Sunday, June 8, 2008

Melewati Malam di Semarang

Perut ini melilit karena rasa lapar, setelah hampir empat jam didera emosi saat mengerjakan Debat Antarcalon Gubernur Jawa tengah Kamis malam pekan lalu. Belum lagi kaki yang rasanya enggan diajak berdiri begitu semua tayangan dinyatakan selesai. Betul-betul malam itu tim kami tidak hanya berusaha menampilkan tampilan yang menarik di panggung, tetapi juga di layar kaca; alhasil pikiran dan tubuh habis diperas. Boro-boro makan besar, ngemil pun tak sempat.

Waktu menunjukkan pk 23 lebih sedikit, ketika kami beramai-ramai meninggalkan hotel untuk mencari tempat makan. Sekitar 20 orang berbondong-bondong keluar dari Gumaya Tower Hotel di kawasan Kranggan Semarang menyusuri jalan yang lengang. Pucuk dicinta di sepanjang jalan tampak berderet penjual sate ayam dengan format lesehan. Berhubung tidak mungkin lagi untuk berwisata kuliner di tengah malam itu, kami pun menyiapkan diri untuk mengunyah sate ayam yang biasanya sebesar lalat (alias kecil-kecil).

Dengan keramahan ala Jawa Tengah, Pak Slamet (namanya saya tahu dari bentangan kain butut di depan angkringnya) mempersilakan kami untuk duduk. Kebetulan tempatnya yang paling luas daripada penjual sate ayam yang lain. Sambil menunggu sate ayam yang tengah dibakar, saya memesan minuman jeruk manis panas, sekedar untuk menenangkan jeritan si perut. aya mencuri lihat sate ayam yang dibakar. Wuih....ukurannya kok lebih generous dibandingkan sate ayam yang saya biasa saya temui. Paling tidak potongannya sebesar ukuran jempol kaki saya (pasti lebih gede dari kelingking kan). Mantap neh...

Setelah sekitar 10 menit (maklum yang dibakar banyak sekali), datanglah sepiring sate ayam dengan potongan lontong bersiram bumbu kacang. Hmmmm...the smell is good pikir saya. Mencoba untuk tidak memberi penilaian dini, saya pikir bau enak itu muncul karena perus saya yang sangat lapar.

Mulailah ritual makan sate dimulai. Mula-mula saya lihat dulu satenya. Betul besar-besar potongannya. Trus saya menemukan adaya berwarna kuning kehitaman, berbentuk bulat. Aneh. Biasanya daging ayam tidak seperti itu. Ternyata telur muda dan potongan ati. Tanpa mencelupnya ke bumbu kacang, saya menggigit telur itu. Bau sangit karena terbakar membuat sensasi yang lain. Enak. Setelah itu baru bumbu kacang, bawang dan potongan cabai rawit menyusul hingga menjadi perpaduan yang tepat.

Sate ayam berukuran besar itu membuat saya tidak dapat menghabiskan seluruhnya. Hanya 10 tusuk sate daging, ati dan telur yang ludes. Nyam...nyam...nyam. Gelontoran air jeruk manis yang sudah tidak lagi panas membuat perut harus berkonsolidasi lebih ketat. Ini nikmat sekali.

Saya pernah menyampaikan hipotesis kepada beberapa teman tentang enak-tidaknya makanan. Makanan menjadi enak bila:
1. Makanan itu dimakan saat kita lapar (bayangkan betapa tidak enaknya makanan bila kita kenyang. Walaupun pemasaknya adalah koki terkenal, makanan buatannya pasti kita tolak bila perut terisi penuh)
2. Kita makan dengan orang yang kita senangi (baik kekasih, atau sahabat). Saya membayangkan, sop buntut Hotel Borobudur yang kondang itu pasti terasa seperti batu kerikil, bila kita memakannya bareng musuh atau orang yang tidak kita sukai.
3. Kita tidak perlu membayar satu peser pun alias gratis. Ini sih semua orang mau hehehe.

Nah, sate ayam yang saya makan di pinggir jalan Kranggan itu memenuhi tiga kriteria tadi. Yaitu saya makan saat lapar, makan bersama teman-teman yang baik dan asik, dan makan dibayari kantor. Anyway, asik kok sate ayam Pak Slamet itu. Saya belum pernah menemui sate ayam yang terbuat dari telur muda dan potongan ati yang guede-guede.

Walaupun wisata kuliner di Semarang batal (saya harus kembali ke Jakarta Jumat siang, setelah beli oleh-oleh yang wajib yaitu lumpia dan moaci), sate ayam malam itu boleh menjadi catatan lain jika berkunjung lagi ke Semarang.


indi

Wednesday, June 4, 2008

Pilkada 2

Memang hebat para tokoh yang berani mencalonkan diri sebagai pemimpin kepala daerah. Hitung-hitungannya, tokoh itu harus memiliki visi, berani memimpin masyarakat yang heterogen, dan yang kini harus diperhitungkan adalah memiliki uang untuk membiayai kampanyenya. Yang terakhir ini benar-benar bergizi, karena uang yang dikeluarkan tentu tidak sedikit mulai dari membayar tim sukses, membuat atribut kampanye, memberi setoran ke partai pendukung, hingga memberi oleh-oleh pendukung kampanye.

Mungkin orang-orang dengan jenis itu mudah ditemui juga. Toh orang berpunya pasti bervisi dan bisa memimpin (kalau tidak dari mana ia memperoleh hartanya). Masalahnya, dalam sebuah kampanye seorang kandidat harus mampu menyatakan semua program yang diusungnya sejelas mungkin agar publik mendapatkan figur pemimpin yang dapat dipercaya; dalam hal ini tidak semua orang berani dan mampu berbicara di sebuah forum terbuka. Apalagi sampai diadu macam Obama vs Clinton.

Dua nama yang terakhir begitu mewarnai persaingan calon presiden Partai Demokrat AS. Walaupun belum sampai menentukan presiden, keduanya bertarung sedemikian rupa sehingga publik sendiri (termasuk kubu Republik) mendapat suguhan yang seru dan mencekam. Dalam setiap kesempatan debat keduanya adu kepiawaian berbicara dan olah pikir.

Sebagai penikmat dan pelaku pertelevisian, saya merasa terpuaskan dengan aksi keduanya di panggung yang sama. Inilah bentuk terbaik menurut saya, untuk menakar seberapa mampu seorang calon pemimpin meyakinkan konstituennya bahwa ialah figur terbaik.

Begitu mengalihkan pandangan ke dalam negeri, saya kembali ke dunia nyata. Inilah Indonesia yang saat ini harus bergelut dengan persoalan-persoalan mendasar sehingga belum mampu bagi seorang calon pemimpin mengadu argumentasinya secara terbuka melawan kandidat lain.

Pertengahan minggu di awal Juni ini, stasiun tv tempat saya bekerja menyelenggarakan penyampaian visi misi kandidat gubernur Jawa Tengah bersama KPU setempat. Rencananya, kami membuat setiap pasangan calon beradu visi, misi dan program secara terbuka, tanya jawab dan berdebat. Sayang seribu sayang rencana itu tinggal rencana. KPU menolak usulan kami dengan alasan ada peraturan pemerintah yang melarangnya. Hal itu ditegaskan lagi saat tim kami bertemu lengkap dengan tim sukses seluruh calon. Mereka kembali menegaskan penolakan atas rencana crossfire (saling adu argumen secara terbuka).

Mendengar itu saya berpikir benarkah masyarakat akan mendapat sajian program terbaik dari para calon atau tengah dibodohi karena mereka tidak mendapat ujian dari lawan politik. Taruhlah memang ada panelis yang membedah setiap pernyataan kandidat, tetapi ada kecenderungan panelis menempatkan diri bukan sebagai lawan, tetapi sebagai akademisi yang berhati-hati untuk tidak dipandang berpihak.

Benarkah saya berlebihan bila berharap kita memiliki kultur terbuka dalam mencari calon pemimpin seperti di Amerika? Tidakkah cara itu merupakan salah satu cara terbaik menyimak gagasan dan cara penyampaian yang baik sekaligus mendapatkan janji terbuka tentang apa yang akan dilakukannya jika seseorang memimpin. Banyak orang bilang kultur masyarakat Indonesia tidak seperti itu (seperti yang disampaikan salah satu anggota tim kampanye satu calon di Semarang), sehingga dikhawatirkan akan timbul kesan buruk di akar rumput. Kalaupun seperti itu, mengapa kita tidak mulai mengubahnya? Membuat semua calon membuka diri akan jauh lebih baik daripada sekedar menyampaikan program searah yang sukar diuji. Jangan sampai kita membeli kucing dalam karung.

indi

Sunday, June 1, 2008

Kekerasan

Dua pekan lalu saya berdialog secara imajiner dengan Bapak saya almarhum. Dalam pembicaraan yang saya kutip dan saya masukkan ke blog ini adalah betapa Bapak merisaukan kekerasan yang terjadi di negeri ini. Keprihatianan itu mencuat, karena saat memperjuangkan kemerdekaan betapa perbedaan suku, agama, ideologi dan status sosial tidak pernah dipersoalkan.

Yang terjadi saat ini sungguh memprihatinkan. Indonesia seolah terpisah oleh garis batas yang begitu jelas, tegas. Kepercayaan seseorang atau sekelompok orang disampaikan kepada pihak lain dalam bentuk atribut, unjuk rasa dan publikasi. Yang lebih gila, kelompok yang tidak sepaham dengan kepercayaan itu dengan mudahnya diberangus, ditindas, dizolimi atas nama agama dan ideologi.

Monumen Nasional, salah satu simbol kebanggan negeri ini menjadi saksi tindak kekerasan FPI terhadap sekelompok orang (bahkan sebagian besar perempuan dan anak-anak) Minggu, 1 Juni. Dengan alasan berpegang pada peraturan yang melarang ajaran kelompok tertentu, FPI merasa berhak mengayunkan kepalan, kayu, dan pemukul lainnya terhadap massa yang notabene tidak siap berkonfrontasi secara fisik (secara ideologis siapa tahu?).

Stasiun TV tempat saya bekerja dalam sebulan terakhir menayangkan program Debat. Seperti namanya, program ini berisi pro-kontra sebuah pemikiran dalam konteks mengetahui argumentasi pihak lawan. Namun berbeda dengan program dialog lainnya yang menerapkan adanya moderator yang tak berpihak, dua pembawa acara program ini memosisikan diri sebagai pendukung ide yang berseberangan. Setelah tiga episode, Debat secara jelas menunjukkan kepada publik keinginan kami bahwa bangsa Indonesia dapat menyampaikan pokok pikiran dengan keras tanpa harus sakit hati atau bahkan berbenturan fisik. Hal itu terbukti dengan ucapan keras, wajah serius kalau tidak dapat disebut garang, dan teriakan. Namun semua itu diakhiri dengan wajah riang, dan saling bersalaman di antara seluruh peserta program.

Kembali kepada kekerasan atas nama kelompok tertentu, saya merasa tindakan-tindakan tersebut sudah keterlaluan. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal toleran, ramah dan egaliter secara perlahan berubah menjadi sektarian, pemarah dan antiperbedaan.

Beberapa kali saya melihat (karena terekam kamera televisi dan ditayangkan), tindakan kelompok-kelompok sejenis begitu mudah beraksi. Seolah mereka berada di atas hukum dalam menerapkan sanksi bagi kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Pertanyaan kemudian: di mana polisi? Sampai kapan polisi berdiam diri dengan hanya bermain kata: kami akan menindak pelaku kekerasan namun tanpa bukti? Apakah polisi tidak berani? Atau mungkinkah polisi tidak berani, karena kelompok-kelompok itu mendapat beking dari orang dengan pangkat tertentu? Di mana keadilan?

Perbedaan adalah sebuah anugerah Yang Maha Kuasa. Ciptaan-Nya yang beragam menunjukkan betapa luasnya pandangan Beliau terhadap alam semesta. Mengapa kita mengebiri pandangan itu dengan alasan yang begitu dangkal; agama. Bukankah hanya Dia yang berhak menghakimi, karena kita pun tak luput dari dosa?

indi