Thursday, November 6, 2008

O....bama

Selain rencana eksekusi pelaku peledakan bom Bali I Amrozi cs. gegap gempita pemberitaan juga terjadi menjelang pemilihan umum Amerika Serikat. Sejak akhir Oktober sampai pascapengumuman pemenang pemilu, media cetak dan elektronik mengarahkan pemberitaan mereka ke negeri adidata yang sedang sakit flu ekonomi.

Sejak minggu ketiga Oktober, tempat saya bekerja mengirimkan dua tim peliput ke Amerika. Mereka adalah juga tim yang sama yang meliput kegiatan konvensi partai Republik dan Demokrat 2 bulan sebelumnya. Saya rasa, kami adalah televisi yang paling ambisius dan berani mengirimkan dua tim untuk mengetahui aktifitas dan aksi kedua pasangan kandidat pemimpin negeri AS. Yang kami inginkan adalah penonton mendapat gambaran sejernih dan seadil-adilnya dari kedua sisi. Maklimlah, seorang Obama yang hitam, bukan dari kelas pengusaha cukup seksi untuk dapat perhatian. Kebetulan juga jajak pendapat di berbagai negeri menunjukkan keunggulannya dari Mc Cain.

Kasak-kusuk melihat televisi tetangga yang hanya mengirimkan tim peliput ke sisi Obama membuat kami yakin, bahwa keputusan kami mengirim dua peliput menunjukkan kredibilitas kami yang tida memihak adalah benar. Walaupun begitu soal biaya memang sangat besar untuk ukuran tv yang baru lahir seperti kami (baru 8 bulan).

Selain tim peliput dari Indonesia yang berbondong-bondong ke Chicago, masyarakat nusantara juga seperti kena euforia Obama. Ini yang saya khawatirkan kita terlalu ke-ge er-an.

Kisah Obama yang pernah empat tahun tinggal di Indonesia diulang-ulang. Sebuah media cetak menulis judul "Anak Menteng Jadi Presiden AS" menunjukkan suasana hati itu. Memang adalah fakta ia pernah tinggal di Jakarta Pusat dan bersekolah di SDN 04 Besuki Menteng. Namun itu kan hanya setahun. Namun benarkah seorang Obama masih mengingatnya? Jangan-jangan ia hendah melupakan sekelumit kisah sejarahnya itu.

Saat perhitungan suara Selasa malam atau Rabu pagi waktu Indonesia, saya mengikuti sebuah acara resmi Kedutaan Besar AS di sebuah hotel di Jakarta. Banyak tokoh diundang. Politisi, birokrat, akademisi hingga jurnalis. Saat itu terasa sekali betapa banyak orang yang memperbincangkan kans Obama memenangkan pemilu. Mereka rasanya begitu tersihir oleh kharisma sang "Anak Menteng".

Situasi cemas menanti itu pecah, ketika Obama-Biden dinyatakan memenangkan pemilu karena unggul mutlak dari McCain-Palin. Penonton bertepuktangan dan bersorak gembira. Mereka seolah yakin Obama akan menghargai sorakan itu dari seberang samudra Pasifik. Bahkan saat Obama menyampaikan pidato kemenangan, saya melihat beberapa perempuan menitikkan air mata mendengar pidato dan suara Obama (menurutku bagus).

Keesokan harinya, semua media cetak menampilkan kemenangan Obama baik sebagai head line atau pun sekadar di halaman muka. Namun semuanya menampilkan wajah yang selama beberapa bulan terakhir membuat Amerika terkenal tidak hanya karena krisis finansial tetapi juga karena capres kulit hitam.

Sehari setelah Obama terpilih, seorang narasumber acara kami menyebutkan, Indonesia jangan ke-ge er-an atas terpilihnya "Anak Menteng" itu. Ia yakin Obama memiliki pola pikir seperti halnya orang Demokrat yang anti perang, pro-HAM dan ekonomi dalam negeri. Hal-hal itu membuat Indonesia masuk daftar ke sekian dari prioritas pemerintahannya.

Jawaban itu mmebuat saya termangu. Benarkah tidak ada artinya terpilihnya Obama bagi Indonesia? salahkah harapan dunia yang berharap dunia akan lebih baik jika AS dipimpin orang yang pernah tersia-sia akibat warna kulitnya?

Time will reveal the answer.

indi

No comments: