Sunday, June 1, 2008

Kekerasan

Dua pekan lalu saya berdialog secara imajiner dengan Bapak saya almarhum. Dalam pembicaraan yang saya kutip dan saya masukkan ke blog ini adalah betapa Bapak merisaukan kekerasan yang terjadi di negeri ini. Keprihatianan itu mencuat, karena saat memperjuangkan kemerdekaan betapa perbedaan suku, agama, ideologi dan status sosial tidak pernah dipersoalkan.

Yang terjadi saat ini sungguh memprihatinkan. Indonesia seolah terpisah oleh garis batas yang begitu jelas, tegas. Kepercayaan seseorang atau sekelompok orang disampaikan kepada pihak lain dalam bentuk atribut, unjuk rasa dan publikasi. Yang lebih gila, kelompok yang tidak sepaham dengan kepercayaan itu dengan mudahnya diberangus, ditindas, dizolimi atas nama agama dan ideologi.

Monumen Nasional, salah satu simbol kebanggan negeri ini menjadi saksi tindak kekerasan FPI terhadap sekelompok orang (bahkan sebagian besar perempuan dan anak-anak) Minggu, 1 Juni. Dengan alasan berpegang pada peraturan yang melarang ajaran kelompok tertentu, FPI merasa berhak mengayunkan kepalan, kayu, dan pemukul lainnya terhadap massa yang notabene tidak siap berkonfrontasi secara fisik (secara ideologis siapa tahu?).

Stasiun TV tempat saya bekerja dalam sebulan terakhir menayangkan program Debat. Seperti namanya, program ini berisi pro-kontra sebuah pemikiran dalam konteks mengetahui argumentasi pihak lawan. Namun berbeda dengan program dialog lainnya yang menerapkan adanya moderator yang tak berpihak, dua pembawa acara program ini memosisikan diri sebagai pendukung ide yang berseberangan. Setelah tiga episode, Debat secara jelas menunjukkan kepada publik keinginan kami bahwa bangsa Indonesia dapat menyampaikan pokok pikiran dengan keras tanpa harus sakit hati atau bahkan berbenturan fisik. Hal itu terbukti dengan ucapan keras, wajah serius kalau tidak dapat disebut garang, dan teriakan. Namun semua itu diakhiri dengan wajah riang, dan saling bersalaman di antara seluruh peserta program.

Kembali kepada kekerasan atas nama kelompok tertentu, saya merasa tindakan-tindakan tersebut sudah keterlaluan. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal toleran, ramah dan egaliter secara perlahan berubah menjadi sektarian, pemarah dan antiperbedaan.

Beberapa kali saya melihat (karena terekam kamera televisi dan ditayangkan), tindakan kelompok-kelompok sejenis begitu mudah beraksi. Seolah mereka berada di atas hukum dalam menerapkan sanksi bagi kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Pertanyaan kemudian: di mana polisi? Sampai kapan polisi berdiam diri dengan hanya bermain kata: kami akan menindak pelaku kekerasan namun tanpa bukti? Apakah polisi tidak berani? Atau mungkinkah polisi tidak berani, karena kelompok-kelompok itu mendapat beking dari orang dengan pangkat tertentu? Di mana keadilan?

Perbedaan adalah sebuah anugerah Yang Maha Kuasa. Ciptaan-Nya yang beragam menunjukkan betapa luasnya pandangan Beliau terhadap alam semesta. Mengapa kita mengebiri pandangan itu dengan alasan yang begitu dangkal; agama. Bukankah hanya Dia yang berhak menghakimi, karena kita pun tak luput dari dosa?

indi

No comments: