Thursday, August 26, 2010

Pengalaman Suara Keadilan

Ada beberapa keuntungan besar setelah saya pegang program Suara Keadilan, yang tayang setiap Selasa pk 19.30-20.30 WIB (jangan lupa tvOne ya).

Pertama: Saya berhadapan dan berbincang dengan orang-orang yang tersisih. Merasakan kesulitan dan beban mereka, saya diingatkan untuk dapat berbuat lebih pada sekeliling. Terutama yang berkekurangan dan tidak beruntung. lebih dari itu, saya terpanggil untuk membantu melalui profesi ini. Sebut saja ibu Lely, yang 12 tahun tak berhasil mengurus pensiun suaminya sejak ia wafat tahun 1998. Perempuan sepuh itu harus menghidupi tiga putranya seorang diri, tanpa pemasukan lain. Usahanya mengurus pensiun itu selalu gagal dengan berbagai alasan. Surat yang dikirimkan ke atasan suaminya, menteri di departemennya, bahkan presiden tak berjawab. Untunglah setelah tayangan tersebut, sebuah jawaban dari PT Taspen datang. Semoga pekerjaan Suara Keadilan bermanfaat.

Kedua: Banyak kasus terjadi di luar Jakarta. Akibatnya saya berkeliling terus. Setidaknya seminggu 2 atau 3 hari keluar kota. Perjalanan itu membawa pengalaman luar biasa. Salah satunya adalah mengetahui betapa luasnya, beragamnya dan jauhnya perbedaan kota yang saya kunjungi dengan Indonesia.

Pengalaman menarik pertama di kota Sukabumi. Kota yang hanya berjarak sekitar 100 kilo meter dari Jakarta itu menunjukkan betapa tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Jalanan sempit, macet, berlubang. Apalagi yang menuju tempat liputan. Hanya bertatahkan batu2an besar, berlumpur, minim penerangan, menanjak dan berliku.

Pengalaman menarik kedua adalah kota Purwokerto. Saya menemukan kedamaian di kota ini. Walaupun perjalanan ke kota itu melalui jalur selatan melelahkan dan menjemukan, praktis semua itu hilang saat merasakan hawa sejuk dan ketenangan kota. Ramai tapi tidak terlalu macet, dan banyak makanan yang enak.

Kota ketiga adalah Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Saya membayangkan yang namanya ibu kota provinsi pasti tumbuh besar penuh fasilitas dan keramaian, karena tingkat perekonomian baik. Tapi saya lupa. Ini bukan di Jawa. Kendari sudah lebih jauh dari Jakarta. Akibatnya akses menuju kemodernan kian sulit. Kota ini indah. Di kota tua ada sebuah dataran tinggi yang langsung berhadapan dengan pelabuhan. Tapi ada daya, keindahan itu tak tersingkap sepenuhnya. Bahkan ada permukiman di tengah kota, yang aksesnya harus melalui jalan setapak, licin, dan mendaki. Sulit ditempuh. Motor pun tidak mudah memasukinya. Padahal di tempat itu sedikitnya ada beberapa belas rumah.

Sekali lagi, saya pikir inilah sebuah bentuk ketidakadilan. Saya yang tinggal di ibu kota negara dengan mudah melakukan banyak hal. Begitu mudah pergi ke banyak tempat. Namun kemudahan itu tak didapat saudara-saudara saya di luar Jakarta.

Salam keadilan

Wednesday, August 4, 2010

Tempat Berkesan

Dari sekian banyak tempat yang pernah saya kunjungi, ada dua lokasi yang paling saya ingat. Memori saya terisi penuh dengan hal-hal khas dari kedua tempat itu. Yang pertama adalah Seattle, AS dan kedua Sindangraja di Sukabumi, Jawa Barat.

Bukan karena di luar negeri atau di Amerika, kota Seattle menjadi pilihan pertama tempat favorit saya. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk mendukung pilihan itu. Setiap mengunjungi sebuah daerah asing, terutama untuk jangka panjang, saya menyempatkan diri berkeliling, baik dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.

Walaupun hampir 4 tahun lalu, rasanya seperti baru kemarin saya mengunjungi kota Seattle. Setiap sudut kota mudah terbayang di benak. Cuacanya yang sejuk (walaupun masuk musim gugur yang biasanya dapat menggigilkan saya jika di negara empat musim lainnya) memudahkan saya berjalan di waktu malam atau dini hari.

Ya, saya senang menelusuri jalan-jalannya yang berbukit. Kota itu tidak besar (dibanding Surabaya bahkan), sehingga dengan berjalan kaki pun dengan mudah sudut-sudut kota terjangkau. Dalam satu pandangan, kita bisa melihat pegunungan, laut (tepatnya teluk) dan dataran. Three in one.

Salah satu tujuan favorit saya adalah pasar ikan. Hoho, jangan pikir ini seperti pasar ikan atau tempat pelelangan ikan di Indonesia. Jauh! Bersih lorong-lorongnya, tanpa bau amis pula. Bahkan yang paling seru, beberapa pedagang menawarkan dagangan berupa ikan segar atau hewan laut lainnya dengan gaya yang atraktif. Baik dengan gerak tubuh ataupun dengan teriakan-teriakan yang mengundang.

Belum lagi ada obyek wisata yang mengingatkan saya pada film romantik Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan; namanya The Needle. Bentuknya seperti menara TVRI di Senayan, tetapi lebih tinggi dan cara melihatnya adalah dari perbukitan. Indah.

Yang juga tak terlupakan adalah desa Indian bernama Tilicum Village. Tempat ini dicapai dengan menggunakan ferry penyeberangan selama sekitar 30 menit. Sebetulnya yang tersisa hanyalah karya masa lalu berupa barang-barang lawas dan diorama, tetapi pengunjung dapat membayangkan kejadian masa lalu itu melalui sebuah sandiwara di panggung dengan tata cahaya dan suara yang lumayan untuk kelas pertunjukan biasa. Hebatnya turis menikmati itu sambil makan-makanan khas Indian dan salmon panggang yang nikmat dan all you can eat. Saya sampai tambah dua kali makan salmon itu, karena endang bambang (enak banget).

Lalu bagaimana dengan tempat di Indonesia?

Banyak tempat bagus di tanah air beta. Namun untuk terbilang berkesan harus ada yang menyentuh perasaan. Nah yang itu baru saja saya rasakan ketika saya dan teman-teman menggarap program Suara Keadilan akhir Juli 2010. Tempatnya relatif dekat saja dengan Jakarta, yaitu Sukabumi. Namun jangan salah, ini bukan kota Sukabumi, tetapi di sebuah desa bernama Sindangraja.

Sebelumnya, produser saya hanya menyatakan tempatnya 15 km dari Sukabumi. Tidak jauh saya pikir. Tetapi ia menambahkan, bahwa perjalanan itu menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Lho. Hati ini jadi bertanya-tanya atas informasi itu.

Faktanya: buseettt.

Dari Sukabumi setelah makan mie ayam sehat buatan istri saya, kami berkendara dulu sekitar 30 km dengan jalan menanjak dan berkelok. Jalan itu sempit dengan aspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Setiap berpapasan dengan mobil lain semuanya harus melambatkan kendaraan dan berhati-hati melintas jika tidak ingin senggolan atau masuk jurang.

Nah di sebuah kawasan kebun teh, pergantian kendaraan dilakukan. Kami tinggalkan mobil yang kami gunakan dari Jakarta dengan sebuah LandRover tahun 1980. Kokoh. Tangguh. Pengendaranya adalah kontributor kami di Sukabumi. Di situlah ia membuka alasan mengapa kendaraan berpenggerak 4 roda diperlukan. Yaitu berbatu, menanjak dengan kemiringan tajam, sempit dan kadang berlumpur. Dari tempat itu hingga Sindangraja tujuan kami jaraknya 15 km. Itulah jarak yang disampaikan rekan saya. Wah bonus yang 30 km tadi itu, pikir saya.

Lalu dimulailah perjalanan yang mengesankan itu.

Terik matahari siang kalah oleh sejuknya udara. Namun hati ini deg-degan ketika mobil mulai bergerak. Bahkan pada 100 meter pertama. Lebar jalan hanya untuk 1 mobil, batu-batu sebagai landasan jalan berukuran minimal sebesar bola kaki menikung ke kiri dan ke kanan. Di beberapa bagian, sang pilot LandRover harus berhenti untuk berancang-ancang sebelum melintasi kubangan lumpur atau tanjakan berkemiringan sekitar 45 derajat (atau kurang ya? Pokoknya miring banget deh).

Praktis keindahan kebun teh milik Goal Para (kata pak kades setempat pada suatu kesempatan) terabaikan. Kami semua harus berpegangan di dinding mobil jika tidak ingin terjatuh dari tempat duduk akibat guncangan mobil.

Sekitar satu jam perjalanan itu kami tempuh dengan gerakan tak keruan tanpa henti. Hingga akhirnya kami sampai tujuan di desa yang dimaksud. Anda bisa bayangkan perjalanan kami turun dari tempat itu setelah urusan liputan selesai. Mungkin analoginya seperti naik rodeo di atas seekor kuda gila yang mabuk dan seorang kejam melecuti kuda itu dengan semena-mena.

Perjalanan yang mengesankan, karena itu adalah bagian negara saya. Warga desa Sindangraja pasti harus bersusahpayah jika harus mengurus kegiatan mereka ke kota besar; ke rumah sakit, berbelanja atau sekolah. Di sana baru ada sebuah sekolah dasar, sehingga untuk pendidikan lanjut para remaja harus memiliki punggung, pinggang dan pantat baja melawan guncangan di jalan.

Ya Tuhan, betapa dua tempat seperti kutub itulah yang saya ingat. Pertama karena kenyamanannya dan kedua karena ketidaknyamanannya. Yang pertama saya ingin kunjungi atau bahkan saya tinggali, tetapi yang kedua, di negara sendiri, saya tidak ingin ke sana lagi selama infrastrukturnya masih seperti itu.

Wednesday, January 27, 2010

Mie Ayam dan Semangat

Terletak di sudut sebuah ruko di dekat Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, sebuah warung mie ayam berdiri. Belum dua minggu sang pemiliknya menjalankan bisnisnya. Dari hari ke hari sang pemilik beserta dua pegawainya menunggu pembeli. Namun yang datang masih dapat dihitung dengan jari. Harapan untuk menangguk untung belum terlihat, karena harga jualnya di bawah rata-rata para pesaingnya yang sudah tersebar di sekelilingnya. Keberanian menekan harga itu tak lepas dari harapannya untuk segera meraih perhatian, padahal harga-harga bahan baku mie seperti ayam, bumbu dan mie itu sendiri merangkak naik.

Business is not easy, however it is challenging. Berusaha memang tidak mudah, tetapi layak untuk diusahakan dengan seluruh daya upaya, kreatifitas, tenaga, air mata bahkan darah (lebay dotcom). Sementara persaingan adalah bumbunya.

Orang (termasuk saya) seringkali terpana melihat keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga bisnis. Dengan sedikit rasa iri saya memuji dan menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya orang itu dalam menjalani hidup. Rumah indah, mobil mewah, makanan enak, berwisata ke tempat-tempat jauh dan eksotis dan sebagainya. Namun orang seperti saya sering lupa, bahwa ia pun tidak serta merta mendapatkan semua itu. Tidak tahu kalau kekayaan dan keberhasilan itu merupakan warisan atau hasil undian.

Kemudian kekaguman saya seringkali bertambah setelah mendengar kisah sukses orang-orang itu diraih melalui perjuangan berat, berliku penuh onak dan berbatu. Kisah kegagaln yang terjadi berulang-ulang merupakan warna utama dari banyak kisah keberhasilan. Semuanya itu menegaskan bahwa berusaha merupakan nafas manusia itu sendiri jika ia ingin hidup.

Berhenti berusaha, berhenti mencoba, berhenti berkreasi dan menyerah adalah penutup episode seorang manusia. Yang hasilnya berupa kematian atau penyesalan seumur hidup.

Jika saya adalah pemilik mie ayam yang saya kisahkan di awal tulisan ini, saya tidak akan berhenti berinovasi, berkreasi dan memperbaiki penampilan warung saya, rasa mie ayam saya serta mendahulukan kepuasan pelanggan. Jika masih gagal, saya akan tetap berusaha di hal lain, di tempat lain dengan etos serupa.

SEMANGAT!!!!

Tuesday, December 22, 2009

Tahun Baru Tahun Berinvestasi

Ada pertanyaan penting, namun terdengar klise di setiap penghujung tahun, yaitu: Apa yang akan Anda buat di tahun depan? Klise, karena banyak orang menanyakan dan membicarakannya di sekitar bulan November dan Desember. Keluarga, teman, kekasih, bisa muncul dengan pertanyaan itu. Penting, karena itulah gambaran atau mungkin resolusi yang akan kita kerjakan di tahun depan.

Lalu bagaimana jawabannya? Saya bayangkan jawabannya bisa berlembar-lembar kertas folio atau bahkan berhari-hari bicara. Tergantung Anda ingin melakukan apa. Namun saya membayangkan ada hal spesifik yang bisa saya sarankan. Melihat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan, tantangan mendatang dan kecenderungan untuk selalu bergerak maju, maka saya mengusulkan INVESTASI sebagai rencana di tahun depan.

Investasi=uang? Ya dan tidak.

Ya, karena hampir semua kegiatan kita berhubungan dengan atau membutuhkan uang. Pakaian yang baik untuk bekerja atau bersosialisasi perlu dibeli. Kendaraan untuk memperlancar bisnis perlu uang untuk dibeli atau diservis. Itu semua investasi agar kegiatan kita terkelola dengan lebih baik. Ya, investasi butuh uang. Tentu saja uang untuk ditanamkan di pengembangan bisnis, pasar saham, pasar uang dsb. Itu pasti juga investasi.

Namun ada investasi yang tidak butuh uang, yaitu kesehatan. Seberarapun kemampuan finansial Anda, tak akan mampu berkembang atau dinikmati tanpa tubuh yang sehat. Penyakit adalah salah satu momok dalam kehidupan manusia. Ribuan tahun manusia memerangi penyakit, mencari obat, vaksin, dan penawar agar kehidupan lebih bermakna.

Faktanya, penyakit tak juga hilang, bahkan kalau dapat saya sebut berkembang baik jenis maupun kualitasnya. Sebut saja flu babi, TBC, dan AIDS. Belum termasuk penyakit yang timbul akibat pola hidup dan penuaan usia.

Investasi di bidang kesehatan sesungguhnya hampir tidak membutuhkan uang. Anda cukup menerapkan pola hidup yang seimbang. Bangun pagi-pagi, hiruplah udara segar, berolahraga, minum air putih (beli juga sih, tapi murah kan?), makan-makanan bergizi (boleh sederhana, tetapi gak perlu yang mahal), bekerja tanpa stress, dan tidur yang cukup (jangan begadang kata Rhoma Irama jika tidak penting banget). Apalagi kalau tidak pakai rokok dan alkohol. Hmmmm.
Investasi murah, tetapi menjadi landasan investasi lanjutan maupun beraktifitas di tahun baru.

Jika keduanya digabungkan, maka yang kita dapatkan adalah hidup senang, sehat dan panjang umur. Bagaimana?

Monday, November 16, 2009

Iklim

Hujan deras bertubi-tubi mengguyur Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu terakhir. Kawasan tempat kami tinggal di Barat Jakarta sedikitnya sudah tiga kali diterpa angin kencang dan hujan lebat. Sejumlah pohon dan papan reklame bertumbangan. Untung saja (mudah-mudahan betul-betul untung) belum ada laporan rumah yang roboh.

Memang tidak seperti Filipina atau Meksiko yang diguncang badai pada sebulan lalu hingga menyebabkan seratusan orang meninggal dunia dan kerugian material triliunan rupiah. Setidaknya kondisi di Jakarta banyak orang was-was. Apalagi pada Jumat malam lalu hujan di penghujung minggu, seolah menghentikan aktifitas di ibukota. Jalan-jalan protokol macet akibat genangan air di mana-mana. Banyak orang kehilangan waktu saat menembus jalan dan hujan.

Saya tidak membicarakan manajemen lalu lintas dan drainase Jakarta, karena toh banyak orang sudah memprotesnya. Saya hanya ingin berbagai informasi tentang iklim, karena hal itulah yang saya peroleh dalam lawatan saya ke Brasil dua pekan lalu.

Perubahan iklim, itulah yang ditakui para pemerhati lingkungan menyusul meningkatnya suhu dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat efek rumah kaca. Berbicara dengan penggiat lingkungan, seperti Greenpeace yang bersifat internasional, maupun lokal seperti Imap dan Imazon, saya seperti digugah dari ketidakpedulian terhadap bumi yang sekarat. Saya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan betapa planet biru yang kita diami ini dieksploitasi besar-besaran tanpa waktu yang cukup untuk memperbaiki diri.

Ketika manusia berhasil secara ekonomi, maka ia akan cenderung membutuhkan sumber daya yang kian besar. Makanan, air, bahan bakar dan ruang. Untuk memenuhinya ia akan mengusahakan baik legal maupun ilegal. Secara individual ataupun kelompok. Ketika kondisi di sekitarnya sudah tidak mampu lagi mendukung, ia akan bergerak lebih jauh hingga akhirnya mencari di tempat-tempat yang belum terjamah seperti kawasan hutan. Belum lagi dengan pertambahan penduduk yang nyaris tidak terkontrol di negara-negara miskin dan berkembang, alam kian lelah memberikan apa yang dimilikinya dalam bentuk tanah, air, mineral dan tumbuhan.

Sialnya, manusia yang egois dan serakah hanya bisa meminta dan mengambil. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengembalikan atau berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Hasilnya lingkungan hidup tereksploitasi, terdegradasi, tergerus.

Efek rumah kaca adalah salah satu konsekuensinya. Penggunaan secara masif bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) ditambah dengan berkurangnya jumlah tumbuhan yang mengolah gas karbon hasil pembuangan bahan bakar itu dituding menjadi penyebabnya.

Gas karbon yang kelewat banyak di atmosfir mencegah panas dari matahari dibuang ke luar angkasa. Akibatnya panas berputaran di atas kita menghangatkan udara. Kalau cuma di atas Jakarta bisa kita tangani dengan penyejuk udara. Sialnya lagi, udara panas sampai pula di kutub Selatan tempat es abadi berada. Es itu pun mencair. Jika yang mencair dalam jumlah besar permukaan laut pun meningkat dan pantai-pantai serta pulau-pulau tenggelam.

Tidak itu saja. Panas di atmosfir kita menyebabkan perubahan cuaca secara drastis. Para peneliti lingkungan yang berbincang dengan saya dan teman-teman di Brasil menyatakan betapa hujan bisa meningkat drastis, tetapi musim kering menjadi panjang. Badai mudah terbentuk. Banjir dan gurun pasir bertambah.

Semua itu boleh jadi terdengar seperti kisah di film. Belum terjadi. Masih jauh mungkin. Tetapi pencitraan satelit yang saya lihat rasanya bukan main-main. Gambaran itu sangat nyata. Dan saya khawatir karenanya.

Awal Desember 2009, sebuah konferensi iklim digelar di Kopenhagen, Denmark. Masa depan dunia akan dibicarakan di sana. Secara pribadi saya harap-harap cemas akan hasil yang ditelurkan, karena banyak orang yang bersikap skeptis tentang ramalan para pemerhati dan peneliti lingkungan. Yang saya tahu, anak dan cucu saya berhak melihat orang utan, komodo dan berjalan-jalan di hutan dengan udara yang bersih. Harapan itu mungkin bisa saya gantungkan pada para pejabat pemerintahan yang berkumpul di kota itu termasuk pejabat dari Indonesia.

Sekembalinya ke Jakarta, dada saya kembali terasa sesak. Padahal paru-paru ini dengan mudah menghirup udara segar di Sao Paulo, Brasilia ataupun Belem, yang terletak di muara sungai Amazon. Namun saya tetap mencintai kota ini, Surabaya tempat lahir saya dan Indonesia, tanah tumpah darah saya. Betapapun buruknya kondisi alamnya. Dan saya berjanji akan mengubahnya dari hidup saya, keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya.

indi

Thursday, November 12, 2009

Sao Paulo

Matahari terik, tetapi suhu udara tak lebih dari 25 derajat Celcius. Mobil ber-CC kecil dan sedang bergerak teratur, dengan kecepatan sedang dalam rangkaian panjang. Di sebelah kiri jalan, dalam jalur yang tetap bis kota berjalan rapi. Tak ada asap hitam mengepul dari knalpot. Orang-orang bergerombol di halte, bukan di perempatan jalan. Tertib.

Itulah gambaran sekilas kondisi lalu lintas kota Sao Paulo, salah satu kota besar di Brasil, selain Rio de Janeiro dan Brasilia ibukota negara itu.

Berpenduduk sekitar 11 juta jiwa, membuat kota itu berpotensi pada berbagai masalah sosial seperti Jakarta, terutama kemacetan. Tetapi empat hari di kota itu pada awal November, tidak membuat saya risau dengan transportasi. Bahkan pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, lalu lintas yang padat tidak membuat kota itu terisi kemacetan. Kendaraan yang saya tumpangi masih dapat berjalan di antrian. Tidak berhenti kecuali di lampu merah.

Kesimpulan saya mungkin terlalu cepat, karena hanya empat hari mengamati. Namun demikian, praktis saya tidak menemui hambatan bergerak di jalan-jalan di kota itu, walaupun harus menempuh perjalanan dari ujung kota ke ujung lainnya.

Dari pengamatan singkat itu saya menyimpulkan juga beberapa hal yang membuat kemacetan menjadi barang langka.
Pertama: manajemen kota yang tidak meletakkan pusat perdagangan dan aktifitas massal lainnya di satu atau dua titik. Saya menemukan paling tidak ada 5 titik aktifitas utama berupa perkantoran, mal, pusat perdagangan dan hiburan yang tersebar di berbagai sudut kota. Dengan itu berarti warga Sao Paulo tidak perlu berbondong-bondong ke satu titik untuk beraktifitas. Bandingkan dengan Jl. Sudirman, dan Thamrin di Jkt atau Jalan Basuki Rahmat di Surabaya. Terbayang kan macetnya bila jam-jam sibuk?

Kedua: manajemen transportasi, yang mengandalkan angkutan massal berupa bis dan metro. Jalur bis dan metro yang tersedia ke berbagai penjuru kota memudahkan warga kota hilir mudik. Tanpa angkot dan metro mini yang bikin macet plus menyebarkan gas buangan dengan semena-mena.

Ketiga: sikap dan tingkah laku pengemudi. Rasanya saya harus belajar kesabaran dan disiplin pada kota Sao Paulo. Saya tidak pernah melihat satupun kendaraan yang saling serobot atau keluar jalur yang tersedia. Tidak ada jalan yang diciptakan hanya dua jalur, kemudian menjadi tiga jalur kendaraan saat jam-jam sibuk. Teratur orang bergerak pada jalurnya, walau kondisi padat sekalipun. Klakson pun jarang terdengar dari kendaraan yang meminta jalan. Kebetulan pula, sepeda motor, dapat dihitung dengan jari. Alhasil, semua pasti bergerak walau perlahan.

Kembali ke Jakarta, saya tetap mencintai negeri ini. Hanya saja, saya membayangkan kapankah waktunya ibukota ini ramah tidak hanya lingkungan tetapi juga pengguna jalan.

MRT atau mass rapid transport atau alat transportasi massal memang sudah didengang-dengungkan bertahun-tahun lalu oleh otoritas Jakarta. Tetapi baru bus trans-Jakarta yang berjalan. Itupun belum semua koridor terlayani. Kereta atau metro dalam kota pun baru tiang-tiangnya yang berdiri dan kini besinya berkarat termakan cuaca. Jumlah kendaraan terutama sepeda motor bertambah dengan cepat tidak sebanding dengan panjang dan jumlah jalan.

Hemmmm...

Andaikan kota ini seperti Sao Paulo, mungkin saja penduduknya akan lebih hebat bermain sepakbola dari tim Samba dan lebih cantik dan ganteng daripada pemain sinetron telenovela.

Andaikan....


indi

Tuesday, September 29, 2009

Menghargai Hidup

Kisah ini sebenarnya terjadi sebelum Lebaran lalu, tetapi rasanya baru kemarin saya alami dan ingin saya bagikan pada semua orang. Pengalaman ini semoga membuat saya lebih bijaksana dan menghargai betapa berharganya hidup itu.

Di suatu Rabu malam, sepulang siaran Debat saya mengalami kejadian ini. Bermobil di jalan yang hampir lengang di Jakarta, saat sebagian besar umat Muslim bertarawih, adalah saat yang menyenangkan bagi penggemar kecepatan. Hampir sepanjang jalan dari kawasan Cawang, Jaktim hingga Tangerang, saya bisa menekan gas mobil 1500 cc hingga speedometer berkisar di angka 140 km/jam.

Saya membayangkan angka itu bisa lebih besar lagi bila yang saya kendarai adalah mobil bertenaga besar. Apalagi udara malam terasa sangat segar menyeruak dari jendela mobil yang saya buka separuh. Mata yang lelah seharian diajak melek dan membaca ikut berkonsentrasi menyerap informasi di jalanan yang berganti dengan cepat.

Dalam waktu kurang dari 30 menit, saya hampir tiba di kawasan BSD (biasanya saya tempuh hampir 1 jam). Keluar dari jalan tol Pondok Aren-BSD, saya tidak juga mengurangi kecepatan. Bahkan saat ada sebuah sepeda motor "memberi perlawanan" saya salip dengan gagah perkasa.

Namun, saya tak menyadari bahaya yang menunggu di muka.

Jalan itu sepi, menikung, dan agak gelap. Di kiri-kanannya terdapat beberapa warung makan yang sudah tutup, karena hari telah malam. Hanya sebuah restoran Padang yang buka 24 jam, yang masih beroperasi. Itu pun dengan penerangan yang tidak cukup untuk menerangi seluruh kawasan.

Situasi ini membuat saya tetap menekan pedal gas dalam-dalam, walau rumah hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Apalagi perasaan hangat masih terasa, saat meninggalkan sang motor yang tidak juga mau mengalah.

Apa lacur, dengan kecepatan sekitar 100 km per jam, saya harus menghadapi sebuah sepeda motor, yang memotong jalan. Dalam hitungan detik, saya melihat ada tiga orang di atas motor tersebut. Tanpa lampu, dan tanpa helm, melintas pelan mengabaikan kondisi jalan.

Saya sadar konsekuensinya bila saya tidak segera mengambil keputusan drastis. Nyawa adalah taruhannya.

Lampu besar saya mainkan. Tidak ada perubahan laju motor tersebut. Klakson saya tekan keras-keras menandai sebuah kendaraan berlalu dengan cepat memohon jalan. Tak ada reaksi. Refleks, saya membuang kemudi ke kanan menghindari benturan.

Berhasil!

Ah, tidak!

Rasanya putaran kemudi saya begitu ekstrim untuk menghindari tabrakan, tetapi laju mobil yang kencang membuat bagian belakang masih memiliki momentum dan...brak!

Benturan. Gesekan. Suara keras. Sambil berusaha menguasai olengnya mobil, saya berpikir. Mati! Ketiga orang itu mati!

Ketika mobil stabil, saya segera menepikan mobil. Orang-orang berdatangan, karena mereka pasti mendengar suara klakson, decitan rem dan ban, serta suara benturan.

Entah kenapa, saya merasa tenang. Tidak gugup, tetapi juga tidak khawatir, walaupun saya merasa pasti ada korban akibat tabrakan tadi. Di sana-sini saya mendengar teriakan orang menghujat saya dan mobil yang telah menyebabkan kecelakaan. Puluhan orang mengelilingi mobil dan pengemudi sepeda motor. Tanpa mengetahui permasalahannya, saya mendengar teriakan meminta pertanggungjawaban atas tabrakan itu. Beruntunglah ada sejumlah orang yang mengenal saya dan menjamin keselamatan saya.

Perlahan saya mendekati kerumunan orang yang mengelilingi sepeda motor dan ketiga orang tadi. Saya bersiap melihat orang berlumuran darah, luka parah bahkan meninggal.

Ya, Tuhan! Tidak ada yang terluka, bahkan segores pun tidak. Ketiga orang yang baru saja keluar dari masjid bertarawih itu sehat wal afiat. Selain ban motor yang hampir tak berbentuk, praktis tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.

Kejadian itu mengajar satu hal pada saya. Berkendaralah dengan baik. Tidak hanya bermobil, tetapi juga bersepeda motor. Pada kasus saya pribadi, mengemudi dengan kecepatan tinggi meningkatkan kemungkinan kecelakaan. Seberapapun hebatnya Anda di belakang setir, tetap tidak dapat mengontrol sepenuhnya kendaraan yang melaju di jalan raya bukan lintasan balap. Setiap orang memang berhak memperlakukan kendaraannya sesuka hati, namun ketika kita menggunakan fasilitas publik, kita harus menghormati pengguna lain dan mematuhi peraturan. Dengan itu, kita menghargai nyawa yang Tuhan telah titipkan.

Oh ya, persoalan tabrakan sudah kami selesaikan baik-baik. Selain mengganti kerusakan di motor itu (pemiliknya adalah penjaga rel kereta di Serpong, Tangerang), kami saling meminta maaf dan memaafkan.

Terima kasih Tuhan, atas hidup yang Kau berikan.
indi