Wednesday, November 26, 2008

Melindungi Anak-anak

Dalam dua hari, berturut-turut program Apa Kabar Indonesia Pagi menghadirkan persoalan anak-anak; walaupun bukan semua narasumbernya anak-anak. Pertama soal majunya jam sekolah SD, SMP dan SMA di Jakarta mulai awal tahun 2009, peristiwa penculikan dua siswi SD kelas 6 dan pelatihan merakit robot untuk anak-anak. Materi perbincangan saat itu saya nilai begitu dekat dengan kehidupan keseharian orang tua dan anak-anak, walau dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu Jakarta dan sekitarnya.

Sebuah pengumuman menyentak warga Jakarta. Wakil Gubernur DKI Prijanto menyatakan mulai 2 Januari 2009 jam sekolah dimajukan 30 menit dari pukul 07.00 menjadi 06.30 WIB. Alasannya, jam keberangkatan anak-anak ke sekolah menyumbang kemacetan di Jakarta. Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah DKI menyebutkan sumbangan kemacetan itu mencapai 14 persen, sehingga dinilai adalah penting untuk mengurangi kemacetan melalui jam masuk sekolah.

Jika anak-anak adalah alat atau barang atau benda mati yang sekedar angka statistik mungkin saja mengatur jam masuk sekolah menjadi salah satu solusi penting untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Faktanya anak-anak adalah manusia yang mengenal lapar, haus, mengantuk, marah dan kondisi emosional lainnya. Mereka bukan sekedar obyek yang dapat dengan mudah diatur tanpa memperhitungkan kondisi psikologis dan petumbuhan fisik dan mental.

Salah satu alasan penting birokrat pemerintah Jakarta tentang keuntungan berangkat lebih pagi adalah anak-anak yang beragama Islam akan dapat melaksanakan ibadah sholat subuh yang akan meingkatkan keimanan mereka. Selain itu mereka juga dapat menghirup udara segar yang belum terpolusi jika kendaraan belum banyak berlalu lalang di jalan raya.

Namun alasan indah dan cita-cita itu terdengar terlalu muluk. Pertama, birokrat rasanya tidak memperhitungkan beban yang akan ditanggung para pelajar, ketika mereka harus bangun lebih pagi. Mungkin saja (memang masih menggunakan kata mungkin) mereka belum cukup istirahat, karena saat mereka pulang toh mereka akan berhadapan dengan dengan kemacetan sehingga belum tentu cepat sampai ke rumah dan beristirahat. Kemudian, sudah menjadi rahasia umum bahwa para pelajar sekarang mendapat beban pelajaran yang banyak sehingga secara psikologis keharusan bangun pagi bisa mmebuat mereka lebih lelah (lagi-lagi ini masih kemungkinan). Namun yang ini pasti bukan mungkin, yaitu ketika seorang anak tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk sekolah ia harus berhadapan dengan ketidakpastian memperoleh angkutan umum di jalan raya. Seorang anak dari keluarga mampu dapat beristirahat atau bahkan tidur lagi di mobil, tetapi jika ia dari keluarga tidak mampu, ia harus menunggu angkot atau metromini atau bajaj yang balum tentu dapat dipastikan jadwalnya. Alhasil ia bisa menjadi 'korban' kondisi yang ada.

Kasus kedua adalah tentang penculikan anak kelas 6 SD di Tamansari Jakarta Barat. Dengan iming-iming akan diikutkan lomba menulis indah, seorang wanita paruh baya berhasil membawa Egi dan Nanda. Keduanya sempat mempertanyakan keabsahan ajakan itu, tetapi dengan alasan telah memperoleh ijin dari kepala sekolah sang wanita berhasil memperdaya kedua bocah. Dari Jakarta Barat mereka dibawa ke Mal Kalibata, Jakarta Selatan dan ditinggal di sana setelah kalung emas salah seorang di antaranya diambil. Masih beruntung anak-anak itu hanya diambil perhiasannya, hal yang lebih buruk lagi, mereka dapat diculik dan dijadikan budak, atau pengemis atau pekerja seks.


Banyak orangtua mengajar anak mereka untuk berhati-hati terhadap orang asing. Langkah itu sudah benar, sayangnya belum cukup. Keluguan anak-anak sering dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Seperti kisah di atas, sang penculik menggunakan nama kepala sekolah sebagai alasan yang kemudian dipercaya anak-anak.


Anak-anak rasanya perlu diajak lebih kritis, diperjatikan lebih mendalam dan dilindungi di setiap zona. Mulai dari rumah, jalan hingga sekolah.

Yang terakhir tentang pelatihan merancang robot. Begitu saya melihat beberapa unit robot mainan yang digelar di panggung. Mata saya berbinar (kalau Anda menyaksikan lebih seksama, hehehe. Pati tidak ya). Terus terang di dalam diri saya keinginan menjadi anak-anak terus membara. Itu sebabnya saya senang membaca buku fiksi, komik, melihat dan kadang bermain games. Kembali pada robot tadi, betapa saya menyaksikan betapa dua anak, masing-masing Michael 5 tahun dan Anastasia 9 tahun memiliki keinginan luar biasa untuk menciptakan benda yang lebih dari sekedar mainan.

Michael membuat mainan mobil-mobilan yang rumit dan berbentuk bat-mobile, yaitu mobil Batman sang jagoan. Kemudian Anastasia membuat miniatur portal yang bisa naik turun dengan menggunakan sensor gerak. Anda bisa bayangkan dengan usia semuda itu mereka berhasil menciptakan benda-benda yang sepertinya di luar kemampuan normal anak-anak berusia sama.

Alangkah bersyukurnya kedua bocah itu memperoleh lingkungan yang begitu kondusif sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan seluas-luasnya. Orangtua yang mendukung secara moral dan material. Tempat latihan membuat robot yang berisi tenaga-tenaga muda yang sabar namun mumpuni dalam membimbing. Alhasil kita boleh berharap Michael dan Anastasian akan menjadi dua dari sekian banyak anak-anak yang akan mengharumkan nama bangsa dengan karya-karya yang luar biasa.

Anak-anak identik dengan bersenang-senang dan bermain. Namun di usia merekalah orang tua mendapatkan waktu yang tepat untuk membimbing, membentuk dan mengasah kemampuan mereka hingga sempurna. Namun juga menjadi kewajiban orang tua dan lingkungan untuk melindungi mereka dari pedang jahat orang-orang yang tak bertanggungjawab yang hendak memisahkan mereka dari masa depan dan kehangatan keluarga mereka.

indi

No comments: