Wednesday, June 4, 2008

Pilkada 2

Memang hebat para tokoh yang berani mencalonkan diri sebagai pemimpin kepala daerah. Hitung-hitungannya, tokoh itu harus memiliki visi, berani memimpin masyarakat yang heterogen, dan yang kini harus diperhitungkan adalah memiliki uang untuk membiayai kampanyenya. Yang terakhir ini benar-benar bergizi, karena uang yang dikeluarkan tentu tidak sedikit mulai dari membayar tim sukses, membuat atribut kampanye, memberi setoran ke partai pendukung, hingga memberi oleh-oleh pendukung kampanye.

Mungkin orang-orang dengan jenis itu mudah ditemui juga. Toh orang berpunya pasti bervisi dan bisa memimpin (kalau tidak dari mana ia memperoleh hartanya). Masalahnya, dalam sebuah kampanye seorang kandidat harus mampu menyatakan semua program yang diusungnya sejelas mungkin agar publik mendapatkan figur pemimpin yang dapat dipercaya; dalam hal ini tidak semua orang berani dan mampu berbicara di sebuah forum terbuka. Apalagi sampai diadu macam Obama vs Clinton.

Dua nama yang terakhir begitu mewarnai persaingan calon presiden Partai Demokrat AS. Walaupun belum sampai menentukan presiden, keduanya bertarung sedemikian rupa sehingga publik sendiri (termasuk kubu Republik) mendapat suguhan yang seru dan mencekam. Dalam setiap kesempatan debat keduanya adu kepiawaian berbicara dan olah pikir.

Sebagai penikmat dan pelaku pertelevisian, saya merasa terpuaskan dengan aksi keduanya di panggung yang sama. Inilah bentuk terbaik menurut saya, untuk menakar seberapa mampu seorang calon pemimpin meyakinkan konstituennya bahwa ialah figur terbaik.

Begitu mengalihkan pandangan ke dalam negeri, saya kembali ke dunia nyata. Inilah Indonesia yang saat ini harus bergelut dengan persoalan-persoalan mendasar sehingga belum mampu bagi seorang calon pemimpin mengadu argumentasinya secara terbuka melawan kandidat lain.

Pertengahan minggu di awal Juni ini, stasiun tv tempat saya bekerja menyelenggarakan penyampaian visi misi kandidat gubernur Jawa Tengah bersama KPU setempat. Rencananya, kami membuat setiap pasangan calon beradu visi, misi dan program secara terbuka, tanya jawab dan berdebat. Sayang seribu sayang rencana itu tinggal rencana. KPU menolak usulan kami dengan alasan ada peraturan pemerintah yang melarangnya. Hal itu ditegaskan lagi saat tim kami bertemu lengkap dengan tim sukses seluruh calon. Mereka kembali menegaskan penolakan atas rencana crossfire (saling adu argumen secara terbuka).

Mendengar itu saya berpikir benarkah masyarakat akan mendapat sajian program terbaik dari para calon atau tengah dibodohi karena mereka tidak mendapat ujian dari lawan politik. Taruhlah memang ada panelis yang membedah setiap pernyataan kandidat, tetapi ada kecenderungan panelis menempatkan diri bukan sebagai lawan, tetapi sebagai akademisi yang berhati-hati untuk tidak dipandang berpihak.

Benarkah saya berlebihan bila berharap kita memiliki kultur terbuka dalam mencari calon pemimpin seperti di Amerika? Tidakkah cara itu merupakan salah satu cara terbaik menyimak gagasan dan cara penyampaian yang baik sekaligus mendapatkan janji terbuka tentang apa yang akan dilakukannya jika seseorang memimpin. Banyak orang bilang kultur masyarakat Indonesia tidak seperti itu (seperti yang disampaikan salah satu anggota tim kampanye satu calon di Semarang), sehingga dikhawatirkan akan timbul kesan buruk di akar rumput. Kalaupun seperti itu, mengapa kita tidak mulai mengubahnya? Membuat semua calon membuka diri akan jauh lebih baik daripada sekedar menyampaikan program searah yang sukar diuji. Jangan sampai kita membeli kucing dalam karung.

indi

No comments: