Monday, December 29, 2008

Pulang Kampung

Penyakit menahun adalah salah satu masalah kami keluarga asli Jawa ini, yaitu mudik. Alasan pertama kebutuhan mengisi liburan anak-anak, kedua, yang paling penting mencari makanan kampung hehehe.

Yang pertama sih bisa dilakukan tanpa pikir panjang, karena ... ya sekedar jalan-jalan mengisi liburan para precil yang sudah mulai gampang protes kalau bapak mereka kelamaan kerja. Nah yang kedua ini harus dipikirkan masak-masak. Maklum tempatnya kan banyak jadi harus ada pengaturan waktu, tempat yang harus dikunjungi, bujet dab perut (maklum usia bertambah sehingga jenis dan jumlah yang dapat ditolerir menjadi terbatas).

Karena belum bisa cuti, saya manfaatkan hutang libur yang sebelumnya sehingga ada cukup waktu untuk melesat ke Madiun. Lho kok Madiun? Ya namanya sudah nggak punya orang tua kandung, akhirnya keluarga mertualah yang jadi sasaran tujuan. Oh ya jangan salah, cukup waktu artinya bukan seminggu apalagi dua minggu; itu hanya empat hari ya empat hari. Pokoke cukup untuk memenuhi dua hal itu tadi.

Lupakan alasan yang pertama, karena kewajiban suddah dipenuhi dengan pemenuhan yang kedua hehehe. Makanan kampung bagi saya lebih sophisticated daripada makanan modern alias yang banyak ditemui di rumah makan, restoran dan mal. Walaupun sudah banyak makanan kampung yang masuk mal, dijual di restoran dan hotel, rasanya kok ya lebih afdhol makan makanan kampung di tempatnya.

Anda bisa bayangkan dijual di pinggir jalan, dalam bentuk kaki lima atau rumah makan dengan dinding gedek (bambu yang dianyam), dan masak mungkin jarang cuci tangan. Tapi rasanya dan atmosfernya itu lho....hmm...irreplaceable. Tapi kalau dipikir-pikir ini bukan sekedar rasa di lidah, tetapi juga di hati dan memori. Ada relung-relung benak yang terisi oleh ingatan betapa menyenangkannya menikmati makanan kampung di tempat asalnya. Yaaach...romantisme masa lalu kira-kira.

Makanan yang saya incar adalah jajanan pasar di Pasar Kawak Madiun, Pecel Madiun Edi dan Bakso 77. Sekali lagi makanan-makanan itu bisa ditemui dengan mudah di Jakarta atau kota besar lainnya, tetapi kok ya masih lebih enak kalau menikmatinya dari tempat asalnya. Misalnya Pecel Edi yang berisi nasi, sayur, siraman saus kacang, rempeyek yang disajikan (nah ini mungkin bedanya) di pincukan daun pisang. Pelengkapnya ada telur mata sapi, daging empal, telur balado atau jerohan goreng. Sama kan? Terus baksonya ya sama, wong cuma glundungan bakso sebesar telur ayam dan somay. Demikian pula jajanan pasarnya: kue bugis, nagasari, pastel, dsb. Sama lagi kan?

Tapi kok rasanya menurut saya (mungkin bertambah dengan romantisme masa lalu) kok ya lebih enak. Tak percaya? Coba deh, hehehe.

Rasa makanan menurut saya sangat subyektif. Ada pengaruh-pengaruh internal dan eksternal, budaya bahkan pengetahuan. Contohnya makanan Jawa Tengah yang bernuansa manis tentu dianggap tidak enak oleh penduduk non-Jawa Tengah. Alhasil saya tidak pernah percaya pada acara-acara wisata makanan yang disajikan oleh banyak tv dan dilabeli mak nyusss. Bagi saya itu hanya sekedar pengetahuan. Pengalaman menikmati makanan dan rasa makanan adalah dua hal yang berbeda.

Oleh sebab itu pulang kampung bagi saya tetap menjadi ritual menarik, karena ada perjalanan nostalgia dan menjelajah masa lalu melalui makanan-makanan kampung.

indi

3 comments:

Ping! Me Shop said...

Hahaha...ternyata saya bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang menganggap makanan kampung itu rasanya 'tidak tergantikan'!

Indiarto Priadi said...

Memang Abi (kalau saya boleh memanggilmu dengan nama itu). Rasanya lidah orang seperti kita ini sukar mengakomodasi rasa yang "modern". Kayaknya ampang, cemplang atau apalah namanya. Kayaknya nggak manteb. Susah juga ya kalau lidah ini kemudian disuruh menikmati makanan di hotel. Kecuali gratis. Hahaha.

Ping! Me Shop said...

Iya, mas! Soalnya kalau gratis kan nggak pake mikir 'gila, udah mahal rasanya cuma begini doang...'
yaaa...mau gimana lagi, lidah kita 'ndeso'...hahaha...