisi abu-abu psikologis para tokohnya.

Sebut saja Sang Rama yang tidak memercayai kesucian Sang Sinta sehingga harus repot-repot membakar isterinya guna mencari pembuktian. Kesetiaan sang isteri dipertanyakan, dan pernyataan Trijata diabaikan karena alam pikiran sang raja diamuk kecemburuan.

Demikian halnya suasana hati Adipati Karna menjelang perang Bharatayuda di Padang Kurusetra. Sang Adipati merasa perlu tetap membela Kurawa yang ia ketahui bermandikan dusta, licik dan picik, hanya karena ia ingin menunjukkan betapa ia juga layak disebut ksatria keturunan Kunti, ibu para Pandawa, yang berani, teguh, percaya diri.

Dari kedua kisah itu pula saya mendapat gambaran penting bagaimana bersikap di tengah konflik. Ada Kumbakarna adik Rahwana, yang tidak mau membantu sang abang berbuat nista, tetapi ia rela mempertahankan negara saat diserbu pasukan kera. Lalu juga sikap Resi Bhisma, yang rela berjuang untuk Kurawa, karena terikat harga diri. Keduanya gugur dengan julukan pahlawan oleh kelompok 'putih', walau mereka membela kelompok yang bersalah. Keduanya menonjolkan sikap ksatria yaitu berani berbuat, berani pula bertanggungjawab.

Ingatan tentang kisah pewayangan dari tanah India itu seolah melekat pada kejadian di Sumatera Utara beberapa hari lalu. Saya tidak bisa membayangkan betapa ratusan orang memaksakan diri masuk ke dalam sidang paripurna DPRD memorakporandakan gedung yang dibangun dari uang pajak rakyat agar anggota dewan mendengar aspirasi mereka.

Lebih dari itu, atas nama nafsu dan amarah sekelompok orang memaksa ketua dewan yang terhormat, memukuli hingga akhirnya ia meninggal dunia. Saya membayangkan orang-orang itu bermata merah bak raksasa, gigi berkeriut, dan ludah memburai saat meneriakkan makian, sumpah serapah. Seolah Abdul Aziz Langkat, Ketua DPRD TK I Sumut bertanggung jawab sepenuhnya atas belum tuntasnya pembicaraan pembentukan Provinsi Tapanuli. Massa mungkin lupa, bahwa sang ketua dewan baru dua bulan menjabat.

Berada di tengah massa yang beringas, walau beberapa orang berusaha melindungi (hanya ada satu atau dua anggota polisi), Abdul Aziz Langkat menjadi bulan-bulanan pukulan. Gambar televisi dan foto menunjukkan sedikitnya dua pukulan mengenai wajahnya. Entah berapa lagi yang bersarang di tubuhnya. Entah pula apa yang ia alami saat ia ditarik dari dalam ruangan ke halaman gedung.

Massa bisa saja merasa benar saat beralasan mereka tengah memperjuangkan aspirasi masyarakat Tapanuli. Dapat dimengerti pula bila mereka mempertanyakan kelanjutan pembicaraan proses pemekaran itu, karena sudah dilakukan lebih dari setahun lalu.

Namun peristiwa itu menjadi jauh bedanya dengan kisah kepahlawanan Kumbakarna, Resi Bhisma yang berjuang tanpa niat apapun selain membela diri. Massa yang bertindak anarkis layak dipertanyakan alasan dan tujuannya. Mereka juga tidak ksatria karena tidak berada dalam posisi diserang, bahkan mereka menyerang orang yang tidak bisa membela diri atau bersenjata.

Dalam era reformasi rakyat Indonesia mendapat anugerah berupa kebebasan menyampaikan pendapat. Tidak ada Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang begitu berkuasa di era Soeharto, yang dapat menangkap dan menahan orang tanpa perintah pengadilan. Atau intel yang selalu memata-matai orang yang berkumpul.

Kebebasan ini diartikan sebagai sebuah hak yang bebas diekspresikan untuk apa saja, kepada siapa saja dan di mana saja (terutama di gedung dewan atau rumah para wakil rakyat). Itu sebabnya sering dijumpai aksi massa yang berujung pada anarkisme.

Rekan saya Indy Rahmawaty bertanya ketika kamera sedang "on" kepada saya, dapatkah tindakan brutal massa propemekaran Provinsi Tapanuli disebut sebagai tindakan barbar? Saya langsung menjawab, ya. Itu tindakan barbar. Tanpa ada pustaka yang mendukung definisi apa itu tindakan barbar, saya merasa benar menyatakan hal tersebut. Alasan saya, orang berpendidikan (ada di antara massa yang mantan anggota dewan serta mahasiswa) akan mengedepankan akal bukan 'okol' atau otot dan nafsu.

Rahwana adalah wakil citra orang yang menggunakan otot dan nafsu tanpa akal sehat. Demikian pula wangsa Kurawa yang ngiler melihat daerah kekuasaan Pandawa serta Burisrawa yang bernafsu melihat kecantikan Dewi Drupadi istri para Pandawa. Seluruh citra itu seolah melekat pada massa propemekaran Provinsi Tapanuli. Padahal saya yakin, masih ada di antara mereka yang bisa berpikir jernih dan bersikap demokrat.

Janganlah cederai demokrasi dengan anarkisme, karena terlalu mahal harganya.

indi

Sunday, January 11, 2009

Biopori

Dingin bangeeettt. Itulah yang saya rasakan dalam seminggu terakhir. Jakarta yang biasanya panas, lengket, berdebu dan polutif kali ini terasa segar, bahkan kelewat dingin. Badan Meteorologi dan Geofisika menyebutkan bulan-bulan ini adalah puncak musim penghujan di Indonesia terutama di Kawasan Barat. Artinya bersiap-siaplah kita menghadapi banjir dan teman-temannya.

Sebagai kawasan langganan banjir, Jakarta seharusnya sudah siap menghadapi penyakit menahun ini. Tidak boleh ada lagi kumpulan air yang menggenang berhari-hari seperti yang terjadi pada banjir besar Februari 2002.

Saya melihat ada dua langkah utama yang sudah dibuat aparat negara. Pertama pembangunan banjir kalan timur dan kedua peninggian jalan tol bandara Soekarno Hatta. Yang kedua memang tidak 'an sich' negara, karena pembuatnya adalah Jasa Marga, sebuah perusahaan/ BUMN yang berorientasi keuntungan.

Khusus yang pertama, saya melihat pembangunan yang tengah berlangsung di kawasan Jakarta Timur (dekat Pondok Kopi). Setiap lewat jalan tol lingkar luar Jakarta ke arah Cakung, saya menyaksikan penggalian saluran sebesar anak sungai. Rasanya ini adalah sepotong saluran penampung air limpahan hujan di Jakarta. Sayang sekali saya belum pernah mengonfirmasi status saluran itu ke otoritas banjir kanal timur.

Namun anehnya di tengah-tengah calon sungai/ kanal itu ada sebentuk bangunan yang tersisa. Bangunan itu berdiri sendiri karena samping-sampingnya sudah digerus. Kembali melalui pengamatan, saya merasa bangunan itu adalah mushala atau masjid kecil yang tidak segera dirobohkan untuk menyelesaikan saluran air. Kembali saya tidak berani berspekulasi tentang penyebab tersisanya bangunan soliter itu.

Jika banjir kanal timur selesai dibangun, Pemerintah DKI berani menantang hujan dan banjir dengan jurus baru itu. Namun demikian, mengatasi banjir hanya dengan banjir kanal timur rasanya kok naif sekali. Apa iya saluran yang mengelilingi Jakarta itu dapat menampung air hujan dan buangan limbah lainnya. Masalahnya, masyarakat Jakarta menghadapi persoalan lingkungan yang pelik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta masih menarik kaum pendatang. Artinya mereka membutuhkan tempat untuk tinggal dan menjadi beban tambahan bagi tanah Jakarta. Belum lagi pembangunan terus menerus baik di Jakarta maupun daerah penyangganya. Masih baik bila para pembangun menyediakan saluran pembuang atau drainase; kenyataannya lebih banyak yang mengabaikan dan air pun mengalir di jalan-jalan tak terarahkan.

Pekan lalu, kami mengundang seorang pencipta. Kamir Brata namanya. Dari tangannya tercipta benda sederhana berbentuk tongkat dengan ujung terbuat dari logam lancip dan tangkai seperti kemudi sepeda. Alat inilah yang dijadikan pengebor tanah untuk membuat lubang resapan bernama biopori.

Saya tidak ingin membahas biopori secara teknis, tetapi betapa saya terkagum-kagum oleh sumbangsihnya/ Pak Kamir mengklaim, alat tersebut dapat membangun ekosistem tanah yang meningkatkan kesuburan tanah sekaligus mencegah banjir. Memang terdengar utopis bila satu biopori akan menciptakan kondisi ideal itu. Tetapi, menurut beliau bila semua rumah tangga menyiapkan satu atau dua lubang resapan, maka betapa banyak lubang penampung air yang akan menjadi rumah bagi makhluk-makhluk kecil penyubur tanah seperti cacing.

Bagi saya yang memiliki sepetak tanah kecil untuk rumah bagi keluarga, saya sadar pentingnya ketersediaan ruang untuk ekosistem. Cacing, tanaman, kumbang, dan kotoran adalah lingkungan yang baik bagi dunia ini, kendati hanya berukuran kecil. Itu sebabnya kehadiran biopori saya pikir dapat membantu saya pribadi membantu pulihnya ekosistem.

Ya itu kan kata saya.

indi

Tuesday, January 6, 2009

Terkutuklah Perang

Dua kelompok anak berpakaian layaknya tentara bermain perang-perangan. Di kepala mereka terikat serumpun daun dan wajah coret hitam dari arang untuk kamuflase. Di tangan terlihat senapan dan pistol mainan dari pelepah pisang atau kayu. Mereka memperebutkan bendera di tengah kampung di sebuah kecamatan di Tangerang, Banten sebagai tanda kemenangan.

Menyaksikan polah mereka, saya teringat masa lalu saat memainkan perang-perangan bersama teman-teman. Pelepah pisang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibunyikan menyerupai suara tembakan. Yang lebih maju, kami membuat senjata dari semacam rumut yang kaku dengan amunisi kacang hijau. Jika ditiup, kacang hijau itu bisa membuat sakit siapa saja yang terkena.

Permainan perang-perangan selalu menarik untuk dimainkan. Selain melibatkan jumlah yang banyak sehingga terasa seru, kami juga merasa menjadi pahlawan karena membayangkan berhasil mengalahkan lawan bahkan penjajah.

Di tahun 1970-an, salah satu kegemaran saya adalah menonton film perang di telvisi. TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu seringkali memutar film perang antara Amerika /sekutu dan Jerman. salah satunya adalah film Baa baa Black Sheep (betul nggak, ya tulisannya?). Menyaksikan film perang saat itu membuat saya menghargai pihak Amerika yang selalu menang karena membela kebenaran dan membenci tentara Jerman yang menjadi penjahat dan menjajah dunia (baca Eropa).

Namun itu perang jaman saat saya masih anak-anak. Perang dari kaca mata saya sebagai orang dewasa bahkan setua sekarang memiliki arti yang berbeda. Perang identik dengan kehancuran sebuah peradaban, lumatnya kemanusiaan dan menyakitkan karena kematian dan penderitaan. Mari kita lihat dampak itu mulai dari perang Teluk tahun 1990-an, saat Irak menginvasi Kuwait. Dilanjutkan dengan serbuan Amerika ke Irak sengan alasan untuk menumbangkan Saddam Hussein sekitar sepuluh tahun kemudian. Perang ini tidak bisa dikatakan selesai, karena menyisakan berbagai aktifitas bom bunuh diri yang menelan jiwa tidak sedikit. Dan kini kita disajikan peristiwa serangan Israel ke Jalur Gaza. Dalam waktu dua minggu sampai tulisan ini saya buat, hampir seribu orang tewas dalam pertempuran itu. Korban terbanyak tentu di pihak Palestina, karena persenjataan kaum Yahudi begitu modern dan berskala besar. Ini yang paling menyedihkan, yaitu anak-anak yang tidak berdosa juga menjadi korban dengan jumlah seratur lebih.

Oh ya jangan lupakan mereka yang luka-luka akibat bom, peluru, atau tertimpa reruntuhan. Tercatat jumlah itu 3000 lebih. Nyawa mereka terancam, karena Israel mencegati bantuan kemanusiaan. Dokter dilarang masuk, walau obat-obatan boleh. Cuaca dingin dan fasilitas medis yang minim adalah faktor pemberat situasi.

Tidak ada yang berani memastikan kapan penderitaan itu akan berakhir. Usaha-usaha dunia internasional menghentikan peperangan belum membuahkan hasil. Dewan Keamanan PBB bak singa ompong, karena resolusi yang diharapkan dapat menekan Tel Aviv diveto Amerika Serikat. Dunia Arab juga terbelah sikapnya. Suriah nyata-nyata marah terhadap Israel, tetapi Mesir bersikap lunak dengan menyalahkan Hamas karena sengaja memprovokasi Israel.

Sikap pemerintah Indonesia yang berada di seberang lautan jauh lebih tegas daripada dunia Arab. Bahkan kalau bisa dibilang lebih luas daripada sekedar menyalahkan Israel. Dengan berunjukrasa di Kedubes AS dan permintaan boikot terhadap produk-produk seperti KFC, Mc Donald dan Coca Cola, sekelompok masyarakat Indonesia menjadikan perang Palestina sebagai bagian dari bentuk keprihatinan sendiri. Pemerintah AS dianggap melindungi Israel, kaum Zionis, yang perlu ditekan. Untunglah Presiden SBY mengingatkan kita bahwa pertempuran di Tanah Perjanjian itu bukan perang agama.

Terlepas dari alasan peperangan (dua pihak yang berperang pasti selalu menyalahkan lawannya), umat manusia kini tengah diuji. Dimanakah letak kemanusiaan? Perang memang selalu membawa korban, tetapi korban yang tidak perlu seperti anak-anak, orang tua dan wanita (kecuali yang jadi tentara) seharusnya diminimalisasi.

Saya teringat lagu karya John Lennon: Imagine. Lagu yang sarat harapan tentang keindahan dunia bila tanpa perang; sesuatu yang rasanya musykil di saat-saat ini ataupun mendatang. Namun demikian harapan rasanya perlu selalu ditumbuhkan, dijaga dan disebarkan, harapan untuk dunia yang lebih baik. Ingat kata pepatah: Menang jadi arang, kalah jadi abu. Perang tidak pernah mendatangkan keuntungan bahkan kerugian di kedua belah pihak. Jadi lebih baik damai. Atau paling jauh perang-perangan menggunakan senapan pelepah pisang.

Dor, dor, dor!

indi

Thursday, January 1, 2009

Met Taon Baru

Saya kagum, terpana, tercengang dan kemudian geleng-geleng saat melihat pesta kembang api pada perayaan tahun baru 2009. Di Serpong, Tangerang dekat rumah kami dan di televisi pada hasil penayangan liputan teman-teman. Indah, gemerlap , seru dan ... mahal! Angkasa malam yang gelap, menjadi bercahaya dengan warna beraneka ragam. Merah, kuning, hijau. Bentuknya pun bermacam-macam dengan suara khas ledakan petasan.

Sebuah hitung-hitungan yang muncul saat laporan (dari luar negeri, saya lupa negaranya) itu disampaikan adalah sekitar Rp 50 miliar. Di Indonesia menurut laporan yang saya dengar dan saya baca tidak ada hitung-hitungan serupa . Mungkin karena reporternya males cari data, tanya atau nggak pengen tahu, sehingga info yang seru itu tidak terekspos. Atau penyelenggara enggan membuka diri dan memaparkan nilai uang yang dibakar di angkasa. Namun kalau dengan hitung-hitungan kasar di sebuah mal di Tangerang yang menyelenggarakan pesta kembang api dan menyediakan 17 satu bokor kembang api seharga 1 juta rupiah berarti 17 juta rupiah untuk menghibur warga Tangerang saja. Sebuah angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan biaya pesta di luar negeri yang saya singgung di atas. Hanya saja kemudian saya menjadi bertanya-tanya betulkah kita membutuhkan biaya sebesar itu untuk terhibur saat malam pergantian tahun.

Seingat saya saat kecil dulu, malam pergantian tahun bukan sesuatu hal urgent untuk dirayakan secara besar-besaran. Paling-paling kami berkumpul makan-makan, menonton televisi (saat itu hanya TVRI) dan praktis tidak ada ajakan untuk ke tempat keramaian atau begadang semalaman. Namun seiring waktu perubahan bergerak menuju ke hedonisme dan pemuasan nafsu. Mengapa saya menyatakan itu, karena saya tidak pernah membayangkan betapa pergantian tahun dirayakan salah satunya dengan belanja. Betapa serunya sejumlah pusat perbelanjaan membanting harga barang-barang dagangannya di tengah malam sesaat sebelum pk 00.00.

Seberapa pentingkah kita merayakan tahun baru? Itu juga pertanyaan saya. Toh harinya sama saja. Matahari terbenam di ufuk Barat dan terbit di Timur. Jumlah jamnya pun tetap sama 24 jam dengan sedikit variasi pada cuaca berupa hujan atau tidak di daerah khatulistiwa atau salju di belahan utara. Mengapa sebagian orang perlu berhura-hura merayakan pergantian tahun? Kalaupun perlu diperhatikan tidakkah lebih baik dengan berintrospeksi, merenung, mengevaluasi diri terhadap apa yang sudah kita kerjakan 12 bulan sebelumnya.

Bagi yang senang akan tahun yang baru, ia dapat menyatakan penyebabnya adalah harapan di masa mendatang. Hari esok selalu membawa harapan jika kita melihatnya dengan rasa optimistis. Namun kembali muncul pertanyaan: setiap hari kan juga membawa hari esok, jadi apa bedanya dengan tahun baru?

Waahhhh, apa sih maksudmu, Indi? Kok repot ngurusin perlu tidaknya perayaan tahun baru? Biarin dong kalau orang mau hepi. Toh tidak salah dengan membuat orang hepi dengan cara masing-masing atau ada orang mau hepi dengan cara sendiri, baik belanja, makan-makan, atau merenung. Iya toh iya toh?

Saya teringat berita saat penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 30 Desember 2008. Saat itu para pialang, staf dan orang yang bekerja di BEI di Jl. Sudirman Jakarta berpesta tanpa terompet, sebuah gambaran betapa suasana muram karena krisis global masih terasa. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang selalu meriah, karena BEI saat masih bernama BEJ termasuk bursa terbaik di Asia bahkan dunia. Tetapi kini BEI nomor tiga terburuk di dunia, karena Indeksnya jatuh lebih dari 50%.

Mungkinkah kita melihat tahun baru selain penuh harapan juga penuh kehati-hatian. Tidak ada yang bisa memastikan tahun depan mendatangkan harapan yang lebih baik dari tahun ini. Oleh sebab itu mengapa kita tidak lebih bijaksana membelanjakan uang, membakar berjuta-juta rupiah di udara hanya untuk kesenangan sesaat. Atau belanja barang-barang berdiskon untuk memuaskan impuls kesenangan beberapa jam saja. Pernahkah kita berpikir lebih panjang untuk bersikap hati-hati menghadapi ketidakpastian esok hari? Yang pasti saya melakukan itu.

Selamat tahun baru 2009
indi