Wednesday, January 23, 2008

Bahasaku Bahasamu

Ketika mendengarkan beberapa laporan di televisi swasta dalam negeri, saya menjadi teringat guru Bahasa Indonesia SMP dulu. Betapa tidak, tata bahasa dan istilah yang dipergunakan tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Beliau, guru saya itu sangat keras dalam mengajarkan penggunaan bahasa.

Salah satu contohnya adalah frasa ini: Simpati Berdatangan kepada Pak Harto (ini berhubungan dengan laporan Pak Harto yang dirawat di RSPP). Sekilas tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Namun jika ditelaah lebih jauh, tentu saja simpati bukan kata benda yang dapat dijadikan subyek di kalimat tersebut. Akan lebih tepat jika simpati diubah menjadi rasa simpati.

Contoh tadi hanya salah satu dari sekian banyak kalimat yang tidak berkaidah baik dan benar. Pekerja TV hanya menggunakan 'rasa' dalam berbahasa seperti dalam kalimat becakap-cakap. Mungkin orang bisa mengerti arti yang dimaksud, permasalahannya televisi (khusus berita)adalah media pembelajaran pula dalam banyak hal. Itu sebabnya tidak hanya orang bisa mengerti apa yang dimaksud tetapi dapat mengetahui apa yang benar, baik informasi, gambar maupun tulisannya.

Mungkinkah kian banyak orang tidak peduli dengan tata bahasa, dengan alasan bahasa adalah salah satu alat berkomunikasi. Sedangkan inti komunikasi adalah tercapainya pengertian antara dua pihak atau lebih dalam bertukar informasi. Itu sebabnya muncul bahasa isyarat dan bahasa tarsan. Bahkan yang menarik (ini degradasi atau kejeniusan) muncullah bahasa 'slank' atau kita mengenalnya sebagai bahasa preman.

Pada saat saya duduk di bangku SMA, 22 tahun lalu, ada sebuah bahasa preman (prokem) yang saya dan beberapa teman gunakan sebagai penanda komunitas juga bahasa rahasia. Bahasa itu sebenarnya sederhana saja, yaitu penyisipan 'in' di setiap suku kata. Contohnya kata kamu menjadi kina minu, kemudian gua menjadi ginu ina. Mudah kan?
Bahasa ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bahasa prokem yang muncul di setiap generasi. Bagi anda yang berusia di atas 30 tahun mungkin anda teringat kata-kata: beceng, gokil, bokap, nyokap, dan bokis. Bagi yang tidak mengetahuinya, arti kata-kata itu adalah: pistol, gila, bapak, nyak (ibu), dan bisa.

Beberapa tahun lalu mucul bahasa kaum 'melambai' atau bahasa kaum waria, karena tampaknya merekalah yang memulai dan memasyarakatkannya. Makarena untuk makan, pelita hati untuk pelit dan caca marica pengganti cuci mata atau cari-cari (yang menarik hati baik barang atau orang) adalah beberapa kata yang mereka gunakan.

Bagi masyarakat kebanyakan, bahasa itu bisa menarik, karena pergaulan mereka bisa berjalan mulus. Saya sendiri tidak keberatan menggunakan istilah-istilah itu. Selain unik, saya pun bisa memasuki komunitas-komunitas 'rahasia' sebagai bahan informasi/berita.

Namun setelah sekian lama menggunakannya, saya rasa saya mulai kehilangan sentuhan berbahasa yang baik dan benar. Bukannya mau sok-sokan, tetapi berbahasa yang tepat memastikan penyampaian informasi sesuai dengan apa yang dimaksud, tidak ada dualisme arti yang bisa menyinggung lawan bicara atau pihak-pihak yang mendengarnya.

Apakah saya berlebihan dalam menginginkan penggunaan bahasa yang baik dan benar? Apalagi jika anda mendengar perbincangan saya dengan anak-anak saya, anda bisa terheran-heran, karena kalimat-kalimat saya sesuai "text book". SPOK (saya juga heran selalu memakai ini). Tiba-tiba saya hawatir, anak-anak saya selalu berbicara resmi dalam setiap kesempatan. Bayangkan betapa teman-temannya, yang masih berusia 10-12 tahun merasa ia bukanlah teman bermain tetapi pejabat negara bertubuh cilik.

Mungkin orang tidak sependapat dengan cara saya mengajarkan cara berbahasa kepada anak-anak saya dan orang di sekitar, karena dianggap berlebihan. Tetapi saya tahu, orang-orang tersebut mengerti benar maksud saya dan guru Bahasa Indonesia SMP saya akan memberi nilai baik.

Salam,
indi.

No comments: