Tuesday, September 29, 2009

Menghargai Hidup

Kisah ini sebenarnya terjadi sebelum Lebaran lalu, tetapi rasanya baru kemarin saya alami dan ingin saya bagikan pada semua orang. Pengalaman ini semoga membuat saya lebih bijaksana dan menghargai betapa berharganya hidup itu.

Di suatu Rabu malam, sepulang siaran Debat saya mengalami kejadian ini. Bermobil di jalan yang hampir lengang di Jakarta, saat sebagian besar umat Muslim bertarawih, adalah saat yang menyenangkan bagi penggemar kecepatan. Hampir sepanjang jalan dari kawasan Cawang, Jaktim hingga Tangerang, saya bisa menekan gas mobil 1500 cc hingga speedometer berkisar di angka 140 km/jam.

Saya membayangkan angka itu bisa lebih besar lagi bila yang saya kendarai adalah mobil bertenaga besar. Apalagi udara malam terasa sangat segar menyeruak dari jendela mobil yang saya buka separuh. Mata yang lelah seharian diajak melek dan membaca ikut berkonsentrasi menyerap informasi di jalanan yang berganti dengan cepat.

Dalam waktu kurang dari 30 menit, saya hampir tiba di kawasan BSD (biasanya saya tempuh hampir 1 jam). Keluar dari jalan tol Pondok Aren-BSD, saya tidak juga mengurangi kecepatan. Bahkan saat ada sebuah sepeda motor "memberi perlawanan" saya salip dengan gagah perkasa.

Namun, saya tak menyadari bahaya yang menunggu di muka.

Jalan itu sepi, menikung, dan agak gelap. Di kiri-kanannya terdapat beberapa warung makan yang sudah tutup, karena hari telah malam. Hanya sebuah restoran Padang yang buka 24 jam, yang masih beroperasi. Itu pun dengan penerangan yang tidak cukup untuk menerangi seluruh kawasan.

Situasi ini membuat saya tetap menekan pedal gas dalam-dalam, walau rumah hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Apalagi perasaan hangat masih terasa, saat meninggalkan sang motor yang tidak juga mau mengalah.

Apa lacur, dengan kecepatan sekitar 100 km per jam, saya harus menghadapi sebuah sepeda motor, yang memotong jalan. Dalam hitungan detik, saya melihat ada tiga orang di atas motor tersebut. Tanpa lampu, dan tanpa helm, melintas pelan mengabaikan kondisi jalan.

Saya sadar konsekuensinya bila saya tidak segera mengambil keputusan drastis. Nyawa adalah taruhannya.

Lampu besar saya mainkan. Tidak ada perubahan laju motor tersebut. Klakson saya tekan keras-keras menandai sebuah kendaraan berlalu dengan cepat memohon jalan. Tak ada reaksi. Refleks, saya membuang kemudi ke kanan menghindari benturan.

Berhasil!

Ah, tidak!

Rasanya putaran kemudi saya begitu ekstrim untuk menghindari tabrakan, tetapi laju mobil yang kencang membuat bagian belakang masih memiliki momentum dan...brak!

Benturan. Gesekan. Suara keras. Sambil berusaha menguasai olengnya mobil, saya berpikir. Mati! Ketiga orang itu mati!

Ketika mobil stabil, saya segera menepikan mobil. Orang-orang berdatangan, karena mereka pasti mendengar suara klakson, decitan rem dan ban, serta suara benturan.

Entah kenapa, saya merasa tenang. Tidak gugup, tetapi juga tidak khawatir, walaupun saya merasa pasti ada korban akibat tabrakan tadi. Di sana-sini saya mendengar teriakan orang menghujat saya dan mobil yang telah menyebabkan kecelakaan. Puluhan orang mengelilingi mobil dan pengemudi sepeda motor. Tanpa mengetahui permasalahannya, saya mendengar teriakan meminta pertanggungjawaban atas tabrakan itu. Beruntunglah ada sejumlah orang yang mengenal saya dan menjamin keselamatan saya.

Perlahan saya mendekati kerumunan orang yang mengelilingi sepeda motor dan ketiga orang tadi. Saya bersiap melihat orang berlumuran darah, luka parah bahkan meninggal.

Ya, Tuhan! Tidak ada yang terluka, bahkan segores pun tidak. Ketiga orang yang baru saja keluar dari masjid bertarawih itu sehat wal afiat. Selain ban motor yang hampir tak berbentuk, praktis tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.

Kejadian itu mengajar satu hal pada saya. Berkendaralah dengan baik. Tidak hanya bermobil, tetapi juga bersepeda motor. Pada kasus saya pribadi, mengemudi dengan kecepatan tinggi meningkatkan kemungkinan kecelakaan. Seberapapun hebatnya Anda di belakang setir, tetap tidak dapat mengontrol sepenuhnya kendaraan yang melaju di jalan raya bukan lintasan balap. Setiap orang memang berhak memperlakukan kendaraannya sesuka hati, namun ketika kita menggunakan fasilitas publik, kita harus menghormati pengguna lain dan mematuhi peraturan. Dengan itu, kita menghargai nyawa yang Tuhan telah titipkan.

Oh ya, persoalan tabrakan sudah kami selesaikan baik-baik. Selain mengganti kerusakan di motor itu (pemiliknya adalah penjaga rel kereta di Serpong, Tangerang), kami saling meminta maaf dan memaafkan.

Terima kasih Tuhan, atas hidup yang Kau berikan.
indi

Friday, September 25, 2009

Monas

Harapan untuk mengunjungi salah satu bangunan ciri khas Indonesia, yaitu Monumen Nasional akhirnya kesampaian. Seumur-umur saya belum pernah ke monumen hebat itu, walau sudah sering melewati, melihat dan mengedit beritanya. Hanya saja kunjungan itu menyisakan duka di batin, karena menyaksikan kondisi di lingkungan Monas yang sulit untuk dijadikan kebanggaan karena berbagai kekurangannya.

Atas desakan para jagoan(baca: isteri dan anak-anak) saya, akhirnya ada waktu untuk berkeliling Jakarta beberapa hari lalu. Mumpung ibukota masih lengang karena ditinggal mudik jutaan penduduknya.

Berangkat pagi-pagi dari gubuk kami di BSD (sekitar 20 km di selatan Jakarta), praktis tidak ada halangan selama di perjalanan. Lengang, udara segar dan sedikit berkabut. Itulah gambaran jalan tol BSD-Bintaro dan jalan di Kebayoran Lama. Hanya 30 menit, yang kami butuhkan untuk sampai di Bundaran HI dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya lalu lintas Jakarta saat itu.

Setelah sempat menggoda rekan-rekan yang siaran Apa Kabar Indonesia di Bundaran HI, kami melaju ke Monas. Inilah tujuan utama libur hari itu. Betapa tidak. Hampir semua teman saya dan teman anak-anak saya sudah mencicipi kunjungan ke monumen yang didirikan atas perintah Presiden Soekarno tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian.

Cuaca belum lagi panas, ketika mobil kami parkir di pelataran parkir resmi Monas di IRTI (berhadapan dengan Balai Kota). Calon pengunjung relatif bisa dihitung dengan jari, yang bergerak menuju monumen berkepala emas itu. Tak banyak mobil yang parkir dan hanya sebuah bus pariwisata di sana.

Menyusuri pelataran udara menyapa segar, dengan matahari mengintip di balik rerimbunan daun di taman. Mestinya saya puas dengan kondisi ini, tetapi apa daya mata ini tertumbuk pada sampah yang berserakan.

Sebuah tempat sampah terguling dan isinya berupa sisa-sisa makanan menyebar. Bungkus mie siap saji teronggok bersama puntung rokok dan plastik minuman. Tidak ada petugas kebersihan saat itu. Saya berpikir sampah belum dibersihkan karena saat itu belum jam kerja.

Kian dekat ke bangunan luar biasa itu, cuaca kian cerah (baca: panas). Pepohonan hanya tersedia di taman, yang berjarak 100 meter lebih dari tugu raksasa itu. Di sana hanya ada beberapa tanaman yang kami gunakan untuk berteduh sementara. Taman di pelataran Monas sebenarnya indah, tetapi yang ada hanyalah rerumputan yang menguning dan tanaman hias yang meranggas. Ada memang banyak bunga bangkai (Raflesia Arnoldii), tetapi itu terbuat dari semen.

Menunggu hampir 20 menit, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Bersama beberapa keluarga lain kami di pintu Selatan tak tahu harus menunggu berapa lama, karena penjaga parkir menyebutkan Monas dibuka pukul 8.30 WIB. Saat itu jam tangan sudah 8.20 WIB. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tidak ada tanda-tanda bagian informasi atau petunjuk arah.

Di tengah kebingungan dan keheranan karena tidak adanya bantuan, seorang penjual air minum yang kebetulan pernah melihat wajah saya sebelumnya, menunjukkan pintu masuk. Tempatnya di seberang, katanya. Jadi kami harus berjalan memutari Monas ke pintu utara dan masuk dari terowongan. Atau bisa menunggu mobil gandeng.

Wah, informasi terakhir membuat saya bingung (jawabannya saya dapatkan setelah meninggalkan Monas beberapa jam sesudahnya). Sebagai kepala rombongan, saya putuskan kami berjalan.

Wuihhh!!! Masih pukul 8.30 tetapi matahari mamancar dengan kekuatan penuh. Mateng neh muka. Tidak ada awan, peneduh, pepohonan atau apapun yang dapat dijadikan perlindungan dari kehangatan sang raja siang. Kami berjalan mengelilingi sisi Barat sekitar 500 meter. Lumayan.

Sesampai pintu utara, rasanya tidak ada lagi petunjuk. Di atas tangga Monas tampak sejumlah pekerja mengepel, tetapi terlalu jauh untuk ditanya bagaimana kami bisa masuk. Tidak hanya rombongan BSD ini, tetapi ada pula kelompok lain yang terpaku di pinggir pagar. Sekali lagi tak ada petugas di sana.

Cuaca kian panas. Tidak ada penghalang sinarnya ke bumi. Kelompok orang mulai menyemut ke obyek wisata di jantung kota Jakarta.

Ah di sana! ada papan kecil yang berjumlah dua buah kalau saya tidak salah. Ukurannya kenapa sih tidak dibikin besar? Apa ruginya kalau bisa 1 m X 1,5m? Rasanya tidak akan mengganggu keindahan taman raksasa ini.

Memasuki lorong menuju Monas. Saya melihat sudah banyak orang di sana. Anak-anak dan kaum perempuan mendominasi. Saya yakin tidak ada yang berpakaian perlente atau wangi. Panas dan pengap membuat bau keringat menguar memenuhi terowongan yang kurang cukup dingin, walau sudah terdengar deru pendingin ruangan di atas.

Antrean tiket masuk sudah mengular. Dari 4 loket yang tersedia, hanya dua yang buka. Dalam hati saya mencari alasan mengapa dua loket lain tidak digunakan: masih banyak petugas yang cuti, toh masih suasana Lebaran. Beberapa kali saya mendengar petugas menolak uang dengan pecahan besar Rp. 100.000 dan Rp. 50.000. Mereka beralasan belum ada kembalian. Ckckck. Tak ada persiapan ya? Akibat penolakan itu antrean tersendat, karena calon pengunjung mencari pecahan lebih kecil tetapi tidak mau meninggalkan antrean. Huaaahhhh!!! Beruntung uang pecahan Rp. 50.000 saya tidak ditolak, mungkin karena petugas mengenal wajah saya (hehehe ada untungnya juga).

Kondisi lebih nyaman saat kami masuk ruang diorama, karena lega dan udara yang dingin. Berbeda dengan suhu di luar.

Puas berkeliling di ruang sejara itu, dan mengenalkan sejarah kepada para punggawa, saya mengajak mereka ke puncak. Nah, ini perjuangan yang lain.

Mengantre tiket dan mengantre lift naik adalah dua hal berbeda, tetapi sama-sama melelahkan. Dari dua loket penjual tiket lift, hanya satu yang beroperasi. Antrean kembali mengular. Demikian juga antrean ke lift. Lebih panjang lagi. 25 menit untuk mendapat tiket. 1 jam untuk sampai ke lift. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Saya pandang barisan di belakang, wah, ternyata terus memanjang.

Memasuki lift adalah sebuah kenyamanan yang lain. Bisa dibilang itu adalah langkah terakhir sebelum menikmati Jakarta dari puncak tertinggi di Jakarta.

Puas melihat-lihat, termasuk menggunakan teropong berharga Rp. 2000 per 90 detik, kami turun kembali. Tidak terlalu lama menunggu lift yang sama yang akan membawa kami ke bawah. Sekeluarnya dari cawan Monas, saya menyaksikan antrean itu bahkan kian panjang. Kalau sebelumnya hanya sekitar 25 meter, maka kini lebih panjang lagi. Bisa 100 meter (dua baris). Berapa jam antrean paling belakang dapat sampai ke puncak. Saat itu waktu baru menunjukkan pk. 11.00 WIB. Waktu buka Monas tinggal 4 jam lagi.

Dimulai kembali perjalanan yang sama. Melewati terowongan yang masih belum cukup dingin di tengah aliran manusia. Di sana-sini saya melihat penjual cindera mata miniatur Monas dari bambu dengan harga antara Rp. 5000 sampai Rp. 25.000 per buah. Namun saya tidak tertarik untuk membeli.

Panas yang kian menyengat kembali menyapa sekeluarnya kami dari terowongan. Antrean lain tampak di sana. Antrean apa? Ooooh itu dia. Dua buah mobil gandeng beriringan menepi. Dibatasi rantai-rantai, ada tiga lajur antrean yang memudahkan pengunjung naik ke mobil. Di atas mobil, kami menunjukkan karcis naik ke puncak yang berwarna hijau untuk dewasa dan putih untuk anak-anak. Dan kami pun meluncur ke tempat masuk, di tempat kami parkir mobil.

Berpandang-pandangan dengan isteri, tanpa suara kami bersepakat untuk tidak akan lagi ke Monas. Cukup sudah petualangan hari itu. Panas, lelah, berkeringat, bau, tanpa tambahan informasi yang berarti membuat Monas tidak cukup untuk menarik kami kembali di lain waktu.

Entah jika pemerintah DKI atau pusat memperbaiki fasilitas monumen kebangsaan negara, yang ada di depan hidung Istana Negara dan Balai Kota di tahun-tahun mendatang, hal itu bisa saja kami pertimbangkan lagi. Tapi jika tidak, maaf deh, TIDAK.

indi

Maaf Lahir Batin

Ijinkan saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.