Wednesday, January 30, 2008

Pindahan

Hi all,

Alkisah ada satu keluarga yang merasa rumah yang ditinggali sudah tidak lagi memadai untuk menampung lima orang penduduknya. Sang ayah kemudian memutuskan untuk membeli rumah baru yang lebih besar, dan lebih indah. Anggota keluarga lainnya, karena tidak memiliki hak suara sebesar kepala rumah tangga hanya bisa mengikuti perintah. Padahal di kompleks yang mereka tinggali selama ini memberi semua kedamaian, ketentraman dan kenyamanan hidup. Hubungan antarkeluarga berlangsung akrab dan manis. Hampir tidak ada perselisihan besar yang timbul. Percikan-percikan masalah sih biasa terjadi yang dapat segera dipadamkan dengan kekeluargaan.

Apa mau dikata, pemegang mandat memiliki hak prerogatif yang berkuasa penuh untuk menentukan masa depan biduk rumah tangga. Jadilah keluarga itu pindah ke sebuah lingkungan yang lebih mewah dengan rumah luks dan sejumlah satpam penjaga pintu gerbang kompleks. Rasanya hampir semua rumah tangga akan menginginkan adanya tempat tinggal yang terbaik, ternyaman, dan terindah.

Namun ternyata tidak semudah itu mencabut akar pohon sebuah keluarga dari tempat tinggal lamanya dan menempatkannya ke tempat baru. Suka atau tidak tempat yang sudah ditinggali memiliki ikatan emosional dan material yang cukup sulit untuk dilepas. Secara material, banyak benda yang harus dipindahkan, dan cukup berharga untuk dibawa. Untuk memindahkannya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang relatif besar. Mulai dari menginventaris barang yang harus dibawa, memilah yang masih layak untuk dibawa, kemudian membungkus, memisahkan sesuai dengan peruntukan dan sifat benda (mudah pecah dan tidak tentu harus berbeda penanganannya). Jangan lupa, setelah sampai di tujuan benda-benda itu harus dibuka, ditata dan disesuaikan dengan kebutuhan tempat yang ada. Bisa-bisa saja menjadi tidak berguna, karena terlihat tidak pas dengan kondisi. Yang tidak kalah penting, untuk usung-usung pasti perlu biaya. Kalau mau mudah pesan perusahaan spesialis pindahan. Pesan langsung diurusi secara paripurna. Kalau mau ngirit yang ngepak sendiri, angkut sendiri bongkar dan atur sendiri. Itupun pasti tetap butuh kendaraan yang minum bahan bakar tidak sedikit.

Kesulitan dan kehebohan itulah yang kini sedang dilakukan SCTV karena kami akan pindah ke gedung baru. Tempat yang baru diyakini lebih mewah, modern, dan representatif karena berada di kompleks perbelanjaan kelas 1: Senayan City, Jakarta Selatan. Opo ora hebat. Seperti halnya ilustrasi di atas. Pemilik perusahaan yang suaranya bak fatwa MUI tidak dapat ditolak menginginkan kami pindah untuk kesekian kalinya. Padahal kantor lama di Gatot Subroto jaksel ini tidak jelek-jelek amat. Di pusat kota, tengah-tengah sehingga mudah dicapai dari Jakbar, Jaktim, Jakut apalagi Jaksel. Belum lagi masih banyak faktor pendukung yang memudahkan aktifitas di tempat lama ini. Tapi ya sudahlah, lha wong kepala keluarga sudah bilang gitu, apa yang bisa anak buah lakukan. Ya manut mawon.

Namun apakah pemilik uang pernah berpikir, apakah pindah-pindahan tidak akan merugikan dari segi uang, waktu dan tenaga? Lha wong ada hampir 1000 orang bedol desa, dengan perangkat alat penyiaran berteknologi tanggi yang tidak murah harganya usung-usung ke tempat yang ternyata juga belum siap menampung. Bayangkan, berapa mahal ongkos sosial, dan ekonomi pindah-pindahan ini. Ck ck ck.

Tahukah Anda, dengan kepindahan ini, berarti SCTV sudah enam kali bertukar tempat baik dari Surabaya ke Jakarta maupun di seputar Jakarta. SCTV praktis menjadi satu-satunya stasiun tv di Indonesia yang paling sering berkeliling mencari tempat paling enak untuk memutar sinetron-sinetron dan beritanya. sayang sekali pemilik kami tidak pernah berusaha mengusulkan pencataan rekor pindah ke Museum Rekor Indonesia atau MURI.

Rencananya, sejak awal Februari 2008, sampai 30 tahun mendatang, kami akan menempati satu menara khusus di kompleks Senci (baca sensi singkatan dari Senayan City). Kami akan siaran dengan latar belakang Jakarta dari ketinggian sekitar 20 meter dari atas tanah. Peralatan lebih modern dengan pengamanan yang lebih ketat (jangan harap karyawan tak ber id card bakal diperbolehkan masuk, walaupun dia presenter yang mau siaran). Namun jangan coba-coba tanya berapa uang yang dikeluarkan untuk sewa dan membiayai semuanya. Saya memang tidak tahu. Yang pasti gaji saya 100 tahun tidak akan cukup untuk membayarnya. Yah, itulah harga yang harus dibayar demi harapan untuk mendapatkan kenyamanan, prestise dan kelebihan-kelebihan lainnya.

Jadi, kalau anda berjalan-jalan, baik sekedar cuci mata atau shopping anda di Senci, mungkin akan melihat saya ikut menikmati kenyamanan pusat perbelanjaan itu. Tapi pasti anda akan sulit menemukan saya nongkrong di tempat-tempat rendezvous di sana entah itu cafe atau restoran, karena bisa-bisa uang belanja bulanan yang harus saya setor ke rumah ikut larut menjadi makanan atau minuman yang hanya ternikmati selama beberapa jam saja.

Pindah oh pindah.
Indi

Sunday, January 27, 2008

Pak Harto 2

Mengantuk sekali mata ini, ketika sebuah sms masuk ke hpku. Pak Harto meninggal? Wah, repot nih. Saya yang notabene kerja di pemberitaan kok keduluan orang awam. Sambil menunda menjawab pesan itu, sontak kuhidupkan tv. Tepat pukul 13.20 WIB, Minggu 27 Januari 2008, saya mendapat info yang mengagetkan. HM Soeharto meninggal. Lho? Bukankah beberapa hari sebelumnya kesehatan mantan presiden ini diberitakan mengalami kemajuan? Sudah makan biskuit, ventilator atau alat bantu pernafasan sudah dilepas, siap-siap makan berat dan infeksi di beberapa bagian sudah membaik. Kok? Saya hanya menjawab sms rekan saya dengan satu kata: benar.

Saya teringat kalimat seorang teman. Ia bilang orang Jawa percaya seseorang yang sakit lama dan kemudian membaik merupakan penanda ia akan meninggal dunia. Walau saya juga orang Jawa, saya tidak merasa memiliki kepercayaan itu. Apalagi pekerjaan saya membutuhkan nalar, berbasis informasi dan ilmu pengetahuan dan bukan hal-hal supranatural. Tidakkah yang dialami Soeharto merupakan penegas kepercayaan itu? Saya berkilah, itu kan hanya satu kasus dari sekian ribu kematian setiap hari yang tidak dapat didata dan diambil kesimpulan secara statistik. Tetapi ada yang tidak dapat sayamungkiri, bahwa saya menemukan beberapa kass serupa. Seseorang yang membaik dari jeratan penyakitnya yang kronis kemudian meninggal dunia.

Sebagai lulusan Fakultas Farmasi sebuah Universitas negeri di Surabaya, saya mengenal betul ilmu kesehatan dan obat-obatan (tapi jangan bilang-bilang ya IPku cuma untuk lulus saja). Seseorang yang menderita penyakit multi organ seperti Pak Harto (jantung, paru-paru dan ginjalnya tidak berfungsi) dapat dibilang tinggal menunggu waktu. Apalagi paru-parunya secara rutin terisi cairan karena ginjalnya tidak dapat membuang cairan bekas. Susah bernafas dan racun menumpuk itulah konsekuensi yang dialaminya. Tetapi itu berita seminggu sebelumnya. Dapat dibayangkan betapa mengherankannya ketika beberapa hari kemudian penguasa orde baru itu menalami perbaikan yang signifikan. tekanan darah yang lemah menjadi meningkat, nafas membaik dan kesadarannya kembali.

Pembicaraan yang merebak bukan lagi berbasis pengetahuan, tetapi klenik. Soeharto memiliki jimat, pegangan atau ageman, sehingga nyawanya belum mau meninggalkan raga. Sekali lagi, hal-hal ilmiah tidak lagi bisa menjawab kenyataan ini, walaupun saya tidak mendapat informasi langsung dari dokter yang menanganinya. Hal-hal supranatural menjadi jawaban pamungkas yang menghentikan debat ala warung kopi dari orng-orang yang berpengetahuan medis seadanya.

Sejak dulu orang Indonesia dikenal dekat dengan hal-hal adi kodrati. Pernahkah anda memerhatikan bunga yang ditabur di perempatan jalan? Juga kebiasaan memendam ari-ari di dekat rumah yang kemudian diberi lampu. Di Bali secara rutin pagi dan petang, masyarakatnya membawa sesajen berupa bunga, biskuit dan beras untuk diletakkan di tempat-tempat tertentu. Di masyarakat tertentu, ada sebuah kebiasaan untuk memberikan sesajen pada waktu-waktu khusus bagi makhluk=makhluk tak kasat mata; baik roh leluhur maupun penunggu tempat-tempat tertentu.

Ketika menghadapi persoalan-persoalan berat, banyak kelompok orang yang menggunakan jasa mereka yang dianggap berkemampuan linuwih. Seseorang yang tak kunjung dapat pacar atau pekerjaan, ia berkonsultasi secara gaib dengan makhluk yang dianggap mendiami sebuah goa, pohon, makam atau benda-benda yang dikeramatkan lainnya.

Produk kebudayaan ini tidak otomatis hilang di tengah melajunya peradaban manusia. Thailand, negara tetangga kita dikenal sebagai salah satu negara yang cepat mengalami perbaikan ekonomi dibandingkan Indonesia. Teknologi mereka terutama di bidang pertanian jauh melampaui negeri kolam susu seperti nusantara ini. Namun faktanya banyak orang yang masih memercayai dukun-dukun, ilmu santet dan kekuatan gaib sebagai pegangan untuk menyelesaikan persoalan modern mereka. Saat Thaksin Shinawat mendapat tantangan luas karena lawan politiknya menuduh ia korupsi, ia meminta bantuan banyak dukun untuk memperkuat posisinya.

Masyarakat dunia sedang terjebak dalam situasi ambigu. Di satu sisi kemajuan teknologi dan peradaban begitu cepat bergerak, di sisi lain karena banyak persoalan tidak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan, banyak orang tenggelam dalam kegiatan klenik dan gaib. Ingatkah anda bahwa hampir setiap akhir tahun, cenayang, peramal dan "orang pintar" kebanjiran order untuk menolong orang-orang menghadapi tahun baru? Di manakah kepercayaan diri, nalar dan keberanian?

Memang tidak adil menghakimi orang yang memercayai sesuatu di luar hal-hal nyata. Bisa saja itulah kepercayaan yang sudah mendarahdaging sebagai produk pendidikan dan kebudayaan. Namun saya berpikir akan lebih parah bila kebiasaan yang ditoleransi itu menjadi tidak terkendali dan mengambil alih semua pikiran akal sehat yang seharusnya digunakan setiap waktu.

Percayalah kita mendapat anugerah otak yang lebih hebat dari segala benda yang ada. Tidak hanya dalam melakukan kalkulasi tetapi juga kebijaksanaan untuk dapat mengukur baik dan benar sebuah langkah dan menalar sebuah persoalan.

Peace
Indi

Wednesday, January 23, 2008

Bahasaku Bahasamu

Ketika mendengarkan beberapa laporan di televisi swasta dalam negeri, saya menjadi teringat guru Bahasa Indonesia SMP dulu. Betapa tidak, tata bahasa dan istilah yang dipergunakan tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Beliau, guru saya itu sangat keras dalam mengajarkan penggunaan bahasa.

Salah satu contohnya adalah frasa ini: Simpati Berdatangan kepada Pak Harto (ini berhubungan dengan laporan Pak Harto yang dirawat di RSPP). Sekilas tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Namun jika ditelaah lebih jauh, tentu saja simpati bukan kata benda yang dapat dijadikan subyek di kalimat tersebut. Akan lebih tepat jika simpati diubah menjadi rasa simpati.

Contoh tadi hanya salah satu dari sekian banyak kalimat yang tidak berkaidah baik dan benar. Pekerja TV hanya menggunakan 'rasa' dalam berbahasa seperti dalam kalimat becakap-cakap. Mungkin orang bisa mengerti arti yang dimaksud, permasalahannya televisi (khusus berita)adalah media pembelajaran pula dalam banyak hal. Itu sebabnya tidak hanya orang bisa mengerti apa yang dimaksud tetapi dapat mengetahui apa yang benar, baik informasi, gambar maupun tulisannya.

Mungkinkah kian banyak orang tidak peduli dengan tata bahasa, dengan alasan bahasa adalah salah satu alat berkomunikasi. Sedangkan inti komunikasi adalah tercapainya pengertian antara dua pihak atau lebih dalam bertukar informasi. Itu sebabnya muncul bahasa isyarat dan bahasa tarsan. Bahkan yang menarik (ini degradasi atau kejeniusan) muncullah bahasa 'slank' atau kita mengenalnya sebagai bahasa preman.

Pada saat saya duduk di bangku SMA, 22 tahun lalu, ada sebuah bahasa preman (prokem) yang saya dan beberapa teman gunakan sebagai penanda komunitas juga bahasa rahasia. Bahasa itu sebenarnya sederhana saja, yaitu penyisipan 'in' di setiap suku kata. Contohnya kata kamu menjadi kina minu, kemudian gua menjadi ginu ina. Mudah kan?
Bahasa ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bahasa prokem yang muncul di setiap generasi. Bagi anda yang berusia di atas 30 tahun mungkin anda teringat kata-kata: beceng, gokil, bokap, nyokap, dan bokis. Bagi yang tidak mengetahuinya, arti kata-kata itu adalah: pistol, gila, bapak, nyak (ibu), dan bisa.

Beberapa tahun lalu mucul bahasa kaum 'melambai' atau bahasa kaum waria, karena tampaknya merekalah yang memulai dan memasyarakatkannya. Makarena untuk makan, pelita hati untuk pelit dan caca marica pengganti cuci mata atau cari-cari (yang menarik hati baik barang atau orang) adalah beberapa kata yang mereka gunakan.

Bagi masyarakat kebanyakan, bahasa itu bisa menarik, karena pergaulan mereka bisa berjalan mulus. Saya sendiri tidak keberatan menggunakan istilah-istilah itu. Selain unik, saya pun bisa memasuki komunitas-komunitas 'rahasia' sebagai bahan informasi/berita.

Namun setelah sekian lama menggunakannya, saya rasa saya mulai kehilangan sentuhan berbahasa yang baik dan benar. Bukannya mau sok-sokan, tetapi berbahasa yang tepat memastikan penyampaian informasi sesuai dengan apa yang dimaksud, tidak ada dualisme arti yang bisa menyinggung lawan bicara atau pihak-pihak yang mendengarnya.

Apakah saya berlebihan dalam menginginkan penggunaan bahasa yang baik dan benar? Apalagi jika anda mendengar perbincangan saya dengan anak-anak saya, anda bisa terheran-heran, karena kalimat-kalimat saya sesuai "text book". SPOK (saya juga heran selalu memakai ini). Tiba-tiba saya hawatir, anak-anak saya selalu berbicara resmi dalam setiap kesempatan. Bayangkan betapa teman-temannya, yang masih berusia 10-12 tahun merasa ia bukanlah teman bermain tetapi pejabat negara bertubuh cilik.

Mungkin orang tidak sependapat dengan cara saya mengajarkan cara berbahasa kepada anak-anak saya dan orang di sekitar, karena dianggap berlebihan. Tetapi saya tahu, orang-orang tersebut mengerti benar maksud saya dan guru Bahasa Indonesia SMP saya akan memberi nilai baik.

Salam,
indi.

Tuesday, January 22, 2008

The Price

This morning I went to the market. What I found was surprising, although I have already knew, but still I was shocked. The price of vegetables, fishes, meats, even tempe raised more than 20 percents.

I remember 30 years ago, when I was a teenager, I could buy a piece of cracker (kerupuk) with only Rp. 5,-. But now, I have to pay Rp. 1000 for the same cracker.

Perhaps It's not fair to compare the two situations. They are all different! The problem is (this is what some people think) I am so upset in all what hapened this days.

Let's count one by one, starts with oil price two years ago; how Indonesian people shocked because SBY JK administration raised the price more than 20 percents. Then it was followed with kenaikan harga sembako. You know, poor people in this country jump more than 10 percents.

Could it be hapened again today? Do you remember how the oil cooking price raised last year even before Lebaran? And then tempe, flour, tofu and so on. The worst happens when our gaji raised but not that fast.

I never stops thinking how housewives have to struggle in making food for their families in such situation.

"Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu". The Kolam Susu" lyrics are very nice back then. Only this time, I think, Koes Plus must revise the lyrics, because it is not up to date. There is an ocean because of the flood, the pond of mud. The bait and net are not enaough for us. Someone has to be a corruptor to have an easy and prosperous life.

Life might be not easy in Indonesia, but you should not give up. There always be hopes and light beyond this hard life.

Peace
Indi

Sunday, January 20, 2008

Tilang

Hi, all.

Saya sadar mengendarai mobil atau motor tanpa STNK adalah sebuah kesalahan. Namun bila STNK yang anda buat tidak juga kelar, tampaknya tak ada pilihan untuk tidak menggunakan kendaraan apalagi itu satu-satunya. Sementara kondisi memaksa kita, jarak jauh, tengah malam, untuk menggunakan kendaraan itu. Pasti berabe jika anda bertemu polisi dan ada razia, tanpa bisa menunjukkan STNK asli. That's what happened to me last night.

I was on the way to my office when the time showed 2.09 AM. It was a cold morning, with the wind blowed quite hard. Saat yang masih enak untuk bergelung di tempat tidur, tapi saya harus bertugas.

Mobil tua yang membawa saya bergerak penuh suara mengiuk melintasi jalan dari BSD Tangerang menuju Jl. Pakubuwono Jaksel, ketika razia polisi terlihat di depan. I knew this situation will happen every morning, baik razia resmi yang melibatkan puluhan polisi maupun tidak resmi, karena hanya beberapa polisi berpangkat bintara.

Rasa enggan menyerang, ketika polisi bernama Handoko (saya lihat tulisan di dadanya) menyuruhku menghentikan kendaraanku.

"Selamat pagi. Tolong surat-surat anda", ia menyapa sambil memintaku menunjukkan SIM dan STNK.
"Ini SIM. Tetapi STNK berupa fotokopi karena masih dalam proses pengurusan". saya memberikan surat-surat yang diminta.
"Wah, anda bisa ditilang dan mobil ditahan karena STNK tidak sah".
"Maaf, tetapi apa yang bisa saya perbuat? Bekerja dini hari sedangkan STNK sudah 3 bulan diurus belum selesai." Saya berargumen.
"Kalau begitu kita menghadap atasan". Memang dilema buat sang abdi negara, karena di satu sisi ia harus melaksanakan tugas, di sisi lain ia tidak suka berargumentasi dengan seorang pegawai perusahaan penyiaran seperti saya.

Sambil berjalan menuju sang atasan nun jauh di sana, saya melihat berkeliling. Banyak pula yang harus berurusan dengan aparat dalam razia ini, karena macam-macam alasan. Entah karena STNK seperti saya, tak ada SIM atau peralatan kendaraan yang tidak lengkap. Waduh, how inconvenient to have problem with a policeman in the morning like this, I said to myself.

"Ada apa?" tanya seorang pria paruh baya, yang saya kira atasan Handoko, si polisi.
Sambil mengangsurkan SIM dan foto kopi STNK saya, Handoko menyampaikan permasalahan saya.

"Ada identitas anda?" tanyanya penuh curiga kepada saya.
Saya pun mengangsurkan kartu nama (biasanya saya banggakan kartu nama itu karena tercantum jabatan yang lumayan bergengsi).

Ia tidak segera menerima kartu nama itu.
"Kartu identitas," desaknya.
"Maaf kartu itu dipakai untuk mengurus STNK, jadi saya tidak memegangnya saat ini", saya berkilah (ini tipu-tipu, karena kartu saya tergantung di meja kerja saya di kantor).

Tahukah anda, tidak mudah untuk meyakinkan sang pejabat polisi mengingat tidak ada foto di kartu nama, cuaca gelap (lampu remang-remang di atas jalan) dan semua orang lelah (pastilah). Namun sekali lagi saya berkeras menyatakan ini semua bukan kesalahan saya (bukankah saya berniat baik, dengan membawa SIM, foto kopi, sopan dan berniat menyelesaikan secara hukum.

Mungkin karena bosan berargumentasi dengan saya, akhirnya sang pejabat polisi menyerahkan surat-surat saya dengan tekanan untuk segera menyelesaikan pengurusan STNK. Plus ancaman tidak ada jaminan kelonggaran bila razia dilakukan oleh tim yang lebih lengkap dan tinggi.

Di perjalanan ke kantor, saya berpikir betapa tidak enaknya menjadi polisi (apalagi yang berpangkat rendah). harus bekerja keras tanpa kenal waktu, dengan gaji rendah. Harus menghargai hirarki, tetapi juga harus berhati-hati dengan orang-orang yang memiliki akses ke atasannya.

Saya bersyukur saya bekerja di tempat saya sekarang ini. Gaji so pasti, kemudahan banyak serta seabrek hal yang membuat hidup ini berwarna. Thank God.

Indi

Thursday, January 17, 2008

My thoughts

Rabu, 2008 Januari 16
Tahukah tempe?
Hi all,Salah satu makanan kesukaan saya adalah tempe sambel. Panas, berminyak, pedas dan wangi kemangi serta kencur. Di pagi hari, nasi panas dan tempe adalah sarapan yang sering saya minta ke "mein mevrouw".

Sederhana saja, makanan itu membuat perut cukup kenyang dan lidah saya yang sangat njawani ini harus bisa merasakan ketajaman hidangan yang ada. Sarapan a la orang Jakarta seperti bubur ayam, lontong sayur atau mie ayam bukan pilihan utama saya. Bahkan kalau lagi malas lihat makanan yang ada pada saat makan siang atau malam, tempe goreng, tahu goreng dan telur kalau ada, dapat dengan mudah saya kunyah dan telan. Dengan kebiasaan itu saya benar-benar terpukul karena hilangnya dua main course itu, akibat produsen tahu dan tempe mogok bekerja.

Melambungnya harga kedelai dan ketidakmampuan pemerintah menangani komoditas itu menjadi alasan penghentian produksi. Menghilangya tempe dan tahu dalam 3 hari terakhir menjadi salah satu puncak kejengkelan saya sebagai rakyat kecil. Bayangkan, istri saya mengeluh harga tepung melonjak hampir 100 persen. Kemudian minyak goreng sudah berbulan-bulan enggan turun tahta. Belum lagi anak-anak minta susu yang harganya hampir tak terjangkau.

Beberapa bulan lalu pemerintah juga berancang-ancang mengurangi subsidi bensin dan minyak tanah dengan alasan kenaikan harga minyak dunia. Untung hal itu belum jadi. Andaikan terealisasi kita bisa membayangkan betapa bola salju kenaikan harga akan menghantam kita semua sampai babak belur.

Siapakah yang harus disalahkan karena situasi ini? Yang paling mudah kita salakan saja pemerintah. Kita kan sudah pilih dan menggaji mereka dari uang pajak, jadi wajar dong kalau mereka harus bekerja keras dan lebih keras untuk membuat senang rakyat; minimal tidak bikin susah. Itu yang paling mudah! Hanya saja tidak adil kalau semua beban itu kita bebankan pada pemerintah. Bagaimana pun kita memiliki andil untuk terlibat di dalamnya. Eit jangan marah dulu. Mari kita lihat persoalannya. Berbagai persoalan di sekitar kita sedikit banyak melibatkan setiap individu. negara kita dikenal sebagai surga koruptor sehingga apapun usaha untuk membuat maju negeri ini terganjal oleh aksi-aksi orang-orang brengsek itu. Tetapi mari teliti dulu siapa koruptor itu. Ada berbagai jenis korupsi; uang, waktu, dan kesempatan. Rasanya kita pernah melakukannya. Dengan menggunakan waktu kerja untuk bisnis sendiri bukankah kita sudah korupsi? Namun seringkai kita permisif terhadap korupsi non-uang. Akibatnya hal itu terjadi berulang-ulang dan kian besar, kian luas.

Jika setiap kita semakin tidak peduli terhadap kejahatan kecil-kecil, lama-lama kita membiarkan kejahatan besar. Akibatnya semakin mudah negara ini dipermainkan oleh penjahat-penjahat besar. Padahal kita punya banyak uang yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan anggaran belanja negara yang bisa memudahkan kehidupan rakyat kecil. Sialnya uang itu masuk ke kantong orang-orang tertentu dan kita orang kecil cukup gigit jari, karena tahu dan tempe tidak ada lagi di pasaran.

indi

Senin, 2008 Januari 14
Pak Harto

Hi all,I don't think this situation ever happened in the other part of this world. Journalists gathered in front of a hospital waiting for every second of a former president's sicknes; in this case Soeharto as the second president of Indonesia. Even though I am working for one of 10 broadcasting companies in Indonesia as a journalist, still, I think the coverage is too much.There were live reports, analysis, comments, that I think, took too much time and rooms in public spaces.

The other hand, there were so many problems happened surround us; the prices of households, foods raised more than 30 % as the industries reacted on the raise of oil price. Tuition fee of new schools raised in race Floods everywhere, etc.

It is almost 2 weeks since Soeharto was taken to Pertamina Hospital in Jakarta. We spent 24 hors a day to watch him not only in hospital but also in Cendana where Soeharto lives in case of bad something happened to him.The worst day came two days ago, when Soeharto in a critical situation. The doctor said the chance for him to live was only 50:50. There was a lung failure because of too much liquid in his lungs, and also the heart swallowed.

The newsroom was in red alert. Everyone was urged to stay awake in the office 24 hours. Oooh, It seemed that my boss was in panic or she was just want to show her power in controlling her subordinates. You know we have been in this business for over 1o years, and had dealing with situation more than once, so I think the emergency management is already in our blood.The problem is, I think we never consider the need of the viewers. So far we just played the game based on our assuption that the situation has news value.

I have experiences in dealing with viewers choice. When a story runs more than 3 days with major coverage and without more development, the people start to get bored.I know there is no law in rating and share, because people attention and needs may change in minutes. But, what I mean here, let's step back for a while and review it calmly.I think there will be more fair and interesting steps to be done since there are more events surround us. The steps might be more useful for the viewers and the people.What do you think?

indi


Minggu, 2008 Januari 13
BARRIERS

Hi all,I promised to write as soon as possible about everything. In fact I missed all that. Uh I am so sorry. Eventually, here I am. There were many things happened (as usual), however they all came one by one without delaying.After finishing my duty as chairman of a commitee in my church, I had my annual leave.

It was good, ummm not good enough actually. There was flood! Can you imagine? I and my familiy had to spend more hours to travel Jakarta-Madiun. Heavy rain and flood, bad road, traffic jam.Nevertheless, I was happy to leave my job behind. It was great not to think all pressures (my headache comes every Wednesday when weekly ratings issued). Oh come on, they are all past now. Let's think about present time, ok? Ok.

You know what's bothering me? Now? Waiting in uncertainty. Why is that? Soeharto. It is a name of a great person. A hero, a leader, a strong man. Not only in the past, but you can trace his power until now. But what can a living creature can do against time? Nothing. You will loose at the end. This thing happens too for Soeharto. He is lying powerless on a bed. His life depends on instruments hanging around him.But you protest: It's got nothing to do to you. Soeharto is a lot bigger than you. Oh yeahh. It has something to do to me.

We journalists put our eyes on him, because his sickness. We keep asking each other whether his time is nigh. We don't want our competitor take an advantage because of our inadvertence. All of our sources, instruments, persons, everything are in position to broadcast the D-day lively. Red alert! I keep wondering in my mind, do all people care about this dissonance broadcasting business. Half of me said Yes! Indeed, absolutely no doubt on that. But the other half is not sure about that.

It said Seharto is the past, people need something real like food, job and education, sometimes entertainment.Sure, there will be no exact answer on that question. All I have to do is do what my superior told me about. I am not in a position to refuse the order. That's what bothering me.Thank you for reading and listening my thought.

Peace,indi

Kamis, 2007 Desember 13
Pressure

Kejutan kuterima di tengah tidurku yang nyaman siang itu (maklum kalong, kerja malam, pagi sampai siang balas dendam dengan bantal guling). My boss sent me an sms. Programmu jatuh ratingnya tulis beliau. Adalah hal biasa bila rating dan share sebuah program tv naik turun seperti roller coaster. Tetapi sms itu menandakan ada yang tidak beres dengan perolehan pada hari sebelumnya. Mungkin hasilnya di luar batas toleransi.

Sms itu membuatku termenung. Apakah saya sudah mengerjakan semua tugas saya dengan baik? Hal ini kembali memicu pertanyaan banyak orang: Apakah "nilai" pekerjaan membuat program tv dapat diakui hanya oleh besar kecilnya rating? Is it fair to use such a tool?

Dunia televisi bagiku seperti bumi dan langit yang terperangkap dalam sebuah bentuk. Sebagai penonton, saya menikmati kenyataan dan ketidaknyataan sekaligus. Dengan minuman ringan di tangan, pisang goreng dan "leyeh-leyeh" di kasur, saya bisa menikmati tayangan tv. Bahkan saya bisa memaki, memuji, menilai aksi panggung seorang bintang dan kualitas teknisnya tanpa harus terbeban secara psikologis. Namun di saat yang sama, saya adalah seorang pekerja yang mencari penghidupan dengan memproduksi berita televisi. Praktis tidak ada saat tenang ketika sebuah program disiapkan. Presenter, gambar, audio, tulisan di layar dan seabrek aspek teknis dan non-teknis adalah hal-hal yang harus disiapkan secara sempurna agar rating bagus; lebih bagus dari tv tetangga. Hebatnya itu adalah pekerjaan 7/24/365, atau tujuh hari seminggu selama setahun.

Pernah saya sampai pada tahap 'mblokek'. Itu adalah istilah bagi situasi perut yang kelewat kekenyangan hingga mau muntah. Mengerjakan program tv bagi saya seperti mendekati perempuan cantik. Bagaimana tidak. Kita tidak pernah dapat menentukan bentuk pendekatan yang tepat untuk menundukkan hati sang wanita. Cara pendekatan kepada yang satu belum tentu sama efeknya kepada yang lain. Perlu kreatifitas dan deg-degan. Itu seninya.Namun ada saat, ketika saya tidak lagi dapat menemukan asyiknya membuat program....Ah saya akan teruskan cerita saya besok, karena saya harus miting (bukan mencekik) tapi meeting.

Stay in touch.
indi


Senin, 2007 Desember 10
Perjalanan

Hi all,Ada yang berbeda dalam perjalananku ke kantor hari ini. Mobil tua yang sudah menemaniku bertahun-tahun sedang tidak enak badan, sehingga kuistirahatkan di bengkel. Naik bis Trans BSD adalah pilihanku. Dingin, nyaman, bisa tidur lagi. Satu setengah jam dari BSD Tangerang ke Gatot Subroto Jakarta Selatan, dapat kumanfaatkan untuk istirahat.Namun harapan untuk bisa "berkontemplasi" di jalan tidak terlaksana.

Pagi itu pukul 10.15 WIB, bis penuh. Kok aneh? Apa orang-orang ini seperti saya yang jam bekerjanya bukan jam kantor? Karena kulihat wajah-wajah mereka bukan orang sekolahan atau ibu rumah tangga bagi yang wanita. Mungkin mereka adalah pemilik perusahaan yang lagi tidak suka menggunakan sedan mewah untuk bekerja pikirku. Sesaknya bis membuat perjalanan menjadi tidak nyaman. Wah, ACnya juga tidak cukup menyebar rasa dingin. Apalagi sinar matahari mulai menghangat di luar sana. Tetapi belum itu saja tantangannya. Duduk di sebelahku adalah seorang pria setengah baya yang begitu aktif berkomunikasi. Tidak cukup hanya berbicara setengah suara di kepadatan penumpang bis, ia bisa dibilang setengah teriak untuk berbicara dengan "counterpart-nya". Hmmm. Yang hebat ponselnya pun sebentar-sebentar ikut "berteriak" menyampaikan keinginan untuk berbicara dengan sang pria karena panggilan dari seberang sana.

Selepas jalan tol BSD-Bintaro, bis merayap di tengah kemacetan Jalan Metro Pondok Indah. Di sana-sini memang pengecoran jalan untuk busway sudah hampir selesai. Tetapi di beberapa bagian jalan terdapat batu-pasir, sisa-sisa aspal yang terbongkar masih bergeletakan. Bis berbadan gemuk panjang ini harus bersaing dengan metro mini, sedan mewah, angkot dan sepeda motor untuk bersaing melaju di jalan yang tinggal dua jalur.

"Brengsek!"

Aku mendengar makian dari bapak di sebelahku. Rupanya pikirannya sama denganku yaitu mendongkol dengan lalu lintas yang tidak segera lancar. Mungkin tendernya bakal menguap bila ia tidak sampai di tujuan tepat waktu pikirku. Berhubung aku tidak memiliki target waktu, aku masih bisa menahan mulut ini untuk tidak mengumpat.Mungkin ini waktu yang tepat untuk mencuri tidur; toh masih cukup lama untuk sampai di akhir tujuan di Ratu Plaza Sudirman.

"Huaaaa!!! Pondok Indah, ma! Nggak mau Plaza Senayan!" Seorang anak laki-laki kecil, yang mungkin baru berusia 6 tahun merengek kepada mamanya.

Suaranya waahh lumayan mengejutkan, sehingga kantukku segera menguap.

"Sssssttt. Plaza Senayan, karena mama ada urusan", sang mama membujuk anaknya.

"Nggak mau. Pondok Indah", balas sang anak dengan keras kepal.

Luar biasa pikirku. Anak seusia itu sudah bisa membedakan dengan jelas dua pusat perbelanjaan di Jakarta yang dikenal berkelas. Aku membandingkannya dengan anak-anakku. Rasanya si anak kecil jauh lebih canggih. Aku geleng-geleng.Selepas Pondok Indah, bis dengan lancar melintasi Kebayoran Lama. Bahkan lima belas menit kemudian kami sudah memasuki Pakubuwono dan Sudirman. Menguap sudah kesempatan untuk tidur nyaman. Namun menarik juga untuk melihat kejadian di dalam bis.

Indi


Minggu, 2007 Desember 09
Challenges

Hi all,

How's your weekend? I had a good one; sleep all day (hahaha). Take a rest after a full and exhausted week with meeting, arguing and working. Actually it was not a whole day rest, because I spent a whole day of worship on Sabbath day (Saturday). And on Sunday, my children asked me to go out for a little vacation.

Anyway, I promise to tell you what happened in the meeting last week and here it is. My TV where I work has problem with one of its news program. You know rating don't you? Yea the rating is very low, so the rescue must be done.

What I never understood is the way decision was made. Within just a few days after I wrote an evaluation, some people got replaced. I didn't think my boss would act that fast, because I believe the persons who worked for the program has done perfectly. It's just a misperception in reading the market and the competitors did well. Also, the mistake belonged to the bosses, because it's them who drove the program in such a way.
I am sorry for what had happened especially to my friends who has been replaced without any explanation. Of coures, they are still here, but in different positions without pride (they've been counted as loosers).

After all the business is business. We have to move on in any condition; new persons elected and reformed. I know every eyes in this office are watching me and my team, waiting for what are we gonna do or waiting for our fall. I am not afraid nor worry. I am not afraid of challenges. I believe in working together in a fun atmosphere.

Do you believe in someone's ability? I do, and I will never dropped that. Trust, opportunity, guidance and confidence are the things that someone needs to perform well.
Enough with the meeting. I have a plan to have annual leave this weekend; a trip to Madiun. What I am waiting for this trip is driving and sight seeing. Oh it was an excited experience to drive for mor than 15 hours from Jakarta to Madiun, East Java. Exhausting but exciting. But not as last year of a year before, when we drove straight to Madiun, my wife proposed us to stop at a certain city and have a pleasure for a while.

It's a good suggestion anyway. We never stopped in Cirebon, Pekalongan or Semarang more than just 30 minutes. Oh, I can hardly wait.

Let's work with energy in a good spirit but have a vacation to refresh your ideas.

Indi


Kamis, 2007 Desember 06
Sleepy but happy
Jakarta, Dec 8, 2007

Hi all,
It was a great day! My wife had her birthday party yesterday. We (I, my wife and our two children) celebrated it with a dinner. Perhaps the place is not a special one (Pizza Hut, hahaha) but the best thing was we were happy. We ate a lot, even my wife who has a special task to control her weight (hmmmm). The night fell very fast, we could hardly realize that the place was almost close when our meal still flows in.

OOOh I had to wake up early morning (actually this is my real job) to go to the office. When most of the west Indonesians are still having their warm and nice bed. But please don't think I was too lazy too wake up, it's just my eyes uuhhh so heavy.

There will be a meting today, because my tv program (the program that I supervise) need to be changed. It must be a tough job. Many people with many ideas with only one program. However, I am glad to work with my team now. They are so eager, full of ideas, flexible and also creative (nothing you want more).

Well, I will tell you what happen on the meeting later on. I am sleepy but happy and full of energy to start the day (by the way it's week end). Enjoy your life.

indi