Wednesday, September 22, 2010

pagi di mall

My thought

Friday, September 17, 2010

Mada, Gadis Kecil di Ambon

Wajah itu enak dilihat. Matanya penuh semangat. Senyumnya selalu mengembang, walau tak ada pembeli kue yang ia tawarkan. Itulah perhatian saya terhadap Mada. Ya, itulah namanya setelah kami berkenalan beberapa saat di sebuah restoran cepat saji di kota Ambon petang ini.

Perkenalan kami penuh warna. Saat itu hari sudah gelap. Tak ada sisa sinar mentari, walau jam tangan saya baru pukul 6 Waktu Indonesia Timur. Awan menggayut sejak pagi di langit kota.

Perut yang baru terisi kerapu bakar masih belum terpuaskan. Sehingga bersama empat kawan sekerja yang habis membuat program Suara Keadilan, saya ajak mereka makan es krim di sebuah restoran cepat saji di sebelah hotel tempat kami menginap.

Sambil bersendagurau menikmati perbincangan ngalor ngidul itu, saya melihat ke tangga masuk restoran. Di sana ada seorang gadis kecil berjualan roti goreng di dalam sebuah toples besar. Bajunya lusuh. Rambut diikat seperti ekor kuda hanya dengan karet gelang.

Ia tidak menjajakan dagangannya secara agresif, laiknya seorang pedagang. Tetapi tatapan dan senyumannya mengiringi setiap pengunjung restoranyang keluar atau masuk, seolah berkata belilah kue ini, atau saya akan mati kelaparan.

Sejurus saya perhatikan tak ada orang yang tertarik untuk menghampiri dan membeli kuenya. Tetapi rasanya senyum itu tak lepas dari wajahnya.

Mungkin ia sadar atas perhatian saya, karena tatapan kami beberapa kali bertemu dan ia pun tersenyum. Sampai satu saat, ia mendatangi meja kami.

Om, mau beli roti? Tawarannya membuat kami menggeleng, karena toh kami baru makan ikan bakar dan sedang menikmati kudapan restoran cepat saji itu. Tapi sekali lagi, yang membuat saya lebih tertarik adalah senyuman manisnya yang tidak hilang atas penolakan kami.

Entah atas dorongan apa, saya bertanya: kamu sudah makan? Ia hanya menggeleng perlahan. Kamu mau saya belikan makanan? Tawaran saya berlanjut. Ia mengangguk juga dengan perlahan, plus senyum manisnya.

Setelah mengangsurkan uang agar ia bisa memilih sendiri makanan yang dikehendaki, ia tinggalkan kami ke pemesanan. Sepeninggalnya, sempat terpikir bahwa ia akan berlalu dan tak kembali. Saya sudah siap dengan kemungkinan itu, walau pasti akan membuat kecewa. Obrolan pun kami teruskan dan tak memedulikannya lagi.

Namun hampir 10 menit kemudian, ia kembali dengan nampan makanannya, dan mengembalikan sisa uang kembalian. Wow, saya kagum dan tersenyum menyambutnya.

Sambil menikmati setiap suapan ayam gorengnya, ia tak henti2nya berterima kasih. Dalam perbincangan itu, saya kian mengaguminya. Mada, demikian panggilannya. Walaupun ia mengatakan marganya, saya memilih untuk merahasiakannya dari Anda. Ia berjualan roti goreng buatan ibunya, selepas bersekolah sore hari di kelas 5 sebuah SD negeri di Ambon.

Lalu untuk apa uangnya, tanya saya penuh rasa ingin tahu. Membeli buku, jawabnya sambil mengunyah nasi pulen yang mungkin jarang ia temui. Bagaimana dengan pekerjaan ayahmu, tanya salah seorang teman. Ia bekerja di sebuah restoran tidak jauh dari tempat kami makan.

Dari perbincangan itu mengalirlah sebuah kisah yang menggugah hati. Seharusnya kisah itu sedih tentang perjuangan anak kecil membantu perekonomian keluarga. Sebuah pengingkaran atas hak anak-anak, yaitu belajar dan bermain. Namun dari mulut Mada, kisah itu begitu ringan dan indah; seperti sebuah kisah perjuangan seorang pahlawan dalam mengatasi masalah remeh temeh. Tak ada kesedihan atau penyesalan, hanya semangat dan kegembiraan. Padahal ia harus berjualan hingga tengah malam, sebelum dijemput pulang salah seorang kakaknya, yang juga seorang pekerja di sebuah restoran.

Perbincangan setengah serius itu diselingi keberanian Mada menebak daerah asal kami. Ada yang asal Manado, Cina dan Jawa sebutnya sambil menunjuk kami satu persatu. Ia bahkan menyebut saya parlente (ya ia menyebut saya parlente bukan perlente) dan orang kaya karena melihat foto istri dan anak-anak saya di ponsel. Dengan berani ia menyebut pernah melihat saya sebelumnya (ini membuat heran, apakah ia juga menonton berita). Ketika saya tanya di mana ia melihat saya, jawabannya mengejutkan sekaligus menggelikan: sopir oto (baca: angkot). Meledaklah tertawa kami, hingga membuat seisi restoran itu melihat ke meja kami.

Kami pun berpisah, karena tubuh telah lelah untuk melanjutkan perbincangan. Mada kami tinggalkan dengan ayam gorengnya yang belum juga habis dan setoples besar roti goreng di bawah kakinya.

Pertemuan dengan Mada di sebuah petang di kota Ambon mengajarkan sesuatu, minimal untuk saya, yaitu berkekurangan tidak harus ditanggapi dengan berat hati. Walaupun Mada masih berusia sekitar 10 atau 11 tahun, yang berarti belum banyak mengalami kepahitan hidup, setidaknya ia menunjukkan semangat dalam menjalankan hari-harinya walau tanpa fasilitas dan keistimewaan.

Tuhan berilah Mada kesempatan untuk menggapai mimpinya suatu saat.