This blog contains my thoughts about everything. I like absorbing events, problems, situations and share them to everyone.
Wednesday, September 22, 2010
Friday, September 17, 2010
Mada, Gadis Kecil di Ambon
Wajah itu enak dilihat. Matanya penuh semangat. Senyumnya selalu mengembang, walau tak ada pembeli kue yang ia tawarkan. Itulah perhatian saya terhadap Mada. Ya, itulah namanya setelah kami berkenalan beberapa saat di sebuah restoran cepat saji di kota Ambon petang ini.
Perkenalan kami penuh warna. Saat itu hari sudah gelap. Tak ada sisa sinar mentari, walau jam tangan saya baru pukul 6 Waktu Indonesia Timur. Awan menggayut sejak pagi di langit kota.
Perut yang baru terisi kerapu bakar masih belum terpuaskan. Sehingga bersama empat kawan sekerja yang habis membuat program Suara Keadilan, saya ajak mereka makan es krim di sebuah restoran cepat saji di sebelah hotel tempat kami menginap.
Sambil bersendagurau menikmati perbincangan ngalor ngidul itu, saya melihat ke tangga masuk restoran. Di sana ada seorang gadis kecil berjualan roti goreng di dalam sebuah toples besar. Bajunya lusuh. Rambut diikat seperti ekor kuda hanya dengan karet gelang.
Ia tidak menjajakan dagangannya secara agresif, laiknya seorang pedagang. Tetapi tatapan dan senyumannya mengiringi setiap pengunjung restoranyang keluar atau masuk, seolah berkata belilah kue ini, atau saya akan mati kelaparan.
Sejurus saya perhatikan tak ada orang yang tertarik untuk menghampiri dan membeli kuenya. Tetapi rasanya senyum itu tak lepas dari wajahnya.
Mungkin ia sadar atas perhatian saya, karena tatapan kami beberapa kali bertemu dan ia pun tersenyum. Sampai satu saat, ia mendatangi meja kami.
Om, mau beli roti? Tawarannya membuat kami menggeleng, karena toh kami baru makan ikan bakar dan sedang menikmati kudapan restoran cepat saji itu. Tapi sekali lagi, yang membuat saya lebih tertarik adalah senyuman manisnya yang tidak hilang atas penolakan kami.
Entah atas dorongan apa, saya bertanya: kamu sudah makan? Ia hanya menggeleng perlahan. Kamu mau saya belikan makanan? Tawaran saya berlanjut. Ia mengangguk juga dengan perlahan, plus senyum manisnya.
Setelah mengangsurkan uang agar ia bisa memilih sendiri makanan yang dikehendaki, ia tinggalkan kami ke pemesanan. Sepeninggalnya, sempat terpikir bahwa ia akan berlalu dan tak kembali. Saya sudah siap dengan kemungkinan itu, walau pasti akan membuat kecewa. Obrolan pun kami teruskan dan tak memedulikannya lagi.
Namun hampir 10 menit kemudian, ia kembali dengan nampan makanannya, dan mengembalikan sisa uang kembalian. Wow, saya kagum dan tersenyum menyambutnya.
Sambil menikmati setiap suapan ayam gorengnya, ia tak henti2nya berterima kasih. Dalam perbincangan itu, saya kian mengaguminya. Mada, demikian panggilannya. Walaupun ia mengatakan marganya, saya memilih untuk merahasiakannya dari Anda. Ia berjualan roti goreng buatan ibunya, selepas bersekolah sore hari di kelas 5 sebuah SD negeri di Ambon.
Lalu untuk apa uangnya, tanya saya penuh rasa ingin tahu. Membeli buku, jawabnya sambil mengunyah nasi pulen yang mungkin jarang ia temui. Bagaimana dengan pekerjaan ayahmu, tanya salah seorang teman. Ia bekerja di sebuah restoran tidak jauh dari tempat kami makan.
Dari perbincangan itu mengalirlah sebuah kisah yang menggugah hati. Seharusnya kisah itu sedih tentang perjuangan anak kecil membantu perekonomian keluarga. Sebuah pengingkaran atas hak anak-anak, yaitu belajar dan bermain. Namun dari mulut Mada, kisah itu begitu ringan dan indah; seperti sebuah kisah perjuangan seorang pahlawan dalam mengatasi masalah remeh temeh. Tak ada kesedihan atau penyesalan, hanya semangat dan kegembiraan. Padahal ia harus berjualan hingga tengah malam, sebelum dijemput pulang salah seorang kakaknya, yang juga seorang pekerja di sebuah restoran.
Perbincangan setengah serius itu diselingi keberanian Mada menebak daerah asal kami. Ada yang asal Manado, Cina dan Jawa sebutnya sambil menunjuk kami satu persatu. Ia bahkan menyebut saya parlente (ya ia menyebut saya parlente bukan perlente) dan orang kaya karena melihat foto istri dan anak-anak saya di ponsel. Dengan berani ia menyebut pernah melihat saya sebelumnya (ini membuat heran, apakah ia juga menonton berita). Ketika saya tanya di mana ia melihat saya, jawabannya mengejutkan sekaligus menggelikan: sopir oto (baca: angkot). Meledaklah tertawa kami, hingga membuat seisi restoran itu melihat ke meja kami.
Kami pun berpisah, karena tubuh telah lelah untuk melanjutkan perbincangan. Mada kami tinggalkan dengan ayam gorengnya yang belum juga habis dan setoples besar roti goreng di bawah kakinya.
Pertemuan dengan Mada di sebuah petang di kota Ambon mengajarkan sesuatu, minimal untuk saya, yaitu berkekurangan tidak harus ditanggapi dengan berat hati. Walaupun Mada masih berusia sekitar 10 atau 11 tahun, yang berarti belum banyak mengalami kepahitan hidup, setidaknya ia menunjukkan semangat dalam menjalankan hari-harinya walau tanpa fasilitas dan keistimewaan.
Tuhan berilah Mada kesempatan untuk menggapai mimpinya suatu saat.
Thursday, August 26, 2010
Pengalaman Suara Keadilan
Ada beberapa keuntungan besar setelah saya pegang program Suara Keadilan, yang tayang setiap Selasa pk 19.30-20.30 WIB (jangan lupa tvOne ya).
Pertama: Saya berhadapan dan berbincang dengan orang-orang yang tersisih. Merasakan kesulitan dan beban mereka, saya diingatkan untuk dapat berbuat lebih pada sekeliling. Terutama yang berkekurangan dan tidak beruntung. lebih dari itu, saya terpanggil untuk membantu melalui profesi ini. Sebut saja ibu Lely, yang 12 tahun tak berhasil mengurus pensiun suaminya sejak ia wafat tahun 1998. Perempuan sepuh itu harus menghidupi tiga putranya seorang diri, tanpa pemasukan lain. Usahanya mengurus pensiun itu selalu gagal dengan berbagai alasan. Surat yang dikirimkan ke atasan suaminya, menteri di departemennya, bahkan presiden tak berjawab. Untunglah setelah tayangan tersebut, sebuah jawaban dari PT Taspen datang. Semoga pekerjaan Suara Keadilan bermanfaat.
Kedua: Banyak kasus terjadi di luar Jakarta. Akibatnya saya berkeliling terus. Setidaknya seminggu 2 atau 3 hari keluar kota. Perjalanan itu membawa pengalaman luar biasa. Salah satunya adalah mengetahui betapa luasnya, beragamnya dan jauhnya perbedaan kota yang saya kunjungi dengan Indonesia.
Pengalaman menarik pertama di kota Sukabumi. Kota yang hanya berjarak sekitar 100 kilo meter dari Jakarta itu menunjukkan betapa tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Jalanan sempit, macet, berlubang. Apalagi yang menuju tempat liputan. Hanya bertatahkan batu2an besar, berlumpur, minim penerangan, menanjak dan berliku.
Pengalaman menarik kedua adalah kota Purwokerto. Saya menemukan kedamaian di kota ini. Walaupun perjalanan ke kota itu melalui jalur selatan melelahkan dan menjemukan, praktis semua itu hilang saat merasakan hawa sejuk dan ketenangan kota. Ramai tapi tidak terlalu macet, dan banyak makanan yang enak.
Kota ketiga adalah Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Saya membayangkan yang namanya ibu kota provinsi pasti tumbuh besar penuh fasilitas dan keramaian, karena tingkat perekonomian baik. Tapi saya lupa. Ini bukan di Jawa. Kendari sudah lebih jauh dari Jakarta. Akibatnya akses menuju kemodernan kian sulit. Kota ini indah. Di kota tua ada sebuah dataran tinggi yang langsung berhadapan dengan pelabuhan. Tapi ada daya, keindahan itu tak tersingkap sepenuhnya. Bahkan ada permukiman di tengah kota, yang aksesnya harus melalui jalan setapak, licin, dan mendaki. Sulit ditempuh. Motor pun tidak mudah memasukinya. Padahal di tempat itu sedikitnya ada beberapa belas rumah.
Sekali lagi, saya pikir inilah sebuah bentuk ketidakadilan. Saya yang tinggal di ibu kota negara dengan mudah melakukan banyak hal. Begitu mudah pergi ke banyak tempat. Namun kemudahan itu tak didapat saudara-saudara saya di luar Jakarta.
Salam keadilan
Wednesday, August 4, 2010
Tempat Berkesan
Dari sekian banyak tempat yang pernah saya kunjungi, ada dua lokasi yang paling saya ingat. Memori saya terisi penuh dengan hal-hal khas dari kedua tempat itu. Yang pertama adalah Seattle, AS dan kedua Sindangraja di Sukabumi, Jawa Barat.
Bukan karena di luar negeri atau di Amerika, kota Seattle menjadi pilihan pertama tempat favorit saya. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk mendukung pilihan itu. Setiap mengunjungi sebuah daerah asing, terutama untuk jangka panjang, saya menyempatkan diri berkeliling, baik dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.
Walaupun hampir 4 tahun lalu, rasanya seperti baru kemarin saya mengunjungi kota Seattle. Setiap sudut kota mudah terbayang di benak. Cuacanya yang sejuk (walaupun masuk musim gugur yang biasanya dapat menggigilkan saya jika di negara empat musim lainnya) memudahkan saya berjalan di waktu malam atau dini hari.
Ya, saya senang menelusuri jalan-jalannya yang berbukit. Kota itu tidak besar (dibanding Surabaya bahkan), sehingga dengan berjalan kaki pun dengan mudah sudut-sudut kota terjangkau. Dalam satu pandangan, kita bisa melihat pegunungan, laut (tepatnya teluk) dan dataran. Three in one.
Salah satu tujuan favorit saya adalah pasar ikan. Hoho, jangan pikir ini seperti pasar ikan atau tempat pelelangan ikan di Indonesia. Jauh! Bersih lorong-lorongnya, tanpa bau amis pula. Bahkan yang paling seru, beberapa pedagang menawarkan dagangan berupa ikan segar atau hewan laut lainnya dengan gaya yang atraktif. Baik dengan gerak tubuh ataupun dengan teriakan-teriakan yang mengundang.
Belum lagi ada obyek wisata yang mengingatkan saya pada film romantik Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan; namanya The Needle. Bentuknya seperti menara TVRI di Senayan, tetapi lebih tinggi dan cara melihatnya adalah dari perbukitan. Indah.
Yang juga tak terlupakan adalah desa Indian bernama Tilicum Village. Tempat ini dicapai dengan menggunakan ferry penyeberangan selama sekitar 30 menit. Sebetulnya yang tersisa hanyalah karya masa lalu berupa barang-barang lawas dan diorama, tetapi pengunjung dapat membayangkan kejadian masa lalu itu melalui sebuah sandiwara di panggung dengan tata cahaya dan suara yang lumayan untuk kelas pertunjukan biasa. Hebatnya turis menikmati itu sambil makan-makanan khas Indian dan salmon panggang yang nikmat dan all you can eat. Saya sampai tambah dua kali makan salmon itu, karena endang bambang (enak banget).
Lalu bagaimana dengan tempat di Indonesia?
Banyak tempat bagus di tanah air beta. Namun untuk terbilang berkesan harus ada yang menyentuh perasaan. Nah yang itu baru saja saya rasakan ketika saya dan teman-teman menggarap program Suara Keadilan akhir Juli 2010. Tempatnya relatif dekat saja dengan Jakarta, yaitu Sukabumi. Namun jangan salah, ini bukan kota Sukabumi, tetapi di sebuah desa bernama Sindangraja.
Sebelumnya, produser saya hanya menyatakan tempatnya 15 km dari Sukabumi. Tidak jauh saya pikir. Tetapi ia menambahkan, bahwa perjalanan itu menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Lho. Hati ini jadi bertanya-tanya atas informasi itu.
Faktanya: buseettt.
Dari Sukabumi setelah makan mie ayam sehat buatan istri saya, kami berkendara dulu sekitar 30 km dengan jalan menanjak dan berkelok. Jalan itu sempit dengan aspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Setiap berpapasan dengan mobil lain semuanya harus melambatkan kendaraan dan berhati-hati melintas jika tidak ingin senggolan atau masuk jurang.
Nah di sebuah kawasan kebun teh, pergantian kendaraan dilakukan. Kami tinggalkan mobil yang kami gunakan dari Jakarta dengan sebuah LandRover tahun 1980. Kokoh. Tangguh. Pengendaranya adalah kontributor kami di Sukabumi. Di situlah ia membuka alasan mengapa kendaraan berpenggerak 4 roda diperlukan. Yaitu berbatu, menanjak dengan kemiringan tajam, sempit dan kadang berlumpur. Dari tempat itu hingga Sindangraja tujuan kami jaraknya 15 km. Itulah jarak yang disampaikan rekan saya. Wah bonus yang 30 km tadi itu, pikir saya.
Lalu dimulailah perjalanan yang mengesankan itu.
Terik matahari siang kalah oleh sejuknya udara. Namun hati ini deg-degan ketika mobil mulai bergerak. Bahkan pada 100 meter pertama. Lebar jalan hanya untuk 1 mobil, batu-batu sebagai landasan jalan berukuran minimal sebesar bola kaki menikung ke kiri dan ke kanan. Di beberapa bagian, sang pilot LandRover harus berhenti untuk berancang-ancang sebelum melintasi kubangan lumpur atau tanjakan berkemiringan sekitar 45 derajat (atau kurang ya? Pokoknya miring banget deh).
Praktis keindahan kebun teh milik Goal Para (kata pak kades setempat pada suatu kesempatan) terabaikan. Kami semua harus berpegangan di dinding mobil jika tidak ingin terjatuh dari tempat duduk akibat guncangan mobil.
Sekitar satu jam perjalanan itu kami tempuh dengan gerakan tak keruan tanpa henti. Hingga akhirnya kami sampai tujuan di desa yang dimaksud. Anda bisa bayangkan perjalanan kami turun dari tempat itu setelah urusan liputan selesai. Mungkin analoginya seperti naik rodeo di atas seekor kuda gila yang mabuk dan seorang kejam melecuti kuda itu dengan semena-mena.
Perjalanan yang mengesankan, karena itu adalah bagian negara saya. Warga desa Sindangraja pasti harus bersusahpayah jika harus mengurus kegiatan mereka ke kota besar; ke rumah sakit, berbelanja atau sekolah. Di sana baru ada sebuah sekolah dasar, sehingga untuk pendidikan lanjut para remaja harus memiliki punggung, pinggang dan pantat baja melawan guncangan di jalan.
Ya Tuhan, betapa dua tempat seperti kutub itulah yang saya ingat. Pertama karena kenyamanannya dan kedua karena ketidaknyamanannya. Yang pertama saya ingin kunjungi atau bahkan saya tinggali, tetapi yang kedua, di negara sendiri, saya tidak ingin ke sana lagi selama infrastrukturnya masih seperti itu.
Bukan karena di luar negeri atau di Amerika, kota Seattle menjadi pilihan pertama tempat favorit saya. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk mendukung pilihan itu. Setiap mengunjungi sebuah daerah asing, terutama untuk jangka panjang, saya menyempatkan diri berkeliling, baik dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.
Walaupun hampir 4 tahun lalu, rasanya seperti baru kemarin saya mengunjungi kota Seattle. Setiap sudut kota mudah terbayang di benak. Cuacanya yang sejuk (walaupun masuk musim gugur yang biasanya dapat menggigilkan saya jika di negara empat musim lainnya) memudahkan saya berjalan di waktu malam atau dini hari.
Ya, saya senang menelusuri jalan-jalannya yang berbukit. Kota itu tidak besar (dibanding Surabaya bahkan), sehingga dengan berjalan kaki pun dengan mudah sudut-sudut kota terjangkau. Dalam satu pandangan, kita bisa melihat pegunungan, laut (tepatnya teluk) dan dataran. Three in one.
Salah satu tujuan favorit saya adalah pasar ikan. Hoho, jangan pikir ini seperti pasar ikan atau tempat pelelangan ikan di Indonesia. Jauh! Bersih lorong-lorongnya, tanpa bau amis pula. Bahkan yang paling seru, beberapa pedagang menawarkan dagangan berupa ikan segar atau hewan laut lainnya dengan gaya yang atraktif. Baik dengan gerak tubuh ataupun dengan teriakan-teriakan yang mengundang.
Belum lagi ada obyek wisata yang mengingatkan saya pada film romantik Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan; namanya The Needle. Bentuknya seperti menara TVRI di Senayan, tetapi lebih tinggi dan cara melihatnya adalah dari perbukitan. Indah.
Yang juga tak terlupakan adalah desa Indian bernama Tilicum Village. Tempat ini dicapai dengan menggunakan ferry penyeberangan selama sekitar 30 menit. Sebetulnya yang tersisa hanyalah karya masa lalu berupa barang-barang lawas dan diorama, tetapi pengunjung dapat membayangkan kejadian masa lalu itu melalui sebuah sandiwara di panggung dengan tata cahaya dan suara yang lumayan untuk kelas pertunjukan biasa. Hebatnya turis menikmati itu sambil makan-makanan khas Indian dan salmon panggang yang nikmat dan all you can eat. Saya sampai tambah dua kali makan salmon itu, karena endang bambang (enak banget).
Lalu bagaimana dengan tempat di Indonesia?
Banyak tempat bagus di tanah air beta. Namun untuk terbilang berkesan harus ada yang menyentuh perasaan. Nah yang itu baru saja saya rasakan ketika saya dan teman-teman menggarap program Suara Keadilan akhir Juli 2010. Tempatnya relatif dekat saja dengan Jakarta, yaitu Sukabumi. Namun jangan salah, ini bukan kota Sukabumi, tetapi di sebuah desa bernama Sindangraja.
Sebelumnya, produser saya hanya menyatakan tempatnya 15 km dari Sukabumi. Tidak jauh saya pikir. Tetapi ia menambahkan, bahwa perjalanan itu menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Lho. Hati ini jadi bertanya-tanya atas informasi itu.
Faktanya: buseettt.
Dari Sukabumi setelah makan mie ayam sehat buatan istri saya, kami berkendara dulu sekitar 30 km dengan jalan menanjak dan berkelok. Jalan itu sempit dengan aspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Setiap berpapasan dengan mobil lain semuanya harus melambatkan kendaraan dan berhati-hati melintas jika tidak ingin senggolan atau masuk jurang.
Nah di sebuah kawasan kebun teh, pergantian kendaraan dilakukan. Kami tinggalkan mobil yang kami gunakan dari Jakarta dengan sebuah LandRover tahun 1980. Kokoh. Tangguh. Pengendaranya adalah kontributor kami di Sukabumi. Di situlah ia membuka alasan mengapa kendaraan berpenggerak 4 roda diperlukan. Yaitu berbatu, menanjak dengan kemiringan tajam, sempit dan kadang berlumpur. Dari tempat itu hingga Sindangraja tujuan kami jaraknya 15 km. Itulah jarak yang disampaikan rekan saya. Wah bonus yang 30 km tadi itu, pikir saya.
Lalu dimulailah perjalanan yang mengesankan itu.
Terik matahari siang kalah oleh sejuknya udara. Namun hati ini deg-degan ketika mobil mulai bergerak. Bahkan pada 100 meter pertama. Lebar jalan hanya untuk 1 mobil, batu-batu sebagai landasan jalan berukuran minimal sebesar bola kaki menikung ke kiri dan ke kanan. Di beberapa bagian, sang pilot LandRover harus berhenti untuk berancang-ancang sebelum melintasi kubangan lumpur atau tanjakan berkemiringan sekitar 45 derajat (atau kurang ya? Pokoknya miring banget deh).
Praktis keindahan kebun teh milik Goal Para (kata pak kades setempat pada suatu kesempatan) terabaikan. Kami semua harus berpegangan di dinding mobil jika tidak ingin terjatuh dari tempat duduk akibat guncangan mobil.
Sekitar satu jam perjalanan itu kami tempuh dengan gerakan tak keruan tanpa henti. Hingga akhirnya kami sampai tujuan di desa yang dimaksud. Anda bisa bayangkan perjalanan kami turun dari tempat itu setelah urusan liputan selesai. Mungkin analoginya seperti naik rodeo di atas seekor kuda gila yang mabuk dan seorang kejam melecuti kuda itu dengan semena-mena.
Perjalanan yang mengesankan, karena itu adalah bagian negara saya. Warga desa Sindangraja pasti harus bersusahpayah jika harus mengurus kegiatan mereka ke kota besar; ke rumah sakit, berbelanja atau sekolah. Di sana baru ada sebuah sekolah dasar, sehingga untuk pendidikan lanjut para remaja harus memiliki punggung, pinggang dan pantat baja melawan guncangan di jalan.
Ya Tuhan, betapa dua tempat seperti kutub itulah yang saya ingat. Pertama karena kenyamanannya dan kedua karena ketidaknyamanannya. Yang pertama saya ingin kunjungi atau bahkan saya tinggali, tetapi yang kedua, di negara sendiri, saya tidak ingin ke sana lagi selama infrastrukturnya masih seperti itu.
Wednesday, January 27, 2010
Mie Ayam dan Semangat
Terletak di sudut sebuah ruko di dekat Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, sebuah warung mie ayam berdiri. Belum dua minggu sang pemiliknya menjalankan bisnisnya. Dari hari ke hari sang pemilik beserta dua pegawainya menunggu pembeli. Namun yang datang masih dapat dihitung dengan jari. Harapan untuk menangguk untung belum terlihat, karena harga jualnya di bawah rata-rata para pesaingnya yang sudah tersebar di sekelilingnya. Keberanian menekan harga itu tak lepas dari harapannya untuk segera meraih perhatian, padahal harga-harga bahan baku mie seperti ayam, bumbu dan mie itu sendiri merangkak naik.
Business is not easy, however it is challenging. Berusaha memang tidak mudah, tetapi layak untuk diusahakan dengan seluruh daya upaya, kreatifitas, tenaga, air mata bahkan darah (lebay dotcom). Sementara persaingan adalah bumbunya.
Orang (termasuk saya) seringkali terpana melihat keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga bisnis. Dengan sedikit rasa iri saya memuji dan menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya orang itu dalam menjalani hidup. Rumah indah, mobil mewah, makanan enak, berwisata ke tempat-tempat jauh dan eksotis dan sebagainya. Namun orang seperti saya sering lupa, bahwa ia pun tidak serta merta mendapatkan semua itu. Tidak tahu kalau kekayaan dan keberhasilan itu merupakan warisan atau hasil undian.
Kemudian kekaguman saya seringkali bertambah setelah mendengar kisah sukses orang-orang itu diraih melalui perjuangan berat, berliku penuh onak dan berbatu. Kisah kegagaln yang terjadi berulang-ulang merupakan warna utama dari banyak kisah keberhasilan. Semuanya itu menegaskan bahwa berusaha merupakan nafas manusia itu sendiri jika ia ingin hidup.
Berhenti berusaha, berhenti mencoba, berhenti berkreasi dan menyerah adalah penutup episode seorang manusia. Yang hasilnya berupa kematian atau penyesalan seumur hidup.
Jika saya adalah pemilik mie ayam yang saya kisahkan di awal tulisan ini, saya tidak akan berhenti berinovasi, berkreasi dan memperbaiki penampilan warung saya, rasa mie ayam saya serta mendahulukan kepuasan pelanggan. Jika masih gagal, saya akan tetap berusaha di hal lain, di tempat lain dengan etos serupa.
SEMANGAT!!!!
Business is not easy, however it is challenging. Berusaha memang tidak mudah, tetapi layak untuk diusahakan dengan seluruh daya upaya, kreatifitas, tenaga, air mata bahkan darah (lebay dotcom). Sementara persaingan adalah bumbunya.
Orang (termasuk saya) seringkali terpana melihat keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga bisnis. Dengan sedikit rasa iri saya memuji dan menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya orang itu dalam menjalani hidup. Rumah indah, mobil mewah, makanan enak, berwisata ke tempat-tempat jauh dan eksotis dan sebagainya. Namun orang seperti saya sering lupa, bahwa ia pun tidak serta merta mendapatkan semua itu. Tidak tahu kalau kekayaan dan keberhasilan itu merupakan warisan atau hasil undian.
Kemudian kekaguman saya seringkali bertambah setelah mendengar kisah sukses orang-orang itu diraih melalui perjuangan berat, berliku penuh onak dan berbatu. Kisah kegagaln yang terjadi berulang-ulang merupakan warna utama dari banyak kisah keberhasilan. Semuanya itu menegaskan bahwa berusaha merupakan nafas manusia itu sendiri jika ia ingin hidup.
Berhenti berusaha, berhenti mencoba, berhenti berkreasi dan menyerah adalah penutup episode seorang manusia. Yang hasilnya berupa kematian atau penyesalan seumur hidup.
Jika saya adalah pemilik mie ayam yang saya kisahkan di awal tulisan ini, saya tidak akan berhenti berinovasi, berkreasi dan memperbaiki penampilan warung saya, rasa mie ayam saya serta mendahulukan kepuasan pelanggan. Jika masih gagal, saya akan tetap berusaha di hal lain, di tempat lain dengan etos serupa.
SEMANGAT!!!!
Tuesday, December 22, 2009
Tahun Baru Tahun Berinvestasi
Ada pertanyaan penting, namun terdengar klise di setiap penghujung tahun, yaitu: Apa yang akan Anda buat di tahun depan? Klise, karena banyak orang menanyakan dan membicarakannya di sekitar bulan November dan Desember. Keluarga, teman, kekasih, bisa muncul dengan pertanyaan itu. Penting, karena itulah gambaran atau mungkin resolusi yang akan kita kerjakan di tahun depan.
Lalu bagaimana jawabannya? Saya bayangkan jawabannya bisa berlembar-lembar kertas folio atau bahkan berhari-hari bicara. Tergantung Anda ingin melakukan apa. Namun saya membayangkan ada hal spesifik yang bisa saya sarankan. Melihat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan, tantangan mendatang dan kecenderungan untuk selalu bergerak maju, maka saya mengusulkan INVESTASI sebagai rencana di tahun depan.
Investasi=uang? Ya dan tidak.
Ya, karena hampir semua kegiatan kita berhubungan dengan atau membutuhkan uang. Pakaian yang baik untuk bekerja atau bersosialisasi perlu dibeli. Kendaraan untuk memperlancar bisnis perlu uang untuk dibeli atau diservis. Itu semua investasi agar kegiatan kita terkelola dengan lebih baik. Ya, investasi butuh uang. Tentu saja uang untuk ditanamkan di pengembangan bisnis, pasar saham, pasar uang dsb. Itu pasti juga investasi.
Namun ada investasi yang tidak butuh uang, yaitu kesehatan. Seberarapun kemampuan finansial Anda, tak akan mampu berkembang atau dinikmati tanpa tubuh yang sehat. Penyakit adalah salah satu momok dalam kehidupan manusia. Ribuan tahun manusia memerangi penyakit, mencari obat, vaksin, dan penawar agar kehidupan lebih bermakna.
Faktanya, penyakit tak juga hilang, bahkan kalau dapat saya sebut berkembang baik jenis maupun kualitasnya. Sebut saja flu babi, TBC, dan AIDS. Belum termasuk penyakit yang timbul akibat pola hidup dan penuaan usia.
Investasi di bidang kesehatan sesungguhnya hampir tidak membutuhkan uang. Anda cukup menerapkan pola hidup yang seimbang. Bangun pagi-pagi, hiruplah udara segar, berolahraga, minum air putih (beli juga sih, tapi murah kan?), makan-makanan bergizi (boleh sederhana, tetapi gak perlu yang mahal), bekerja tanpa stress, dan tidur yang cukup (jangan begadang kata Rhoma Irama jika tidak penting banget). Apalagi kalau tidak pakai rokok dan alkohol. Hmmmm.
Investasi murah, tetapi menjadi landasan investasi lanjutan maupun beraktifitas di tahun baru.
Jika keduanya digabungkan, maka yang kita dapatkan adalah hidup senang, sehat dan panjang umur. Bagaimana?
Lalu bagaimana jawabannya? Saya bayangkan jawabannya bisa berlembar-lembar kertas folio atau bahkan berhari-hari bicara. Tergantung Anda ingin melakukan apa. Namun saya membayangkan ada hal spesifik yang bisa saya sarankan. Melihat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan, tantangan mendatang dan kecenderungan untuk selalu bergerak maju, maka saya mengusulkan INVESTASI sebagai rencana di tahun depan.
Investasi=uang? Ya dan tidak.
Ya, karena hampir semua kegiatan kita berhubungan dengan atau membutuhkan uang. Pakaian yang baik untuk bekerja atau bersosialisasi perlu dibeli. Kendaraan untuk memperlancar bisnis perlu uang untuk dibeli atau diservis. Itu semua investasi agar kegiatan kita terkelola dengan lebih baik. Ya, investasi butuh uang. Tentu saja uang untuk ditanamkan di pengembangan bisnis, pasar saham, pasar uang dsb. Itu pasti juga investasi.
Namun ada investasi yang tidak butuh uang, yaitu kesehatan. Seberarapun kemampuan finansial Anda, tak akan mampu berkembang atau dinikmati tanpa tubuh yang sehat. Penyakit adalah salah satu momok dalam kehidupan manusia. Ribuan tahun manusia memerangi penyakit, mencari obat, vaksin, dan penawar agar kehidupan lebih bermakna.
Faktanya, penyakit tak juga hilang, bahkan kalau dapat saya sebut berkembang baik jenis maupun kualitasnya. Sebut saja flu babi, TBC, dan AIDS. Belum termasuk penyakit yang timbul akibat pola hidup dan penuaan usia.
Investasi di bidang kesehatan sesungguhnya hampir tidak membutuhkan uang. Anda cukup menerapkan pola hidup yang seimbang. Bangun pagi-pagi, hiruplah udara segar, berolahraga, minum air putih (beli juga sih, tapi murah kan?), makan-makanan bergizi (boleh sederhana, tetapi gak perlu yang mahal), bekerja tanpa stress, dan tidur yang cukup (jangan begadang kata Rhoma Irama jika tidak penting banget). Apalagi kalau tidak pakai rokok dan alkohol. Hmmmm.
Investasi murah, tetapi menjadi landasan investasi lanjutan maupun beraktifitas di tahun baru.
Jika keduanya digabungkan, maka yang kita dapatkan adalah hidup senang, sehat dan panjang umur. Bagaimana?
Monday, November 16, 2009
Iklim
Hujan deras bertubi-tubi mengguyur Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu terakhir. Kawasan tempat kami tinggal di Barat Jakarta sedikitnya sudah tiga kali diterpa angin kencang dan hujan lebat. Sejumlah pohon dan papan reklame bertumbangan. Untung saja (mudah-mudahan betul-betul untung) belum ada laporan rumah yang roboh.
Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.
Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.
Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.
Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.
Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.
Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.
Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.
Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.
Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.
Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.
Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.
indi
Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.
Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.
Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.
Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.
Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.
Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.
Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.
Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.
Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.
Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.
Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.
indi
Subscribe to:
Posts (Atom)