Tidak pernah tersirat di benak saya untuk menjadi saksi mata jatuh-bangunnya sebuah maskapai penerbangan di tanah air. Dari hanya Garuda dan Merpati (mungkin tambah Mandala) seingat saya waktu kecil (tiga puluh tahun lalu) kemudian berkembang menjadi belasan maskapai yang saya pun terkaget-kaget mengetahui nama barunya. Kini sebuah maskapai yang menyediakan tiket murah harus merelakan ijinnya dicabut.
Pertama kali saya terbang sekitar tahun '75 (saya ingat masih kelas tiga SD) rasanya begitu mendebarkan melintasi pulau Jawa dari Jakarta ke Surabaya. Berangkat subuh ke Kemayoran, bersama kedua orang tua dan kakak, saya sempat terheran-heran melihat dan melalui pintu otomatis yang bisa buka-tutup sendiri. Selama penerbangan saya tidak terlalu ingat karena masih mengantuk dan segera jatuh tertidur. Hanya menjelang pendaratan telinga ini begitu sakit karena perbedaan tekanan di saluran pendengaran dengan lingkungan luar.
Kemudian waktu mulai bekerja di kantor sekarang, saya dan beberapa teman seringkali bolak-balik terbang Jakarta-Surabaya dengan Garuda. Rasanya saat itu sekitar awal tahun 90-an tiket masih terbilang murah, sehingga kantor tidak keberatan menyediakan yiket pesawat. Saya beberapa kali mengutil peralatan makan, yang terbuat dari logam (tidak seperti sekarang dari plastik biar murah).
Namun saat krismon melanda tahun 1998-2000, tiket pesawat langsung melonjak tajam. Kantor pun sangat berhati-hati mengijinkan pegawainya menikmati burung besi; hanya level jabatan tertentu dan urgensi tugas yang diijinkan menggunakannya. Betapa sepinya bandara pada masa itu, karena banyak orang tidak berani menggunakan pesawat yang tiketnya luar biasa mahal.
Secara perlahan kondisi membaik (mungkin yang tepat istilahnya adalah teradaptasi). Masyarakat dapat menerima kondisi yang ada dan bisnis pun bergulir kian kencang. Garuda dan Merpati mulai mendapat teman bahkan pesaing baru. Lion Air hadir dengan konsep penerbangan murah, sehingga banyak orang berbondong-bondong terbang dengan pesawat ini.
Belum selesai terheran-heran dengan keberanian maskapai singa itu, muncul warna ngejreng yang berani bermain di angkasa, walaupun tidak memiliki sejarah terlibat usaha penerbangan. Dengan kuning jingga yang mencolok, AdamAir (sepertinya ini yang tepat penulisannya bukan Adam Air) melambung tinggi.
Kosep murah meriahnya membuat lebih banyak alternatif orang bepergian dengan pesawat. Tak dapat makan minum di angkasa tak apa-apa, yang penting cepat sampai, murah dan aman.
Nah yang terakhir ini tampaknya menjadi persoalan. Entah apa yang terjadi, karena dalam kurun waktu empat tahun berulang kali AdamAir mengalami kecelakaan. Mulai dari salah terbang, karena peralatan navigasinya ngadat di atas Flores, nyemplung di perairan Selat Makassar, patah punggung pesawat di Surabaya, hingga yang terakhir ngesot di bandara Hang Nadim Batam pertengahan Maret 2008. Belum lagi ada info pesawat AdamAir pernah hampir tabrakan dengan sebuah pesawat Lion Air di atas Surabaya, karena ada persoalan dengan kaca kabin.
Bagi orang yang gemar klenik, peristiwa-peristiwa ini tentu enak diteliti dengan kacamata non-natural. Jangan-jangan tidak pernah diruwat dan didoakan waktu pelepasan pesawat pertamanya. Pokoknya macam-macam spekulasi.
Namun di atas semuanya, kasus AdamAir menjadi sebuah tonggak baru untuk memperbaharui perjalanan bisnis penerbangan Indonesia. Jangan pernah main-main dengan keselamatan manusia (baca penumpang pesawat). Kalau tidak ya jadi AdamAir wer ewer ewer.
Salam
indi
This blog contains my thoughts about everything. I like absorbing events, problems, situations and share them to everyone.
Tuesday, March 18, 2008
Monday, March 17, 2008
Buswae
Tidak ada kedongkolan yang lebih besar sebagai penduduk Jakarta pada pagi dan sore hari selain....terjebak kemacetan. Bagi saya yang bekerja seperti kalong dan mendapat privilese ke kantor lancar tanpa macet, berkeliaran saat matahari bertahta adalah sebuah kengerian. Terpanggang matahari di tengah udara pengap oleh asap di tengah-tengah lautan kendaraan bermotor.
Pagi ini saya diundang menjadi pembicara di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Sebetulnya tidak pagi sih, tepatnya pukul 11 WIB. Dengan alasan ingin bersantai di perjalanan, saya tinggal "gerobak Jepang" yang telah mengantar saya lebih dari lima tahun di rumah dan naik bus Trans BSD jurusan BSD-Ratu Plaza. Saya membayangkan enaknya memejamkan mata sejenak di dalam bus menikmati perjalanan sekitar satu setengah jam untuk kemudian bangun dengan segar.
Bus terisi padat dengan manusia berbagai macam. Namun satu yang menyenangkan, semuanya wangi. Wah ini memang perjalanan yang menyenangkan. Setelah melaju lancar di jalan tol Serpong - Bintaro, perjalanan itu berubah menjadi melelahkan. Harapan untuk rileks tidak terlaksana. Menjelang kawasan Pondok Indah, bus dihadang oleh rangkaian kendaraan yang mengular dengan padat. Mata ini yang sebelumnya setengah terpejam langsung terbuka lebar, karena ingin melihat macetnya lalu lintas yang sebegini dahsyat. Wooo, begini to, namanya macet di Hari Senin, maklumlah saya sudah lupa rasanya kena macet.
Perjalanan ini masih dilanjutkan dengan Bus Trans Jakarta. Nah kalau yang ini jauh lebih menyenangkan, karena belum banyak mobil yang melaju di jalur three in one sepanjang Jalan Sudirman-MH Thamrin. Alhasil saya bisa lebih cepat sampai di tujuan, walaupun pinggang masih pegal setelah duduk lama di bus pertama.
Setelah menyelesaikan sesi yang sulit sekaligus menyenangkan di hadapan staf humas yang antusias pada sekitar pukul 18.00 WIB, saya pun harus kembali ke habitat asli di pusat perbelanjaan di Senayan. Kebetulan tempat saya bicara tidak jauh dari halte busway; cukup jalan lima menit saya sudah masuk ke antrean calon penumpang yang lain.
Wah lagi neh, pikir saya. Bagaimana tidak, saya berhadapan dengan dua kondisi yang membuat hati saya ciut. Di hadapan saya ada puluhan rekan penunggu bus premium Trans Jakarta. Rupanya bus program peninggalan Gubernur Sutiyoso belum menjemput mereka setelah sekian lama, sehingga terbentuk antrean ini. Penyebabnya terjawab dengan situasi di jalan raya, yaitu lagi-lagi macet, dan kendaraan merayap secepat gerakan ulat.
Sebagai komuter sekaligus pekerja media, saya tahu dan mengapresiasi usaha Sutiyoso dan Fauzi Bowo dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di ibu kota. Sebut saja pembangunan underpass atau fly over (dua sebutan yang malas dicari padanan dalam Bahasa Indonesianya: terowongan dan jalan layang) di beberapa tempat yang sering menjadi biang kemacetan seperti Kebayoran Lama dan Cawang. Juga pembangunan jalur busway baru sampai Koridor XI (sampai sekarang saya tidak hapal daerah-daerah mana yang dilalui Koridor I-XI).
Saya yakin Anda sependapat dengan saya, bahwa negeri ini tidak kekurangan orang pintar untuk dapat menemukan solusi persoalan menahun Jakarta ini. Tapi kok bukannya tambah ringan perjalanan menuju dan melintasi Jakarta malahan kian hari kian berat dan susah.
Rasanya ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada pengelola negeri ini atau daerah, yaitu apakah mereka pernah berpikir untuk mengintegrasikan semua usulan solusi yang ada. Penyelesaian yang terpadu dengan memasukkan setiap faktor penyelesai masalah adalah hal yang tidak pernah terlihat. Sebut saja masalah bus pengumpan yang tidak kunjung terselesaikan, jumlah bus Trans Jakarta yang masih jauh dari cukup, belum lagi rencana Monorel yang tiangnya sudah dibuat di beberapa kawasan, kini hanya jadi monumen besi beton yang mencoklat karena karat.
Beberapa waktu lalu muncul dua wacana untuk mendukung pengaturan jumlah mobil yang masuk Jakarta. Di antaranya adalah melalui nomor polisi genap dan ganjil yang masuk bergantian, kemudian kendaraan luar Jakarta yang hendak masuk harus membayar retribusi, juga menyiapkan mass rapid transport sepanjang jalur Blok M-Kota. Wah ususl-usul yang brilian dan layak bisa menyelesaikan masalah kemacetan. Namun lagi-lagi masalah yang ada tidak diselesaikan secara integral sehingga wacana itu cenderung seperti rumput yang baru tumbuh di tengah terik matahari; tumbuh kemudian mati.
Saya yakin sekali lagi, pasti para pemimpin kita punya kebijaksanaan yang di atas rata-rata masyarakatnya. Hanya masalahnya mesti berapa lama saya menunggu kebijaksanaan itu muncul pada waktunya. Huaaaahheeemmmm bisa mengantuk saya menunggu. Tidak hanya jam ukurannya tapi bisa lima tahun.
Salam,
Indi
Pagi ini saya diundang menjadi pembicara di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Sebetulnya tidak pagi sih, tepatnya pukul 11 WIB. Dengan alasan ingin bersantai di perjalanan, saya tinggal "gerobak Jepang" yang telah mengantar saya lebih dari lima tahun di rumah dan naik bus Trans BSD jurusan BSD-Ratu Plaza. Saya membayangkan enaknya memejamkan mata sejenak di dalam bus menikmati perjalanan sekitar satu setengah jam untuk kemudian bangun dengan segar.
Bus terisi padat dengan manusia berbagai macam. Namun satu yang menyenangkan, semuanya wangi. Wah ini memang perjalanan yang menyenangkan. Setelah melaju lancar di jalan tol Serpong - Bintaro, perjalanan itu berubah menjadi melelahkan. Harapan untuk rileks tidak terlaksana. Menjelang kawasan Pondok Indah, bus dihadang oleh rangkaian kendaraan yang mengular dengan padat. Mata ini yang sebelumnya setengah terpejam langsung terbuka lebar, karena ingin melihat macetnya lalu lintas yang sebegini dahsyat. Wooo, begini to, namanya macet di Hari Senin, maklumlah saya sudah lupa rasanya kena macet.
Perjalanan ini masih dilanjutkan dengan Bus Trans Jakarta. Nah kalau yang ini jauh lebih menyenangkan, karena belum banyak mobil yang melaju di jalur three in one sepanjang Jalan Sudirman-MH Thamrin. Alhasil saya bisa lebih cepat sampai di tujuan, walaupun pinggang masih pegal setelah duduk lama di bus pertama.
Setelah menyelesaikan sesi yang sulit sekaligus menyenangkan di hadapan staf humas yang antusias pada sekitar pukul 18.00 WIB, saya pun harus kembali ke habitat asli di pusat perbelanjaan di Senayan. Kebetulan tempat saya bicara tidak jauh dari halte busway; cukup jalan lima menit saya sudah masuk ke antrean calon penumpang yang lain.
Wah lagi neh, pikir saya. Bagaimana tidak, saya berhadapan dengan dua kondisi yang membuat hati saya ciut. Di hadapan saya ada puluhan rekan penunggu bus premium Trans Jakarta. Rupanya bus program peninggalan Gubernur Sutiyoso belum menjemput mereka setelah sekian lama, sehingga terbentuk antrean ini. Penyebabnya terjawab dengan situasi di jalan raya, yaitu lagi-lagi macet, dan kendaraan merayap secepat gerakan ulat.
Sebagai komuter sekaligus pekerja media, saya tahu dan mengapresiasi usaha Sutiyoso dan Fauzi Bowo dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di ibu kota. Sebut saja pembangunan underpass atau fly over (dua sebutan yang malas dicari padanan dalam Bahasa Indonesianya: terowongan dan jalan layang) di beberapa tempat yang sering menjadi biang kemacetan seperti Kebayoran Lama dan Cawang. Juga pembangunan jalur busway baru sampai Koridor XI (sampai sekarang saya tidak hapal daerah-daerah mana yang dilalui Koridor I-XI).
Saya yakin Anda sependapat dengan saya, bahwa negeri ini tidak kekurangan orang pintar untuk dapat menemukan solusi persoalan menahun Jakarta ini. Tapi kok bukannya tambah ringan perjalanan menuju dan melintasi Jakarta malahan kian hari kian berat dan susah.
Rasanya ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada pengelola negeri ini atau daerah, yaitu apakah mereka pernah berpikir untuk mengintegrasikan semua usulan solusi yang ada. Penyelesaian yang terpadu dengan memasukkan setiap faktor penyelesai masalah adalah hal yang tidak pernah terlihat. Sebut saja masalah bus pengumpan yang tidak kunjung terselesaikan, jumlah bus Trans Jakarta yang masih jauh dari cukup, belum lagi rencana Monorel yang tiangnya sudah dibuat di beberapa kawasan, kini hanya jadi monumen besi beton yang mencoklat karena karat.
Beberapa waktu lalu muncul dua wacana untuk mendukung pengaturan jumlah mobil yang masuk Jakarta. Di antaranya adalah melalui nomor polisi genap dan ganjil yang masuk bergantian, kemudian kendaraan luar Jakarta yang hendak masuk harus membayar retribusi, juga menyiapkan mass rapid transport sepanjang jalur Blok M-Kota. Wah ususl-usul yang brilian dan layak bisa menyelesaikan masalah kemacetan. Namun lagi-lagi masalah yang ada tidak diselesaikan secara integral sehingga wacana itu cenderung seperti rumput yang baru tumbuh di tengah terik matahari; tumbuh kemudian mati.
Saya yakin sekali lagi, pasti para pemimpin kita punya kebijaksanaan yang di atas rata-rata masyarakatnya. Hanya masalahnya mesti berapa lama saya menunggu kebijaksanaan itu muncul pada waktunya. Huaaaahheeemmmm bisa mengantuk saya menunggu. Tidak hanya jam ukurannya tapi bisa lima tahun.
Salam,
Indi
Tuesday, March 11, 2008
Waduhh!!!
Sudah lama saya tidak ngutak-atik blog terkasih ini. Sebetulnya bukannya malas, tetapi ogah bergerak (sama kaleee....). Maklum pekerja keras seperti saya (hehehe...) harus kerja malam pulang pagi dan siang molor melulu; sampai-sampai isteri saya protes. Dia bilang suamiku memang ada di rumah, tetapi pikirannya di alam mimpi terus.
Ketika menjalani siang hari di rumah, dalam dua mingu terakhir isteri saya memandori tukang membuat kolam air mancur. Jangan bayangkan air mancurnya segede air mancur Bundaran HI. Hanya kecil saja, cum untuk terdengar bunyi kricik-kricik seperti sungai yang mendatangkan kedamaian di hati. Memang tidak tanggung-tanggung sih, dua buah sekaligus! Satu di luar dan satu lagi di dalam.
Isteri saya memang tipe maju tak gentar dan pantang menyerah. Walau rumah sebesar kandang burung yang penting harus tersedia kolam dan taman (mungkin sudah jadi obsesi). Setelah menimbang-nimbang biaya yang perlu disisihkan, akhirnya proyek raksasa itu jalan.
Hanya satu tukang yang dipekerjakan. Ia masih muda, murah senyum dan cekatan. Yang mengherankan, walaupun tubuhnya kurus dan kecil, ia mampu menggali lubang kolam dengan cepat. Praktis hanya sehari ia membuat lubang berukuran satu setengah kali satu setengah meter dengan kedalaman setengah meter. Padahal ia harus menebang pohon yang lumayan gede dengan tanah yang keras.
Penebangan pohon itu sebetulnya juga menyedihkan saya. Setelah dicekoki berita-berita pemanasan global dan penghijauan bumi, saya menjadi hati-hati untuk sembarangan menghilangkan tanaman. Nah, di depan rumah ada pohon klengkeng yang sudah cukup besar. Namun ia tidak kunjung berbuah, walau akarnya sudah hampir merusak dinding rumah. Akhirnya dengan berat hati, ia pun harus menyerahkan kehidupannya demi keamanan pemilik rumah yaitu kami sekeluarga dan kehadiran kolam air mancur.
Pembuatan kolam itu pun praktis tanpa desain yang matang. Walaupun sudah beberapa kali membuka referensi buku dan majalah interior, kami pun menyesuaikannya dengan angan-angan dan imajinasi sendiri. Sialnya, bahasa dan keinginan kami terutama isteri tak langsung dapat dimengerti oleh tukang cekatan itu. Walaupun jadi dalam waktu kurang dari seminggu, ternyata air tak dapat mengalir baik.
Cek punya cek, ternyata selain dinding kolam yang bocor, pompa yang sudah kami beli dengan harga aduhai karena kekuatan semprotnya besar, patah di bagian ujungnya. Rupanya tukang tersebut tidak sabar mengerjakan semua tugasnya. Si dinding diteploknya dengan semen dan cat tanpa menguji ulang kekuatan dan kekeringannya. Sedangkan pompa ia tarik sekeras tenaga tanpa memperhitungkan kekuatan komponennya.
Memang ia masih berusaha memperbaiki pekerjaannya beberapa kali, tetapi dengan metode tambal sulam hasilnya tak seindah yang dibayangkan. Setelah sekian lama hampir dua minggu, akhirnya proyek bernilai em-eman itu (bukan m dari kata miliar tetapi eman-eman atau sayang sekali dalam bhs jawa) akhirnya mangkrak. Si tukang memperoleh proyek yang besar dan ia meninggalkan sang kolam.
Isteriku yang penuh semangat itu masih berusaha menilai seberapa mampu ia menangani sang kolam. Namun akhirnya ia menyerah. Kemarin ia menyimpan sang pompa yang bernilai aduhai itu ke museum. Kemudian perkakas yang sempat ia gunakan untuk mengutak-atik kolam ia rapikan dan masuk ke dalam kotak. That's it! I'm done, katanya.
Waduhh!!! Harapan untuk mendengar kemericik air tertunda. Saya sendiri tak mampu menanganinya, lha wong kalau siang banyak molornya. Yah tunggu dulu deh, sampai sang tukang kembali dan uang terkumpul lagi.
Salam,
indi
Ketika menjalani siang hari di rumah, dalam dua mingu terakhir isteri saya memandori tukang membuat kolam air mancur. Jangan bayangkan air mancurnya segede air mancur Bundaran HI. Hanya kecil saja, cum untuk terdengar bunyi kricik-kricik seperti sungai yang mendatangkan kedamaian di hati. Memang tidak tanggung-tanggung sih, dua buah sekaligus! Satu di luar dan satu lagi di dalam.
Isteri saya memang tipe maju tak gentar dan pantang menyerah. Walau rumah sebesar kandang burung yang penting harus tersedia kolam dan taman (mungkin sudah jadi obsesi). Setelah menimbang-nimbang biaya yang perlu disisihkan, akhirnya proyek raksasa itu jalan.
Hanya satu tukang yang dipekerjakan. Ia masih muda, murah senyum dan cekatan. Yang mengherankan, walaupun tubuhnya kurus dan kecil, ia mampu menggali lubang kolam dengan cepat. Praktis hanya sehari ia membuat lubang berukuran satu setengah kali satu setengah meter dengan kedalaman setengah meter. Padahal ia harus menebang pohon yang lumayan gede dengan tanah yang keras.
Penebangan pohon itu sebetulnya juga menyedihkan saya. Setelah dicekoki berita-berita pemanasan global dan penghijauan bumi, saya menjadi hati-hati untuk sembarangan menghilangkan tanaman. Nah, di depan rumah ada pohon klengkeng yang sudah cukup besar. Namun ia tidak kunjung berbuah, walau akarnya sudah hampir merusak dinding rumah. Akhirnya dengan berat hati, ia pun harus menyerahkan kehidupannya demi keamanan pemilik rumah yaitu kami sekeluarga dan kehadiran kolam air mancur.
Pembuatan kolam itu pun praktis tanpa desain yang matang. Walaupun sudah beberapa kali membuka referensi buku dan majalah interior, kami pun menyesuaikannya dengan angan-angan dan imajinasi sendiri. Sialnya, bahasa dan keinginan kami terutama isteri tak langsung dapat dimengerti oleh tukang cekatan itu. Walaupun jadi dalam waktu kurang dari seminggu, ternyata air tak dapat mengalir baik.
Cek punya cek, ternyata selain dinding kolam yang bocor, pompa yang sudah kami beli dengan harga aduhai karena kekuatan semprotnya besar, patah di bagian ujungnya. Rupanya tukang tersebut tidak sabar mengerjakan semua tugasnya. Si dinding diteploknya dengan semen dan cat tanpa menguji ulang kekuatan dan kekeringannya. Sedangkan pompa ia tarik sekeras tenaga tanpa memperhitungkan kekuatan komponennya.
Memang ia masih berusaha memperbaiki pekerjaannya beberapa kali, tetapi dengan metode tambal sulam hasilnya tak seindah yang dibayangkan. Setelah sekian lama hampir dua minggu, akhirnya proyek bernilai em-eman itu (bukan m dari kata miliar tetapi eman-eman atau sayang sekali dalam bhs jawa) akhirnya mangkrak. Si tukang memperoleh proyek yang besar dan ia meninggalkan sang kolam.
Isteriku yang penuh semangat itu masih berusaha menilai seberapa mampu ia menangani sang kolam. Namun akhirnya ia menyerah. Kemarin ia menyimpan sang pompa yang bernilai aduhai itu ke museum. Kemudian perkakas yang sempat ia gunakan untuk mengutak-atik kolam ia rapikan dan masuk ke dalam kotak. That's it! I'm done, katanya.
Waduhh!!! Harapan untuk mendengar kemericik air tertunda. Saya sendiri tak mampu menanganinya, lha wong kalau siang banyak molornya. Yah tunggu dulu deh, sampai sang tukang kembali dan uang terkumpul lagi.
Salam,
indi
Monday, March 3, 2008
Hangatnya Malam
dengarlah keceriaan di panggung seni
empat musisi ceria memainkan alat musik
ha..hi..ho..hu..
empat..tiga..dua..satu..
cerah langit bermandikan sinar bintang
gemerisik angin menebar aroma bunga cempaka
hai..yo..cihui..ahhh..
delapan..tujuh..enam.lima
suara itu menyeruak gendang telingaku
bawakan riak cinta nirwana
kuhirup segarnya madu tembang nan menawan
kuingin hangatnya membara di dada
selalu...
(elegi malam di summarecon mal serpong)
empat musisi ceria memainkan alat musik
ha..hi..ho..hu..
empat..tiga..dua..satu..
cerah langit bermandikan sinar bintang
gemerisik angin menebar aroma bunga cempaka
hai..yo..cihui..ahhh..
delapan..tujuh..enam.lima
suara itu menyeruak gendang telingaku
bawakan riak cinta nirwana
kuhirup segarnya madu tembang nan menawan
kuingin hangatnya membara di dada
selalu...
(elegi malam di summarecon mal serpong)
Monday, February 25, 2008
GAYA HIDUP
Hi, all
Inilah saya, duduk di tengah-tengah taman SMS, Summarecon Mal Serpong, sebuah mal di Jakarta Barat. Cuaca sore ini enak sekali, karena saya berada di udara terbuka. Mendung tampak menggantung di beberapa bagian langit, namun angin berembus tenang. Hujan tampaknya tidak bakan turun dalam waktu dekat.
Sambil membuka laptop dan “browsing internet” saya mengedarkan pandangan saya berkeliling. Rasanya ada yang menarik dari wajah-wajah yang saya lihat. Tempat yang saya duduki adalah sejenis wadah orang kota berduit untuk menghabiskan uang dan waktu. Kongkow-kongkow, makan-minum dan main internet.
Di hadapan saya ada sepasang suami isteri berusia paruh baya. Mereka tampak menikmati perbincangan ditemani penganan kecil. Di seberang sana seorang pria duduk sendiri menikmati setiap hirupan asap rokoknya. Dua gelas bir yang satu kosong dan yang lain terisi separuh terletak di hadapannya. Di ujung barisan tempat duduk saya, sekelompok remaja bersenda-gurau dengan hangatnya. Tidak perlu ada makanan dan minuman cukup materi yang seru, yang akan menjadi santapan mereka sore ini. Tak henti-hentinya kaum hawa berpenampilan rapi baik sendiri, maupun berkelompok berjalan ke depan dan belakang saya. Aroma parfum menebarkan kenyamanan berpadu dengan wangi kopi Arabica dan makanan hangat yang menggugah selera.
Di dalam situasi inilah saya berada. Di sini waktu seolah berhenti. Tidak ada ketergesa-gesaan, tak terlihat wajah murung. Semua rileks, tenang dan nyaman. Di udara menggantung musik jazz dengan irama sedang, menebarkan kesan ceria. Ia seperti berada di ruang dan waktu yang berbeda sama sekali dengan hiruk pikuk kota besar di luar sana.
Ketika saya melangkah masuk kawasan ini, seolah saya memasuki sebuah kotak tidak kasat mata yang melindungi isinya dari pengaruh eksternal.
Perlahan cuaca meredup. Matahari tak lagi garang menyinarkan kekuatannya, terhalang oleh belahan bumi di sebelah barat. Awan tebal kian erat melingkupi atmosfer, nyaris tak memberi kesempatan kepada sisa-sisa cahaya keemasan memeluk permukaan bumi. Lampu-lampu di taman mal ini satu per satu menyala. Cahayanya membentuk rangkaian bunga dan pohon yang meliuk-liuk.
Tak terasa sudah lebih dari dua jam saya di sini. Rasanya ini salah satu tempat terbaik yang saya bisa temukan. Saya bukan pecinta mal. Kalaupun sering ke mal, saya biasanya mengajak anak-anak makan, ke toko buku atau mengantar isteri berbelanja. Jadi tidak pernah saya menjadikan mal sebagai tujuan utama bersantai. Tapi yang satu ini berbeda. Saya menikmati kesendirian dan kenyamanan di tengah suasana mal. Kalaupun ada yang mengganggu saat ini adalah gigitan nyamuk. Rasanya mereka dapat berpesta pora dengan giat, karena praktis lingkungan yang mendukung. Remang-remang, dingin, banyak pohon dan tubuh-tubuh yang tidak banyak aktifitas.
Inilah saya, duduk di tengah-tengah taman SMS, Summarecon Mal Serpong, sebuah mal di Jakarta Barat. Cuaca sore ini enak sekali, karena saya berada di udara terbuka. Mendung tampak menggantung di beberapa bagian langit, namun angin berembus tenang. Hujan tampaknya tidak bakan turun dalam waktu dekat.
Sambil membuka laptop dan “browsing internet” saya mengedarkan pandangan saya berkeliling. Rasanya ada yang menarik dari wajah-wajah yang saya lihat. Tempat yang saya duduki adalah sejenis wadah orang kota berduit untuk menghabiskan uang dan waktu. Kongkow-kongkow, makan-minum dan main internet.
Di hadapan saya ada sepasang suami isteri berusia paruh baya. Mereka tampak menikmati perbincangan ditemani penganan kecil. Di seberang sana seorang pria duduk sendiri menikmati setiap hirupan asap rokoknya. Dua gelas bir yang satu kosong dan yang lain terisi separuh terletak di hadapannya. Di ujung barisan tempat duduk saya, sekelompok remaja bersenda-gurau dengan hangatnya. Tidak perlu ada makanan dan minuman cukup materi yang seru, yang akan menjadi santapan mereka sore ini. Tak henti-hentinya kaum hawa berpenampilan rapi baik sendiri, maupun berkelompok berjalan ke depan dan belakang saya. Aroma parfum menebarkan kenyamanan berpadu dengan wangi kopi Arabica dan makanan hangat yang menggugah selera.
Di dalam situasi inilah saya berada. Di sini waktu seolah berhenti. Tidak ada ketergesa-gesaan, tak terlihat wajah murung. Semua rileks, tenang dan nyaman. Di udara menggantung musik jazz dengan irama sedang, menebarkan kesan ceria. Ia seperti berada di ruang dan waktu yang berbeda sama sekali dengan hiruk pikuk kota besar di luar sana.
Ketika saya melangkah masuk kawasan ini, seolah saya memasuki sebuah kotak tidak kasat mata yang melindungi isinya dari pengaruh eksternal.
Perlahan cuaca meredup. Matahari tak lagi garang menyinarkan kekuatannya, terhalang oleh belahan bumi di sebelah barat. Awan tebal kian erat melingkupi atmosfer, nyaris tak memberi kesempatan kepada sisa-sisa cahaya keemasan memeluk permukaan bumi. Lampu-lampu di taman mal ini satu per satu menyala. Cahayanya membentuk rangkaian bunga dan pohon yang meliuk-liuk.
Tak terasa sudah lebih dari dua jam saya di sini. Rasanya ini salah satu tempat terbaik yang saya bisa temukan. Saya bukan pecinta mal. Kalaupun sering ke mal, saya biasanya mengajak anak-anak makan, ke toko buku atau mengantar isteri berbelanja. Jadi tidak pernah saya menjadikan mal sebagai tujuan utama bersantai. Tapi yang satu ini berbeda. Saya menikmati kesendirian dan kenyamanan di tengah suasana mal. Kalaupun ada yang mengganggu saat ini adalah gigitan nyamuk. Rasanya mereka dapat berpesta pora dengan giat, karena praktis lingkungan yang mendukung. Remang-remang, dingin, banyak pohon dan tubuh-tubuh yang tidak banyak aktifitas.
Sunday, February 17, 2008
New Office
Rasanya tidak ada bedanya pindah ke kantor baru seperti sekarang ini. Secara fisik kami memasuki orbit kaum berada di pusat Jakarta (maklum Senayan City je, tempat pria wanita berbusana tertib dan bermandikan parfum), tetapi faktanya tempat kami berkantor khususnya redaksi saya) masih amburadul. Aduuh!
Andaikan Anda diijinkan masuk ke kantor kami, saya yakin kalimat ini yang akan Anda ucapkan; bener neh, ini stasiun tv yang katanya numero uno? Lho apa pasal?
Bayangkan (saya ajak anda mulai dari redaksi) studio belum ada, infrastruktur siaran masih amburadul, software pendukung belum terpasang dengan lengkap (itupun sering mati tiba-tiba) dan listrik beberapa kali byar pet. Tak lupa juga Anda bisa melihat penyelesaian ruang rapat yang sering mengepulkan debu karena prosesnya belum tuntas.
Trus Anda bisa melongok ruang IT. Di beberapa perusahaan, departemen IT menempati ruang steril, bebas debu, teratur sesuai dengan penggunaannya. Namun di sini, ck ck ck seperti gudang. Ketika mencari petugas untuk membereskan komputer saya yang flu kena debu, saya melihat ruangan departemen ini tidak lebih baik dari tempat saya bekerja. Ya sudahlah biarkan mereka membereskan persoalan dalam negeri, toh mereka akan repot membantu saya karena fasilitas pendukung masih berantakan.
Nah ini yang seru. Jantung sebuah media penyiaran adalah master control yang mengatur lalu lintas isi siaran baik sinetron, berita, film, talk show, musik sampai iklan. Nah jantung kami ini mungkin seperti jantung Frankenstein alias tambal sulam. Kabel bersliweran (bayangin kalau orang tersandung kabel itu. Orangnya bisa benjol dan kabel siaran lepas; kebayangkan?), peralatan tersambung seadanya pokoke siaran.
Dari berbagai kondisi ini, saya merasa perusahaan tempat saya ini hebat betul. Dengan situasi darurat seperti ini, kok ya bisa jawara (menurut lembaga pemeringkat) andaikan sudah dibereskan dengan canggih, pasti di atasnya jawara atau nomer nol. Luar biasa.
Tapi saya memikirkan perkara lain. Lha wong kayak gini aja sudah hebat, buat apa pemilik repot-repot memperbaiki kan ngabisin dana, tenaga dan waktu. Mending duitnya untuk beli pulau atau perusahaan lain.
Welah, don't be so nyinyir and nyindir gitu, man. Positive thinking lah. Mungkin ada persoalan berat lain yang perlu ditangani sehingga penyelesaian fasilitas dan gedung di kantor ini menjadi tertunda-tunda. Kan para petinggi memiliki kebijakan yang mengayomi seluruh kawulo alitnya.
Persoalan fasilitas pendukung seringkali menjadi perdebatan seru antara atasan dan bawahan. Atasan menilai namanya pendukung yang bukan persoalan primer jadi bisa dinomorduakan karena ada hal lain yang dianggap lebih penting, toh dengan kondisi ad hoc bisa jalan. Namun bawahan merasa fasilitas pendukung akan membuat proses pengerjaan tugas menjadi lebih mudah, dan hasilnya toh untuk kemajuan perusahaan.
Sebagai orang yang berada di level tengah, saya merasa kedua belah pihak perlu berempati terhadap masing-masing pihak. Gunakan cara pandang dari sudut masing-masing. Mungkin kesenjangan pengertian yang ada akan bisa terjembatani. Toh, sekali lagi semuanya untuk kemajuan bersama.
Peace,
indi
Andaikan Anda diijinkan masuk ke kantor kami, saya yakin kalimat ini yang akan Anda ucapkan; bener neh, ini stasiun tv yang katanya numero uno? Lho apa pasal?
Bayangkan (saya ajak anda mulai dari redaksi) studio belum ada, infrastruktur siaran masih amburadul, software pendukung belum terpasang dengan lengkap (itupun sering mati tiba-tiba) dan listrik beberapa kali byar pet. Tak lupa juga Anda bisa melihat penyelesaian ruang rapat yang sering mengepulkan debu karena prosesnya belum tuntas.
Trus Anda bisa melongok ruang IT. Di beberapa perusahaan, departemen IT menempati ruang steril, bebas debu, teratur sesuai dengan penggunaannya. Namun di sini, ck ck ck seperti gudang. Ketika mencari petugas untuk membereskan komputer saya yang flu kena debu, saya melihat ruangan departemen ini tidak lebih baik dari tempat saya bekerja. Ya sudahlah biarkan mereka membereskan persoalan dalam negeri, toh mereka akan repot membantu saya karena fasilitas pendukung masih berantakan.
Nah ini yang seru. Jantung sebuah media penyiaran adalah master control yang mengatur lalu lintas isi siaran baik sinetron, berita, film, talk show, musik sampai iklan. Nah jantung kami ini mungkin seperti jantung Frankenstein alias tambal sulam. Kabel bersliweran (bayangin kalau orang tersandung kabel itu. Orangnya bisa benjol dan kabel siaran lepas; kebayangkan?), peralatan tersambung seadanya pokoke siaran.
Dari berbagai kondisi ini, saya merasa perusahaan tempat saya ini hebat betul. Dengan situasi darurat seperti ini, kok ya bisa jawara (menurut lembaga pemeringkat) andaikan sudah dibereskan dengan canggih, pasti di atasnya jawara atau nomer nol. Luar biasa.
Tapi saya memikirkan perkara lain. Lha wong kayak gini aja sudah hebat, buat apa pemilik repot-repot memperbaiki kan ngabisin dana, tenaga dan waktu. Mending duitnya untuk beli pulau atau perusahaan lain.
Welah, don't be so nyinyir and nyindir gitu, man. Positive thinking lah. Mungkin ada persoalan berat lain yang perlu ditangani sehingga penyelesaian fasilitas dan gedung di kantor ini menjadi tertunda-tunda. Kan para petinggi memiliki kebijakan yang mengayomi seluruh kawulo alitnya.
Persoalan fasilitas pendukung seringkali menjadi perdebatan seru antara atasan dan bawahan. Atasan menilai namanya pendukung yang bukan persoalan primer jadi bisa dinomorduakan karena ada hal lain yang dianggap lebih penting, toh dengan kondisi ad hoc bisa jalan. Namun bawahan merasa fasilitas pendukung akan membuat proses pengerjaan tugas menjadi lebih mudah, dan hasilnya toh untuk kemajuan perusahaan.
Sebagai orang yang berada di level tengah, saya merasa kedua belah pihak perlu berempati terhadap masing-masing pihak. Gunakan cara pandang dari sudut masing-masing. Mungkin kesenjangan pengertian yang ada akan bisa terjembatani. Toh, sekali lagi semuanya untuk kemajuan bersama.
Peace,
indi
Friday, February 8, 2008
SEKALI LAGI BANJIR
Hi all,
Rasanya semua orang Jakarta lagi pada gemes sama gubernurnya sekarang ini. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya yang namanya banjir cuma dikenal istilah lima tahunan atau muncul lima tahun sekali, eh dalam dua tahun berturut-turut Jakarta terendam dengan gegap gempita. Serunya lagi pada awal tahun baru ini, jalan tol ke arah Bandara Soekarno-Hatta seperti lautan dan jalan protokol menjadi danau karena hujan beberapa jam saja pada Jumat, 1 Februari lalu.
Benarkah gubernur menjadi satu-satunya pihak yang layak disalahkan karena daerah pemerintahannya kebanjiran? Saya tidak menyalahkan Anda bila namanya segera disebut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimanapun saat ia berkampanye sebagai calon gubernur ia pasti mengetahui salah satu persoalan krusial yang harus dibenahi di ibu kota adalah banjir.
Saya hanya ingin membuka perspektif lain dalam mengelola persoalan banjir di Jakarta. Waktu saya melihat kembali buku IPS anak saya yang duduk di kelas VI, ada termaktub masalah lingkungan temasuk banjir. Dinyatakan di sana penyebab banjir di antaranya adalah penggundulan hutan, pendangkalan sungai dan berkurangnya resapan air terutama di kota-kota besar. Membaca ini pikiran saya segera melayang ke mal-mal di ibu kota.
Rasanya dalam beberapa tahun terakhir pembangunan di Jakarta berfokus pada pembuatan pusat perbelanjaan baru; memang saya tidak memiliki data riil, tetapi saya bisa sebutkan berdirinya Senayan City, Pacific Place, Plaza EX, ITC Permata Hijau, WTC Mangga Dua dan masih banyak lagi. Kehadiran tempat-tempat tersebut memang menyenangkan untuk cuci mata, tetapi jangan lupa, biasanya bangunan bertingkat membutuhkan tempat parker yang besar. Kerimbunan pepohonan yang dapat menampung air hujan pun menjadi korban. Semen, paving block dan aspal mengganti akar-akar dan tanah. Akibatnya saat hujan turun air tidak sempat lagi meresap ke dalam tanah, dan banjir pun terjadi.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberian ijin pembangunan mal dan gedung-gedung tadi? Tentu saja pemerintah daerah. Namun naïf kalau sekedar menyalahkan pemda, karena pihak pembangunnya pun tidak memiliki wawasan lingkungan. Dengan menutupi seluruh tanah kosong dengan lapisan yang tidak menyerap air berarti pengusaha dan pembangun mengabaikan perannya dalam pencegahan banjir di ibu kota.
Sekali lagi di sini peran pemerintah untuk menegakkan usaha-usaha pencegahan banjir sangat penting. Sudahkan pengusaha property diwajibkan untuk menyediakan lahan untuk serapan air? Sudahkan ada penegakan hukum yang kuat dan adil terhadap pelanggar peraturan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan daerah serapan air di tengah maraknya pembangunan di ibu kota.
Lahan parkir adalah faktor penting untuk kelancaran bisnis. Anda dapat merasakan betapa tidak menyenangkannya bila sebuah tempat usaha tidak memiliki tempat parkir. Tidak hanya itu, tempat parkir yang nyaman akan memastikan konsumen datang dan datang lagi. Pemikiran ini ternyata hanya satu dari banyak sisi kebutuhan masyarakat kota besar. Adalah elok bila lahan parkir juga menyisakan tanah kosong dengan tumbuhan hijau. Tidak hanya mobil-mobil dapat tempat berlindung, air hujan pun dapat tertampung dan udara segar selalu tersedia.
Wahai pengusaha ikutlah dalam menyediakan tempat untuk menampung air hujan agar banjir di ibu kota bisa terkurangi.
indi
Rasanya semua orang Jakarta lagi pada gemes sama gubernurnya sekarang ini. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya yang namanya banjir cuma dikenal istilah lima tahunan atau muncul lima tahun sekali, eh dalam dua tahun berturut-turut Jakarta terendam dengan gegap gempita. Serunya lagi pada awal tahun baru ini, jalan tol ke arah Bandara Soekarno-Hatta seperti lautan dan jalan protokol menjadi danau karena hujan beberapa jam saja pada Jumat, 1 Februari lalu.
Benarkah gubernur menjadi satu-satunya pihak yang layak disalahkan karena daerah pemerintahannya kebanjiran? Saya tidak menyalahkan Anda bila namanya segera disebut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimanapun saat ia berkampanye sebagai calon gubernur ia pasti mengetahui salah satu persoalan krusial yang harus dibenahi di ibu kota adalah banjir.
Saya hanya ingin membuka perspektif lain dalam mengelola persoalan banjir di Jakarta. Waktu saya melihat kembali buku IPS anak saya yang duduk di kelas VI, ada termaktub masalah lingkungan temasuk banjir. Dinyatakan di sana penyebab banjir di antaranya adalah penggundulan hutan, pendangkalan sungai dan berkurangnya resapan air terutama di kota-kota besar. Membaca ini pikiran saya segera melayang ke mal-mal di ibu kota.
Rasanya dalam beberapa tahun terakhir pembangunan di Jakarta berfokus pada pembuatan pusat perbelanjaan baru; memang saya tidak memiliki data riil, tetapi saya bisa sebutkan berdirinya Senayan City, Pacific Place, Plaza EX, ITC Permata Hijau, WTC Mangga Dua dan masih banyak lagi. Kehadiran tempat-tempat tersebut memang menyenangkan untuk cuci mata, tetapi jangan lupa, biasanya bangunan bertingkat membutuhkan tempat parker yang besar. Kerimbunan pepohonan yang dapat menampung air hujan pun menjadi korban. Semen, paving block dan aspal mengganti akar-akar dan tanah. Akibatnya saat hujan turun air tidak sempat lagi meresap ke dalam tanah, dan banjir pun terjadi.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberian ijin pembangunan mal dan gedung-gedung tadi? Tentu saja pemerintah daerah. Namun naïf kalau sekedar menyalahkan pemda, karena pihak pembangunnya pun tidak memiliki wawasan lingkungan. Dengan menutupi seluruh tanah kosong dengan lapisan yang tidak menyerap air berarti pengusaha dan pembangun mengabaikan perannya dalam pencegahan banjir di ibu kota.
Sekali lagi di sini peran pemerintah untuk menegakkan usaha-usaha pencegahan banjir sangat penting. Sudahkan pengusaha property diwajibkan untuk menyediakan lahan untuk serapan air? Sudahkan ada penegakan hukum yang kuat dan adil terhadap pelanggar peraturan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan daerah serapan air di tengah maraknya pembangunan di ibu kota.
Lahan parkir adalah faktor penting untuk kelancaran bisnis. Anda dapat merasakan betapa tidak menyenangkannya bila sebuah tempat usaha tidak memiliki tempat parkir. Tidak hanya itu, tempat parkir yang nyaman akan memastikan konsumen datang dan datang lagi. Pemikiran ini ternyata hanya satu dari banyak sisi kebutuhan masyarakat kota besar. Adalah elok bila lahan parkir juga menyisakan tanah kosong dengan tumbuhan hijau. Tidak hanya mobil-mobil dapat tempat berlindung, air hujan pun dapat tertampung dan udara segar selalu tersedia.
Wahai pengusaha ikutlah dalam menyediakan tempat untuk menampung air hujan agar banjir di ibu kota bisa terkurangi.
indi
Subscribe to:
Posts (Atom)