Tuesday, July 7, 2015

MUDIK LAGI

(urusan pribadi hingga masalah nasional)

Tak terasa sebentar lagi Jakarta akan lengang. Jutaan jiwa dalam beberapa hari meninggalkan ibu kota ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, bahkan keluar Jawa. Bisa jadi mudik Lebaran adalah peristiwa tahunan yang biasa. Namun jika kita berbicara masalah hati dan emosi, tetaplah ada keluarbiasaan yang sangat terasa, ketika keluarga-keluarga menggunakan berbagai jenis kendaraan melintasi jalan-jalan penghubung kota2 menuju kampung halaman.

Saya belum pernah terlibat dalam arus mudik. Baik sebagai peliput di lapangan, apalagi menjadi mudiker (peserta mudik, hehehehe). Namun saya bisa membayangkan, betapa ada banyak rasa campur aduk. Mulai dari persiapannya, di jalan hingga sampai tujuan. Perasaan bersemangat, cemas, emosional dan tentu kebahagiaan memenuhi dada semua mudikers.

Semasa SMA (sekitar 30 tahun lalu), saya pernah melakukan perjalanan Jakarta-Surabaya menggunakan kereta Gaya Baru Malam. Saya lupa apakah saat itu menjelang Lebaran atau tidak, tetapi yang pasti kereta sangat penuh. Saya mendapat tempat berdiri di depan wc sejak Pasar Senen, Jakarta hingga Semarang, ketika sejumlah penumpang kereta turun dan ruang gerak lebih lega. Total selama sekitar 6 jam perjalanan itu, hampir tidak ada ruang gerak. Para pemudik berdesak-desakan.

Rupanya sejak beberapa jam sebelum berangkat, rebutan tempat telah terjadi. Tidak mendapat kursi, berarti lantai dan ruang di antara kursi diisi. Diduduki. Bayangkan panasnya udara. Jangan lupa, saat itu kereta rakyat tanpa AC hanya kipas angin dan jendela yang terbuka lebar. Bayangkan pula berbagai jenis bau campur aduk. Bau makanan, parfum, minyak angin, keringat bahkan kentut dalam satu gerbong kereta minim ventilasi.

Soal bau rasanya masih bisa diabaikan. Sebagai penumpang kereta (walau penumpang gelap, bayar di atas ke kondektur saat pemeriksaan karcis), saya sangat dongkol pada pedagang asongan. Hampir tidak ada saat tenang. Setiap saat akan terdengar tahu...tahu, sprit...sprit (sprit bukan sprait loh), plus langkah-langkah kaki di antara manusia yang berjuang memperoleh ruang duduk, tidur, jongkok atau berdiri. Ugh! Yahhh, namanya mencari sesuap nasi. Nggak apa-apa deh. Mereka, para pedagang itu, juga punya hak mengais uang kecil di antara mudikers. Toh, sepengetahuan saya tidak ada yang protes. Saya juga hanya bisa menggerutu dalam hati. Sungguh masyarakat Indonesia penuh toleransi.

Ketika kedua mertua masih hidup sampai lima tahun lalu, kami sekeluarga minimal setahun sekali berkendara dari Jakarta ke Madiun menjenguk mereka. Jalur Pantura adalah satu-satunya opsi perjalanan. Tidak ada jalur Selatan. Walau tidak pernah ikut arus mudik, perjalanan itu pun bukan perkara mudah. Menuju pintu tol Cikampek, persaingan dengan bus malam, truk dan sesama kendaraan pribadi relatif ketat. Lalu perjuangan berikut menembus jalan berlubang di Karawang hingga Subang. Indramayu relatif menawarkan kelancaran. Namun kami pernah terjebak berjam-jam di kawasan Ajibarang. Saat itu tengah malam. Karena tidak juga bergerak, mesin saya matikan dan tidur. Rasanya tidak lama, namun saat terbangun karena mobil diketuk orang yang meminta kami bergerak, jam seingat saya menunjukkan sekitar pukul 3 pagi.

Itu kesulitan saat peristiwa non-mudik. Bayangkan saat ribuan kendaraan pemudik baik roda dua, roda empat hingga roda 6 berada di tempat yang sama dan pada jam yang sama. Sementara ukuran jalan tidak bisa dimelarkan. Andai pula di tengah kesulitan itu, anak kita yang berusia di bawah 7 tahun mengatakan; pak, mau pipis.Ugh!

Hari ini, 7 Juli 2015, sebuah kendaraan niaga terguling di Tol Cipali. Tujuh orang meninggal di tempat. Ya, Tuhanku. Itu adalah kecelakaan kesekian kali sejak jalan tol tersebut dibuka untuk umum sebulan sebelumnya dengan jumlah korban terbanyak.

Mudik belum lagi dimulai, tetapi hati ini trenyuh mendengar kabar itu. Apakah itu akan menjadi korban terakhir, atau akan bertambah saat arus pemudik meningkat minggu-minggu ini.

Sudah cukup kesulitan saat memeras keringat untuk mencari sesuap nasi dan membawa kegembiraan waktu kembali ke kampung halaman. Jangan tambah kesulitan itu dengan ketidakhati-hatian di perjalanan yang membawa malapetaka. Mudik adalah perjalanan sarat emosi, tetapi tujuan mulianya jangan dinodai. Dengan apapun.

Selamat mudik, selamat sampai tujuan, selamat bergembira. Selamat Lebaran

No comments: