Ada pertanyaan penting, namun terdengar klise di setiap penghujung tahun, yaitu: Apa yang akan Anda buat di tahun depan? Klise, karena banyak orang menanyakan dan membicarakannya di sekitar bulan November dan Desember. Keluarga, teman, kekasih, bisa muncul dengan pertanyaan itu. Penting, karena itulah gambaran atau mungkin resolusi yang akan kita kerjakan di tahun depan.
Lalu bagaimana jawabannya? Saya bayangkan jawabannya bisa berlembar-lembar kertas folio atau bahkan berhari-hari bicara. Tergantung Anda ingin melakukan apa. Namun saya membayangkan ada hal spesifik yang bisa saya sarankan. Melihat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan, tantangan mendatang dan kecenderungan untuk selalu bergerak maju, maka saya mengusulkan INVESTASI sebagai rencana di tahun depan.
Investasi=uang? Ya dan tidak.
Ya, karena hampir semua kegiatan kita berhubungan dengan atau membutuhkan uang. Pakaian yang baik untuk bekerja atau bersosialisasi perlu dibeli. Kendaraan untuk memperlancar bisnis perlu uang untuk dibeli atau diservis. Itu semua investasi agar kegiatan kita terkelola dengan lebih baik. Ya, investasi butuh uang. Tentu saja uang untuk ditanamkan di pengembangan bisnis, pasar saham, pasar uang dsb. Itu pasti juga investasi.
Namun ada investasi yang tidak butuh uang, yaitu kesehatan. Seberarapun kemampuan finansial Anda, tak akan mampu berkembang atau dinikmati tanpa tubuh yang sehat. Penyakit adalah salah satu momok dalam kehidupan manusia. Ribuan tahun manusia memerangi penyakit, mencari obat, vaksin, dan penawar agar kehidupan lebih bermakna.
Faktanya, penyakit tak juga hilang, bahkan kalau dapat saya sebut berkembang baik jenis maupun kualitasnya. Sebut saja flu babi, TBC, dan AIDS. Belum termasuk penyakit yang timbul akibat pola hidup dan penuaan usia.
Investasi di bidang kesehatan sesungguhnya hampir tidak membutuhkan uang. Anda cukup menerapkan pola hidup yang seimbang. Bangun pagi-pagi, hiruplah udara segar, berolahraga, minum air putih (beli juga sih, tapi murah kan?), makan-makanan bergizi (boleh sederhana, tetapi gak perlu yang mahal), bekerja tanpa stress, dan tidur yang cukup (jangan begadang kata Rhoma Irama jika tidak penting banget). Apalagi kalau tidak pakai rokok dan alkohol. Hmmmm.
Investasi murah, tetapi menjadi landasan investasi lanjutan maupun beraktifitas di tahun baru.
Jika keduanya digabungkan, maka yang kita dapatkan adalah hidup senang, sehat dan panjang umur. Bagaimana?
This blog contains my thoughts about everything. I like absorbing events, problems, situations and share them to everyone.
Tuesday, December 22, 2009
Monday, November 16, 2009
Iklim
Hujan deras bertubi-tubi mengguyur Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu terakhir. Kawasan tempat kami tinggal di Barat Jakarta sedikitnya sudah tiga kali diterpa angin kencang dan hujan lebat. Sejumlah pohon dan papan reklame bertumbangan. Untung saja (mudah-mudahan betul-betul untung) belum ada laporan rumah yang roboh.
Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.
Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.
Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.
Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.
Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.
Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.
Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.
Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.
Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.
Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.
Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.
indi
Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.
Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.
Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.
Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.
Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.
Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.
Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.
Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.
Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.
Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.
Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.
indi
Thursday, November 12, 2009
Sao Paulo
Matahari terik, tetapi suhu udara tak lebih dari 25 derajat Celcius. Mobil ber-CC kecil dan sedang bergerak teratur, dengan kecepatan sedang dalam rangkaian panjang. Di sebelah kiri jalan, dalam jalur yang tetap bis kota berjalan rapi. Tak ada asap hitam mengepul dari knalpot. Orang-orang bergerombol di halte, bukan di perempatan jalan. Tertib.
Itulah gambaran sekilas kondisi lalu lintas kota Sao Paulo, salah satu kota besar di Brasil, selain Rio de Janeiro dan Brasilia ibukota negara itu.
Berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, membuat kota itu berpotensi pada berbagai masalah sosial seperti Jakarta, terutama kemacetan. Tetapi empat hari di kota itu pada awal November, tidak membuat saya risau dengan transportasi. Bahkan pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, lalu lintas yang padat tidak membuat kota itu terisi kemacetan. Kendaraan yang saya tumpangi masih dapat berjalan di antrian. Tidak berhenti kecuali di lampu merah.
Kesimpulan saya mungkin terlalu cepat, karena hanya empat hari mengamati. Namun demikian, praktis saya tidak menemui hambatan bergerak di jalan-jalan di kota itu, walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung kota ke ujung lainnya.
Dari pengamatan singkat itu saya menyimpulkan juga beberapa hal yang membuat kemacetan menjadi barang langka.
Pertama: manajemen kota yang tidak meletakkan pusat perdagangan dan aktifitas massal lainnya di satu atau dua titik. Saya menemukan paling tidak ada 5 titik aktifitas utama berupa perkantoran, mal, pusat perdagangan dan hiburan yang tersebar di berbagai sudut kota. Dengan itu berarti warga Sao Paulo tidak perlu berbondong-bondong ke satu titik untuk beraktifitas. Bandingkan dengan Jl. Sudirman, dan Thamrin di Jkt atau Jalan Basuki Rahmat di Surabaya. Terbayang kan macetnya bila jam-jam sibuk?
Kedua: manajemen transportasi, yang mengandalkan angkutan massal berupa bis dan metro. Jalur bis dan metro yang tersedia ke berbagai penjuru kota memudahkan warga kota hilir mudik. Tanpa angkot dan metro mini yang bikin macet plus menyebarkan gas buangan dengan semena-mena.
Ketiga: sikap dan tingkah laku pengemudi. Rasanya saya harus belajar kesabaran dan disiplin pada kota Sao Paulo. Saya tidak pernah melihat satupun kendaraan yang saling serobot atau keluar jalur yang tersedia. Tidak ada jalan yang diciptakan hanya dua jalur, kemudian menjadi tiga jalur kendaraan saat jam-jam sibuk. Teratur orang bergerak pada jalurnya, walau kondisi padat sekalipun. Klakson pun jarang terdengar dari kendaraan yang meminta jalan. Kebetulan pula, sepeda motor, dapat dihitung dengan jari. Alhasil, semua pasti bergerak walau perlahan.
Kembali ke Jakarta, saya tetap mencintai negeri ini. Hanya saja, saya membayangkan kapankah waktunya ibukota ini ramah tidak hanya lingkungan tetapi juga pengguna jalan.
MRT atau mass rapid transport atau alat transportasi massal memang sudah didengang-dengungkan bertahun-tahun lalu oleh otoritas Jakarta. Tetapi baru bus trans-Jakarta yang berjalan. Itupun belum semua koridor terlayani. Kereta atau metro dalam kota pun baru tiang-tiangnya yang berdiri dan kini besinya berkarat termakan cuaca. Jumlah kendaraan terutama sepeda motor bertambah dengan cepat tidak sebanding dengan panjang dan jumlah jalan.
Hemmmm...
Andaikan kota ini seperti Sao Paulo, mungkin saja penduduknya akan lebih hebat bermain sepakbola dari tim Samba dan lebih cantik dan ganteng daripada pemain sinetron telenovela.
Andaikan....
indi
Itulah gambaran sekilas kondisi lalu lintas kota Sao Paulo, salah satu kota besar di Brasil, selain Rio de Janeiro dan Brasilia ibukota negara itu.
Berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, membuat kota itu berpotensi pada berbagai masalah sosial seperti Jakarta, terutama kemacetan. Tetapi empat hari di kota itu pada awal November, tidak membuat saya risau dengan transportasi. Bahkan pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, lalu lintas yang padat tidak membuat kota itu terisi kemacetan. Kendaraan yang saya tumpangi masih dapat berjalan di antrian. Tidak berhenti kecuali di lampu merah.
Kesimpulan saya mungkin terlalu cepat, karena hanya empat hari mengamati. Namun demikian, praktis saya tidak menemui hambatan bergerak di jalan-jalan di kota itu, walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung kota ke ujung lainnya.
Dari pengamatan singkat itu saya menyimpulkan juga beberapa hal yang membuat kemacetan menjadi barang langka.
Pertama: manajemen kota yang tidak meletakkan pusat perdagangan dan aktifitas massal lainnya di satu atau dua titik. Saya menemukan paling tidak ada 5 titik aktifitas utama berupa perkantoran, mal, pusat perdagangan dan hiburan yang tersebar di berbagai sudut kota. Dengan itu berarti warga Sao Paulo tidak perlu berbondong-bondong ke satu titik untuk beraktifitas. Bandingkan dengan Jl. Sudirman, dan Thamrin di Jkt atau Jalan Basuki Rahmat di Surabaya. Terbayang kan macetnya bila jam-jam sibuk?
Kedua: manajemen transportasi, yang mengandalkan angkutan massal berupa bis dan metro. Jalur bis dan metro yang tersedia ke berbagai penjuru kota memudahkan warga kota hilir mudik. Tanpa angkot dan metro mini yang bikin macet plus menyebarkan gas buangan dengan semena-mena.
Ketiga: sikap dan tingkah laku pengemudi. Rasanya saya harus belajar kesabaran dan disiplin pada kota Sao Paulo. Saya tidak pernah melihat satupun kendaraan yang saling serobot atau keluar jalur yang tersedia. Tidak ada jalan yang diciptakan hanya dua jalur, kemudian menjadi tiga jalur kendaraan saat jam-jam sibuk. Teratur orang bergerak pada jalurnya, walau kondisi padat sekalipun. Klakson pun jarang terdengar dari kendaraan yang meminta jalan. Kebetulan pula, sepeda motor, dapat dihitung dengan jari. Alhasil, semua pasti bergerak walau perlahan.
Kembali ke Jakarta, saya tetap mencintai negeri ini. Hanya saja, saya membayangkan kapankah waktunya ibukota ini ramah tidak hanya lingkungan tetapi juga pengguna jalan.
MRT atau mass rapid transport atau alat transportasi massal memang sudah didengang-dengungkan bertahun-tahun lalu oleh otoritas Jakarta. Tetapi baru bus trans-Jakarta yang berjalan. Itupun belum semua koridor terlayani. Kereta atau metro dalam kota pun baru tiang-tiangnya yang berdiri dan kini besinya berkarat termakan cuaca. Jumlah kendaraan terutama sepeda motor bertambah dengan cepat tidak sebanding dengan panjang dan jumlah jalan.
Hemmmm...
Andaikan kota ini seperti Sao Paulo, mungkin saja penduduknya akan lebih hebat bermain sepakbola dari tim Samba dan lebih cantik dan ganteng daripada pemain sinetron telenovela.
Andaikan....
indi
Tuesday, September 29, 2009
Menghargai Hidup
Kisah ini sebenarnya terjadi sebelum Lebaran lalu, tetapi rasanya baru kemarin saya alami dan ingin saya bagikan pada semua orang. Pengalaman ini semoga membuat saya lebih bijaksana dan menghargai betapa berharganya hidup itu.
Di suatu Rabu malam, sepulang siaran Debat saya mengalami kejadian ini. Bermobil di jalan yang hampir lengang di Jakarta, saat sebagian besar umat Muslim bertarawih, adalah saat yang menyenangkan bagi penggemar kecepatan. Hampir sepanjang jalan dari kawasan Cawang, Jaktim hingga Tangerang, saya bisa menekan gas mobil 1500 cc hingga speedometer berkisar di angka 140 km/jam.
Saya membayangkan angka itu bisa lebih besar lagi bila yang saya kendarai adalah mobil bertenaga besar. Apalagi udara malam terasa sangat segar menyeruak dari jendela mobil yang saya buka separuh. Mata yang lelah seharian diajak melek dan membaca ikut berkonsentrasi menyerap informasi di jalanan yang berganti dengan cepat.
Dalam waktu kurang dari 30 menit, saya hampir tiba di kawasan BSD (biasanya saya tempuh hampir 1 jam). Keluar dari jalan tol Pondok Aren-BSD, saya tidak juga mengurangi kecepatan. Bahkan saat ada sebuah sepeda motor "memberi perlawanan" saya salip dengan gagah perkasa.
Namun, saya tak menyadari bahaya yang menunggu di muka.
Jalan itu sepi, menikung, dan agak gelap. Di kiri-kanannya terdapat beberapa warung makan yang sudah tutup, karena hari telah malam. Hanya sebuah restoran Padang yang buka 24 jam, yang masih beroperasi. Itu pun dengan penerangan yang tidak cukup untuk menerangi seluruh kawasan.
Situasi ini membuat saya tetap menekan pedal gas dalam-dalam, walau rumah hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Apalagi perasaan hangat masih terasa, saat meninggalkan sang motor yang tidak juga mau mengalah.
Apa lacur, dengan kecepatan sekitar 100 km per jam, saya harus menghadapi sebuah sepeda motor, yang memotong jalan. Dalam hitungan detik, saya melihat ada tiga orang di atas motor tersebut. Tanpa lampu, dan tanpa helm, melintas pelan mengabaikan kondisi jalan.
Saya sadar konsekuensinya bila saya tidak segera mengambil keputusan drastis. Nyawa adalah taruhannya.
Lampu besar saya mainkan. Tidak ada perubahan laju motor tersebut. Klakson saya tekan keras-keras menandai sebuah kendaraan berlalu dengan cepat memohon jalan. Tak ada reaksi. Refleks, saya membuang kemudi ke kanan menghindari benturan.
Berhasil!
Ah, tidak!
Rasanya putaran kemudi saya begitu ekstrim untuk menghindari tabrakan, tetapi laju mobil yang kencang membuat bagian belakang masih memiliki momentum dan...brak!
Benturan. Gesekan. Suara keras. Sambil berusaha menguasai olengnya mobil, saya berpikir. Mati! Ketiga orang itu mati!
Ketika mobil stabil, saya segera menepikan mobil. Orang-orang berdatangan, karena mereka pasti mendengar suara klakson, decitan rem dan ban, serta suara benturan.
Entah kenapa, saya merasa tenang. Tidak gugup, tetapi juga tidak khawatir, walaupun saya merasa pasti ada korban akibat tabrakan tadi. Di sana-sini saya mendengar teriakan orang menghujat saya dan mobil yang telah menyebabkan kecelakaan. Puluhan orang mengelilingi mobil dan pengemudi sepeda motor. Tanpa mengetahui permasalahannya, saya mendengar teriakan meminta pertanggungjawaban atas tabrakan itu. Beruntunglah ada sejumlah orang yang mengenal saya dan menjamin keselamatan saya.
Perlahan saya mendekati kerumunan orang yang mengelilingi sepeda motor dan ketiga orang tadi. Saya bersiap melihat orang berlumuran darah, luka parah bahkan meninggal.
Ya, Tuhan! Tidak ada yang terluka, bahkan segores pun tidak. Ketiga orang yang baru saja keluar dari masjid bertarawih itu sehat wal afiat. Selain ban motor yang hampir tak berbentuk, praktis tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.
Kejadian itu mengajar satu hal pada saya. Berkendaralah dengan baik. Tidak hanya bermobil, tetapi juga bersepeda motor. Pada kasus saya pribadi, mengemudi dengan kecepatan tinggi meningkatkan kemungkinan kecelakaan. Seberapapun hebatnya Anda di belakang setir, tetap tidak dapat mengontrol sepenuhnya kendaraan yang melaju di jalan raya bukan lintasan balap. Setiap orang memang berhak memperlakukan kendaraannya sesuka hati, namun ketika kita menggunakan fasilitas publik, kita harus menghormati pengguna lain dan mematuhi peraturan. Dengan itu, kita menghargai nyawa yang Tuhan telah titipkan.
Oh ya, persoalan tabrakan sudah kami selesaikan baik-baik. Selain mengganti kerusakan di motor itu (pemiliknya adalah penjaga rel kereta di Serpong, Tangerang), kami saling meminta maaf dan memaafkan.
Terima kasih Tuhan, atas hidup yang Kau berikan.
indi
Di suatu Rabu malam, sepulang siaran Debat saya mengalami kejadian ini. Bermobil di jalan yang hampir lengang di Jakarta, saat sebagian besar umat Muslim bertarawih, adalah saat yang menyenangkan bagi penggemar kecepatan. Hampir sepanjang jalan dari kawasan Cawang, Jaktim hingga Tangerang, saya bisa menekan gas mobil 1500 cc hingga speedometer berkisar di angka 140 km/jam.
Saya membayangkan angka itu bisa lebih besar lagi bila yang saya kendarai adalah mobil bertenaga besar. Apalagi udara malam terasa sangat segar menyeruak dari jendela mobil yang saya buka separuh. Mata yang lelah seharian diajak melek dan membaca ikut berkonsentrasi menyerap informasi di jalanan yang berganti dengan cepat.
Dalam waktu kurang dari 30 menit, saya hampir tiba di kawasan BSD (biasanya saya tempuh hampir 1 jam). Keluar dari jalan tol Pondok Aren-BSD, saya tidak juga mengurangi kecepatan. Bahkan saat ada sebuah sepeda motor "memberi perlawanan" saya salip dengan gagah perkasa.
Namun, saya tak menyadari bahaya yang menunggu di muka.
Jalan itu sepi, menikung, dan agak gelap. Di kiri-kanannya terdapat beberapa warung makan yang sudah tutup, karena hari telah malam. Hanya sebuah restoran Padang yang buka 24 jam, yang masih beroperasi. Itu pun dengan penerangan yang tidak cukup untuk menerangi seluruh kawasan.
Situasi ini membuat saya tetap menekan pedal gas dalam-dalam, walau rumah hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Apalagi perasaan hangat masih terasa, saat meninggalkan sang motor yang tidak juga mau mengalah.
Apa lacur, dengan kecepatan sekitar 100 km per jam, saya harus menghadapi sebuah sepeda motor, yang memotong jalan. Dalam hitungan detik, saya melihat ada tiga orang di atas motor tersebut. Tanpa lampu, dan tanpa helm, melintas pelan mengabaikan kondisi jalan.
Saya sadar konsekuensinya bila saya tidak segera mengambil keputusan drastis. Nyawa adalah taruhannya.
Lampu besar saya mainkan. Tidak ada perubahan laju motor tersebut. Klakson saya tekan keras-keras menandai sebuah kendaraan berlalu dengan cepat memohon jalan. Tak ada reaksi. Refleks, saya membuang kemudi ke kanan menghindari benturan.
Berhasil!
Ah, tidak!
Rasanya putaran kemudi saya begitu ekstrim untuk menghindari tabrakan, tetapi laju mobil yang kencang membuat bagian belakang masih memiliki momentum dan...brak!
Benturan. Gesekan. Suara keras. Sambil berusaha menguasai olengnya mobil, saya berpikir. Mati! Ketiga orang itu mati!
Ketika mobil stabil, saya segera menepikan mobil. Orang-orang berdatangan, karena mereka pasti mendengar suara klakson, decitan rem dan ban, serta suara benturan.
Entah kenapa, saya merasa tenang. Tidak gugup, tetapi juga tidak khawatir, walaupun saya merasa pasti ada korban akibat tabrakan tadi. Di sana-sini saya mendengar teriakan orang menghujat saya dan mobil yang telah menyebabkan kecelakaan. Puluhan orang mengelilingi mobil dan pengemudi sepeda motor. Tanpa mengetahui permasalahannya, saya mendengar teriakan meminta pertanggungjawaban atas tabrakan itu. Beruntunglah ada sejumlah orang yang mengenal saya dan menjamin keselamatan saya.
Perlahan saya mendekati kerumunan orang yang mengelilingi sepeda motor dan ketiga orang tadi. Saya bersiap melihat orang berlumuran darah, luka parah bahkan meninggal.
Ya, Tuhan! Tidak ada yang terluka, bahkan segores pun tidak. Ketiga orang yang baru saja keluar dari masjid bertarawih itu sehat wal afiat. Selain ban motor yang hampir tak berbentuk, praktis tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.
Kejadian itu mengajar satu hal pada saya. Berkendaralah dengan baik. Tidak hanya bermobil, tetapi juga bersepeda motor. Pada kasus saya pribadi, mengemudi dengan kecepatan tinggi meningkatkan kemungkinan kecelakaan. Seberapapun hebatnya Anda di belakang setir, tetap tidak dapat mengontrol sepenuhnya kendaraan yang melaju di jalan raya bukan lintasan balap. Setiap orang memang berhak memperlakukan kendaraannya sesuka hati, namun ketika kita menggunakan fasilitas publik, kita harus menghormati pengguna lain dan mematuhi peraturan. Dengan itu, kita menghargai nyawa yang Tuhan telah titipkan.
Oh ya, persoalan tabrakan sudah kami selesaikan baik-baik. Selain mengganti kerusakan di motor itu (pemiliknya adalah penjaga rel kereta di Serpong, Tangerang), kami saling meminta maaf dan memaafkan.
Terima kasih Tuhan, atas hidup yang Kau berikan.
indi
Friday, September 25, 2009
Monas
Harapan untuk mengunjungi salah satu bangunan ciri khas Indonesia, yaitu Monumen Nasional akhirnya kesampaian. Seumur-umur saya belum pernah ke monumen hebat itu, walau sudah sering melewati, melihat dan mengedit beritanya. Hanya saja kunjungan itu menyisakan duka di batin, karena menyaksikan kondisi di lingkungan Monas yang sulit untuk dijadikan kebanggaan karena berbagai kekurangannya.
Atas desakan para jagoan(baca: isteri dan anak-anak) saya, akhirnya ada waktu untuk berkeliling Jakarta beberapa hari lalu. Mumpung ibukota masih lengang karena ditinggal mudik jutaan penduduknya.
Berangkat pagi-pagi dari gubuk kami di BSD (sekitar 20 km di selatan Jakarta), praktis tidak ada halangan selama di perjalanan. Lengang, udara segar dan sedikit berkabut. Itulah gambaran jalan tol BSD-Bintaro dan jalan di Kebayoran Lama. Hanya 30 menit, yang kami butuhkan untuk sampai di Bundaran HI dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya lalu lintas Jakarta saat itu.
Setelah sempat menggoda rekan-rekan yang siaran Apa Kabar Indonesia di Bundaran HI, kami melaju ke Monas. Inilah tujuan utama libur hari itu. Betapa tidak. Hampir semua teman saya dan teman anak-anak saya sudah mencicipi kunjungan ke monumen yang didirikan atas perintah Presiden Soekarno tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian.
Cuaca belum lagi panas, ketika mobil kami parkir di pelataran parkir resmi Monas di IRTI (berhadapan dengan Balai Kota). Calon pengunjung relatif bisa dihitung dengan jari, yang bergerak menuju monumen berkepala emas itu. Tak banyak mobil yang parkir dan hanya sebuah bus pariwisata di sana.
Menyusuri pelataran udara menyapa segar, dengan matahari mengintip di balik rerimbunan daun di taman. Mestinya saya puas dengan kondisi ini, tetapi apa daya mata ini tertumbuk pada sampah yang berserakan.
Sebuah tempat sampah terguling dan isinya berupa sisa-sisa makanan menyebar. Bungkus mie siap saji teronggok bersama puntung rokok dan plastik minuman. Tidak ada petugas kebersihan saat itu. Saya berpikir sampah belum dibersihkan karena saat itu belum jam kerja.
Kian dekat ke bangunan luar biasa itu, cuaca kian cerah (baca: panas). Pepohonan hanya tersedia di taman, yang berjarak 100 meter lebih dari tugu raksasa itu. Di sana hanya ada beberapa tanaman yang kami gunakan untuk berteduh sementara. Taman di pelataran Monas sebenarnya indah, tetapi yang ada hanyalah rerumputan yang menguning dan tanaman hias yang meranggas. Ada memang banyak bunga bangkai (Raflesia Arnoldii), tetapi itu terbuat dari semen.
Menunggu hampir 20 menit, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Bersama beberapa keluarga lain kami di pintu Selatan tak tahu harus menunggu berapa lama, karena penjaga parkir menyebutkan Monas dibuka pukul 8.30 WIB. Saat itu jam tangan sudah 8.20 WIB. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tidak ada tanda-tanda bagian informasi atau petunjuk arah.
Di tengah kebingungan dan keheranan karena tidak adanya bantuan, seorang penjual air minum yang kebetulan pernah melihat wajah saya sebelumnya, menunjukkan pintu masuk. Tempatnya di seberang, katanya. Jadi kami harus berjalan memutari Monas ke pintu utara dan masuk dari terowongan. Atau bisa menunggu mobil gandeng.
Wah, informasi terakhir membuat saya bingung (jawabannya saya dapatkan setelah meninggalkan Monas beberapa jam sesudahnya). Sebagai kepala rombongan, saya putuskan kami berjalan.
Wuihhh!!! Masih pukul 8.30 tetapi matahari mamancar dengan kekuatan penuh. Mateng neh muka. Tidak ada awan, peneduh, pepohonan atau apapun yang dapat dijadikan perlindungan dari kehangatan sang raja siang. Kami berjalan mengelilingi sisi Barat sekitar 500 meter. Lumayan.
Sesampai pintu utara, rasanya tidak ada lagi petunjuk. Di atas tangga Monas tampak sejumlah pekerja mengepel, tetapi terlalu jauh untuk ditanya bagaimana kami bisa masuk. Tidak hanya rombongan BSD ini, tetapi ada pula kelompok lain yang terpaku di pinggir pagar. Sekali lagi tak ada petugas di sana.
Cuaca kian panas. Tidak ada penghalang sinarnya ke bumi. Kelompok orang mulai menyemut ke obyek wisata di jantung kota Jakarta.
Ah di sana! ada papan kecil yang berjumlah dua buah kalau saya tidak salah. Ukurannya kenapa sih tidak dibikin besar? Apa ruginya kalau bisa 1 m X 1,5m? Rasanya tidak akan mengganggu keindahan taman raksasa ini.
Memasuki lorong menuju Monas. Saya melihat sudah banyak orang di sana. Anak-anak dan kaum perempuan mendominasi. Saya yakin tidak ada yang berpakaian perlente atau wangi. Panas dan pengap membuat bau keringat menguar memenuhi terowongan yang kurang cukup dingin, walau sudah terdengar deru pendingin ruangan di atas.
Antrean tiket masuk sudah mengular. Dari 4 loket yang tersedia, hanya dua yang buka. Dalam hati saya mencari alasan mengapa dua loket lain tidak digunakan: masih banyak petugas yang cuti, toh masih suasana Lebaran. Beberapa kali saya mendengar petugas menolak uang dengan pecahan besar Rp. 100.000 dan Rp. 50.000. Mereka beralasan belum ada kembalian. Ckckck. Tak ada persiapan ya? Akibat penolakan itu antrean tersendat, karena calon pengunjung mencari pecahan lebih kecil tetapi tidak mau meninggalkan antrean. Huaaahhhh!!! Beruntung uang pecahan Rp. 50.000 saya tidak ditolak, mungkin karena petugas mengenal wajah saya (hehehe ada untungnya juga).
Kondisi lebih nyaman saat kami masuk ruang diorama, karena lega dan udara yang dingin. Berbeda dengan suhu di luar.
Puas berkeliling di ruang sejara itu, dan mengenalkan sejarah kepada para punggawa, saya mengajak mereka ke puncak. Nah, ini perjuangan yang lain.
Mengantre tiket dan mengantre lift naik adalah dua hal berbeda, tetapi sama-sama melelahkan. Dari dua loket penjual tiket lift, hanya satu yang beroperasi. Antrean kembali mengular. Demikian juga antrean ke lift. Lebih panjang lagi. 25 menit untuk mendapat tiket. 1 jam untuk sampai ke lift. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Saya pandang barisan di belakang, wah, ternyata terus memanjang.
Memasuki lift adalah sebuah kenyamanan yang lain. Bisa dibilang itu adalah langkah terakhir sebelum menikmati Jakarta dari puncak tertinggi di Jakarta.
Puas melihat-lihat, termasuk menggunakan teropong berharga Rp. 2000 per 90 detik, kami turun kembali. Tidak terlalu lama menunggu lift yang sama yang akan membawa kami ke bawah. Sekeluarnya dari cawan Monas, saya menyaksikan antrean itu bahkan kian panjang. Kalau sebelumnya hanya sekitar 25 meter, maka kini lebih panjang lagi. Bisa 100 meter (dua baris). Berapa jam antrean paling belakang dapat sampai ke puncak. Saat itu waktu baru menunjukkan pk. 11.00 WIB. Waktu buka Monas tinggal 4 jam lagi.
Dimulai kembali perjalanan yang sama. Melewati terowongan yang masih belum cukup dingin di tengah aliran manusia. Di sana-sini saya melihat penjual cindera mata miniatur Monas dari bambu dengan harga antara Rp. 5000 sampai Rp. 25.000 per buah. Namun saya tidak tertarik untuk membeli.
Panas yang kian menyengat kembali menyapa sekeluarnya kami dari terowongan. Antrean lain tampak di sana. Antrean apa? Ooooh itu dia. Dua buah mobil gandeng beriringan menepi. Dibatasi rantai-rantai, ada tiga lajur antrean yang memudahkan pengunjung naik ke mobil. Di atas mobil, kami menunjukkan karcis naik ke puncak yang berwarna hijau untuk dewasa dan putih untuk anak-anak. Dan kami pun meluncur ke tempat masuk, di tempat kami parkir mobil.
Berpandang-pandangan dengan isteri, tanpa suara kami bersepakat untuk tidak akan lagi ke Monas. Cukup sudah petualangan hari itu. Panas, lelah, berkeringat, bau, tanpa tambahan informasi yang berarti membuat Monas tidak cukup untuk menarik kami kembali di lain waktu.
Entah jika pemerintah DKI atau pusat memperbaiki fasilitas monumen kebangsaan negara, yang ada di depan hidung Istana Negara dan Balai Kota di tahun-tahun mendatang, hal itu bisa saja kami pertimbangkan lagi. Tapi jika tidak, maaf deh, TIDAK.
indi
Atas desakan para jagoan(baca: isteri dan anak-anak) saya, akhirnya ada waktu untuk berkeliling Jakarta beberapa hari lalu. Mumpung ibukota masih lengang karena ditinggal mudik jutaan penduduknya.
Berangkat pagi-pagi dari gubuk kami di BSD (sekitar 20 km di selatan Jakarta), praktis tidak ada halangan selama di perjalanan. Lengang, udara segar dan sedikit berkabut. Itulah gambaran jalan tol BSD-Bintaro dan jalan di Kebayoran Lama. Hanya 30 menit, yang kami butuhkan untuk sampai di Bundaran HI dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya lalu lintas Jakarta saat itu.
Setelah sempat menggoda rekan-rekan yang siaran Apa Kabar Indonesia di Bundaran HI, kami melaju ke Monas. Inilah tujuan utama libur hari itu. Betapa tidak. Hampir semua teman saya dan teman anak-anak saya sudah mencicipi kunjungan ke monumen yang didirikan atas perintah Presiden Soekarno tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian.
Cuaca belum lagi panas, ketika mobil kami parkir di pelataran parkir resmi Monas di IRTI (berhadapan dengan Balai Kota). Calon pengunjung relatif bisa dihitung dengan jari, yang bergerak menuju monumen berkepala emas itu. Tak banyak mobil yang parkir dan hanya sebuah bus pariwisata di sana.
Menyusuri pelataran udara menyapa segar, dengan matahari mengintip di balik rerimbunan daun di taman. Mestinya saya puas dengan kondisi ini, tetapi apa daya mata ini tertumbuk pada sampah yang berserakan.
Sebuah tempat sampah terguling dan isinya berupa sisa-sisa makanan menyebar. Bungkus mie siap saji teronggok bersama puntung rokok dan plastik minuman. Tidak ada petugas kebersihan saat itu. Saya berpikir sampah belum dibersihkan karena saat itu belum jam kerja.
Kian dekat ke bangunan luar biasa itu, cuaca kian cerah (baca: panas). Pepohonan hanya tersedia di taman, yang berjarak 100 meter lebih dari tugu raksasa itu. Di sana hanya ada beberapa tanaman yang kami gunakan untuk berteduh sementara. Taman di pelataran Monas sebenarnya indah, tetapi yang ada hanyalah rerumputan yang menguning dan tanaman hias yang meranggas. Ada memang banyak bunga bangkai (Raflesia Arnoldii), tetapi itu terbuat dari semen.
Menunggu hampir 20 menit, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Bersama beberapa keluarga lain kami di pintu Selatan tak tahu harus menunggu berapa lama, karena penjaga parkir menyebutkan Monas dibuka pukul 8.30 WIB. Saat itu jam tangan sudah 8.20 WIB. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tidak ada tanda-tanda bagian informasi atau petunjuk arah.
Di tengah kebingungan dan keheranan karena tidak adanya bantuan, seorang penjual air minum yang kebetulan pernah melihat wajah saya sebelumnya, menunjukkan pintu masuk. Tempatnya di seberang, katanya. Jadi kami harus berjalan memutari Monas ke pintu utara dan masuk dari terowongan. Atau bisa menunggu mobil gandeng.
Wah, informasi terakhir membuat saya bingung (jawabannya saya dapatkan setelah meninggalkan Monas beberapa jam sesudahnya). Sebagai kepala rombongan, saya putuskan kami berjalan.
Wuihhh!!! Masih pukul 8.30 tetapi matahari mamancar dengan kekuatan penuh. Mateng neh muka. Tidak ada awan, peneduh, pepohonan atau apapun yang dapat dijadikan perlindungan dari kehangatan sang raja siang. Kami berjalan mengelilingi sisi Barat sekitar 500 meter. Lumayan.
Sesampai pintu utara, rasanya tidak ada lagi petunjuk. Di atas tangga Monas tampak sejumlah pekerja mengepel, tetapi terlalu jauh untuk ditanya bagaimana kami bisa masuk. Tidak hanya rombongan BSD ini, tetapi ada pula kelompok lain yang terpaku di pinggir pagar. Sekali lagi tak ada petugas di sana.
Cuaca kian panas. Tidak ada penghalang sinarnya ke bumi. Kelompok orang mulai menyemut ke obyek wisata di jantung kota Jakarta.
Ah di sana! ada papan kecil yang berjumlah dua buah kalau saya tidak salah. Ukurannya kenapa sih tidak dibikin besar? Apa ruginya kalau bisa 1 m X 1,5m? Rasanya tidak akan mengganggu keindahan taman raksasa ini.
Memasuki lorong menuju Monas. Saya melihat sudah banyak orang di sana. Anak-anak dan kaum perempuan mendominasi. Saya yakin tidak ada yang berpakaian perlente atau wangi. Panas dan pengap membuat bau keringat menguar memenuhi terowongan yang kurang cukup dingin, walau sudah terdengar deru pendingin ruangan di atas.
Antrean tiket masuk sudah mengular. Dari 4 loket yang tersedia, hanya dua yang buka. Dalam hati saya mencari alasan mengapa dua loket lain tidak digunakan: masih banyak petugas yang cuti, toh masih suasana Lebaran. Beberapa kali saya mendengar petugas menolak uang dengan pecahan besar Rp. 100.000 dan Rp. 50.000. Mereka beralasan belum ada kembalian. Ckckck. Tak ada persiapan ya? Akibat penolakan itu antrean tersendat, karena calon pengunjung mencari pecahan lebih kecil tetapi tidak mau meninggalkan antrean. Huaaahhhh!!! Beruntung uang pecahan Rp. 50.000 saya tidak ditolak, mungkin karena petugas mengenal wajah saya (hehehe ada untungnya juga).
Kondisi lebih nyaman saat kami masuk ruang diorama, karena lega dan udara yang dingin. Berbeda dengan suhu di luar.
Puas berkeliling di ruang sejara itu, dan mengenalkan sejarah kepada para punggawa, saya mengajak mereka ke puncak. Nah, ini perjuangan yang lain.
Mengantre tiket dan mengantre lift naik adalah dua hal berbeda, tetapi sama-sama melelahkan. Dari dua loket penjual tiket lift, hanya satu yang beroperasi. Antrean kembali mengular. Demikian juga antrean ke lift. Lebih panjang lagi. 25 menit untuk mendapat tiket. 1 jam untuk sampai ke lift. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Saya pandang barisan di belakang, wah, ternyata terus memanjang.
Memasuki lift adalah sebuah kenyamanan yang lain. Bisa dibilang itu adalah langkah terakhir sebelum menikmati Jakarta dari puncak tertinggi di Jakarta.
Puas melihat-lihat, termasuk menggunakan teropong berharga Rp. 2000 per 90 detik, kami turun kembali. Tidak terlalu lama menunggu lift yang sama yang akan membawa kami ke bawah. Sekeluarnya dari cawan Monas, saya menyaksikan antrean itu bahkan kian panjang. Kalau sebelumnya hanya sekitar 25 meter, maka kini lebih panjang lagi. Bisa 100 meter (dua baris). Berapa jam antrean paling belakang dapat sampai ke puncak. Saat itu waktu baru menunjukkan pk. 11.00 WIB. Waktu buka Monas tinggal 4 jam lagi.
Dimulai kembali perjalanan yang sama. Melewati terowongan yang masih belum cukup dingin di tengah aliran manusia. Di sana-sini saya melihat penjual cindera mata miniatur Monas dari bambu dengan harga antara Rp. 5000 sampai Rp. 25.000 per buah. Namun saya tidak tertarik untuk membeli.
Panas yang kian menyengat kembali menyapa sekeluarnya kami dari terowongan. Antrean lain tampak di sana. Antrean apa? Ooooh itu dia. Dua buah mobil gandeng beriringan menepi. Dibatasi rantai-rantai, ada tiga lajur antrean yang memudahkan pengunjung naik ke mobil. Di atas mobil, kami menunjukkan karcis naik ke puncak yang berwarna hijau untuk dewasa dan putih untuk anak-anak. Dan kami pun meluncur ke tempat masuk, di tempat kami parkir mobil.
Berpandang-pandangan dengan isteri, tanpa suara kami bersepakat untuk tidak akan lagi ke Monas. Cukup sudah petualangan hari itu. Panas, lelah, berkeringat, bau, tanpa tambahan informasi yang berarti membuat Monas tidak cukup untuk menarik kami kembali di lain waktu.
Entah jika pemerintah DKI atau pusat memperbaiki fasilitas monumen kebangsaan negara, yang ada di depan hidung Istana Negara dan Balai Kota di tahun-tahun mendatang, hal itu bisa saja kami pertimbangkan lagi. Tapi jika tidak, maaf deh, TIDAK.
indi
Maaf Lahir Batin
Ijinkan saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.
Tuesday, July 21, 2009
Tragedi
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Dua baris lirik lagi Panggung Sandiwara-nya God Bless mengisi batok kepala saya berulangkali, saat saya melihat peristiwa-peristiwa besar dalam sebulan terakhir. Tidak tahu kenapa justru lagu itu yang terngiang bukan lagu Ebiet G Ade atau Mbah Surip.
Sejak kampanye pemilihan presiden diikuti dengan pencontrengan dan perhitungan suara, saya menangkap nuansa yang berwarna-warni dari aktifitas politik saat itu. Belum selesai haru biru protes tim sukses capres 1 dan 3, bom mengguncang Jakarta. Korban tewas dan luka terserak tak berdaya dengan wajah-wajah panik mereka yang selamat menghiasi layar kaca dan koran-koran. Terakhir saya melihat sendiri beberapa korban bom Marriott dan Kedubes Australia 6 dan lima tahun lalu. Terselip di antaranya kisah si Tegar dari Caruban Madiun. Bocah 4 tahun itu kakinya putus terlindas kereta api ulah bapak tirinya. Sang bapak tiri, yang tidak puas atas penolakan isterinya (ibu Tegar) untuk bersetubuh membawa Tegar ke rel kereta api dan hingga kereta mnghancurkan kaki kanan Tegar. Trenyuh hati ini menyaksikan tubuh-tubuh yang cacat, termasuk ketakutan yang tak juga pupus akibat trauma saat itu.
Rasanya bumi kita tercinta ini seperti panggung sandiwara yang nyata. Cerita itu mudah berubah untuk setiap aktor dan aktrisnya di skala mikro dan terlebih di skala makro yang mengubah nasib banyak orang. Satu demi satu peristiwa bermunculan menjadi perhatian publik internasional berubah secara cepat dan drastis dalam hitungan hari, sehingga menafikan arti kisah sebelumnya. Media segera mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak karena adanya persitiwa baru yang lebih dramatis.
Sebagai produser (yang kadang-kadang mengarahkan aktor di panggung siaran tv) saya merasa puas dengan sandiwara (baca: peristiwa) yang tengah berlangsung. Seru, dramatis, penuh emosi, masif dan penuh kejutan. Bahkan kalau bicara komersial, saya ingin hal seperti ini terjadi setiap hari, karena rating berita akan tinggi.
Namun apa daya saya masih orang biasa yang cenderung sentimentil bila lihat penderitaan orang. Para korban bom, keluarga mereka dan mereka yang membawa cacat seumur hidup akibat bom bertahun-tahun lalu menimbulkan pertanyaan besar untuk sang sutradara panggung sandiwara besar bernama hidup di bumi ini.
Apa tujuan ia menciptakan kisah yang penuh tragedi bagi sekelompok orang bahkan kelompok yang besar bernama negara? Mengapa ia membuat peran dengan aktor-aktris yang berada di kutub berbeda dalam hal ideologi, nasib dan tindakan? Berapa lama kisah ini akan dimainkan? Bagaimana akhir dari kisah ini?
Bersyukurlah orang yang beriman, yang tetap tabah menahan cobaan tanpa harus kritis terhadap pembuat kisah. Hanya saja tidak semua orang mampu menanggung efek kejadian itu. Tidak sedikit yang patah dan kehilangan semangat menghadapi kisah yang dramatis dan tragis tersebut. Apa yang harus mereka perbuat.
Saya terus terang tidak tahu harus berbicara apa terhadap para aktor-aktris tersebut. Saat saya bertemu dengan korban Marriott 6 tahun lalu, yang tubuhnya penuh luka parut akibat luka bakar mayor, lidah ini terlipat dan mulut terkunci. Tapi mudah-mudahan mereka bisa membaca keprihatinan saya atas penderitaan mereka.
Sebagai aktor lain di panggung sandiwara di bumi ini, saya memang tidak terlibat langsung dengan kisah bom Jakarta. Namun saya sadar kisah tragis itu bisa saja terjadi pada saya dan keluarga, pada Anda dan keluarga dalam bentuk lain, setiap saat, di mana saja.
Be prepared!
indi
Ceritanya mudah berubah
Dua baris lirik lagi Panggung Sandiwara-nya God Bless mengisi batok kepala saya berulangkali, saat saya melihat peristiwa-peristiwa besar dalam sebulan terakhir. Tidak tahu kenapa justru lagu itu yang terngiang bukan lagu Ebiet G Ade atau Mbah Surip.
Sejak kampanye pemilihan presiden diikuti dengan pencontrengan dan perhitungan suara, saya menangkap nuansa yang berwarna-warni dari aktifitas politik saat itu. Belum selesai haru biru protes tim sukses capres 1 dan 3, bom mengguncang Jakarta. Korban tewas dan luka terserak tak berdaya dengan wajah-wajah panik mereka yang selamat menghiasi layar kaca dan koran-koran. Terakhir saya melihat sendiri beberapa korban bom Marriott dan Kedubes Australia 6 dan lima tahun lalu. Terselip di antaranya kisah si Tegar dari Caruban Madiun. Bocah 4 tahun itu kakinya putus terlindas kereta api ulah bapak tirinya. Sang bapak tiri, yang tidak puas atas penolakan isterinya (ibu Tegar) untuk bersetubuh membawa Tegar ke rel kereta api dan hingga kereta mnghancurkan kaki kanan Tegar. Trenyuh hati ini menyaksikan tubuh-tubuh yang cacat, termasuk ketakutan yang tak juga pupus akibat trauma saat itu.
Rasanya bumi kita tercinta ini seperti panggung sandiwara yang nyata. Cerita itu mudah berubah untuk setiap aktor dan aktrisnya di skala mikro dan terlebih di skala makro yang mengubah nasib banyak orang. Satu demi satu peristiwa bermunculan menjadi perhatian publik internasional berubah secara cepat dan drastis dalam hitungan hari, sehingga menafikan arti kisah sebelumnya. Media segera mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak karena adanya persitiwa baru yang lebih dramatis.
Sebagai produser (yang kadang-kadang mengarahkan aktor di panggung siaran tv) saya merasa puas dengan sandiwara (baca: peristiwa) yang tengah berlangsung. Seru, dramatis, penuh emosi, masif dan penuh kejutan. Bahkan kalau bicara komersial, saya ingin hal seperti ini terjadi setiap hari, karena rating berita akan tinggi.
Namun apa daya saya masih orang biasa yang cenderung sentimentil bila lihat penderitaan orang. Para korban bom, keluarga mereka dan mereka yang membawa cacat seumur hidup akibat bom bertahun-tahun lalu menimbulkan pertanyaan besar untuk sang sutradara panggung sandiwara besar bernama hidup di bumi ini.
Apa tujuan ia menciptakan kisah yang penuh tragedi bagi sekelompok orang bahkan kelompok yang besar bernama negara? Mengapa ia membuat peran dengan aktor-aktris yang berada di kutub berbeda dalam hal ideologi, nasib dan tindakan? Berapa lama kisah ini akan dimainkan? Bagaimana akhir dari kisah ini?
Bersyukurlah orang yang beriman, yang tetap tabah menahan cobaan tanpa harus kritis terhadap pembuat kisah. Hanya saja tidak semua orang mampu menanggung efek kejadian itu. Tidak sedikit yang patah dan kehilangan semangat menghadapi kisah yang dramatis dan tragis tersebut. Apa yang harus mereka perbuat.
Saya terus terang tidak tahu harus berbicara apa terhadap para aktor-aktris tersebut. Saat saya bertemu dengan korban Marriott 6 tahun lalu, yang tubuhnya penuh luka parut akibat luka bakar mayor, lidah ini terlipat dan mulut terkunci. Tapi mudah-mudahan mereka bisa membaca keprihatinan saya atas penderitaan mereka.
Sebagai aktor lain di panggung sandiwara di bumi ini, saya memang tidak terlibat langsung dengan kisah bom Jakarta. Namun saya sadar kisah tragis itu bisa saja terjadi pada saya dan keluarga, pada Anda dan keluarga dalam bentuk lain, setiap saat, di mana saja.
Be prepared!
indi
Subscribe to:
Posts (Atom)