Tuesday, January 6, 2009

Terkutuklah Perang

Dua kelompok anak berpakaian layaknya tentara bermain perang-perangan. Di kepala mereka terikat serumpun daun dan wajah coret hitam dari arang untuk kamuflase. Di tangan terlihat senapan dan pistol mainan dari pelepah pisang atau kayu. Mereka memperebutkan bendera di tengah kampung di sebuah kecamatan di Tangerang, Banten sebagai tanda kemenangan.

Menyaksikan polah mereka, saya teringat masa lalu saat memainkan perang-perangan bersama teman-teman. Pelepah pisang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibunyikan menyerupai suara tembakan. Yang lebih maju, kami membuat senjata dari semacam rumut yang kaku dengan amunisi kacang hijau. Jika ditiup, kacang hijau itu bisa membuat sakit siapa saja yang terkena.

Permainan perang-perangan selalu menarik untuk dimainkan. Selain melibatkan jumlah yang banyak sehingga terasa seru, kami juga merasa menjadi pahlawan karena membayangkan berhasil mengalahkan lawan bahkan penjajah.

Di tahun 1970-an, salah satu kegemaran saya adalah menonton film perang di telvisi. TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu seringkali memutar film perang antara Amerika /sekutu dan Jerman. salah satunya adalah film Baa baa Black Sheep (betul nggak, ya tulisannya?). Menyaksikan film perang saat itu membuat saya menghargai pihak Amerika yang selalu menang karena membela kebenaran dan membenci tentara Jerman yang menjadi penjahat dan menjajah dunia (baca Eropa).

Namun itu perang jaman saat saya masih anak-anak. Perang dari kaca mata saya sebagai orang dewasa bahkan setua sekarang memiliki arti yang berbeda. Perang identik dengan kehancuran sebuah peradaban, lumatnya kemanusiaan dan menyakitkan karena kematian dan penderitaan. Mari kita lihat dampak itu mulai dari perang Teluk tahun 1990-an, saat Irak menginvasi Kuwait. Dilanjutkan dengan serbuan Amerika ke Irak sengan alasan untuk menumbangkan Saddam Hussein sekitar sepuluh tahun kemudian. Perang ini tidak bisa dikatakan selesai, karena menyisakan berbagai aktifitas bom bunuh diri yang menelan jiwa tidak sedikit. Dan kini kita disajikan peristiwa serangan Israel ke Jalur Gaza. Dalam waktu dua minggu sampai tulisan ini saya buat, hampir seribu orang tewas dalam pertempuran itu. Korban terbanyak tentu di pihak Palestina, karena persenjataan kaum Yahudi begitu modern dan berskala besar. Ini yang paling menyedihkan, yaitu anak-anak yang tidak berdosa juga menjadi korban dengan jumlah seratur lebih.

Oh ya jangan lupakan mereka yang luka-luka akibat bom, peluru, atau tertimpa reruntuhan. Tercatat jumlah itu 3000 lebih. Nyawa mereka terancam, karena Israel mencegati bantuan kemanusiaan. Dokter dilarang masuk, walau obat-obatan boleh. Cuaca dingin dan fasilitas medis yang minim adalah faktor pemberat situasi.

Tidak ada yang berani memastikan kapan penderitaan itu akan berakhir. Usaha-usaha dunia internasional menghentikan peperangan belum membuahkan hasil. Dewan Keamanan PBB bak singa ompong, karena resolusi yang diharapkan dapat menekan Tel Aviv diveto Amerika Serikat. Dunia Arab juga terbelah sikapnya. Suriah nyata-nyata marah terhadap Israel, tetapi Mesir bersikap lunak dengan menyalahkan Hamas karena sengaja memprovokasi Israel.

Sikap pemerintah Indonesia yang berada di seberang lautan jauh lebih tegas daripada dunia Arab. Bahkan kalau bisa dibilang lebih luas daripada sekedar menyalahkan Israel. Dengan berunjukrasa di Kedubes AS dan permintaan boikot terhadap produk-produk seperti KFC, Mc Donald dan Coca Cola, sekelompok masyarakat Indonesia menjadikan perang Palestina sebagai bagian dari bentuk keprihatinan sendiri. Pemerintah AS dianggap melindungi Israel, kaum Zionis, yang perlu ditekan. Untunglah Presiden SBY mengingatkan kita bahwa pertempuran di Tanah Perjanjian itu bukan perang agama.

Terlepas dari alasan peperangan (dua pihak yang berperang pasti selalu menyalahkan lawannya), umat manusia kini tengah diuji. Dimanakah letak kemanusiaan? Perang memang selalu membawa korban, tetapi korban yang tidak perlu seperti anak-anak, orang tua dan wanita (kecuali yang jadi tentara) seharusnya diminimalisasi.

Saya teringat lagu karya John Lennon: Imagine. Lagu yang sarat harapan tentang keindahan dunia bila tanpa perang; sesuatu yang rasanya musykil di saat-saat ini ataupun mendatang. Namun demikian harapan rasanya perlu selalu ditumbuhkan, dijaga dan disebarkan, harapan untuk dunia yang lebih baik. Ingat kata pepatah: Menang jadi arang, kalah jadi abu. Perang tidak pernah mendatangkan keuntungan bahkan kerugian di kedua belah pihak. Jadi lebih baik damai. Atau paling jauh perang-perangan menggunakan senapan pelepah pisang.

Dor, dor, dor!

indi

No comments: