Wednesday, November 26, 2008

Melindungi Anak-anak

Dalam dua hari, berturut-turut program Apa Kabar Indonesia Pagi menghadirkan persoalan anak-anak; walaupun bukan semua narasumbernya anak-anak. Pertama soal majunya jam sekolah SD, SMP dan SMA di Jakarta mulai awal tahun 2009, peristiwa penculikan dua siswi SD kelas 6 dan pelatihan merakit robot untuk anak-anak. Materi perbincangan saat itu saya nilai begitu dekat dengan kehidupan keseharian orang tua dan anak-anak, walau dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu Jakarta dan sekitarnya.

Sebuah pengumuman menyentak warga Jakarta. Wakil Gubernur DKI Prijanto menyatakan mulai 2 Januari 2009 jam sekolah dimajukan 30 menit dari pukul 07.00 menjadi 06.30 WIB. Alasannya, jam keberangkatan anak-anak ke sekolah menyumbang kemacetan di Jakarta. Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah DKI menyebutkan sumbangan kemacetan itu mencapai 14 persen, sehingga dinilai adalah penting untuk mengurangi kemacetan melalui jam masuk sekolah.

Jika anak-anak adalah alat atau barang atau benda mati yang sekedar angka statistik mungkin saja mengatur jam masuk sekolah menjadi salah satu solusi penting untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Faktanya anak-anak adalah manusia yang mengenal lapar, haus, mengantuk, marah dan kondisi emosional lainnya. Mereka bukan sekedar obyek yang dapat dengan mudah diatur tanpa memperhitungkan kondisi psikologis dan petumbuhan fisik dan mental.

Salah satu alasan penting birokrat pemerintah Jakarta tentang keuntungan berangkat lebih pagi adalah anak-anak yang beragama Islam akan dapat melaksanakan ibadah sholat subuh yang akan meingkatkan keimanan mereka. Selain itu mereka juga dapat menghirup udara segar yang belum terpolusi jika kendaraan belum banyak berlalu lalang di jalan raya.

Namun alasan indah dan cita-cita itu terdengar terlalu muluk. Pertama, birokrat rasanya tidak memperhitungkan beban yang akan ditanggung para pelajar, ketika mereka harus bangun lebih pagi. Mungkin saja (memang masih menggunakan kata mungkin) mereka belum cukup istirahat, karena saat mereka pulang toh mereka akan berhadapan dengan dengan kemacetan sehingga belum tentu cepat sampai ke rumah dan beristirahat. Kemudian, sudah menjadi rahasia umum bahwa para pelajar sekarang mendapat beban pelajaran yang banyak sehingga secara psikologis keharusan bangun pagi bisa mmebuat mereka lebih lelah (lagi-lagi ini masih kemungkinan). Namun yang ini pasti bukan mungkin, yaitu ketika seorang anak tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk sekolah ia harus berhadapan dengan ketidakpastian memperoleh angkutan umum di jalan raya. Seorang anak dari keluarga mampu dapat beristirahat atau bahkan tidur lagi di mobil, tetapi jika ia dari keluarga tidak mampu, ia harus menunggu angkot atau metromini atau bajaj yang balum tentu dapat dipastikan jadwalnya. Alhasil ia bisa menjadi 'korban' kondisi yang ada.

Kasus kedua adalah tentang penculikan anak kelas 6 SD di Tamansari Jakarta Barat. Dengan iming-iming akan diikutkan lomba menulis indah, seorang wanita paruh baya berhasil membawa Egi dan Nanda. Keduanya sempat mempertanyakan keabsahan ajakan itu, tetapi dengan alasan telah memperoleh ijin dari kepala sekolah sang wanita berhasil memperdaya kedua bocah. Dari Jakarta Barat mereka dibawa ke Mal Kalibata, Jakarta Selatan dan ditinggal di sana setelah kalung emas salah seorang di antaranya diambil. Masih beruntung anak-anak itu hanya diambil perhiasannya, hal yang lebih buruk lagi, mereka dapat diculik dan dijadikan budak, atau pengemis atau pekerja seks.


Banyak orangtua mengajar anak mereka untuk berhati-hati terhadap orang asing. Langkah itu sudah benar, sayangnya belum cukup. Keluguan anak-anak sering dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Seperti kisah di atas, sang penculik menggunakan nama kepala sekolah sebagai alasan yang kemudian dipercaya anak-anak.


Anak-anak rasanya perlu diajak lebih kritis, diperjatikan lebih mendalam dan dilindungi di setiap zona. Mulai dari rumah, jalan hingga sekolah.

Yang terakhir tentang pelatihan merancang robot. Begitu saya melihat beberapa unit robot mainan yang digelar di panggung. Mata saya berbinar (kalau Anda menyaksikan lebih seksama, hehehe. Pati tidak ya). Terus terang di dalam diri saya keinginan menjadi anak-anak terus membara. Itu sebabnya saya senang membaca buku fiksi, komik, melihat dan kadang bermain games. Kembali pada robot tadi, betapa saya menyaksikan betapa dua anak, masing-masing Michael 5 tahun dan Anastasia 9 tahun memiliki keinginan luar biasa untuk menciptakan benda yang lebih dari sekedar mainan.

Michael membuat mainan mobil-mobilan yang rumit dan berbentuk bat-mobile, yaitu mobil Batman sang jagoan. Kemudian Anastasia membuat miniatur portal yang bisa naik turun dengan menggunakan sensor gerak. Anda bisa bayangkan dengan usia semuda itu mereka berhasil menciptakan benda-benda yang sepertinya di luar kemampuan normal anak-anak berusia sama.

Alangkah bersyukurnya kedua bocah itu memperoleh lingkungan yang begitu kondusif sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan seluas-luasnya. Orangtua yang mendukung secara moral dan material. Tempat latihan membuat robot yang berisi tenaga-tenaga muda yang sabar namun mumpuni dalam membimbing. Alhasil kita boleh berharap Michael dan Anastasian akan menjadi dua dari sekian banyak anak-anak yang akan mengharumkan nama bangsa dengan karya-karya yang luar biasa.

Anak-anak identik dengan bersenang-senang dan bermain. Namun di usia merekalah orang tua mendapatkan waktu yang tepat untuk membimbing, membentuk dan mengasah kemampuan mereka hingga sempurna. Namun juga menjadi kewajiban orang tua dan lingkungan untuk melindungi mereka dari pedang jahat orang-orang yang tak bertanggungjawab yang hendak memisahkan mereka dari masa depan dan kehangatan keluarga mereka.

indi

Sunday, November 23, 2008

Mal-ku sayang, mal-ku gemilang

Siapa bilang hari-hari ini adalah saat-saat kelabu di dunia finansial? Bursa dunia boleh jatuh dan nilai tukar Rupiah nyungsep terhadap Dollar AS ke hampir Rp 13.000 per Dollar. Angka pengangguran dikhawatirkan meningkat tahun depan dan para buruh menolak Surat Peraturan Bersama 4 Menteri yang menyatakan kenaikan Upah Minimum Provinsi tidak boleh lebih dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6 persen; padahal inflasi sudah sampai ke angka 12 persen. Nyatanya masyarakat masih bisa bergembira ria dan membuang uang.

Pertanyaan dan pernyataan saya itu bisa membuat banyak orang berang. Boleh saja, tetapi saya punya data empiris yang begitu kasat mata. Inilah pengalaman saya.

Berhubung Sabtu kemarin anak sulung saya, Jojo berulangtahun ke 12, kami sekeluarga merayakannya secara sederhana dengan makan bersama. Siang hari sekitar pukul 13, kami menuju Summarecon Mal Square (SMS) di Gading Serpong, Tangerang.

Menuju tempat parkir adalah sebuah perjuangan tersendiri. Padat. Hampir tidak ada ruang kosong untuk memasukkan mobil kecil kami. Mobil berbagai merek dan ukuran memenuhi lahan parkir dai dalam dan luar gedung. Setelah berputar-putar hampir 15 menit, tempat pun terbuka karena sebuah mobil meninggalkan parkiran itu.

Tidak ada tujuan lain kecuali makan, namun yang terpampang di mal itu adalah lautan (mungkin saya berlebihan menggunakan istilah ini) manusia, karena begitu banyaknya pengunjung mal siang itu. Di ruang tengan mal juga ada obralan sepatu dan sandal yang padat calon pembeli atau yang hanya sekedar "window shopping". Wow, seru saya dalam hati. Mana nih krisis yang katanya bikin dunia panas dingin. Kayaknya semua berjalan mulus, karena bisnis di SMS jalan lancar dan orang masih berjubel.

Menurut saya, mal saat ini adalah salah satu ruang publik, yaitu tempat publik berkumpul dan menikmati hari. Nyatanya mal adalah tempat bisnis yang berubah tujuan wisata masyarakat. Hampir di setiap akhir pekan, mal penuh sesak manusia. Mereka bisa berbelanja, cuci mata, makan-makan atau sekedar "see or to be seen".

Mestinya dengan angin krisis yang menerpa seperti sekarang, logikanya akan semakin banyak orang mengurangi konsumsi. Kalau makan, ya "downgrade" jenis makanan dan harganya. Belanja, ya mengurangi jumlahnya, atau memprioritaskan hanya yang sangat penting dan mendesak. Itu berarti kunjungan ke mal berkurang, korelasinya dalah jumlah pengunjung menurun. Betul? Nah, ini. Faktanya? Saya menggeleng.

Anda bisa mendesak saya untuk membuktikan angka penurunan itu. Sialnya saya memang hanya memandang dan tidak menghitung angka dan membandingkannya mulai dari awal sebelum krisis hingga sekarang. Namun (saya nggak mau kalah) selain pengunjung di selasar, di toko-toko yang penuh, tempat makan menjadi salah satu acuan saya. Penuh. Ckckck. Memang luar biasa. Tempat makan yang menurut saya kualitas makanannya biasa-biasa saja laku keras. Jadi siapa bilang orang mengurangi ongkos atau biaya "entertain" diri dan keluarga.

Setelah makan di Jia Noodle, yang menurut kami not bad dan menguras dompet, kami langsung pulang. Hujan menerpa keras kawasan Tangerang. Angin bertiup nyaris menerbangkan payung yang menudungi kami ke tempat parkir kendaraan. Saya teringat sebuah lagu lawas yang juga judul sebuah film "Badai Pasti Berlalu". Yah, badai pasti berlalu. Be optimistic-lah.

indi

Wednesday, November 19, 2008

Grafologi

Mulai saat ini saya berjanji (ini sebetulnya salah satu beban, karena yang lama pun belum terpenuhi) untuk selalu menuliskan kesan saya terhadap tamu-tamu dialog saya di Apa Kabar Indonesia Pagi.

Tidak pernah terpikir untuk menyelesaikan persoalan kejiwaan dengan hal-hal di luar diskusi berupa curhat atau dialog. Hari ini salah satu tamu dialognya adalah seorang psikolog yang khusus menangani para kliennya dengan tulisan. Artinya klien ia suruh menulis, tulisannya dianalisa dan diberi saran atau terapi juga dengan cara menulis. Aneh kan? Minimal bagi saya hal itu tidak masuk diakal. Ini adalah lanjutan dari dialog sehari sebelumnya, yang kami anggap kurang cukup waktu walau menarik.

Mbak Shinta, Sang psikolog itu bertutur kata lembut yang rasanya tipikal wanita penyabar. Jilbab yang digunakannya menambah kesan anggun. Yang menarik kalimat-kalimatnya meluncur dengan lugas seperti berbicara pada anak-anak sekolah.

Bersama seorang anak autis berusia 14 tahun dan ibunya, sang psikolog menggambarkan betapa grafologi berhasil menyelesaikan banyak masalah psikologi. Irsyad demikian nama sang anak di masa kecilnya digambarkan tidak dapat menulis, berbicara dan tidak mau menatap mata lawan bicara. Dari tulisannya, menurut Mbak Shinta tidak menggambarkan kepribadian yang bertumbuh. Setiap kata berukuran sama, tidak berjarak, dan seperti cakar ayam.

Setelah melalui terapi selama hampir setahun, lewat perbandingan jenis tulisan sebanyak tiga buah, Irsyad mengalami kemajuan. Ia mau menatap lawan bicara lebih lama, berbicara lebih panjang dan dapat duduk tenang. Tulisan-tulisannya sudah berbeda. Ukuran, jarak dan kejelasan tulisannya sudah terlihat.

Grafologi, menurut psikolog lulusan Amerika itu digunakan untuk meyelami kepribadian seseorang. Hal ini terlihat dari bentuk tulisan, ukuran, kejelasan huruf dan kata-katanya serta cara penulisannya. Secara umum area menulis dibagi menjadi tiga zona, yaitu atas, tengah dan bawah. Bagian atas, contohnya huruf k, l, h dan d seperti halnya bagian kepala menunjukkan imajinasi. Zona tengah, contoh huruf a, c yaitu badan adalah kawasan materialistik dan bagian bawah. Sedangkan daerah bawah seperti untuk huruf g, j, dan y menggambarkan kekokohan diri dan nafsu.

Seseorang yang memiliki keseimbangan diri haruslah mampu mengekspresikan dirinya dalam bentuk tulisan yang mencakup ketiga area. Jika tidak, salah satu area tidak akan terlingkupi dalam setiap huruf yang digoreskan. Di situlah masalahnya, sehingga cara penyelesaiannya pun diarahkan dengan menulis secara tepat sesuai zona-zona yang seharusnya.

Saya sempat mengkritisi ilmu itu, dengan mempertanyakan penerapannya pada bentuk tulisan yang dibuat-buat terutama pada tulisan indah. Shinta menyatakan tulisan boleh dibuat-buat, tetapi ada goresan-goresan yang menjadi ciri yang tidak bisa dibohongi. Ya untuk itu perlu sekolah khusus. Itu bedanya dengan sekolah psikologi biasa.

Shinta mmpersilakan teman-teman yang bersedia tilisannya dianalisa, termasuk saya. Yang membuat saya bangga, tulisan saya dikomentari sebagai gambaran orang yang tegas, detil dan to the point alias nggak mau bertele-tele (Asyiiik, kayaknya emang sih, hehehe). Beramai-ramailah kami mengantre tulisan untuk dikomentari.

selesai acara, saya meminta nomor telepon sang psikolog, karena saya pikir boleh juga nih anak-anak saya diteliti kondisi emosionalnya. Maklum anak-anak itu tidak pernah dalam kondisi seperti saya kecil yang penuh perjuangan. Apalagi si perempuan kecil buah hati saya, yang keras kepribadiannya, maunya menang sendiri dan sering menantang orang tuanya, tetapi cengeng dan kolokan. Mungkin berguna pula untuk Anda.

indi

Saturday, November 8, 2008

Durian Medan

Saat itu tidak ada yang lebih menyebalkan daripada tidak bisa berlibur setelah seminggu penuh bekerja ekstra padat. Itulah yang terjadi pekan ini. Lima hari penuh saya harus bekerja pagi-pagi buta hingga malam tiba atau lebih dari dua belas jam. Jumat kemarin saya sudah berencana untuk tidur nikmat selepas pulang sore hari. Namun apa lacur menjelang sore perintah itu datang (sebetulnya salah sendiri). Saya bertanya pada atasan tentang wakil kantor yang akan dikirim menghadiri pernikahan rekan kami di Medan Minggu siang. Saya menanyakan hal itu, karena tidak ada tanda-tanda pengiriman orang dan semua perhatian tertuju pada siaran langsung rencana eksekusi pelaku Bom Bali I Amrozi cs. Ups, I am wrong. Perintah itu langsung turun kepada saya saat itu juga. You, he said, go!

Mata yang saat itu separuh menutup karena serangan kantuk segera membuka lebar. Gua? Tanya diri dalam hati. Wah sial neh (lagi-lagi dalam hati). Langsung saya bayangkan kapan mata ini enak terpejam di atas bantal dan kasur nan empuk dilingkari lengan-lengan halus isteri dan anak-anak. Harapan pulang agak siang pun batal. Saya harus mengurus tiket dan berkas-berkas wawancara, karena ada beberapa pelamar yang akan mengisi sebuah posisi di biro Medan.

Wait wait wait, saya langsung teringat satu hal yang membuat pikiran saya lebih tenang menyambut tugas itu. Medan, bung. Ada yang sulit ditemukan di Jakarta pada hari-hari ini, yang banyak dan berharga murah dan pasti enak. Bukan bika ambon, bukan bolu meranti yang berlemak itu. Yesss dureeeennnn!!!!!!

Sudah terbayang protes belahan jiwa saya saat ia mendengar suaminya akan pergi lagi akhir minggu. Bayangkan untuk yang ketiga ia tak ada di rumah karena keluar kota. Ckckckc. Suami macam apa saya ini. Apa mau dikata, lha wong suaminya masih orang gajian dan bawahan. Belum termasuk protes precil-precil yang sudah mulai tahu minta jatah jalan-jalan akhir minggu. Ya terpaksa ada janji-janji manis sepulang dari Medan.

Sabtu dinihari, saya meluncur ke bandara. Usaha untuk mendapatkan pesawat yang lebih siang tidak berhasil. dengan Batavia air di penerbangan pertama saya meninggalkan Jakarta. Praktis tidak ada masalah selama penerbangan. Atau saya mungkin tidak sadar, karena begitu duduk saya tidak lagi merasakan apa-apa alias tidur pulas sampai pesawat hampir mendarat.

Setelah mendarat dan beristirahat dua jam di hotel saya dijemput untuk mewawancarai empat pelamar. Di tengah-tengah wawancara itu, tawaran yang paling saya tunggu pun datang. Salah seorang staf di biro menanyakan makanan untuk saya. Langsung saya jawab: durian. Loh, kok makan durian? Bukannya makan nasi dulu? No way, kalau makan nasi dulu pasti saya tak mampu menghabiskan durian yang akan dibelikan. Lalu kalau makan durian dulu, kasihan nasinya yang akan dibeli. Jadi hanya durian.

Akhirnya setelah wawancara selesai, saya digiring ke belakang kantor. Pertama yang tercium adalah bau khas durian yang menyengat. Langsung saya yakin pasti mantap rasanya. Kemudian yang terlihat adalah setumpuk duren seukuran bola kaki. Ckckck. Ini namanya luarrr biasa.

Tak sampai hitungan detik, saya ambil sebuah durian untuk saya injak. Beberapa teman kaget dengan perilaku saya. Kenapa tidak pakai pisau. Saya yakinkan mereka, jika durian ini baik ia akan mudah terbuka saat diinjak. Benar, dalam dua hentakan terbukalah durian itu. Terpampang rangkaian daging putih yang kering, harum, dan ketika saya cukil sedikit, hmmm manissss rasanya.

Saya adalah penggemar durian. Dalam setiap kesempatan pulang kampung ke Madiun di akhir tahun, saya akan menyempatkan diri berburu durian sampai ke Ponorogo. Bagi saya durian kampung jauh lebih eksotis daripada durian monthong yang sebesar semangka. Durian yang katanya dari Thailand itu walaupun berbiji kecil dan berdaging tebal, bagi saya telalu kering, manisnya kurang tajam dan tak cukup menggugah selera.

Durian Medan disebut-sebut selalu tersedia sepanjang tahun. Kemudahannya ditemui di kota Medan membuat banyak penggemar durian akan selalu menyempatkan diri menikmati buah tropis ini setiap berkunjung ke Medan.

Namun saya menyesal tidak memiliki pengetahuan untuk mengenali jenis-jenis durian yang saya nikmati. Hanya ada rasa manis, ngarak (jika sudah muncul rasa pahit akibat daging buahnya mengalami fermentasi), dan hambar. Akibatnya saya tidak bisa menunjukkan durian macam apa yang paling baik dikonsumsi.

Rasanya kita bisa berbagi informasi bila membicarakan buah yang satu ini guna menambah pengetahuan.

indi

Thursday, November 6, 2008

O....bama

Selain rencana eksekusi pelaku peledakan bom Bali I Amrozi cs. gegap gempita pemberitaan juga terjadi menjelang pemilihan umum Amerika Serikat. Sejak akhir Oktober sampai pascapengumuman pemenang pemilu, media cetak dan elektronik mengarahkan pemberitaan mereka ke negeri adidata yang sedang sakit flu ekonomi.

Sejak minggu ketiga Oktober, tempat saya bekerja mengirimkan dua tim peliput ke Amerika. Mereka adalah juga tim yang sama yang meliput kegiatan konvensi partai Republik dan Demokrat 2 bulan sebelumnya. Saya rasa, kami adalah televisi yang paling ambisius dan berani mengirimkan dua tim untuk mengetahui aktifitas dan aksi kedua pasangan kandidat pemimpin negeri AS. Yang kami inginkan adalah penonton mendapat gambaran sejernih dan seadil-adilnya dari kedua sisi. Maklimlah, seorang Obama yang hitam, bukan dari kelas pengusaha cukup seksi untuk dapat perhatian. Kebetulan juga jajak pendapat di berbagai negeri menunjukkan keunggulannya dari Mc Cain.

Kasak-kusuk melihat televisi tetangga yang hanya mengirimkan tim peliput ke sisi Obama membuat kami yakin, bahwa keputusan kami mengirim dua peliput menunjukkan kredibilitas kami yang tida memihak adalah benar. Walaupun begitu soal biaya memang sangat besar untuk ukuran tv yang baru lahir seperti kami (baru 8 bulan).

Selain tim peliput dari Indonesia yang berbondong-bondong ke Chicago, masyarakat nusantara juga seperti kena euforia Obama. Ini yang saya khawatirkan kita terlalu ke-ge er-an.

Kisah Obama yang pernah empat tahun tinggal di Indonesia diulang-ulang. Sebuah media cetak menulis judul "Anak Menteng Jadi Presiden AS" menunjukkan suasana hati itu. Memang adalah fakta ia pernah tinggal di Jakarta Pusat dan bersekolah di SDN 04 Besuki Menteng. Namun itu kan hanya setahun. Namun benarkah seorang Obama masih mengingatnya? Jangan-jangan ia hendah melupakan sekelumit kisah sejarahnya itu.

Saat perhitungan suara Selasa malam atau Rabu pagi waktu Indonesia, saya mengikuti sebuah acara resmi Kedutaan Besar AS di sebuah hotel di Jakarta. Banyak tokoh diundang. Politisi, birokrat, akademisi hingga jurnalis. Saat itu terasa sekali betapa banyak orang yang memperbincangkan kans Obama memenangkan pemilu. Mereka rasanya begitu tersihir oleh kharisma sang "Anak Menteng".

Situasi cemas menanti itu pecah, ketika Obama-Biden dinyatakan memenangkan pemilu karena unggul mutlak dari McCain-Palin. Penonton bertepuktangan dan bersorak gembira. Mereka seolah yakin Obama akan menghargai sorakan itu dari seberang samudra Pasifik. Bahkan saat Obama menyampaikan pidato kemenangan, saya melihat beberapa perempuan menitikkan air mata mendengar pidato dan suara Obama (menurutku bagus).

Keesokan harinya, semua media cetak menampilkan kemenangan Obama baik sebagai head line atau pun sekadar di halaman muka. Namun semuanya menampilkan wajah yang selama beberapa bulan terakhir membuat Amerika terkenal tidak hanya karena krisis finansial tetapi juga karena capres kulit hitam.

Sehari setelah Obama terpilih, seorang narasumber acara kami menyebutkan, Indonesia jangan ke-ge er-an atas terpilihnya "Anak Menteng" itu. Ia yakin Obama memiliki pola pikir seperti halnya orang Demokrat yang anti perang, pro-HAM dan ekonomi dalam negeri. Hal-hal itu membuat Indonesia masuk daftar ke sekian dari prioritas pemerintahannya.

Jawaban itu mmebuat saya termangu. Benarkah tidak ada artinya terpilihnya Obama bagi Indonesia? salahkah harapan dunia yang berharap dunia akan lebih baik jika AS dipimpin orang yang pernah tersia-sia akibat warna kulitnya?

Time will reveal the answer.

indi

Raker 2

Saya merasa tidak cukup nikmat menceritakan hotel tempat kami raker minggu lalu. Gambaran yang muncul karena iklan ternyata cukup berbeda dengan fakta di lapangan. Mungkin juga hal itu karena saya kurang cukup mengeksplorasi fasilitas hotel tempat raker kami.

Sore hari selepas sesi pertama, panitia raker mengundang kami untuk berolahraga. Menurut panitia fasilitas di hotel itu cukup banyak dan bagus. Boleh juga nih saya pikir.

Memang sepintas halaman belakang hotel tampak luas dan hijau. Terlihat pula lapangan tenis, futsal, kolam renang dan lapangan basket. Oh ya ada gym di sebelah fasilitas olah raga itu.

Hanya saja saya melihat fasilitas-fasilitas itu terkesan dipaksakan (maaf ya penggunaan kata yang subyektif). Kolam renang kecil dengan area berjemur yang sempit. Area futsal lumayan untuk bersepakbola dan sebuah lapangan tenis yang tergenang air. Juga ada sebuah meja tenis meja yang ujungnya bolong sehingga sulit untuk tempat mengikat net. Belum lagi hanya tersedia dua bet untuk main. Akibatnya kami harus mengantre untuk bermain tenis meja.

Harapan saya untuk menemukan lokasi campingnya dan main tembak-tembakan dengan cat, seperti yang tertera di lobi hotel tidak ketemu. Memang sih saya belum sempat berkeliling. Namun keengganan saya melakukan pencarian itu tak lepas dari kondisi halaman belakang yang seperti hutan. Tanaman dengan sesemakan rimbun menghalangi pandang. Oh ya selama waktu week end itu saya hanya melihat seorang anak kecil yang menggunakan fasilitas hotel. Apakah itu berarti tidak banyak keluarga yang memanfaatkan hotel itu untuk berlibur?

Namun saya harus mengacungkan jempol untuk makanannya. Sekali sarapan, dua kali makan siang dan sekali makan malam memuaskan lidah saya dan cocok dengan selera. Beragam sup, roti, nas putih, nasi kuning dan nasi lemak, lauk ikan, ayam dan daging dimasak dengan berbeda, serta dessert yang lumayan variatif. Memang tidak dua jempol, tapi saya hampir tidak dapat menahan pola diet saya (takut gendut sih).

Ulasan ini (kalau bisa disebut ulasan) sangat tidak obyektif dan kompeten. Maklum saya hanya mengenal kata gratis dalam menciptakan dan mengelola pengalaman seperti itu.

Selamat mempertimbangkan.

Salam
indi