Saturday, October 16, 2010

Eksotisme Tana Toraja (3) Kepercayaan

Walau hanya dua hari tinggal di sebuah keluarga besar di Tana Toraja, saya mendapat begitu banyak informasi yang begitu banyak. Saya memerlukan waktu cukup banyak untuk memilah apa yang ingin saya bagikan kepada Anda dari informasi dan pengalaman itu.

Saya batasi tulisan ini pada hal-hal yang dipercayai keluarga yang saya tinggali. Tampaknya keluarga ini memiliki sejarah panjang di Tana Toraja. Salah satunya tercatat lewat usia salah satu dari selusin lumbung yang ada, yang diklaim dibangun pada abad 18. Kayunya kasar, keras, tapi tampak sudah termakan cuaca, sehingga warna aslinya memudar. Demikian juga atapnya yang terbuat dari susunan bambu dan bukan rumbia atau sirap.

Keluarga besar ini memang sudah menganut agama Kristen, tetapi masih ada warna adat dan sisa kepercayaan lama dalam aktifitas kesehariannya. Sekali lagi tulisan ini tidak menilai benar salah sebuah aktifitas, tetapi hanya mencatat fakta yang ada.

Kawasan tempat saya menginap bernama Batu Kianak, 10 km dari Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan perjalanan mendaki.

Nama tempat ini memiliki sejarah yang berbau kepercayaan tertentu. Saya diperlihatkan sepetak tanah berpagar besi berukuran 3x3 m. Di dalam pagar terdapat sesemakan dan sebatang pohon beringin berukuran sedang. Namun bukan benda itu yang menjadi pusat perhatian. Berjajar di bawah beringin itu ada beberapa baru seperti tonggak atau sisa batang cor untuk pondasi bangunan. Warnanya memperlihatkan kalau batu-batu itu berusia tua. Ada bekas lumut dan jamur serta aus oleh cuaca.

Yang jelas terlihat ada lima tunggul batu yang berukuran berbeda-beda. Batu tertinggi sekitar setengah meter, Tertinggi kedua beberapa centimeter lebih rendah dan tiga lainnya hanya belasan centimeter. Karena ukuran inilah disebutkan batu ini merupakan keluarga. Yang tinggi adalah pasangan ayah ibu dan tiga anak-anaknya. Disebutkan pada hari-hari tertentu, terutama pada bulan purnama, batu baru akan muncul berukuran kecil, yang disebut sebagai anak baru. Oleh sebab itu namanya adalah batu kianak atau batu beranak.

Tidak hanya itu, pada hari-hari tertentu pula, terutama menjelang adanya upacara entah kelahiran atau kematian, akan muncul ular-ular berukuran besar di sekitar batu dan pohon beringin itu. Masyarakat di sekitar itu masih memercayai kehadiran ular dan batu-batu tersebut memiliki arti penting untuk keselamatan mereka. Sehingga mereka tidak berani mengganggu ular atau merusak situs tersebut.

Kepercayaan masyarakat setempat terhadap hal-hal magis juga tercermin pada rumah adat atau tongkonan dan lumbung mereka. Salah satunya adalah pembangunan lumbung yang harus menghadap ke Selatan dan adanya ukiran-ukiran tertentu yang boleh dan tidak boleh ada di dinding bangunan. Sayang sekali saya tidak berkesempatan menggali lebih dalam tentang makna arah dan ukir2an itu, karena narasumber saya yang juga tidak memiliki informasi cukup.

Dua hari benar-benar tidak cukup untuk menggali keeksotisan Tana Toraja. Padahal saya juga ingin berbagi informasi tentang hal-hal itu. Sebutkan saja kubur dari batu serta sistem sosial di masyarakat.

Semoga suatu hari saya berkesempatan kembali ke tanah yang penuh keindahan dan misteri itu.

Tuesday, October 12, 2010

Eksotisme Tana Toraja (2) Nilai Kerbau

Tubuh itu besar. Berkilat. Kuat. Sorot matanya tajam. Seolah tidak percaya akan maksud siapapun yang mendekat. Namun ia tidak mampu bergerak. Tak berdaya. Hidungnya terikat oleh seutas tambang yang tertambat di sebuah pohon.

Hewan itu adalah seekor kerbau dengan berat sedikitnya 150 kg. Ia dipersiapkan untuk upacara adat di Tana Toraja. Dikorbankan entah untuk upacara pernikahan, pindah rumah atau kematian.

Bagi masyarakat Tana Toraja, ini yang saya tangkap, kerbau memiliki tempat tertentu jika tidak dapat dibilang istimewa. Upacara adat seakan tidak lengkap tanpa korban kerbau.

Namun kerbau untuk korban berbeda dengan kerbau biasa. Tidak semua kerbau dapat dijadikan korban. Pertama-tama ia harus berkelamin jantan. Tanpa cacat. ukuran ekornya lebih panjang dari lutut belakang. Itu kriteria umum. Ada yang lebih berharga dari sekedar kerbau seperti itu. Kira-kira demikian; kerbau berciri di atas harganya beberapa puluh juta rupiah. Nah yang kelas istimewa bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Nah ini ciri yang mahal. Kerbau belang, yaitu berwarna kulit hitam dan putih kemerahan, dan kerbau yang dikebiri (ini berarti sang kerbau tidak mampu membuahi kerbau betina). Kerbau kebiri memiliki ciri bertanduk besar dan melengkung indah). Kerbau jenis ini sekali lagi bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bayangkan harga sebuah mobil niaga kelas menengah di Indonesia.

Perhatian saya tertuju pada seorang penggembala kerbau belang yang kami temui di sebuah sungai di belakang tempat tinggal kami di Tana Toraja.

Pria itu berusia 40an. Bertubuh sedang cenderung kurus. Ia menuntun seekor kerbau belang yang beratnya kira-kira 3 kali tubuhnya, ke air yang mengalir dengan batu-batuan di dasarnya. Setelah melepas sang kerbau berendam, ia melepaskan seluruh pakaiannya. Ya, ia telanjang bulat. Perlahan ia mendekati sang hewan dan mandi bersama!

Air itu tidak keruh, tetapi tidak juga jernih. Sisa-sisa hujan semalam membawa lumpur dan tumbuhan atau sampah menuju hilir. Namun hal itu tidak merisaukan sang pria. Diambilnya sikat yang telah dipersiapkan dan dengan teliti ia menyikat tubuh gembalaannya. Setiap centimeter hewan besar itu ia bersihkan, seolah membersihkan benda antik yang tidak boleh ternoda sebutir kotoran pun.

Penghormatan masyarakat Tana Toraja kepada leluhur dan kedisiplinan mereka pada adat membuat saya tertunduk takzim. Saya tidak menggugat besarnya biaya yang harus ditanggung oleh mereka yang hidup saat upacara kematian digelar dan belasan atau puluhan ekor kerbau dikorbankan untuk mengantar orang yang meninggal, tetapi saya kagum oleh ketaatan itu sendiri turun temurun.

Sampai saat ini, beberapa minggu pascakunjungan ke Tana Toraja itu, saya masih tak dapat berhenti mengagumi cara hidup tersebut. Wow, luar biasa keberagaman adat di negeri saya tercinta ini.

Monday, October 4, 2010

Eksotisme Tana Toraja (1) Sabung Ayam

Beke...beke...songkok...songkok...
Itulah seruan yang terdengar mendengung di arena sabung ayam di sebuah kecamatan di Kab. Toraja Utara. Mereka menawarkan taruhan bagi para penggemar adu ayam yang segera berlaga.

Beke (saya tidak tahu tulisan sebenarnya) adalah sebutan untuk pemegang ayam yang menggunakan ikat kepala dari kayu. Sedangkan songkok untuk lawannya yang menggunakan topi caping petani.

Para petaruh itu menawarkan uang untuk menjagokan ayam yang dianggap kuat. Tidak ada uang kecil di sana. Minimal Rp. 50.000 hingga entah berapa. Ketika pertarungan dimulai, kesenyapan datang di arena. Sesekali seruan kagum terdengar: aaahhhh, saat tendangan telak seekor ayam mengenai lawannya. Kurang dari satu menit, pertarungan selesai. Taji logam yang terpasang di kaki masing-masing ayam, salah satunya melesak ke dada lawannya. Uang taruhan berpindah tangan. Ayam yang kalah dibawa ke pejagalan. Ya pejagalan, karena ayam yang belum tentu mati itu dipotong kakinya (yang bertaji) dan diserahkan kepada pemenang. Catat: si ayam itu masih hidup saat kakinya dipotong. Baru kemudian lehernya disembelih.

Tidak ada kata kesempatan kedua kepada ayam yang kalah. Bahkan bila ia hanya melarikan diri tanpa luka, dan tidak mau melakukan pertarungan lagi, tetap kakinya akan dipotong baru lehernya.

Menonton adu ayam di Tana Toraja (foto-foto dapat dilihat di FB saya) membuat bulu kuduk ini merinding. Betapa tidak, saya rasa kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan ikutan yang dianggap penting dari sekian banyak upacara di Tana Toraja.

Walaupun banyak orang menuding sabung ayam ini sebagai judi dan pasti ilegal, tidak menyurutkan minat penggemarnya. Biasanya adu ayam ini mengikuti upacara kematian salah seorang warga setempat.

Menempati sebuah tanah lapang, adu ayam ini bisa digelar sejak pagi hingga malam selama 7 hari sampai sebulan. Ratusan orang duduk di bawah pondok2 darurat yang dibangun sekeliling arena sabung. Semua (kecuali turis, anak-anak dan ibu-ibu) memegang uang taruhan.

Berbeda dari judi yang umum ditemui, taruhan pada sabung ayam di Toraja ini (saya tidak tahu tempat lain) hanya melibatkan dua orang; pemegang beke atau songkok). Mereka saling memercayai untuk transaksi itu.

Menurut perhitungan kasar, dalam sehari perhelatan adu ayam, sedikitnya Rp. 30 juta beredar di sana. Asumsinya: ada 300 pengunjung yang masing-masing memegang uang Rp. 100.000. Sensasional kan?


Wednesday, September 22, 2010

Friday, September 17, 2010

Mada, Gadis Kecil di Ambon

Wajah itu enak dilihat. Matanya penuh semangat. Senyumnya selalu mengembang, walau tak ada pembeli kue yang ia tawarkan. Itulah perhatian saya terhadap Mada. Ya, itulah namanya setelah kami berkenalan beberapa saat di sebuah restoran cepat saji di kota Ambon petang ini.

Perkenalan kami penuh warna. Saat itu hari sudah gelap. Tak ada sisa sinar mentari, walau jam tangan saya baru pukul 6 Waktu Indonesia Timur. Awan menggayut sejak pagi di langit kota.

Perut yang baru terisi kerapu bakar masih belum terpuaskan. Sehingga bersama empat kawan sekerja yang habis membuat program Suara Keadilan, saya ajak mereka makan es krim di sebuah restoran cepat saji di sebelah hotel tempat kami menginap.

Sambil bersendagurau menikmati perbincangan ngalor ngidul itu, saya melihat ke tangga masuk restoran. Di sana ada seorang gadis kecil berjualan roti goreng di dalam sebuah toples besar. Bajunya lusuh. Rambut diikat seperti ekor kuda hanya dengan karet gelang.

Ia tidak menjajakan dagangannya secara agresif, laiknya seorang pedagang. Tetapi tatapan dan senyumannya mengiringi setiap pengunjung restoranyang keluar atau masuk, seolah berkata belilah kue ini, atau saya akan mati kelaparan.

Sejurus saya perhatikan tak ada orang yang tertarik untuk menghampiri dan membeli kuenya. Tetapi rasanya senyum itu tak lepas dari wajahnya.

Mungkin ia sadar atas perhatian saya, karena tatapan kami beberapa kali bertemu dan ia pun tersenyum. Sampai satu saat, ia mendatangi meja kami.

Om, mau beli roti? Tawarannya membuat kami menggeleng, karena toh kami baru makan ikan bakar dan sedang menikmati kudapan restoran cepat saji itu. Tapi sekali lagi, yang membuat saya lebih tertarik adalah senyuman manisnya yang tidak hilang atas penolakan kami.

Entah atas dorongan apa, saya bertanya: kamu sudah makan? Ia hanya menggeleng perlahan. Kamu mau saya belikan makanan? Tawaran saya berlanjut. Ia mengangguk juga dengan perlahan, plus senyum manisnya.

Setelah mengangsurkan uang agar ia bisa memilih sendiri makanan yang dikehendaki, ia tinggalkan kami ke pemesanan. Sepeninggalnya, sempat terpikir bahwa ia akan berlalu dan tak kembali. Saya sudah siap dengan kemungkinan itu, walau pasti akan membuat kecewa. Obrolan pun kami teruskan dan tak memedulikannya lagi.

Namun hampir 10 menit kemudian, ia kembali dengan nampan makanannya, dan mengembalikan sisa uang kembalian. Wow, saya kagum dan tersenyum menyambutnya.

Sambil menikmati setiap suapan ayam gorengnya, ia tak henti2nya berterima kasih. Dalam perbincangan itu, saya kian mengaguminya. Mada, demikian panggilannya. Walaupun ia mengatakan marganya, saya memilih untuk merahasiakannya dari Anda. Ia berjualan roti goreng buatan ibunya, selepas bersekolah sore hari di kelas 5 sebuah SD negeri di Ambon.

Lalu untuk apa uangnya, tanya saya penuh rasa ingin tahu. Membeli buku, jawabnya sambil mengunyah nasi pulen yang mungkin jarang ia temui. Bagaimana dengan pekerjaan ayahmu, tanya salah seorang teman. Ia bekerja di sebuah restoran tidak jauh dari tempat kami makan.

Dari perbincangan itu mengalirlah sebuah kisah yang menggugah hati. Seharusnya kisah itu sedih tentang perjuangan anak kecil membantu perekonomian keluarga. Sebuah pengingkaran atas hak anak-anak, yaitu belajar dan bermain. Namun dari mulut Mada, kisah itu begitu ringan dan indah; seperti sebuah kisah perjuangan seorang pahlawan dalam mengatasi masalah remeh temeh. Tak ada kesedihan atau penyesalan, hanya semangat dan kegembiraan. Padahal ia harus berjualan hingga tengah malam, sebelum dijemput pulang salah seorang kakaknya, yang juga seorang pekerja di sebuah restoran.

Perbincangan setengah serius itu diselingi keberanian Mada menebak daerah asal kami. Ada yang asal Manado, Cina dan Jawa sebutnya sambil menunjuk kami satu persatu. Ia bahkan menyebut saya parlente (ya ia menyebut saya parlente bukan perlente) dan orang kaya karena melihat foto istri dan anak-anak saya di ponsel. Dengan berani ia menyebut pernah melihat saya sebelumnya (ini membuat heran, apakah ia juga menonton berita). Ketika saya tanya di mana ia melihat saya, jawabannya mengejutkan sekaligus menggelikan: sopir oto (baca: angkot). Meledaklah tertawa kami, hingga membuat seisi restoran itu melihat ke meja kami.

Kami pun berpisah, karena tubuh telah lelah untuk melanjutkan perbincangan. Mada kami tinggalkan dengan ayam gorengnya yang belum juga habis dan setoples besar roti goreng di bawah kakinya.

Pertemuan dengan Mada di sebuah petang di kota Ambon mengajarkan sesuatu, minimal untuk saya, yaitu berkekurangan tidak harus ditanggapi dengan berat hati. Walaupun Mada masih berusia sekitar 10 atau 11 tahun, yang berarti belum banyak mengalami kepahitan hidup, setidaknya ia menunjukkan semangat dalam menjalankan hari-harinya walau tanpa fasilitas dan keistimewaan.

Tuhan berilah Mada kesempatan untuk menggapai mimpinya suatu saat.

Thursday, August 26, 2010

Pengalaman Suara Keadilan

Ada beberapa keuntungan besar setelah saya pegang program Suara Keadilan, yang tayang setiap Selasa pk 19.30-20.30 WIB (jangan lupa tvOne ya).

Pertama: Saya berhadapan dan berbincang dengan orang-orang yang tersisih. Merasakan kesulitan dan beban mereka, saya diingatkan untuk dapat berbuat lebih pada sekeliling. Terutama yang berkekurangan dan tidak beruntung. lebih dari itu, saya terpanggil untuk membantu melalui profesi ini. Sebut saja ibu Lely, yang 12 tahun tak berhasil mengurus pensiun suaminya sejak ia wafat tahun 1998. Perempuan sepuh itu harus menghidupi tiga putranya seorang diri, tanpa pemasukan lain. Usahanya mengurus pensiun itu selalu gagal dengan berbagai alasan. Surat yang dikirimkan ke atasan suaminya, menteri di departemennya, bahkan presiden tak berjawab. Untunglah setelah tayangan tersebut, sebuah jawaban dari PT Taspen datang. Semoga pekerjaan Suara Keadilan bermanfaat.

Kedua: Banyak kasus terjadi di luar Jakarta. Akibatnya saya berkeliling terus. Setidaknya seminggu 2 atau 3 hari keluar kota. Perjalanan itu membawa pengalaman luar biasa. Salah satunya adalah mengetahui betapa luasnya, beragamnya dan jauhnya perbedaan kota yang saya kunjungi dengan Indonesia.

Pengalaman menarik pertama di kota Sukabumi. Kota yang hanya berjarak sekitar 100 kilo meter dari Jakarta itu menunjukkan betapa tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Jalanan sempit, macet, berlubang. Apalagi yang menuju tempat liputan. Hanya bertatahkan batu2an besar, berlumpur, minim penerangan, menanjak dan berliku.

Pengalaman menarik kedua adalah kota Purwokerto. Saya menemukan kedamaian di kota ini. Walaupun perjalanan ke kota itu melalui jalur selatan melelahkan dan menjemukan, praktis semua itu hilang saat merasakan hawa sejuk dan ketenangan kota. Ramai tapi tidak terlalu macet, dan banyak makanan yang enak.

Kota ketiga adalah Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Saya membayangkan yang namanya ibu kota provinsi pasti tumbuh besar penuh fasilitas dan keramaian, karena tingkat perekonomian baik. Tapi saya lupa. Ini bukan di Jawa. Kendari sudah lebih jauh dari Jakarta. Akibatnya akses menuju kemodernan kian sulit. Kota ini indah. Di kota tua ada sebuah dataran tinggi yang langsung berhadapan dengan pelabuhan. Tapi ada daya, keindahan itu tak tersingkap sepenuhnya. Bahkan ada permukiman di tengah kota, yang aksesnya harus melalui jalan setapak, licin, dan mendaki. Sulit ditempuh. Motor pun tidak mudah memasukinya. Padahal di tempat itu sedikitnya ada beberapa belas rumah.

Sekali lagi, saya pikir inilah sebuah bentuk ketidakadilan. Saya yang tinggal di ibu kota negara dengan mudah melakukan banyak hal. Begitu mudah pergi ke banyak tempat. Namun kemudahan itu tak didapat saudara-saudara saya di luar Jakarta.

Salam keadilan

Wednesday, August 4, 2010

Tempat Berkesan

Dari sekian banyak tempat yang pernah saya kunjungi, ada dua lokasi yang paling saya ingat. Memori saya terisi penuh dengan hal-hal khas dari kedua tempat itu. Yang pertama adalah Seattle, AS dan kedua Sindangraja di Sukabumi, Jawa Barat.

Bukan karena di luar negeri atau di Amerika, kota Seattle menjadi pilihan pertama tempat favorit saya. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk mendukung pilihan itu. Setiap mengunjungi sebuah daerah asing, terutama untuk jangka panjang, saya menyempatkan diri berkeliling, baik dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.

Walaupun hampir 4 tahun lalu, rasanya seperti baru kemarin saya mengunjungi kota Seattle. Setiap sudut kota mudah terbayang di benak. Cuacanya yang sejuk (walaupun masuk musim gugur yang biasanya dapat menggigilkan saya jika di negara empat musim lainnya) memudahkan saya berjalan di waktu malam atau dini hari.

Ya, saya senang menelusuri jalan-jalannya yang berbukit. Kota itu tidak besar (dibanding Surabaya bahkan), sehingga dengan berjalan kaki pun dengan mudah sudut-sudut kota terjangkau. Dalam satu pandangan, kita bisa melihat pegunungan, laut (tepatnya teluk) dan dataran. Three in one.

Salah satu tujuan favorit saya adalah pasar ikan. Hoho, jangan pikir ini seperti pasar ikan atau tempat pelelangan ikan di Indonesia. Jauh! Bersih lorong-lorongnya, tanpa bau amis pula. Bahkan yang paling seru, beberapa pedagang menawarkan dagangan berupa ikan segar atau hewan laut lainnya dengan gaya yang atraktif. Baik dengan gerak tubuh ataupun dengan teriakan-teriakan yang mengundang.

Belum lagi ada obyek wisata yang mengingatkan saya pada film romantik Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan; namanya The Needle. Bentuknya seperti menara TVRI di Senayan, tetapi lebih tinggi dan cara melihatnya adalah dari perbukitan. Indah.

Yang juga tak terlupakan adalah desa Indian bernama Tilicum Village. Tempat ini dicapai dengan menggunakan ferry penyeberangan selama sekitar 30 menit. Sebetulnya yang tersisa hanyalah karya masa lalu berupa barang-barang lawas dan diorama, tetapi pengunjung dapat membayangkan kejadian masa lalu itu melalui sebuah sandiwara di panggung dengan tata cahaya dan suara yang lumayan untuk kelas pertunjukan biasa. Hebatnya turis menikmati itu sambil makan-makanan khas Indian dan salmon panggang yang nikmat dan all you can eat. Saya sampai tambah dua kali makan salmon itu, karena endang bambang (enak banget).

Lalu bagaimana dengan tempat di Indonesia?

Banyak tempat bagus di tanah air beta. Namun untuk terbilang berkesan harus ada yang menyentuh perasaan. Nah yang itu baru saja saya rasakan ketika saya dan teman-teman menggarap program Suara Keadilan akhir Juli 2010. Tempatnya relatif dekat saja dengan Jakarta, yaitu Sukabumi. Namun jangan salah, ini bukan kota Sukabumi, tetapi di sebuah desa bernama Sindangraja.

Sebelumnya, produser saya hanya menyatakan tempatnya 15 km dari Sukabumi. Tidak jauh saya pikir. Tetapi ia menambahkan, bahwa perjalanan itu menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Lho. Hati ini jadi bertanya-tanya atas informasi itu.

Faktanya: buseettt.

Dari Sukabumi setelah makan mie ayam sehat buatan istri saya, kami berkendara dulu sekitar 30 km dengan jalan menanjak dan berkelok. Jalan itu sempit dengan aspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Setiap berpapasan dengan mobil lain semuanya harus melambatkan kendaraan dan berhati-hati melintas jika tidak ingin senggolan atau masuk jurang.

Nah di sebuah kawasan kebun teh, pergantian kendaraan dilakukan. Kami tinggalkan mobil yang kami gunakan dari Jakarta dengan sebuah LandRover tahun 1980. Kokoh. Tangguh. Pengendaranya adalah kontributor kami di Sukabumi. Di situlah ia membuka alasan mengapa kendaraan berpenggerak 4 roda diperlukan. Yaitu berbatu, menanjak dengan kemiringan tajam, sempit dan kadang berlumpur. Dari tempat itu hingga Sindangraja tujuan kami jaraknya 15 km. Itulah jarak yang disampaikan rekan saya. Wah bonus yang 30 km tadi itu, pikir saya.

Lalu dimulailah perjalanan yang mengesankan itu.

Terik matahari siang kalah oleh sejuknya udara. Namun hati ini deg-degan ketika mobil mulai bergerak. Bahkan pada 100 meter pertama. Lebar jalan hanya untuk 1 mobil, batu-batu sebagai landasan jalan berukuran minimal sebesar bola kaki menikung ke kiri dan ke kanan. Di beberapa bagian, sang pilot LandRover harus berhenti untuk berancang-ancang sebelum melintasi kubangan lumpur atau tanjakan berkemiringan sekitar 45 derajat (atau kurang ya? Pokoknya miring banget deh).

Praktis keindahan kebun teh milik Goal Para (kata pak kades setempat pada suatu kesempatan) terabaikan. Kami semua harus berpegangan di dinding mobil jika tidak ingin terjatuh dari tempat duduk akibat guncangan mobil.

Sekitar satu jam perjalanan itu kami tempuh dengan gerakan tak keruan tanpa henti. Hingga akhirnya kami sampai tujuan di desa yang dimaksud. Anda bisa bayangkan perjalanan kami turun dari tempat itu setelah urusan liputan selesai. Mungkin analoginya seperti naik rodeo di atas seekor kuda gila yang mabuk dan seorang kejam melecuti kuda itu dengan semena-mena.

Perjalanan yang mengesankan, karena itu adalah bagian negara saya. Warga desa Sindangraja pasti harus bersusahpayah jika harus mengurus kegiatan mereka ke kota besar; ke rumah sakit, berbelanja atau sekolah. Di sana baru ada sebuah sekolah dasar, sehingga untuk pendidikan lanjut para remaja harus memiliki punggung, pinggang dan pantat baja melawan guncangan di jalan.

Ya Tuhan, betapa dua tempat seperti kutub itulah yang saya ingat. Pertama karena kenyamanannya dan kedua karena ketidaknyamanannya. Yang pertama saya ingin kunjungi atau bahkan saya tinggali, tetapi yang kedua, di negara sendiri, saya tidak ingin ke sana lagi selama infrastrukturnya masih seperti itu.

Wednesday, January 27, 2010

Mie Ayam dan Semangat

Terletak di sudut sebuah ruko di dekat Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, sebuah warung mie ayam berdiri. Belum dua minggu sang pemiliknya menjalankan bisnisnya. Dari hari ke hari sang pemilik beserta dua pegawainya menunggu pembeli. Namun yang datang masih dapat dihitung dengan jari. Harapan untuk menangguk untung belum terlihat, karena harga jualnya di bawah rata-rata para pesaingnya yang sudah tersebar di sekelilingnya. Keberanian menekan harga itu tak lepas dari harapannya untuk segera meraih perhatian, padahal harga-harga bahan baku mie seperti ayam, bumbu dan mie itu sendiri merangkak naik.

Business is not easy, however it is challenging. Berusaha memang tidak mudah, tetapi layak untuk diusahakan dengan seluruh daya upaya, kreatifitas, tenaga, air mata bahkan darah (lebay dotcom). Sementara persaingan adalah bumbunya.

Orang (termasuk saya) seringkali terpana melihat keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga bisnis. Dengan sedikit rasa iri saya memuji dan menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya orang itu dalam menjalani hidup. Rumah indah, mobil mewah, makanan enak, berwisata ke tempat-tempat jauh dan eksotis dan sebagainya. Namun orang seperti saya sering lupa, bahwa ia pun tidak serta merta mendapatkan semua itu. Tidak tahu kalau kekayaan dan keberhasilan itu merupakan warisan atau hasil undian.

Kemudian kekaguman saya seringkali bertambah setelah mendengar kisah sukses orang-orang itu diraih melalui perjuangan berat, berliku penuh onak dan berbatu. Kisah kegagaln yang terjadi berulang-ulang merupakan warna utama dari banyak kisah keberhasilan. Semuanya itu menegaskan bahwa berusaha merupakan nafas manusia itu sendiri jika ia ingin hidup.

Berhenti berusaha, berhenti mencoba, berhenti berkreasi dan menyerah adalah penutup episode seorang manusia. Yang hasilnya berupa kematian atau penyesalan seumur hidup.

Jika saya adalah pemilik mie ayam yang saya kisahkan di awal tulisan ini, saya tidak akan berhenti berinovasi, berkreasi dan memperbaiki penampilan warung saya, rasa mie ayam saya serta mendahulukan kepuasan pelanggan. Jika masih gagal, saya akan tetap berusaha di hal lain, di tempat lain dengan etos serupa.

SEMANGAT!!!!