Tuesday, October 12, 2010

Eksotisme Tana Toraja (2) Nilai Kerbau

Tubuh itu besar. Berkilat. Kuat. Sorot matanya tajam. Seolah tidak percaya akan maksud siapapun yang mendekat. Namun ia tidak mampu bergerak. Tak berdaya. Hidungnya terikat oleh seutas tambang yang tertambat di sebuah pohon.

Hewan itu adalah seekor kerbau dengan berat sedikitnya 150 kg. Ia dipersiapkan untuk upacara adat di Tana Toraja. Dikorbankan entah untuk upacara pernikahan, pindah rumah atau kematian.

Bagi masyarakat Tana Toraja, ini yang saya tangkap, kerbau memiliki tempat tertentu jika tidak dapat dibilang istimewa. Upacara adat seakan tidak lengkap tanpa korban kerbau.

Namun kerbau untuk korban berbeda dengan kerbau biasa. Tidak semua kerbau dapat dijadikan korban. Pertama-tama ia harus berkelamin jantan. Tanpa cacat. ukuran ekornya lebih panjang dari lutut belakang. Itu kriteria umum. Ada yang lebih berharga dari sekedar kerbau seperti itu. Kira-kira demikian; kerbau berciri di atas harganya beberapa puluh juta rupiah. Nah yang kelas istimewa bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Nah ini ciri yang mahal. Kerbau belang, yaitu berwarna kulit hitam dan putih kemerahan, dan kerbau yang dikebiri (ini berarti sang kerbau tidak mampu membuahi kerbau betina). Kerbau kebiri memiliki ciri bertanduk besar dan melengkung indah). Kerbau jenis ini sekali lagi bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bayangkan harga sebuah mobil niaga kelas menengah di Indonesia.

Perhatian saya tertuju pada seorang penggembala kerbau belang yang kami temui di sebuah sungai di belakang tempat tinggal kami di Tana Toraja.

Pria itu berusia 40an. Bertubuh sedang cenderung kurus. Ia menuntun seekor kerbau belang yang beratnya kira-kira 3 kali tubuhnya, ke air yang mengalir dengan batu-batuan di dasarnya. Setelah melepas sang kerbau berendam, ia melepaskan seluruh pakaiannya. Ya, ia telanjang bulat. Perlahan ia mendekati sang hewan dan mandi bersama!

Air itu tidak keruh, tetapi tidak juga jernih. Sisa-sisa hujan semalam membawa lumpur dan tumbuhan atau sampah menuju hilir. Namun hal itu tidak merisaukan sang pria. Diambilnya sikat yang telah dipersiapkan dan dengan teliti ia menyikat tubuh gembalaannya. Setiap centimeter hewan besar itu ia bersihkan, seolah membersihkan benda antik yang tidak boleh ternoda sebutir kotoran pun.

Penghormatan masyarakat Tana Toraja kepada leluhur dan kedisiplinan mereka pada adat membuat saya tertunduk takzim. Saya tidak menggugat besarnya biaya yang harus ditanggung oleh mereka yang hidup saat upacara kematian digelar dan belasan atau puluhan ekor kerbau dikorbankan untuk mengantar orang yang meninggal, tetapi saya kagum oleh ketaatan itu sendiri turun temurun.

Sampai saat ini, beberapa minggu pascakunjungan ke Tana Toraja itu, saya masih tak dapat berhenti mengagumi cara hidup tersebut. Wow, luar biasa keberagaman adat di negeri saya tercinta ini.

1 comment:

Acan said...

Kapan ya saya kesana? heheee