Tuesday, July 7, 2015

MUDIK LAGI

(urusan pribadi hingga masalah nasional)

Tak terasa sebentar lagi Jakarta akan lengang. Jutaan jiwa dalam beberapa hari meninggalkan ibu kota ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, bahkan keluar Jawa. Bisa jadi mudik Lebaran adalah peristiwa tahunan yang biasa. Namun jika kita berbicara masalah hati dan emosi, tetaplah ada keluarbiasaan yang sangat terasa, ketika keluarga-keluarga menggunakan berbagai jenis kendaraan melintasi jalan-jalan penghubung kota2 menuju kampung halaman.

Saya belum pernah terlibat dalam arus mudik. Baik sebagai peliput di lapangan, apalagi menjadi mudiker (peserta mudik, hehehehe). Namun saya bisa membayangkan, betapa ada banyak rasa campur aduk. Mulai dari persiapannya, di jalan hingga sampai tujuan. Perasaan bersemangat, cemas, emosional dan tentu kebahagiaan memenuhi dada semua mudikers.

Semasa SMA (sekitar 30 tahun lalu), saya pernah melakukan perjalanan Jakarta-Surabaya menggunakan kereta Gaya Baru Malam. Saya lupa apakah saat itu menjelang Lebaran atau tidak, tetapi yang pasti kereta sangat penuh. Saya mendapat tempat berdiri di depan wc sejak Pasar Senen, Jakarta hingga Semarang, ketika sejumlah penumpang kereta turun dan ruang gerak lebih lega. Total selama sekitar 6 jam perjalanan itu, hampir tidak ada ruang gerak. Para pemudik berdesak-desakan.

Rupanya sejak beberapa jam sebelum berangkat, rebutan tempat telah terjadi. Tidak mendapat kursi, berarti lantai dan ruang di antara kursi diisi. Diduduki. Bayangkan panasnya udara. Jangan lupa, saat itu kereta rakyat tanpa AC hanya kipas angin dan jendela yang terbuka lebar. Bayangkan pula berbagai jenis bau campur aduk. Bau makanan, parfum, minyak angin, keringat bahkan kentut dalam satu gerbong kereta minim ventilasi.

Soal bau rasanya masih bisa diabaikan. Sebagai penumpang kereta (walau penumpang gelap, bayar di atas ke kondektur saat pemeriksaan karcis), saya sangat dongkol pada pedagang asongan. Hampir tidak ada saat tenang. Setiap saat akan terdengar tahu...tahu, sprit...sprit (sprit bukan sprait loh), plus langkah-langkah kaki di antara manusia yang berjuang memperoleh ruang duduk, tidur, jongkok atau berdiri. Ugh! Yahhh, namanya mencari sesuap nasi. Nggak apa-apa deh. Mereka, para pedagang itu, juga punya hak mengais uang kecil di antara mudikers. Toh, sepengetahuan saya tidak ada yang protes. Saya juga hanya bisa menggerutu dalam hati. Sungguh masyarakat Indonesia penuh toleransi.

Ketika kedua mertua masih hidup sampai lima tahun lalu, kami sekeluarga minimal setahun sekali berkendara dari Jakarta ke Madiun menjenguk mereka. Jalur Pantura adalah satu-satunya opsi perjalanan. Tidak ada jalur Selatan. Walau tidak pernah ikut arus mudik, perjalanan itu pun bukan perkara mudah. Menuju pintu tol Cikampek, persaingan dengan bus malam, truk dan sesama kendaraan pribadi relatif ketat. Lalu perjuangan berikut menembus jalan berlubang di Karawang hingga Subang. Indramayu relatif menawarkan kelancaran. Namun kami pernah terjebak berjam-jam di kawasan Ajibarang. Saat itu tengah malam. Karena tidak juga bergerak, mesin saya matikan dan tidur. Rasanya tidak lama, namun saat terbangun karena mobil diketuk orang yang meminta kami bergerak, jam seingat saya menunjukkan sekitar pukul 3 pagi.

Itu kesulitan saat peristiwa non-mudik. Bayangkan saat ribuan kendaraan pemudik baik roda dua, roda empat hingga roda 6 berada di tempat yang sama dan pada jam yang sama. Sementara ukuran jalan tidak bisa dimelarkan. Andai pula di tengah kesulitan itu, anak kita yang berusia di bawah 7 tahun mengatakan; pak, mau pipis.Ugh!

Hari ini, 7 Juli 2015, sebuah kendaraan niaga terguling di Tol Cipali. Tujuh orang meninggal di tempat. Ya, Tuhanku. Itu adalah kecelakaan kesekian kali sejak jalan tol tersebut dibuka untuk umum sebulan sebelumnya dengan jumlah korban terbanyak.

Mudik belum lagi dimulai, tetapi hati ini trenyuh mendengar kabar itu. Apakah itu akan menjadi korban terakhir, atau akan bertambah saat arus pemudik meningkat minggu-minggu ini.

Sudah cukup kesulitan saat memeras keringat untuk mencari sesuap nasi dan membawa kegembiraan waktu kembali ke kampung halaman. Jangan tambah kesulitan itu dengan ketidakhati-hatian di perjalanan yang membawa malapetaka. Mudik adalah perjalanan sarat emosi, tetapi tujuan mulianya jangan dinodai. Dengan apapun.

Selamat mudik, selamat sampai tujuan, selamat bergembira. Selamat Lebaran

Wednesday, March 6, 2013

Pemilukada: Tugas vs Makan-makan

Wisata kuliner itulah yang ada di benak ketika saya mendapat tugas berkeliling ke beberapa daerah mempersiapkan program debat pemilukada untuk tv tempat saya bekerja. Sejak akhir 2012, saya harus mengunjungi Bandung, Makassar, dan Medan. Yang pasti tidak hanya sekali, dalam kurun waktu 4 bulan saya berulangkali ke kota-kota tersebut. Sepertinya tukang parkir dadakan bandara Soekarno Hatta bisa hafal wajah saya (hahahaha, ge er banget yah?)

Sambil menyusun baju ke dalam ransel (biasanya memang cuma bawa ransel karena cuma 3 hari bepergian) saya seringkali menyusun akan makan ke mana di kota tujuan. Bayangkan kerja belum tetapi tujuan isi perut sudah jelas. Untung saja bos saya tidak tahu isi benak saya tersebut. Hahahaha. Tapi yang penting kerjaan beres, kan?

Mungkin di antara Anda ada yang lebih tahu tujuan lokasi makan yang seru di Bandung, Makassar dan Medan. Namun buat saya ada tempat-tempat yang memuaskan. Kaki lima tentunya. Rasa lebih nendang, harga tak membuat isi dompet melayang.

Di Bandung, saya akan berkunjung ke Dago. Ada sebuah warung berukuran sedang yang jualan utamanya yoghurt dan peuyeum bakar. Manisnya cukup di lidah saya yang sudah berhati-hati dengan gula dan lemak karena faktor U. Oh ya, kalau kembali ke Jkt pun saya menyempatkan diri untuk beli oleh-oleh di sekitar BTC. Di sini saya menyukai cheese stick dan pisang coklatnya. Seorang pelayannya pun menarik untuk dilihat dan diajak ngobrol.

Panassssss!!! Itulah yang terasa di Makassar terutama di siang hari. Namun makanan yang paling menarik bagi saya adalah Coto pedas di warung pengap di sekitar Pelabuhan Nusantara. Huaahhhh. Keringat dan desisan kepedasan di mulut menyertai setiap suapan coto yang gurih dan gigitan ketupat.  Sedangkan di malam hari, ikan bakar rica-rica adalah hidangan yang asik untuk mengisi perut. Ada satu jenis hidangan ikan yang saya temukan dan segera menjadi kesukaan saya. Ikan kudu-kudu namanya. Yang khas dari ikan ini adalah kulitnya keras seperti cangkang, namun dagingnya cukup lembut dan kenyal. hanya saja tidak sekenyal tongkol atau tuna.

Ikan kudu ini sepertinya dibelah dengan gergaji (masak sih?) mengingat kerasnya si cangkang sebelum dibakar. Saya menyukainya bila separuh badan dibumbu rica dan separuhnya bumbu manis. Hmmm. Apalagi durinya pun sedikit sehinggga tidak sulit untuk dinikmati.

Kalau di Medan, maka sup sumsum dan durianlah tujuan saya. Wuiihhh itu makanan pantangan buat mereka yang kadar kolesterolnya  dan darah tinggi. Tapi bayangkanlah lembutnya sumsum yang disedot menggunakan sedotan setelah disiram kuah gurihnya. Sluuurppp. Hmmmmm. Setelah itu sisa-sisa daging yang menempel di tulang sapi nan besar itu sayang untuk dilewatkan.

Kalau soal durian, tentu Ucok Durenlah tujuannya. 24 jam sehari dan sepanjang tahun dengan duren lokal yang manis, legit serta sedikit pahit. Monthong sih lewaaattt. Tak cukup dua butir duren sebesar kepala yang terbuka untuk memuaskan lidah ini. Setelah itu duren di kotak menjadi sasaran. Rp. 300 ribu untuk oleh-oleh keluarga di rumah yang juga jago makan duren.

Pemilukada adalah acara bagi rakyat untuk memilih siapa pemimpin di kota/kabupaten atau provinsinya. Setiap 5 tahun mungkin bisa berganti. Tetapi urusan lidah, saya mohon maaf untuk tetap menyukai makanan-makanan lokal sampai tubuh ini tak mampu menanganinya.

Salam kuliner
Indi


Saturday, October 16, 2010

Eksotisme Tana Toraja (3) Kepercayaan

Walau hanya dua hari tinggal di sebuah keluarga besar di Tana Toraja, saya mendapat begitu banyak informasi yang begitu banyak. Saya memerlukan waktu cukup banyak untuk memilah apa yang ingin saya bagikan kepada Anda dari informasi dan pengalaman itu.

Saya batasi tulisan ini pada hal-hal yang dipercayai keluarga yang saya tinggali. Tampaknya keluarga ini memiliki sejarah panjang di Tana Toraja. Salah satunya tercatat lewat usia salah satu dari selusin lumbung yang ada, yang diklaim dibangun pada abad 18. Kayunya kasar, keras, tapi tampak sudah termakan cuaca, sehingga warna aslinya memudar. Demikian juga atapnya yang terbuat dari susunan bambu dan bukan rumbia atau sirap.

Keluarga besar ini memang sudah menganut agama Kristen, tetapi masih ada warna adat dan sisa kepercayaan lama dalam aktifitas kesehariannya. Sekali lagi tulisan ini tidak menilai benar salah sebuah aktifitas, tetapi hanya mencatat fakta yang ada.

Kawasan tempat saya menginap bernama Batu Kianak, 10 km dari Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan perjalanan mendaki.

Nama tempat ini memiliki sejarah yang berbau kepercayaan tertentu. Saya diperlihatkan sepetak tanah berpagar besi berukuran 3x3 m. Di dalam pagar terdapat sesemakan dan sebatang pohon beringin berukuran sedang. Namun bukan benda itu yang menjadi pusat perhatian. Berjajar di bawah beringin itu ada beberapa baru seperti tonggak atau sisa batang cor untuk pondasi bangunan. Warnanya memperlihatkan kalau batu-batu itu berusia tua. Ada bekas lumut dan jamur serta aus oleh cuaca.

Yang jelas terlihat ada lima tunggul batu yang berukuran berbeda-beda. Batu tertinggi sekitar setengah meter, Tertinggi kedua beberapa centimeter lebih rendah dan tiga lainnya hanya belasan centimeter. Karena ukuran inilah disebutkan batu ini merupakan keluarga. Yang tinggi adalah pasangan ayah ibu dan tiga anak-anaknya. Disebutkan pada hari-hari tertentu, terutama pada bulan purnama, batu baru akan muncul berukuran kecil, yang disebut sebagai anak baru. Oleh sebab itu namanya adalah batu kianak atau batu beranak.

Tidak hanya itu, pada hari-hari tertentu pula, terutama menjelang adanya upacara entah kelahiran atau kematian, akan muncul ular-ular berukuran besar di sekitar batu dan pohon beringin itu. Masyarakat di sekitar itu masih memercayai kehadiran ular dan batu-batu tersebut memiliki arti penting untuk keselamatan mereka. Sehingga mereka tidak berani mengganggu ular atau merusak situs tersebut.

Kepercayaan masyarakat setempat terhadap hal-hal magis juga tercermin pada rumah adat atau tongkonan dan lumbung mereka. Salah satunya adalah pembangunan lumbung yang harus menghadap ke Selatan dan adanya ukiran-ukiran tertentu yang boleh dan tidak boleh ada di dinding bangunan. Sayang sekali saya tidak berkesempatan menggali lebih dalam tentang makna arah dan ukir2an itu, karena narasumber saya yang juga tidak memiliki informasi cukup.

Dua hari benar-benar tidak cukup untuk menggali keeksotisan Tana Toraja. Padahal saya juga ingin berbagi informasi tentang hal-hal itu. Sebutkan saja kubur dari batu serta sistem sosial di masyarakat.

Semoga suatu hari saya berkesempatan kembali ke tanah yang penuh keindahan dan misteri itu.

Tuesday, October 12, 2010

Eksotisme Tana Toraja (2) Nilai Kerbau

Tubuh itu besar. Berkilat. Kuat. Sorot matanya tajam. Seolah tidak percaya akan maksud siapapun yang mendekat. Namun ia tidak mampu bergerak. Tak berdaya. Hidungnya terikat oleh seutas tambang yang tertambat di sebuah pohon.

Hewan itu adalah seekor kerbau dengan berat sedikitnya 150 kg. Ia dipersiapkan untuk upacara adat di Tana Toraja. Dikorbankan entah untuk upacara pernikahan, pindah rumah atau kematian.

Bagi masyarakat Tana Toraja, ini yang saya tangkap, kerbau memiliki tempat tertentu jika tidak dapat dibilang istimewa. Upacara adat seakan tidak lengkap tanpa korban kerbau.

Namun kerbau untuk korban berbeda dengan kerbau biasa. Tidak semua kerbau dapat dijadikan korban. Pertama-tama ia harus berkelamin jantan. Tanpa cacat. ukuran ekornya lebih panjang dari lutut belakang. Itu kriteria umum. Ada yang lebih berharga dari sekedar kerbau seperti itu. Kira-kira demikian; kerbau berciri di atas harganya beberapa puluh juta rupiah. Nah yang kelas istimewa bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Nah ini ciri yang mahal. Kerbau belang, yaitu berwarna kulit hitam dan putih kemerahan, dan kerbau yang dikebiri (ini berarti sang kerbau tidak mampu membuahi kerbau betina). Kerbau kebiri memiliki ciri bertanduk besar dan melengkung indah). Kerbau jenis ini sekali lagi bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bayangkan harga sebuah mobil niaga kelas menengah di Indonesia.

Perhatian saya tertuju pada seorang penggembala kerbau belang yang kami temui di sebuah sungai di belakang tempat tinggal kami di Tana Toraja.

Pria itu berusia 40an. Bertubuh sedang cenderung kurus. Ia menuntun seekor kerbau belang yang beratnya kira-kira 3 kali tubuhnya, ke air yang mengalir dengan batu-batuan di dasarnya. Setelah melepas sang kerbau berendam, ia melepaskan seluruh pakaiannya. Ya, ia telanjang bulat. Perlahan ia mendekati sang hewan dan mandi bersama!

Air itu tidak keruh, tetapi tidak juga jernih. Sisa-sisa hujan semalam membawa lumpur dan tumbuhan atau sampah menuju hilir. Namun hal itu tidak merisaukan sang pria. Diambilnya sikat yang telah dipersiapkan dan dengan teliti ia menyikat tubuh gembalaannya. Setiap centimeter hewan besar itu ia bersihkan, seolah membersihkan benda antik yang tidak boleh ternoda sebutir kotoran pun.

Penghormatan masyarakat Tana Toraja kepada leluhur dan kedisiplinan mereka pada adat membuat saya tertunduk takzim. Saya tidak menggugat besarnya biaya yang harus ditanggung oleh mereka yang hidup saat upacara kematian digelar dan belasan atau puluhan ekor kerbau dikorbankan untuk mengantar orang yang meninggal, tetapi saya kagum oleh ketaatan itu sendiri turun temurun.

Sampai saat ini, beberapa minggu pascakunjungan ke Tana Toraja itu, saya masih tak dapat berhenti mengagumi cara hidup tersebut. Wow, luar biasa keberagaman adat di negeri saya tercinta ini.

Monday, October 4, 2010

Eksotisme Tana Toraja (1) Sabung Ayam

Beke...beke...songkok...songkok...
Itulah seruan yang terdengar mendengung di arena sabung ayam di sebuah kecamatan di Kab. Toraja Utara. Mereka menawarkan taruhan bagi para penggemar adu ayam yang segera berlaga.

Beke (saya tidak tahu tulisan sebenarnya) adalah sebutan untuk pemegang ayam yang menggunakan ikat kepala dari kayu. Sedangkan songkok untuk lawannya yang menggunakan topi caping petani.

Para petaruh itu menawarkan uang untuk menjagokan ayam yang dianggap kuat. Tidak ada uang kecil di sana. Minimal Rp. 50.000 hingga entah berapa. Ketika pertarungan dimulai, kesenyapan datang di arena. Sesekali seruan kagum terdengar: aaahhhh, saat tendangan telak seekor ayam mengenai lawannya. Kurang dari satu menit, pertarungan selesai. Taji logam yang terpasang di kaki masing-masing ayam, salah satunya melesak ke dada lawannya. Uang taruhan berpindah tangan. Ayam yang kalah dibawa ke pejagalan. Ya pejagalan, karena ayam yang belum tentu mati itu dipotong kakinya (yang bertaji) dan diserahkan kepada pemenang. Catat: si ayam itu masih hidup saat kakinya dipotong. Baru kemudian lehernya disembelih.

Tidak ada kata kesempatan kedua kepada ayam yang kalah. Bahkan bila ia hanya melarikan diri tanpa luka, dan tidak mau melakukan pertarungan lagi, tetap kakinya akan dipotong baru lehernya.

Menonton adu ayam di Tana Toraja (foto-foto dapat dilihat di FB saya) membuat bulu kuduk ini merinding. Betapa tidak, saya rasa kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan ikutan yang dianggap penting dari sekian banyak upacara di Tana Toraja.

Walaupun banyak orang menuding sabung ayam ini sebagai judi dan pasti ilegal, tidak menyurutkan minat penggemarnya. Biasanya adu ayam ini mengikuti upacara kematian salah seorang warga setempat.

Menempati sebuah tanah lapang, adu ayam ini bisa digelar sejak pagi hingga malam selama 7 hari sampai sebulan. Ratusan orang duduk di bawah pondok2 darurat yang dibangun sekeliling arena sabung. Semua (kecuali turis, anak-anak dan ibu-ibu) memegang uang taruhan.

Berbeda dari judi yang umum ditemui, taruhan pada sabung ayam di Toraja ini (saya tidak tahu tempat lain) hanya melibatkan dua orang; pemegang beke atau songkok). Mereka saling memercayai untuk transaksi itu.

Menurut perhitungan kasar, dalam sehari perhelatan adu ayam, sedikitnya Rp. 30 juta beredar di sana. Asumsinya: ada 300 pengunjung yang masing-masing memegang uang Rp. 100.000. Sensasional kan?


Wednesday, September 22, 2010

Friday, September 17, 2010

Mada, Gadis Kecil di Ambon

Wajah itu enak dilihat. Matanya penuh semangat. Senyumnya selalu mengembang, walau tak ada pembeli kue yang ia tawarkan. Itulah perhatian saya terhadap Mada. Ya, itulah namanya setelah kami berkenalan beberapa saat di sebuah restoran cepat saji di kota Ambon petang ini.

Perkenalan kami penuh warna. Saat itu hari sudah gelap. Tak ada sisa sinar mentari, walau jam tangan saya baru pukul 6 Waktu Indonesia Timur. Awan menggayut sejak pagi di langit kota.

Perut yang baru terisi kerapu bakar masih belum terpuaskan. Sehingga bersama empat kawan sekerja yang habis membuat program Suara Keadilan, saya ajak mereka makan es krim di sebuah restoran cepat saji di sebelah hotel tempat kami menginap.

Sambil bersendagurau menikmati perbincangan ngalor ngidul itu, saya melihat ke tangga masuk restoran. Di sana ada seorang gadis kecil berjualan roti goreng di dalam sebuah toples besar. Bajunya lusuh. Rambut diikat seperti ekor kuda hanya dengan karet gelang.

Ia tidak menjajakan dagangannya secara agresif, laiknya seorang pedagang. Tetapi tatapan dan senyumannya mengiringi setiap pengunjung restoranyang keluar atau masuk, seolah berkata belilah kue ini, atau saya akan mati kelaparan.

Sejurus saya perhatikan tak ada orang yang tertarik untuk menghampiri dan membeli kuenya. Tetapi rasanya senyum itu tak lepas dari wajahnya.

Mungkin ia sadar atas perhatian saya, karena tatapan kami beberapa kali bertemu dan ia pun tersenyum. Sampai satu saat, ia mendatangi meja kami.

Om, mau beli roti? Tawarannya membuat kami menggeleng, karena toh kami baru makan ikan bakar dan sedang menikmati kudapan restoran cepat saji itu. Tapi sekali lagi, yang membuat saya lebih tertarik adalah senyuman manisnya yang tidak hilang atas penolakan kami.

Entah atas dorongan apa, saya bertanya: kamu sudah makan? Ia hanya menggeleng perlahan. Kamu mau saya belikan makanan? Tawaran saya berlanjut. Ia mengangguk juga dengan perlahan, plus senyum manisnya.

Setelah mengangsurkan uang agar ia bisa memilih sendiri makanan yang dikehendaki, ia tinggalkan kami ke pemesanan. Sepeninggalnya, sempat terpikir bahwa ia akan berlalu dan tak kembali. Saya sudah siap dengan kemungkinan itu, walau pasti akan membuat kecewa. Obrolan pun kami teruskan dan tak memedulikannya lagi.

Namun hampir 10 menit kemudian, ia kembali dengan nampan makanannya, dan mengembalikan sisa uang kembalian. Wow, saya kagum dan tersenyum menyambutnya.

Sambil menikmati setiap suapan ayam gorengnya, ia tak henti2nya berterima kasih. Dalam perbincangan itu, saya kian mengaguminya. Mada, demikian panggilannya. Walaupun ia mengatakan marganya, saya memilih untuk merahasiakannya dari Anda. Ia berjualan roti goreng buatan ibunya, selepas bersekolah sore hari di kelas 5 sebuah SD negeri di Ambon.

Lalu untuk apa uangnya, tanya saya penuh rasa ingin tahu. Membeli buku, jawabnya sambil mengunyah nasi pulen yang mungkin jarang ia temui. Bagaimana dengan pekerjaan ayahmu, tanya salah seorang teman. Ia bekerja di sebuah restoran tidak jauh dari tempat kami makan.

Dari perbincangan itu mengalirlah sebuah kisah yang menggugah hati. Seharusnya kisah itu sedih tentang perjuangan anak kecil membantu perekonomian keluarga. Sebuah pengingkaran atas hak anak-anak, yaitu belajar dan bermain. Namun dari mulut Mada, kisah itu begitu ringan dan indah; seperti sebuah kisah perjuangan seorang pahlawan dalam mengatasi masalah remeh temeh. Tak ada kesedihan atau penyesalan, hanya semangat dan kegembiraan. Padahal ia harus berjualan hingga tengah malam, sebelum dijemput pulang salah seorang kakaknya, yang juga seorang pekerja di sebuah restoran.

Perbincangan setengah serius itu diselingi keberanian Mada menebak daerah asal kami. Ada yang asal Manado, Cina dan Jawa sebutnya sambil menunjuk kami satu persatu. Ia bahkan menyebut saya parlente (ya ia menyebut saya parlente bukan perlente) dan orang kaya karena melihat foto istri dan anak-anak saya di ponsel. Dengan berani ia menyebut pernah melihat saya sebelumnya (ini membuat heran, apakah ia juga menonton berita). Ketika saya tanya di mana ia melihat saya, jawabannya mengejutkan sekaligus menggelikan: sopir oto (baca: angkot). Meledaklah tertawa kami, hingga membuat seisi restoran itu melihat ke meja kami.

Kami pun berpisah, karena tubuh telah lelah untuk melanjutkan perbincangan. Mada kami tinggalkan dengan ayam gorengnya yang belum juga habis dan setoples besar roti goreng di bawah kakinya.

Pertemuan dengan Mada di sebuah petang di kota Ambon mengajarkan sesuatu, minimal untuk saya, yaitu berkekurangan tidak harus ditanggapi dengan berat hati. Walaupun Mada masih berusia sekitar 10 atau 11 tahun, yang berarti belum banyak mengalami kepahitan hidup, setidaknya ia menunjukkan semangat dalam menjalankan hari-harinya walau tanpa fasilitas dan keistimewaan.

Tuhan berilah Mada kesempatan untuk menggapai mimpinya suatu saat.