Monday, February 9, 2009

Harga Sebuah Kegiatan

Di hadapan kami (saya dan rekan siaran) sepasang suami istri paruh baya duduk dengan wajah muram. Mereka dalam suasana berkabung. Anak kedua mereka baru saja dipanggil pulang Yang Maha Kuasa dalam sebuah kegiatan unit pecinta alam di kampus Institut Teknologi Bandung. Sang anak digambarkan sebagai pemuda yang sehat, walau berat badannya di atas rata-rata. Namun saat kegiatan, ia dan 81 rekannya harus berjalan di malam hari di kawasan perbukitan di Lembang, dengan jarak relatif jauh. Kembali menurut orang tuanya, Wisnu demikian nama panggilan almarhum sempat menyatakan kelelahan. Hanya saja panitia acara tidak memiliki rencana dan fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat. Wisnu hanya diminta berjalan pelan-pelan. Akhirnya saat tengah malam, ia terjatuh dan tak dapat meneruskan perjalanan. Kesulitan mendapatkan alat transpor, panitia akhirnya baru dapat membawanya ke RS Boromeus Bandung, itupun dengan bantuan warga setempat pada pukul 2 pagi dan meninggal dunia di sana.

Saya tidak dapat menyalahkan kedua orang tua itu yang tidak ingin mempermasalahkan kematian anak mereka. Visum pun tidak ada, sehingga berkembang isu Wisnu meninggal karena ia mengidap kelainan jantung. Sejauh ini tidak ada pihak yang menyatakan rasa bersalah dan meminta maaf. Rektorat (entah dekanat dan panitia) hanya datang untuk menyatakan bela sungkawa.

Cuaca hujan, tengah malam, dan semangat rasanya menjadi bahan bakar bagi sejumlah orang untuk unjuk kemampuan diri dan disiplin. Situasi itu pernah saya rasakan belasan tahun lalu. Dalam suatu kesempatan, pengurus Senat Mahasiswa di FakultasFarmasi Universitas Airlangga Surabaya merencanakan kegiatan untuk mempererat persaudaraan. Acara perkemahan disiapkan di kawasan perkemahan Trawas, Mojokerto. Saya ingat betul, saat itu musim penghujan (bayangkan musim hujan di pegunungan tinggi, pasti deh identik dengan hujan setiap hari).

Mahasiswa Fakultas Farmasi dikenal sebagai mahasiswa penggemar belajar dan kuper (saat itu, nggak tahu sekarang). Sehari-hari urusannya kuliah, laboratorium dan perpustakaan. Akibatnya yang ikut saat itu kurang dari 30 orang. Angkatan yang dituju dan pengurus senat pun agaknya enggan keluar rumah. Padahal satu angkatan bisa 100 orang dan pengurus senat sekitar 25 orang, Bayangkan betapa sedikitnya.

Tidak pernah terpikirkan di benak kami bahwa berkemah di musim hujan membutuhkan usaha yang luar biasa (maklum bukan pecinta alam). Bekal seadanya, kemah seadanya, pakaian pun seadanya (karena maksudnya cuma nginep dua malam). Setibanya di lokasi, seingat saya siang hari, kami langsung disambut hujan rintik-rintik. Kian gelap cuaca hujan kian lebat. sebagai kaum amatiran kami tidak berhasil mendirikan tenda yang baik di tengah curah hujan. Kalau tidak bocor ya tenda tidak berdiri. Akibatnya sepanjang malam kami hanya bisa berteduh di tenda seadanya, asal tidak basah (dan itu tidak berhasil).

Kedinginan, kelaparan dan kelelahan adalah musuh bersama. Gelap, tidak ada tempat kering, baju hangat, dan makanan. Sepanjang malam.

Kembali ke masa kini saat saya membayangkan situasi itu, saya membandingkannya dengan kondisi almarhum Wisnu; betapa hampir sama. Perbedaannya, saya tidak berjalan dengan jarak tertentu, sementara Wisnu mendapat tekanan dari lingkungan untuk menempuh jarak tertentu.

Mengatasnamakan kegiatan Senat Mahasiswa, saya dan teman-teman menyelenggarakan acara temu dan kenal mahasiswa baru. Rasanya saat itu kami tidak pernah meminta ijin dari dekanat atau rektorat. Kami merasa sudah cukup dewasa mengelola adik-adik kami saat itu. Saya yakin hal yang sama pula yang dilakukan panitia acara almarhum Wisnu. Mana mau rektorat atau dekanat bertanggungjawab kalau ada apa-apa?

Di luar panggung dan materi dialog kami tentang kasus kematian mahasiswa Fakultas Geodesi ITB, ada banyak perguruan tinggi, banyak fakultas dengan unit kegiatan masing-masing. Mereka memiliki banyak kegiatan mengatasnamakan persaudaraan, pengetahuan atau kedisiplinan. Namun mungkin tidak banyak yang mengingat, bahwa keselamatan dan masa depan para mahasiswa di atas segala-galanya. saya pikir akan lebih bijaksana bila penyelenggara kegiatan menyiapkan rencana dengan bertanggungjawab dan bertanggungjawab pula bila ada sesuatu yang terjadi pada setiap peserta kegiatan.

Mungkinkah ada yang mau bersikap sejantan itu?

indi

No comments: