Wednesday, May 21, 2008

Aduh, negeriku!

Ada apa dengan negaraku? Pertanyaan ini timbul dalam dialog imajiner saya dengan almarhum bapak saya. Sebagai pejuang Angkatan '45, saya yakin beliau merasa miris melihat kondisi negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya, belum lagi menikmati kemerdekaan lahir batin.

Atas pertanyaan bapak itu, saya tidak dapat menjawab. Tepatnya, saya tertegun beberapa lama untuk menemukan kata-kata yang tepat. Bagaimanapun saya hidup di era ini dan sedikit banyak tindak tanduk saya turut mewarnai kehidupan di negara ini.

Dalam beberapa minggu terakhir ada begitu banyak kejadian luar biasa di dunia dan negara kita. Harga minyak dunia melonjak drastis hingga 135 dollar AS per barrel (angka pada 21 Mei 2008). Pemerintah Indonesia panas dingin, karena APBN-P hanya menggunakan asumsi 95 dollar AS per barrel. Tidak ada yang bisa menjamin harga minyak dunia akan berhenti di angka tersebut. Keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tidak serta merta diamini setiap lapisan masyarakat. Demo menolak kenaikan harga BBM meluas. Terakhir, Istana lambang pusat pemerintahan negeri jamrud katulistiwa ini dilempar bom molotov sebagai bukti kemarahan mahasiswa. Kontan aparat keamanan meradang dan bertindak keras. Sejumlah mahasiswa dipukuli dan ditangkap.

Ada apa dengan negaraku?

Kepala BIN menuduh seorang mantan menteri menjadi dalang demo antikenaikan BBM. Kok masih ada tuduh menuduh era orde baru? Demikian tanya banyak orang pintar negeri ini. Bukan masalah benar atau salah dalam menyampaikan aspirasi, tetapi mengapa harus ada tuduh menuduh? Toh, saat ini orang bebas berpendapat. Namun memang ada aksi yang membuat panas beberapa orang di pemerintahan. Atau mungkin beberapa orang paranoid dengan kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh orang-orang tertentu. Yah, seperti mengail di air keruh begitu.

Ada apa dengan negaraku?

Sejumlah guru di Medan dan Sulawesi Selatan diperiksa polisi karena didugamembantu para muridnya dalam mengerjakan soal ujian nasional. Tidak dapat dimungkiri di sekolah-sekolah gurem di luar Jawa terutama, ujian nasional adalah momok yang menakutkan. Mereka tidak memiliki fasilitas untuk dapat mempermudah para murid kelas akhir lulus ujian. Tidak ada buku, pengajar dan fasilitas lain agar si anak percaya diri melewati ujian yang hanya sekali namun menentukan kelulusan. Tetapi sampai Densus 88, sebuah satuan antiteror Polri diturunkan menangkap guru yang melanggar itu, adalah sebuah hal yang luar biasa. Mungkinkah pelanggaran hukum para guru setara dengan kegiatan terorisme?

Ada ada dengan negaraku?

Kemarin isteri saya berbelanja keperluan dapur di Pasar Modern BSD. Ia terkejut saat membeli tempe. Bukan karena harganya naik (setelah harga baru akibat kenaikan harga kedele), tetapi karena harganya tetap Rp. 4000 per lempeng. Harga itu mencengangkan, karena harga barang lain perlahan tapi pasti naik dan tidak pernah berhenti (apalagi turun). Memang cuma Rp.100 sampai seribu rupiah untuk sayur mayur dan telur, tetapi secara psikologis mengganggu pikiranya dalam mengatur uang belanja yang belum berubah.

Ada apa dengan negaraku? Mungkinkah ini karena salah dua pejuang dan negarawannya meninggalkan negeri yang aku perjuangkan dan pertahankan kemerdekaannya dari Belanda, PKI dan Permesta? bapak bertanya sambil matanya menerawang ke langit yang tak berbatas. SK Trimurti dan Ali Sadikin adalah dua orang yang sangat kuhormati, apalagi Bang Ali pernah menjadi komandanku saat aku menjadi anggota KKO (sekarang Marinir). Mungkinkah negara ini kehilangan panutan? Ia kembali bertanya sambil menghela nafas. Di sebelahnya, ibuku hanya bisa menepuk-nepuk bahunya mencoba menenangkan dan memberi dukungan. Mungkin ibu juga berusaha memberi keyakinan pada bapak, bahwa anaknya bersama isteri dan anak-anak mereka (cucu-cucunya) akan baik-baik saja bersama negara yang ia cintai.

Bapak saya, Yudyanus Soedibyo wafat 25 tahun lalu, saat saya masih duduk di kelas 2 SMP. Sedang ibu, Muji Rahayu menyusul beliau 18 tahun lalu, beberapa waktu sebelum saya meraih gelar sarjana di Surabaya.

Pertanyaan imajiner Bapak begitu sederhana namun sukar dijawab. Bagaimana tidak; negeri yang merdeka lebih dahulu dari Malaysia dan sama-sama terpuruk dengan Thailand saat krisis ekonomi tahun 1998, belum juga berlari dan berdiri sejajar dengan keduanya. Apalagi dibandingkan dengan Singapura yang sebesar tahi lalat dibandingkan negeri kita yang besar laksana raksasa. Begitu banyak persoalan yang perlu dijawab dengan kerja keras tanpa pamrih, dengan menghilangkan batas agama, suku dan golongan. ego pribadi dan kelompok harus diberantas agar kita dapat berdiri tegak dan diperhitungkan di mata dunia.

Bapak juga Ibu, jawab saya perlahan dalam perbincangan imajiner itu, negeri ini sudah menderita sejak jaman Belanda, Jepang hingga saat ini. Namun percayalah, masih banyak orang yang bersedia membaktikan diri untuk memajukannya tanpa pamrih. Yakinlah anakmu ini dan keluarganya ada di antara mereka.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional Indonesiaku.
indi

No comments: