Sunday, November 23, 2008

Mal-ku sayang, mal-ku gemilang

Siapa bilang hari-hari ini adalah saat-saat kelabu di dunia finansial? Bursa dunia boleh jatuh dan nilai tukar Rupiah nyungsep terhadap Dollar AS ke hampir Rp 13.000 per Dollar. Angka pengangguran dikhawatirkan meningkat tahun depan dan para buruh menolak Surat Peraturan Bersama 4 Menteri yang menyatakan kenaikan Upah Minimum Provinsi tidak boleh lebih dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6 persen; padahal inflasi sudah sampai ke angka 12 persen. Nyatanya masyarakat masih bisa bergembira ria dan membuang uang.

Pertanyaan dan pernyataan saya itu bisa membuat banyak orang berang. Boleh saja, tetapi saya punya data empiris yang begitu kasat mata. Inilah pengalaman saya.

Berhubung Sabtu kemarin anak sulung saya, Jojo berulangtahun ke 12, kami sekeluarga merayakannya secara sederhana dengan makan bersama. Siang hari sekitar pukul 13, kami menuju Summarecon Mal Square (SMS) di Gading Serpong, Tangerang.

Menuju tempat parkir adalah sebuah perjuangan tersendiri. Padat. Hampir tidak ada ruang kosong untuk memasukkan mobil kecil kami. Mobil berbagai merek dan ukuran memenuhi lahan parkir dai dalam dan luar gedung. Setelah berputar-putar hampir 15 menit, tempat pun terbuka karena sebuah mobil meninggalkan parkiran itu.

Tidak ada tujuan lain kecuali makan, namun yang terpampang di mal itu adalah lautan (mungkin saya berlebihan menggunakan istilah ini) manusia, karena begitu banyaknya pengunjung mal siang itu. Di ruang tengan mal juga ada obralan sepatu dan sandal yang padat calon pembeli atau yang hanya sekedar "window shopping". Wow, seru saya dalam hati. Mana nih krisis yang katanya bikin dunia panas dingin. Kayaknya semua berjalan mulus, karena bisnis di SMS jalan lancar dan orang masih berjubel.

Menurut saya, mal saat ini adalah salah satu ruang publik, yaitu tempat publik berkumpul dan menikmati hari. Nyatanya mal adalah tempat bisnis yang berubah tujuan wisata masyarakat. Hampir di setiap akhir pekan, mal penuh sesak manusia. Mereka bisa berbelanja, cuci mata, makan-makan atau sekedar "see or to be seen".

Mestinya dengan angin krisis yang menerpa seperti sekarang, logikanya akan semakin banyak orang mengurangi konsumsi. Kalau makan, ya "downgrade" jenis makanan dan harganya. Belanja, ya mengurangi jumlahnya, atau memprioritaskan hanya yang sangat penting dan mendesak. Itu berarti kunjungan ke mal berkurang, korelasinya dalah jumlah pengunjung menurun. Betul? Nah, ini. Faktanya? Saya menggeleng.

Anda bisa mendesak saya untuk membuktikan angka penurunan itu. Sialnya saya memang hanya memandang dan tidak menghitung angka dan membandingkannya mulai dari awal sebelum krisis hingga sekarang. Namun (saya nggak mau kalah) selain pengunjung di selasar, di toko-toko yang penuh, tempat makan menjadi salah satu acuan saya. Penuh. Ckckck. Memang luar biasa. Tempat makan yang menurut saya kualitas makanannya biasa-biasa saja laku keras. Jadi siapa bilang orang mengurangi ongkos atau biaya "entertain" diri dan keluarga.

Setelah makan di Jia Noodle, yang menurut kami not bad dan menguras dompet, kami langsung pulang. Hujan menerpa keras kawasan Tangerang. Angin bertiup nyaris menerbangkan payung yang menudungi kami ke tempat parkir kendaraan. Saya teringat sebuah lagu lawas yang juga judul sebuah film "Badai Pasti Berlalu". Yah, badai pasti berlalu. Be optimistic-lah.

indi

No comments: