Monday, September 29, 2008

Mudik

Seorang penelpon acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne hari Selasa, 30 September 2008 menyatakan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang aneh. Pernyataan mengejutkan itu merujuk dari kebiasaan yang timbul di seputar hari Idul Fitri, yaitu mudik. Saya kira pemikiran beliau bisa membuat kuping merah beberapa orang, tetapi juga bisa tidak jika ia setuju dengannya.

Kalau dipikir-pikir memang ada harga sosial dan ekonomis yang mahal untuk membuat mudik menjadi sebuah peristiwa rutin tahunan.

Kita mulai dari skala kecil, yaitu seorang manusia yang akan pulang kampung baik di sekitar Jawa maupun ke luar Jawa dan sebaliknya, ia harus menyiapkan pernak-pernik yang tidak sedikit bahkan bisa dibilang banyak dan mahal. Ada seorang kenalan saya pulang kampung bersama keluarga (seorang isteri dan dua anak berusia 7 dan 5 tahun) menggunakan motor. Ia menyatakan motor menjadi pilihan utama karena biayanya yang murah. Untuk menuju Cirebon, ia cukup mengeluarkan uang bensin kurang dari Rp. 100.000 pulang pergi. Bandingkan bila ia sekeluarga naik kereta yanfg bisa mencapai 5 kali lipatnya. Dengan tambahan kayu yang diikat di belakang, kenalan saya itu memperoleh ruang tambahan berupa "bagasi darurat". Segala pernak-pernik perlengkapan perjalanan dan oleh-oleh dapat diletakkan di sana. Anak sulungnya duduk paling depan menantang angin dan si bungsu diapit ayah bundanya. Jika situasi macet di perjalanan, hal terburuk, ia akan tiba di Cirebon tengah malam, bila ia berangkat dini hari. Murah secara matematis.

Namun seorang psikolog mengingatkan besarnya harga kejiwaan yang diterima seseorang terutama anak-anak yang mudik; apalagi menggunakan motor. Berada di jalanan macet bahkan sampai berjam-jam membawa perubahan besar pada emosi seseorang. Susah buang air, kepanasan bila tidak ada pendingin udara, kelaparan, atau hanya sekedar dongkol saat melihat orang lain menyalip adalah hal-hal penekan keseimbangan kejiwaan seseorang yang timbul saat terjebak kemacetan parah. Akibatnya muncul makian, kata-kata kasar dan kemarahan. Bagi anak-anak semua itu bisa menjadi pengalaman buruk yang terekam saat menghadapi persoalan serupa.

Bagi anak-anak yang diajak mudik bermotor disebutkan sang psikolog, akan mendapat tekanan yang jauh lebih besar lagi. Posisi tubuh yang tidak bebas, kepanasan, terkena terpaan angin kencang dan ancaman dari kendaraan lain adalah tambahan resiko yang diterima dibandingkan mudik bermobil. Dan hal itu terjadi dua kali yaitu saat mudik dan kembali.

Lalu harga skala besar. Setiap menjelang Lebaran, pemerintah pusat dan daerah pasti berteriak-teriak menyatakan sarana jalan, fasilitas lalu lintas dan keamanan sudah siap untuk menyambut para pemudik. Proses perbaikan jalan dikebut. Penerangan jalan ditambah. Pos-pos baru dibuat. Pertanyaannya, kemana saja para pejabat dan programnya saat sebelum Ramadhan? Sudahkah semua itu dibuat dengan perencanaan dan pelaksanaan yang baik? Jangan-jangan semuanya dikebut dengan istilah pokoknya jadi sebelum mudik berlangsung. Kualitas? Ntar deh, pokoknya jadi dulu. Soal nanti rusak, ya bikin lagi. Kan proyek seperti itu penting untuk melancarkan roda ekonomi. Ya toh? Ya toh? Praktis semua energi para pejabat
negeri ini tercurah untuk mengamankan pemudik. Presidennya, menterinya, polisinya, berlomba-lomba membuat program untuk menyelamatkan para pemudik pulang kampung. Terus bagaimana dengan harga-harga melambung, rupiah yang melorot, dan para koruptor yang belum tertangkap?

Kalau dua hal itu saja yang kita lihat, memang tampak betapa mudik menyedot energi kelewat besar, walau hanya terjadi dalam hitungan hari saja. Namun jangan sampai diabaikan nilai-nilai lain yang muncul karena peirstiwa fenomenal khas Indonesia itu.

Pertama nilai keakraban dan silaturahim. Rasanya jarang ada negara yang begitu mengagungkan kebersamaan sebesar Indonesia. Bayangkan, kebersamaan itu sudah dimulai dari sejak persiapan keberangkatan pemudik. Kenalan saya ketika akan berangkat mendapat perhatian dari para tetangga. Mulai dari ucapan selamat, bantuan sekedar uang, hingga doa. Selama di jalan pun ada persahabatan yang begitu kasat mata, yaitu pertolongan bila ada yang mengalami kerusakan kecil, kecelakaan, ataupun sekedar menyapa. Lalu yang lebih penting yaitu silaturahim dengan keluarga di kampung. Merajut kasih dengan keluarga dan kerabat yang mungkin sudah lama tak berjumpa.

Kedua nilai ekonomi. Saya belum membaca ada hitung-hitungan nilai uang yang beredar pada menjelang dan selama Lebaran. Secara kasar saya rasa angka itu meningkat. Mungkin Anda bertanya apa dasar saya mengatakan itu. Begini, harga barang yang meningkat pasti menyebabkan peredaran uang meningkat, contohnya harga daging sapi yang melonjak hingga Rp 100 ribu per kg. Lalu kebutuhan tampil baru saat Idul Fitri membuat banyak departement store banting harga dan antrean orang di kasir sambil menenteng bawaan. Lalu adanya tunjangan hari raya yang rata-rata sebulan gaji membuat orang mudah menghamburkan uang untuk memenuhi kebutuhan primer hingga tersier. Yang terakhir adalah meningkatnya iklan di media massa terutama televisi. Yang ini berhubungan dengan perhatian media terhadap arus mudik, sehingga banyak perusahaan berlomba-loma memasang iklan di semua televisi. Jadi salahkah saya bila menyatakan ada nilai ekonomi tinggi di peristiwa mudik?

Begitulah salah satu dari sekian banyak fenomena khas Indonesia. Suka atau tidak, bermasalah atau tidak, mudik jalan terus!

Selamat Idul Fitri, minal aidin wal faidzin maaf lahir batin.
indi

No comments: