Friday, May 23, 2008

Ujian nasional

Tidak ada yang membuat anak saya lebih gembira daripada memegang kembali Playstationnya saat ini. Praktis dalam dua bulan terakhir, ia dipisahkan dari benda yang membuatnya berkhayal memiliki kemampuan super dan mengalahkan para penjahat. Ibunya, istri saya, menyembunyikan benda itu, agar ia dapat berkonsentrasi menghadapi ujian nasional sekolah dasar. Dan kini, ia bebas memainkannya karena ujian telah selesai.



Anak saya memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ia tidak khawatir menghadapi apapun, baik ulangan, ujian, lomba, bahkan publik. Beberapa kali ia kedapatan mencuri-curi membaca komik atau main game; padahal ketika dites ibunya, banyak hal yang ia tak mampu jawab. Ck ck ck.



Hari-hari menjelang ujian nasional adalah saat yang paling membosankan. Hampir setiap hari ia mengulang-ulang pelajaran. Di beberapa kesempatan, kami berdua mengajaknya ke toko buku hanya untuk mencari soal-soal sebagai bahan latihan. Belum lagi kemudian dengan materi-materi tambahan dari sekolah.



Sambil menyaksikan ia mengerjakan latihan, saya berpikir, benarkah apa yang kami orang tuanya buat, yaitu menekan bocah yang tumbuh remaja ini (oh ya, tinggi anak saya yang pertama ini sudah lewat dari ibunya) untuk belajar setiap hari dengan mengabaikan waktu main.

Kami, saya, orang tuanya begitu khawatir ia tidak lulus ujian. Bayangkan, usaha yang dilakukan selama setahun, akan gagal hanya dengan soal yang dikerjakan dalam waktu 90 menit (ada tiga pelajaran yaitu BI, Matematika dan IPA). Rasanya tidak adil, karena masa depan seorang siswa ditentukan oleh soal buatan orang atau lembaga yang tidak mengetahui kekuatan atau kelemahan sehari-harinya.



Saya orang yang percaya, bahwa ujian diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang pelajar. Namun saya juga harus mempertimbangkan proses belajar mengajar selama rentang waktu tertentu sebelum mengambil sebuah keputusan agar hasilnya adil dan teliti. Namun sejak Depdiknas mencanangkan Ujian Nasional untuk SD tahun 2008, saya rasa pemerintah terlalu ambisius untuk membuat standar pendidikan siswa di seluruh Indonesia. Padahal efektifitas Ujian Nasional SMU dan SMP belum dapat mencerminkan keberhasilan yang diinginkan (setidaknya saya belum mengetahui ada evaluasi tentang hal itu).



Apakah pemerintah sudah mempertimbangkan efek psikologis untuk anak-anak yang tertekan karena orangtua masing-masing khawatir mereka tidak lulus? Sudahkah mereka mempertimbangkan betapa banyaknya waktu anak-anak yang terbuang untuk tidak menikmati masa kecil mereka ganti waktu belajar?



Sebuah iklan sabun deterjen memperlihatkan betapa ada anak SD tertidur saat belajar Matematika. Ia sempat menuliskan hitung-hitungan di atas sapu tangan tanpa sadar. Sewaktu mengerjakan soal di kelas, ia terlihat begitu tertekan dan mengeluarkan sapu tangan yang sama untuk mengelap peluh yang mengucur di dahi. Kemudian tampak sang guru merebut sapu tangan itu dengan tujuan untuk membuktikan si anak mencontek. Kenyataannya sapu tangan itu telah bebas dari tulisan karena kehebatan si sabun yang diiklankan dan sebagai gantinya ada tulisan (kalau tidak salah) "ingin pintar jangan mencontek". Selamatlah anak itu. Tanpa membicarakan si sabun, saya mengangkap gambaran betapa tertekannya si anak, saat belajar sampai tertidur saat belajar. Betapa lelah lahir dan batinnya bocah itu.



Kini ujian telah selesai. Anak saya kembali menemukan dunianya yang terabaikan. Pengumuman masih dua minggu lagi. Saya pun pasrah menunggu apa pun hasilnya. Bagaimanapun pemerintah sudah memutuskan dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta anak saya bekerja sebaik-baiknya. Semoga anak saya dan anak Anda baik di SD, SMP maupun SMU yang mengiktui Ujian Nasional dapat lulus dan meraih cita-cita masing-masing.



Semoga

indi

No comments: