Tuesday, September 30, 2008

Budaya Lebaran

Yang enak saat Lebaran adalah makan ketupat dan opor ayam. Pernak-perniknya adalah sayur labu siam bersantan, sambal goreng ati dan rendang. Kuenya ada nastar, kastengel dan biskuit lainnya. Nyam nyam.

Kalau dipikir-pikir tidak ada keharusan untuk membuat itu, tetapi setahu saya, itulah yang selalu saya temui di setiap Lebaran. Mulai dari orang tua yang walaupun tidak berlebaran ikut membikin hingga kiriman para tetangga sejak di Surabaya, Madiun hingga sekarang di Jakarta.

Ada beberapa perilaku dan kebiasaan yang saya catat merupakan aktifitas khas Indonesia atau kalau dipersempit aktifitas Suku Jawa.

Pertama adalah makanan yang saya sebut pertama. Kedua adalah mudik menjelang Lebaran. Tentang hal itu sudah saya tulis sebelum ini. Berikutnya bagi-bagi duit (bukan sedekah atau amal atau zakat). Yang terakhir adalah takbiran.

Saya ingat waktu kecil di pelosok Jakarta Utara, saya sering ikut keliling bersama teman-teman mengetuk rumah-rumah saat Lebaran. Walaupun tidak berlebaran apalagi puasa, tidak ada rasa malu yang terasa (namanya anak-anak, cuek bebek) saat mengacungkan tangan meminta jatah uang Rp. 5 atau Rp. 10 (baca: lima rupiah dan sepuluh rupiah). Jangan salah pada sekitar tahun 70-an, uang itu sudah bisa untuk jajan.

Benarkah kebiasan-kebiasaan itu khas Indonesia? Rasanya memang tidak ada literatur pendukung yang menyebutkan ada budaya sejenis di negeri lain. Entah kalau saya ketelingsut(atau terlewatkan). Walaupun harga ekonomi dan sosialnya cukup tinggi (ya iyalah untuk masak kan pake uang, untuk bagi uang butuh banyak uang, untuk mudik pake bensin dan uang, untuk takbiran pun pake uang dan tenaga alias nasi) kebiasaan itu selalu terulang dengan bangganya.

Luar biasa manifestasi kebersamaan dan silaturahim bangsa kita.

Hidup Indonesia.
indi

Monday, September 29, 2008

Mudik

Seorang penelpon acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne hari Selasa, 30 September 2008 menyatakan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang aneh. Pernyataan mengejutkan itu merujuk dari kebiasaan yang timbul di seputar hari Idul Fitri, yaitu mudik. Saya kira pemikiran beliau bisa membuat kuping merah beberapa orang, tetapi juga bisa tidak jika ia setuju dengannya.

Kalau dipikir-pikir memang ada harga sosial dan ekonomis yang mahal untuk membuat mudik menjadi sebuah peristiwa rutin tahunan.

Kita mulai dari skala kecil, yaitu seorang manusia yang akan pulang kampung baik di sekitar Jawa maupun ke luar Jawa dan sebaliknya, ia harus menyiapkan pernak-pernik yang tidak sedikit bahkan bisa dibilang banyak dan mahal. Ada seorang kenalan saya pulang kampung bersama keluarga (seorang isteri dan dua anak berusia 7 dan 5 tahun) menggunakan motor. Ia menyatakan motor menjadi pilihan utama karena biayanya yang murah. Untuk menuju Cirebon, ia cukup mengeluarkan uang bensin kurang dari Rp. 100.000 pulang pergi. Bandingkan bila ia sekeluarga naik kereta yanfg bisa mencapai 5 kali lipatnya. Dengan tambahan kayu yang diikat di belakang, kenalan saya itu memperoleh ruang tambahan berupa "bagasi darurat". Segala pernak-pernik perlengkapan perjalanan dan oleh-oleh dapat diletakkan di sana. Anak sulungnya duduk paling depan menantang angin dan si bungsu diapit ayah bundanya. Jika situasi macet di perjalanan, hal terburuk, ia akan tiba di Cirebon tengah malam, bila ia berangkat dini hari. Murah secara matematis.

Namun seorang psikolog mengingatkan besarnya harga kejiwaan yang diterima seseorang terutama anak-anak yang mudik; apalagi menggunakan motor. Berada di jalanan macet bahkan sampai berjam-jam membawa perubahan besar pada emosi seseorang. Susah buang air, kepanasan bila tidak ada pendingin udara, kelaparan, atau hanya sekedar dongkol saat melihat orang lain menyalip adalah hal-hal penekan keseimbangan kejiwaan seseorang yang timbul saat terjebak kemacetan parah. Akibatnya muncul makian, kata-kata kasar dan kemarahan. Bagi anak-anak semua itu bisa menjadi pengalaman buruk yang terekam saat menghadapi persoalan serupa.

Bagi anak-anak yang diajak mudik bermotor disebutkan sang psikolog, akan mendapat tekanan yang jauh lebih besar lagi. Posisi tubuh yang tidak bebas, kepanasan, terkena terpaan angin kencang dan ancaman dari kendaraan lain adalah tambahan resiko yang diterima dibandingkan mudik bermobil. Dan hal itu terjadi dua kali yaitu saat mudik dan kembali.

Lalu harga skala besar. Setiap menjelang Lebaran, pemerintah pusat dan daerah pasti berteriak-teriak menyatakan sarana jalan, fasilitas lalu lintas dan keamanan sudah siap untuk menyambut para pemudik. Proses perbaikan jalan dikebut. Penerangan jalan ditambah. Pos-pos baru dibuat. Pertanyaannya, kemana saja para pejabat dan programnya saat sebelum Ramadhan? Sudahkah semua itu dibuat dengan perencanaan dan pelaksanaan yang baik? Jangan-jangan semuanya dikebut dengan istilah pokoknya jadi sebelum mudik berlangsung. Kualitas? Ntar deh, pokoknya jadi dulu. Soal nanti rusak, ya bikin lagi. Kan proyek seperti itu penting untuk melancarkan roda ekonomi. Ya toh? Ya toh? Praktis semua energi para pejabat
negeri ini tercurah untuk mengamankan pemudik. Presidennya, menterinya, polisinya, berlomba-lomba membuat program untuk menyelamatkan para pemudik pulang kampung. Terus bagaimana dengan harga-harga melambung, rupiah yang melorot, dan para koruptor yang belum tertangkap?

Kalau dua hal itu saja yang kita lihat, memang tampak betapa mudik menyedot energi kelewat besar, walau hanya terjadi dalam hitungan hari saja. Namun jangan sampai diabaikan nilai-nilai lain yang muncul karena peirstiwa fenomenal khas Indonesia itu.

Pertama nilai keakraban dan silaturahim. Rasanya jarang ada negara yang begitu mengagungkan kebersamaan sebesar Indonesia. Bayangkan, kebersamaan itu sudah dimulai dari sejak persiapan keberangkatan pemudik. Kenalan saya ketika akan berangkat mendapat perhatian dari para tetangga. Mulai dari ucapan selamat, bantuan sekedar uang, hingga doa. Selama di jalan pun ada persahabatan yang begitu kasat mata, yaitu pertolongan bila ada yang mengalami kerusakan kecil, kecelakaan, ataupun sekedar menyapa. Lalu yang lebih penting yaitu silaturahim dengan keluarga di kampung. Merajut kasih dengan keluarga dan kerabat yang mungkin sudah lama tak berjumpa.

Kedua nilai ekonomi. Saya belum membaca ada hitung-hitungan nilai uang yang beredar pada menjelang dan selama Lebaran. Secara kasar saya rasa angka itu meningkat. Mungkin Anda bertanya apa dasar saya mengatakan itu. Begini, harga barang yang meningkat pasti menyebabkan peredaran uang meningkat, contohnya harga daging sapi yang melonjak hingga Rp 100 ribu per kg. Lalu kebutuhan tampil baru saat Idul Fitri membuat banyak departement store banting harga dan antrean orang di kasir sambil menenteng bawaan. Lalu adanya tunjangan hari raya yang rata-rata sebulan gaji membuat orang mudah menghamburkan uang untuk memenuhi kebutuhan primer hingga tersier. Yang terakhir adalah meningkatnya iklan di media massa terutama televisi. Yang ini berhubungan dengan perhatian media terhadap arus mudik, sehingga banyak perusahaan berlomba-loma memasang iklan di semua televisi. Jadi salahkah saya bila menyatakan ada nilai ekonomi tinggi di peristiwa mudik?

Begitulah salah satu dari sekian banyak fenomena khas Indonesia. Suka atau tidak, bermasalah atau tidak, mudik jalan terus!

Selamat Idul Fitri, minal aidin wal faidzin maaf lahir batin.
indi

Monday, September 1, 2008

Kartu Kredit

Seorang perencana keuangan, Ligwina Hananto mengecam keras penggunaan kartu kredit yang didasarkan pada emosi belaka. Saat berbicara di Apa Kabar Indonesia pagi tadi, ia mengatakan betapa banyak orang terjebak dalam hutang yang bertumpuk akibat tidak dapat menggunakan kartu kredit secara bijak.

Kalimat-kalimat dari wanita mungil berjilbab itu membuat saya terenyak. Memang saya termasuk orang yang cukup berhati-hati dalam memiliki dan menggunakan kartu sakti itu (Sampai saat ini saya hanya punya 1 kartu kredit dengan pengeluaran yang sangat saya batasi). Namun kalimat kerasnya itu menunjukkan bahwa banyak orang merasa kartu kredit bukan kartu untuk kredit tetapi kartu sakti yang dapat memebrikan uang tambahan. Akibatnya muncullah istilah gali lobang tutup lobang. Mencari hutang dari kartu kredit lain untuk menutup hutang dari kartu yang lain.

Saya sering mendapat telpon dari suara-suara ramah, mendayu dan seksi yang menawarkan utang sampai ratusan juta rupiah karena saya menjadi nasabah bank yang mengeluarkan kartu kredit saya. Iming-imingnya menggiurkan, yaitu proses cepat tidak ribet dan langsung transfer. Namun masalahnya saya kadang lupa menanyakan berapa bunga. Nah ini yang sering jadi masalah.

Para marketer atau penjual kredit tanpa agunan kartu kredit tampaknya selalu menyembunyikan berapa bunga yang dikenakan pada calon peminjam. Jika si penjual tidak ditanya informasi itu pasti tak akan dimunculkan. Berhubung saya berpendirian berhutanglah seminimal mungkin, saya tidak menanggapi tawaran-tawaran tersebut. Namun pada satu kesempatan saya menanyakan besaran bunga kredit itu dan kemudian saya terkaget-kaget mengetahuinya. 3-4 persen per bulan. Ck ck ck.

Seorang pemirsa menyampaikan pengalamannya tentang kartu kredit yang telah menghancurkan hidupnya sehingga ia menyatakan jangan ada lagi orang yang terjebak sepertinya. Dikisahkan, ia pernah memiliki sampai 12 kartu kredit. Dan ia menggunakannya untuk membiayai usahanya. Namun karena satu sebab usahanya gagal dan ia menanggung hutang sampai sekarang. Dengan emosional ia meminta jangan sampai orang mengalami masalah sepertinya.

Ligwina dengan bijak menyatakan kartu kredit tetap dapat diperlakukan dengan baik selama kita tetap mengukur kemampuan kita membayar. Seberapapun jumlah kartu kredit itu. Ia menyebutkan 30 persen penghasilan kita dapat digunakan untuk berhutang termasuk untuk membayar kartu kredit. Toh ada keuntungan-keuntungan yang bisa kita dapatkan di antaranya potongan untuk pembelian-pembelian tertentu.

Saya pikir memang yang disalahkan bukanlah kartu kreditnya karena ia tetap benda mati. Kitalah yang bersalah karena otak dan kemauan kitalah yang menyebabkan berbagai masalah datang melalui benda seperti kartu kredit.

indi

Aduh

Hari ini tepat sebulan lebih satu hari saya tidak membuka Blog tercinta saya ini. Artinya saya mengkhianati janji yang pernah terucap yaitu saya akan membuat tulisan sebulan sekali demi menjalankan talenta dan kemampuan yang Tuhan telah berikan.

Penyakit yang selalu menghinggapi orang seperti saya adalah kemalasan. Alasannya selalu beragam, mulai dari keluar kota, rekaman program, pelatihan, hingga ngantuk. Padahal kalau dipikir-pikir di antara waktu-waktu itu pasti ada selang waktu yang bisa digunakan untuk membuat dan mengirim tulisan walaupun hanya singkat. Oh ya adalagi alasan lain yaitu internet yang "lambretta lamborghini" atau lambat dan lamaaa sekali. Maklum kantor saya yang ini belum mantap infrastrukturnya.

Anyway, here I am back to my beloved blog. Tuhan sudah mengaruniakan banyak berkatnya; talenta, waktu, pekerjaan, fasilitas and so on and so on, so I have to use all of my abilities to do the best of me including this site.

indi