Thursday, March 5, 2009

2 X 1

Dalam seminggu terakhir saya menghadiri dua pemakaman. Pertama, pada Senin lalu, dan pengalaman itu sudah saya tuangkan di salah satu tulisan saya. Kedua, hari ini. Seorang kerabat wafat semalam di usia spektakuler untuk ukuran kita: hampir 86 tahun! Namun bukan panjangnya umur beliau itu yang ingin saya perbincangkan.

Di hadapan saya terbaring tubuh tua. Kebaya putih membalut tubuhnya yang mungil. Tangannya tak lagi hangat. Wajah-wajah kuyu, mata sembab dan paras yang pucat berkeliling di seputar jenazah yang membujur kaku. Mulut mereka terkunci dengan isakan yang sesekali terdengar. Tidak ada canda tawa yang biasanya muncul saat berkumpul bersama.

Seketika saya teringat sebuah kata bijaksana, yang saya lupa siapa yang menulis.

"SEHARI DI RUMAH DUKA LEBIH BAIK DARIPADA SERIBU HARI DI TEMPAT PESTA PORA"

Bukannya tidak peduli pada usia tua atau kematian, tetapi sampai kemarin saya merasa hidup ini indah pada hari ini, dan akan semakin membahagiakan bila berada di tengah keriaan dan pesta pora.

Benarkah suasana seperti ini baik?

Ibu saya terbaring seperti ini 18 tahun lalu. Hampir satu dekade sebelumnya, bapak saya dalam keadaan serupa. Menyusul kemudian dua kakak saya menghadap Khalik Sang Pencipta dalam hitungan tahun sebelum tahun 2009. Orang-orang yang saya cintai tak lagi bersama. Hanya kenangan yang tersisa. Pukulan gesper bapak masih terasa di punggung, bila saya melompat pagar untuk bermain, walau sudah ada larangan sebelumnya. Belaian sayang ibu di punggung sebagai pengganti rasa sakit itu seolah tetap lekang.

Kita semua akan ke tempat itu. Ya, ke tempat yang tak seorang pun dapat menolaknya. Seberapapun kuat seorang pria, secantik apapun seorang wanita, sebanyak apapun kekayaan seorang pengusaha, cepat atau lambat kematian akan menjemput. Saat di mana tak ada lagi tawa, harapan untuk bercinta, ataupun keinginan untuk menghibur.

Bukan berarti setelah ini saya menjadi antihiburan. rasanya naif sekali untuk meniadakan sama sekali hiburan dari berbagai aktifitas kemanusiaan kita. Karena saya yakin Dia Yang Maha Kuasa pasti bergembira bila kita umat-Nya menghargai ciptaan-Nya dengan penuh sukacita. Hanya saja kegembiraan yang hakiki tidak terletak di tempat pesta pora; tempat nafsu diumbar dan kegelojohan timbul tanpa batas.

Menghargai setiap detik nafas kehidupan dan aliran darah di dalam nadi dengan mengucap syukur rasanya menjadi penting bagi saya. Tanda-tanda vital itu menandai kesempatan untuk berbuat yang lebih baik pada diri, sesama dan pujian untuk Yang Maha Esa.

Tidak ada lagi hak untuk melakukan sesuatu bagi yang sudah berada di tempat masa depan itu: 2 X 1.

indi

3 comments:

Ping! Me Shop said...

Hidup ini menjadi bahagia dan penuh makna ketika kita tetap bisa bersyukur dalam setiap keadaan dan selalu bersyukur atas semua yang sudah Tuhan berikan kepada kita...

Ping! Me Shop said...

Hidup ini menjadi bahagia dan penuh makna ketika kita tetap bisa bersyukur dalam setiap keadaan dan selalu bersyukur atas semua yang sudah Tuhan berikan kepada kita...

san said...

Kata-kata itu ada di dalam
Alkitab bung :
Pengkhotbah 7:2 Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.
(salam kenal-Agus Susanto)