Tuesday, July 21, 2009

Tragedi

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah

Dua baris lirik lagi Panggung Sandiwara-nya God Bless mengisi batok kepala saya berulangkali, saat saya melihat peristiwa-peristiwa besar dalam sebulan terakhir. Tidak tahu kenapa justru lagu itu yang terngiang bukan lagu Ebiet G Ade atau Mbah Surip.

Sejak kampanye pemilihan presiden diikuti dengan pencontrengan dan perhitungan suara, saya menangkap nuansa yang berwarna-warni dari aktifitas politik saat itu. Belum selesai haru biru protes tim sukses capres 1 dan 3, bom mengguncang Jakarta. Korban tewas dan luka terserak tak berdaya dengan wajah-wajah panik mereka yang selamat menghiasi layar kaca dan koran-koran. Terakhir saya melihat sendiri beberapa korban bom Marriott dan Kedubes Australia 6 dan lima tahun lalu. Terselip di antaranya kisah si Tegar dari Caruban Madiun. Bocah 4 tahun itu kakinya putus terlindas kereta api ulah bapak tirinya. Sang bapak tiri, yang tidak puas atas penolakan isterinya (ibu Tegar) untuk bersetubuh membawa Tegar ke rel kereta api dan hingga kereta mnghancurkan kaki kanan Tegar. Trenyuh hati ini menyaksikan tubuh-tubuh yang cacat, termasuk ketakutan yang tak juga pupus akibat trauma saat itu.

Rasanya bumi kita tercinta ini seperti panggung sandiwara yang nyata. Cerita itu mudah berubah untuk setiap aktor dan aktrisnya di skala mikro dan terlebih di skala makro yang mengubah nasib banyak orang. Satu demi satu peristiwa bermunculan menjadi perhatian publik internasional berubah secara cepat dan drastis dalam hitungan hari, sehingga menafikan arti kisah sebelumnya. Media segera mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak karena adanya persitiwa baru yang lebih dramatis.

Sebagai produser (yang kadang-kadang mengarahkan aktor di panggung siaran tv) saya merasa puas dengan sandiwara (baca: peristiwa) yang tengah berlangsung. Seru, dramatis, penuh emosi, masif dan penuh kejutan. Bahkan kalau bicara komersial, saya ingin hal seperti ini terjadi setiap hari, karena rating berita akan tinggi.

Namun apa daya saya masih orang biasa yang cenderung sentimentil bila lihat penderitaan orang. Para korban bom, keluarga mereka dan mereka yang membawa cacat seumur hidup akibat bom bertahun-tahun lalu menimbulkan pertanyaan besar untuk sang sutradara panggung sandiwara besar bernama hidup di bumi ini.

Apa tujuan ia menciptakan kisah yang penuh tragedi bagi sekelompok orang bahkan kelompok yang besar bernama negara? Mengapa ia membuat peran dengan aktor-aktris yang berada di kutub berbeda dalam hal ideologi, nasib dan tindakan? Berapa lama kisah ini akan dimainkan? Bagaimana akhir dari kisah ini?

Bersyukurlah orang yang beriman, yang tetap tabah menahan cobaan tanpa harus kritis terhadap pembuat kisah. Hanya saja tidak semua orang mampu menanggung efek kejadian itu. Tidak sedikit yang patah dan kehilangan semangat menghadapi kisah yang dramatis dan tragis tersebut. Apa yang harus mereka perbuat.

Saya terus terang tidak tahu harus berbicara apa terhadap para aktor-aktris tersebut. Saat saya bertemu dengan korban Marriott 6 tahun lalu, yang tubuhnya penuh luka parut akibat luka bakar mayor, lidah ini terlipat dan mulut terkunci. Tapi mudah-mudahan mereka bisa membaca keprihatinan saya atas penderitaan mereka.

Sebagai aktor lain di panggung sandiwara di bumi ini, saya memang tidak terlibat langsung dengan kisah bom Jakarta. Namun saya sadar kisah tragis itu bisa saja terjadi pada saya dan keluarga, pada Anda dan keluarga dalam bentuk lain, setiap saat, di mana saja.

Be prepared!
indi

Tuesday, July 14, 2009

Kutagih Janjimu

Bahasanya tentu tidak seperti itu, tetapi dengan gaya yang berbeda; yaitu ketika anak bungsu saya Diva Josephina menagih janji saya untuk memasang internet. Bulan lalu sambungan Speedy di rumah saya putus, karena lambat dan tagihannya kurang masuk akal. Sejak itu, anak-anak tidak lagi dapat mengakses mainan, obrolan atau mengerjakan tugas yang menggunakan internet.

Adapun saya berjanji pada anak-anak untuk memasang sambungan baru segera setelah saya memperoleh provider internet terbaik. Sialnya, hehehe, sampai hari ini belum ada tanda-tanda pilihan itu jatuh pada siapa. Akhirnya muncullah kalimat yang baik itu: Kutagih janjimu.

Banyak orang bilang janji adalah utang, jadi harus dibayar atau janji harus ditepati. Namun sialnya bagi banyak orang lainnya janji bisa hanya sekedar janji. Janji adalah kata-kata tanpa makna yang keluar dari mulut untuk menyenangkan orang untuk sesaat saja dan kemudian terlupakan seiring perjalanan waktu.

Menjelang pemilu legislatif dan presiden, kita dijejali janji-janji setiap hari. media cetak dan elektronik penuh kampanye berisi rencana-rencana yang akan dikerjakan bila si calon duduk di kursi yang diinginkan. Bahkan ada pula yang bersedia membuat kontrak politik berisi hal-hal yang akan dilakukan kemudian ditandatangani.

Nah, sekarang pemili sudah selesai. Orang-orang yang akan duduk di kursi legislatif dan eksekutif sudah diketahui. Artinya, kita masyarakat baik yang memilih atau tidak memilih berhak menagih janji yang sudah disampaikan saat mereka berkampanye.

Sialnya, apakah rakyat masih ingat apa yang dijanjikan itu? Adakah dari kita yang mencatat butir-butir yang akan dikerjakan calon pemimpin kita? Saya, terus terang tidak. Andaikan semua masyarakat Indonesia tidak ada yang ingat atau mencatat, bagaimana mereka bisa ditagih? Hehehe apalagi bila mereka tipe pelupa alias tidak ingat akan janji-janji yang sudah digembar-gemborkan.

Sebuah pepatah Cina menyebutkan: sekali kata terucap tujuh ekor kuda tak dapat menariknya kembali. Artinya, setiap janji yang keluar memiliki konsekuensi berat yang tidak dapat dilupakan dan diabaikan. Hanya orang yang tidak memiliki harga diri saja yang akan mencederai janji yang pernah terucap.

Adakah para pemimpin dan calon pemimpin kita orang-orang yang memiliki harga diri yang akan merealisasikan janji mereka tanpa harus ditagih. Yah minimal jangan kayak saya yang harus selalu ditagih anak-anak saya untuk memasang internet.

Semoga.
indi

Thursday, July 9, 2009

Contreng (Centang)

Sudah dua hari ini kuku saya tidak indah (hehehe...emangnye pernah?). Warna ungu akibat tinta itu belum hilang. Walaupun begitu saya tetap bangga menggunakan hak pilih. Jujur saja, belum pernah saya sebangga ini saat memberikan suara.

Jago saya memang kalah. Tetapi saya puas melihat ia bertarung dengan segenap tenaga, hati dan kemampuan. Tidak banyak orang yang berani menghadapi lawan di gelanggang, walau ia tahu betapa kuatnya pesaing. Hanya sedikit orang yang mau berusaha, walau secara matematis kecil kemungkinan ia akan keluar sebagai pemenang.

Dalam sebuah pertandingan, seorang pemenang pasti memperoleh kemuliaan di atas pecundang. Tetapi bagi orang sportif, hasil akhir hanyalah bonus, karena proses memiliki peran penting untuk mengukur gagah tidaknya seorang kontestan.

Pemilihan presiden memang bukan pertandingan sepakbola, catur atau tinju. Intelektualitas, gaya kepemimpinan dan program yang baik adalah modal untuk meraih kepercayaan publik. Di sinilah letak keandalan para kontestan beradu strategi dalam mengampanyekan citra dan kehebatan mereka masing-masing. Jika publik percaya terhadap komoditas yang ditawarkan, itulah yang mereka "beli" (baca: contreng) pada 8 Juli lalu.

Itulah yang saya lakukan. Saya puas dengan gaya, program, retorika seorang capres, sehingga saya mencontreng fotonya dan pasangannya. Setttt.... Tutup... Cemplung...Celup. Selesai.

Saya tidak mempedulikan jago saya akan menang atau tidak. Tidak penting menurut saya. Saya juga tidak kecewa ketika hitung cepat semua lembaga survei memenangkan calon lainnya. Bahkan pada setiap perbincangan dengan teman (tidak di blog ini) saya mengumumkan siapa yang saya pilih sambil mengangkat kelingking saya.

Kalaupun saya siaran dengan membicarakan ketiga pasang capres cawapres, mengumumkan, mengkritisi, membuat lelucon tentang aktifitas kampanye itu hanya sebuah pekerjaan. Pilihan saya tidak mempengaruhi pemilihan kata dan kerangka berpikir saya. Kepuasan saya adalah ketika saya memberikan suara pada orang yang saya percayai dapat memimpin negeri ini lima tahun lagi. Pilihan dan pekerjaan adalah dua hal berbeda.

Terus terang saya menunggu lima tahun lagi adakah orang yang seperti jago saya. Saya rindu pribadi seperti itu muncul dan memimpin negeri ini. Bukan berarti saya tidak suka warga negara yang sedang memimpin sekarang, tetapi lebih karena saya merasa cocok dengan jago saya.

Memang juga tidak ada jaminan jago saya akan dapat memimpin negeri ini seperti Superman dan menyelesaikan semua masalah dengan lebih cepat dan lebih baik, tetapi sekali lagi saya nyaman dengan apa yang ia tawarkan pada saya pribadi.

Anyway, pencontrengan (yang tepat pencentangan) sudah selesai. Perhitungan di KPU sedang berlangsung. Hasilnya rasanya akan sama dengan hasil perhitungan cepat (quick count) seperti yang lalu-lalu. Selamat untuk yang menang dan selamat pula untuk yang kalah karena Anda telah menjadi kontestan dan negarawan yang luar biasa bagi negeri ini.

indi