Thursday, November 12, 2009

Sao Paulo

Matahari terik, tetapi suhu udara tak lebih dari 25 derajat Celcius. Mobil ber-CC kecil dan sedang bergerak teratur, dengan kecepatan sedang dalam rangkaian panjang. Di sebelah kiri jalan, dalam jalur yang tetap bis kota berjalan rapi. Tak ada asap hitam mengepul dari knalpot. Orang-orang bergerombol di halte, bukan di perempatan jalan. Tertib.

Itulah gambaran sekilas kondisi lalu lintas kota Sao Paulo, salah satu kota besar di Brasil, selain Rio de Janeiro dan Brasilia ibukota negara itu.

Berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, membuat kota itu berpotensi pada berbagai masalah sosial seperti Jakarta, terutama kemacetan. Tetapi empat hari di kota itu pada awal November, tidak membuat saya risau dengan transportasi. Bahkan pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, lalu lintas yang padat tidak membuat kota itu terisi kemacetan. Kendaraan yang saya tumpangi masih dapat berjalan di antrian. Tidak berhenti kecuali di lampu merah.

Kesimpulan saya mungkin terlalu cepat, karena hanya empat hari mengamati. Namun demikian, praktis saya tidak menemui hambatan bergerak di jalan-jalan di kota itu, walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung kota ke ujung lainnya.

Dari pengamatan singkat itu saya menyimpulkan juga beberapa hal yang membuat kemacetan menjadi barang langka.
Pertama: manajemen kota yang tidak meletakkan pusat perdagangan dan aktifitas massal lainnya di satu atau dua titik. Saya menemukan paling tidak ada 5 titik aktifitas utama berupa perkantoran, mal, pusat perdagangan dan hiburan yang tersebar di berbagai sudut kota. Dengan itu berarti warga Sao Paulo tidak perlu berbondong-bondong ke satu titik untuk beraktifitas. Bandingkan dengan Jl. Sudirman, dan Thamrin di Jkt atau Jalan Basuki Rahmat di Surabaya. Terbayang kan macetnya bila jam-jam sibuk?

Kedua: manajemen transportasi, yang mengandalkan angkutan massal berupa bis dan metro. Jalur bis dan metro yang tersedia ke berbagai penjuru kota memudahkan warga kota hilir mudik. Tanpa angkot dan metro mini yang bikin macet plus menyebarkan gas buangan dengan semena-mena.

Ketiga: sikap dan tingkah laku pengemudi. Rasanya saya harus belajar kesabaran dan disiplin pada kota Sao Paulo. Saya tidak pernah melihat satupun kendaraan yang saling serobot atau keluar jalur yang tersedia. Tidak ada jalan yang diciptakan hanya dua jalur, kemudian menjadi tiga jalur kendaraan saat jam-jam sibuk. Teratur orang bergerak pada jalurnya, walau kondisi padat sekalipun. Klakson pun jarang terdengar dari kendaraan yang meminta jalan. Kebetulan pula, sepeda motor, dapat dihitung dengan jari. Alhasil, semua pasti bergerak walau perlahan.

Kembali ke Jakarta, saya tetap mencintai negeri ini. Hanya saja, saya membayangkan kapankah waktunya ibukota ini ramah tidak hanya lingkungan tetapi juga pengguna jalan.

MRT atau mass rapid transport atau alat transportasi massal memang sudah didengang-dengungkan bertahun-tahun lalu oleh otoritas Jakarta. Tetapi baru bus trans-Jakarta yang berjalan. Itupun belum semua koridor terlayani. Kereta atau metro dalam kota pun baru tiang-tiangnya yang berdiri dan kini besinya berkarat termakan cuaca. Jumlah kendaraan terutama sepeda motor bertambah dengan cepat tidak sebanding dengan panjang dan jumlah jalan.

Hemmmm...

Andaikan kota ini seperti Sao Paulo, mungkin saja penduduknya akan lebih hebat bermain sepakbola dari tim Samba dan lebih cantik dan ganteng daripada pemain sinetron telenovela.

Andaikan....


indi

1 comment:

pelajar blog said...

kapan ane bisa ke sao paolo :D

www.sagala-raja.com