Saturday, October 16, 2010

Eksotisme Tana Toraja (3) Kepercayaan

Walau hanya dua hari tinggal di sebuah keluarga besar di Tana Toraja, saya mendapat begitu banyak informasi yang begitu banyak. Saya memerlukan waktu cukup banyak untuk memilah apa yang ingin saya bagikan kepada Anda dari informasi dan pengalaman itu.

Saya batasi tulisan ini pada hal-hal yang dipercayai keluarga yang saya tinggali. Tampaknya keluarga ini memiliki sejarah panjang di Tana Toraja. Salah satunya tercatat lewat usia salah satu dari selusin lumbung yang ada, yang diklaim dibangun pada abad 18. Kayunya kasar, keras, tapi tampak sudah termakan cuaca, sehingga warna aslinya memudar. Demikian juga atapnya yang terbuat dari susunan bambu dan bukan rumbia atau sirap.

Keluarga besar ini memang sudah menganut agama Kristen, tetapi masih ada warna adat dan sisa kepercayaan lama dalam aktifitas kesehariannya. Sekali lagi tulisan ini tidak menilai benar salah sebuah aktifitas, tetapi hanya mencatat fakta yang ada.

Kawasan tempat saya menginap bernama Batu Kianak, 10 km dari Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan perjalanan mendaki.

Nama tempat ini memiliki sejarah yang berbau kepercayaan tertentu. Saya diperlihatkan sepetak tanah berpagar besi berukuran 3x3 m. Di dalam pagar terdapat sesemakan dan sebatang pohon beringin berukuran sedang. Namun bukan benda itu yang menjadi pusat perhatian. Berjajar di bawah beringin itu ada beberapa baru seperti tonggak atau sisa batang cor untuk pondasi bangunan. Warnanya memperlihatkan kalau batu-batu itu berusia tua. Ada bekas lumut dan jamur serta aus oleh cuaca.

Yang jelas terlihat ada lima tunggul batu yang berukuran berbeda-beda. Batu tertinggi sekitar setengah meter, Tertinggi kedua beberapa centimeter lebih rendah dan tiga lainnya hanya belasan centimeter. Karena ukuran inilah disebutkan batu ini merupakan keluarga. Yang tinggi adalah pasangan ayah ibu dan tiga anak-anaknya. Disebutkan pada hari-hari tertentu, terutama pada bulan purnama, batu baru akan muncul berukuran kecil, yang disebut sebagai anak baru. Oleh sebab itu namanya adalah batu kianak atau batu beranak.

Tidak hanya itu, pada hari-hari tertentu pula, terutama menjelang adanya upacara entah kelahiran atau kematian, akan muncul ular-ular berukuran besar di sekitar batu dan pohon beringin itu. Masyarakat di sekitar itu masih memercayai kehadiran ular dan batu-batu tersebut memiliki arti penting untuk keselamatan mereka. Sehingga mereka tidak berani mengganggu ular atau merusak situs tersebut.

Kepercayaan masyarakat setempat terhadap hal-hal magis juga tercermin pada rumah adat atau tongkonan dan lumbung mereka. Salah satunya adalah pembangunan lumbung yang harus menghadap ke Selatan dan adanya ukiran-ukiran tertentu yang boleh dan tidak boleh ada di dinding bangunan. Sayang sekali saya tidak berkesempatan menggali lebih dalam tentang makna arah dan ukir2an itu, karena narasumber saya yang juga tidak memiliki informasi cukup.

Dua hari benar-benar tidak cukup untuk menggali keeksotisan Tana Toraja. Padahal saya juga ingin berbagi informasi tentang hal-hal itu. Sebutkan saja kubur dari batu serta sistem sosial di masyarakat.

Semoga suatu hari saya berkesempatan kembali ke tanah yang penuh keindahan dan misteri itu.

Tuesday, October 12, 2010

Eksotisme Tana Toraja (2) Nilai Kerbau

Tubuh itu besar. Berkilat. Kuat. Sorot matanya tajam. Seolah tidak percaya akan maksud siapapun yang mendekat. Namun ia tidak mampu bergerak. Tak berdaya. Hidungnya terikat oleh seutas tambang yang tertambat di sebuah pohon.

Hewan itu adalah seekor kerbau dengan berat sedikitnya 150 kg. Ia dipersiapkan untuk upacara adat di Tana Toraja. Dikorbankan entah untuk upacara pernikahan, pindah rumah atau kematian.

Bagi masyarakat Tana Toraja, ini yang saya tangkap, kerbau memiliki tempat tertentu jika tidak dapat dibilang istimewa. Upacara adat seakan tidak lengkap tanpa korban kerbau.

Namun kerbau untuk korban berbeda dengan kerbau biasa. Tidak semua kerbau dapat dijadikan korban. Pertama-tama ia harus berkelamin jantan. Tanpa cacat. ukuran ekornya lebih panjang dari lutut belakang. Itu kriteria umum. Ada yang lebih berharga dari sekedar kerbau seperti itu. Kira-kira demikian; kerbau berciri di atas harganya beberapa puluh juta rupiah. Nah yang kelas istimewa bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Nah ini ciri yang mahal. Kerbau belang, yaitu berwarna kulit hitam dan putih kemerahan, dan kerbau yang dikebiri (ini berarti sang kerbau tidak mampu membuahi kerbau betina). Kerbau kebiri memiliki ciri bertanduk besar dan melengkung indah). Kerbau jenis ini sekali lagi bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bayangkan harga sebuah mobil niaga kelas menengah di Indonesia.

Perhatian saya tertuju pada seorang penggembala kerbau belang yang kami temui di sebuah sungai di belakang tempat tinggal kami di Tana Toraja.

Pria itu berusia 40an. Bertubuh sedang cenderung kurus. Ia menuntun seekor kerbau belang yang beratnya kira-kira 3 kali tubuhnya, ke air yang mengalir dengan batu-batuan di dasarnya. Setelah melepas sang kerbau berendam, ia melepaskan seluruh pakaiannya. Ya, ia telanjang bulat. Perlahan ia mendekati sang hewan dan mandi bersama!

Air itu tidak keruh, tetapi tidak juga jernih. Sisa-sisa hujan semalam membawa lumpur dan tumbuhan atau sampah menuju hilir. Namun hal itu tidak merisaukan sang pria. Diambilnya sikat yang telah dipersiapkan dan dengan teliti ia menyikat tubuh gembalaannya. Setiap centimeter hewan besar itu ia bersihkan, seolah membersihkan benda antik yang tidak boleh ternoda sebutir kotoran pun.

Penghormatan masyarakat Tana Toraja kepada leluhur dan kedisiplinan mereka pada adat membuat saya tertunduk takzim. Saya tidak menggugat besarnya biaya yang harus ditanggung oleh mereka yang hidup saat upacara kematian digelar dan belasan atau puluhan ekor kerbau dikorbankan untuk mengantar orang yang meninggal, tetapi saya kagum oleh ketaatan itu sendiri turun temurun.

Sampai saat ini, beberapa minggu pascakunjungan ke Tana Toraja itu, saya masih tak dapat berhenti mengagumi cara hidup tersebut. Wow, luar biasa keberagaman adat di negeri saya tercinta ini.

Monday, October 4, 2010

Eksotisme Tana Toraja (1) Sabung Ayam

Beke...beke...songkok...songkok...
Itulah seruan yang terdengar mendengung di arena sabung ayam di sebuah kecamatan di Kab. Toraja Utara. Mereka menawarkan taruhan bagi para penggemar adu ayam yang segera berlaga.

Beke (saya tidak tahu tulisan sebenarnya) adalah sebutan untuk pemegang ayam yang menggunakan ikat kepala dari kayu. Sedangkan songkok untuk lawannya yang menggunakan topi caping petani.

Para petaruh itu menawarkan uang untuk menjagokan ayam yang dianggap kuat. Tidak ada uang kecil di sana. Minimal Rp. 50.000 hingga entah berapa. Ketika pertarungan dimulai, kesenyapan datang di arena. Sesekali seruan kagum terdengar: aaahhhh, saat tendangan telak seekor ayam mengenai lawannya. Kurang dari satu menit, pertarungan selesai. Taji logam yang terpasang di kaki masing-masing ayam, salah satunya melesak ke dada lawannya. Uang taruhan berpindah tangan. Ayam yang kalah dibawa ke pejagalan. Ya pejagalan, karena ayam yang belum tentu mati itu dipotong kakinya (yang bertaji) dan diserahkan kepada pemenang. Catat: si ayam itu masih hidup saat kakinya dipotong. Baru kemudian lehernya disembelih.

Tidak ada kata kesempatan kedua kepada ayam yang kalah. Bahkan bila ia hanya melarikan diri tanpa luka, dan tidak mau melakukan pertarungan lagi, tetap kakinya akan dipotong baru lehernya.

Menonton adu ayam di Tana Toraja (foto-foto dapat dilihat di FB saya) membuat bulu kuduk ini merinding. Betapa tidak, saya rasa kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan ikutan yang dianggap penting dari sekian banyak upacara di Tana Toraja.

Walaupun banyak orang menuding sabung ayam ini sebagai judi dan pasti ilegal, tidak menyurutkan minat penggemarnya. Biasanya adu ayam ini mengikuti upacara kematian salah seorang warga setempat.

Menempati sebuah tanah lapang, adu ayam ini bisa digelar sejak pagi hingga malam selama 7 hari sampai sebulan. Ratusan orang duduk di bawah pondok2 darurat yang dibangun sekeliling arena sabung. Semua (kecuali turis, anak-anak dan ibu-ibu) memegang uang taruhan.

Berbeda dari judi yang umum ditemui, taruhan pada sabung ayam di Toraja ini (saya tidak tahu tempat lain) hanya melibatkan dua orang; pemegang beke atau songkok). Mereka saling memercayai untuk transaksi itu.

Menurut perhitungan kasar, dalam sehari perhelatan adu ayam, sedikitnya Rp. 30 juta beredar di sana. Asumsinya: ada 300 pengunjung yang masing-masing memegang uang Rp. 100.000. Sensasional kan?