Monday, May 26, 2008

Liburan

Satu bulan. Itulah hitungan kasar waktu libur anak-anak sekolah di penghujung tahun ajaran. Yang terbayang di kepala, bagaimana mengisi waktu libur anak-anak (terutama kedua anak saya) agar menyenangkan, sekaligus konstruktif dan terarah.

Bila uang cukup, segalanya tampak mudah. Kirim mereka dan ibunya ke tempat-tempat yang oke, beri uang jajan dan inapkan di hotel berkelas. Beres. Tapi kalau karyawan seperti saya, tentu hal itu masalah besar. Apalagi harga BBM baru 'berontak'. Belum selesai mengirit penggunaan bensin, masalah sekolah (karena dua-duanya naik ke jenjang yang lebih tinggi) baru selesai dengan susah payah, kini urusan liburan turut bikin pusing.

Secara spesifik anak-anak saya tidak pernah usul untuk berlibur ke tempat-tempat tertentu. Tetapi melihat aktifitas mereka yang hanya berkutat di depan playstation dalam beberapa hari terakhir ini (maklum sekolah mereka sudah habis, sambil menunggu pengumuman ujian mereka libur), rasanya ada yang tidak benar. Belum lagi beberapa teman membawa mainan berupa kartu yang membuat anak-anak itu duduk berjam-jam bermain kartu yang tidak jelas juntrungannya (bapaknya tidak mengerti mainan kartu Yu Gi Oh).

Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding pengalaman liburan saya tiga puluh tahun lalu. Berhubung bapak saya juga bukan orang berada, maka saat liburan panjang selalu saya isi dengan bermain bersama teman-teman sepermainan. Namun rasanya tiap hari permainan itu selalu berbeda. Hari ini ngobak (berenang di rawa), lalu bermain petak umpet, mencari burung, mencuri buah jamblang/juwet Pak Haji, main layangan dan seabreg petualangan lainnya.

Itulah yang hilang dari kegiatan anak-anak kota jaman sekarang; minimal di lingkungan tempat tinggal kami di BSD, Tangerang. Ketiadaan lahan kosong, jenis mainan yang tersedia dan peran orang tua sangat berpengaruh terhadap aktifitas anak-anak. Rumah dan ruko menjamur di lingkungan kami, sehingga anak-anak tidak memiliki ruang gerak untuk beraktifitas seseru jaman saya dulu. Paling-paling mereka hanya bisa main bola di areal seadanya atau bersepeda. Kemudian sangat jarang terdapat tanaman yang eksotis seperti jamblang, kesemek atau rambutan. Paling-paling yang tersisa kini hanya kersen atau seri; itupun banyak anak yang dilarang orang tuanya memakan buah makanan burung. Yang membuat trenyuh adalah mainan anak-anak sekarang didominasi mainan elektronik, seperi PS, HP dan komputer. Tidak ada lagi gobak sodor, demprak, gala asin atau petak umpet. Anak-anak menjadi individualistis dan minim aktifitas fisik.

Bagi saya pribadi sulit untuk memperkenalkan kedua anak saya dengan mainan yang saya kenal saat kecil dulu. Ada sih keinginan, tetapi waktu yang habis di kantor dan jalan selama 5 hari seminggu membuat waktu libur begitu berharga untuk dibuang dengan bermain (enaknya tidur). Alhasil anak-anak bermain tanpa orang tua (egois yach kedengarannya).

Kompromi yang juga beresiko saat mengisi liburan adalah dengan mengajak mereka ke mal. Tapi yach begitulah, tetap menghabiskan uang untuk makan dan bermain, serta membuat mereka hedonis dan konsumtif.

Buat saya inilah pilihan yang tidak mudah untuk membuat anak-anak berlibur tenang, asyik sekaligus konstruktif dan edukatif. Mungkin ada di antara Anda yang bisa berbagi pengalaman?

indi

No comments: