Tuesday, September 29, 2009

Menghargai Hidup

Kisah ini sebenarnya terjadi sebelum Lebaran lalu, tetapi rasanya baru kemarin saya alami dan ingin saya bagikan pada semua orang. Pengalaman ini semoga membuat saya lebih bijaksana dan menghargai betapa berharganya hidup itu.

Di suatu Rabu malam, sepulang siaran Debat saya mengalami kejadian ini. Bermobil di jalan yang hampir lengang di Jakarta, saat sebagian besar umat Muslim bertarawih, adalah saat yang menyenangkan bagi penggemar kecepatan. Hampir sepanjang jalan dari kawasan Cawang, Jaktim hingga Tangerang, saya bisa menekan gas mobil 1500 cc hingga speedometer berkisar di angka 140 km/jam.

Saya membayangkan angka itu bisa lebih besar lagi bila yang saya kendarai adalah mobil bertenaga besar. Apalagi udara malam terasa sangat segar menyeruak dari jendela mobil yang saya buka separuh. Mata yang lelah seharian diajak melek dan membaca ikut berkonsentrasi menyerap informasi di jalanan yang berganti dengan cepat.

Dalam waktu kurang dari 30 menit, saya hampir tiba di kawasan BSD (biasanya saya tempuh hampir 1 jam). Keluar dari jalan tol Pondok Aren-BSD, saya tidak juga mengurangi kecepatan. Bahkan saat ada sebuah sepeda motor "memberi perlawanan" saya salip dengan gagah perkasa.

Namun, saya tak menyadari bahaya yang menunggu di muka.

Jalan itu sepi, menikung, dan agak gelap. Di kiri-kanannya terdapat beberapa warung makan yang sudah tutup, karena hari telah malam. Hanya sebuah restoran Padang yang buka 24 jam, yang masih beroperasi. Itu pun dengan penerangan yang tidak cukup untuk menerangi seluruh kawasan.

Situasi ini membuat saya tetap menekan pedal gas dalam-dalam, walau rumah hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Apalagi perasaan hangat masih terasa, saat meninggalkan sang motor yang tidak juga mau mengalah.

Apa lacur, dengan kecepatan sekitar 100 km per jam, saya harus menghadapi sebuah sepeda motor, yang memotong jalan. Dalam hitungan detik, saya melihat ada tiga orang di atas motor tersebut. Tanpa lampu, dan tanpa helm, melintas pelan mengabaikan kondisi jalan.

Saya sadar konsekuensinya bila saya tidak segera mengambil keputusan drastis. Nyawa adalah taruhannya.

Lampu besar saya mainkan. Tidak ada perubahan laju motor tersebut. Klakson saya tekan keras-keras menandai sebuah kendaraan berlalu dengan cepat memohon jalan. Tak ada reaksi. Refleks, saya membuang kemudi ke kanan menghindari benturan.

Berhasil!

Ah, tidak!

Rasanya putaran kemudi saya begitu ekstrim untuk menghindari tabrakan, tetapi laju mobil yang kencang membuat bagian belakang masih memiliki momentum dan...brak!

Benturan. Gesekan. Suara keras. Sambil berusaha menguasai olengnya mobil, saya berpikir. Mati! Ketiga orang itu mati!

Ketika mobil stabil, saya segera menepikan mobil. Orang-orang berdatangan, karena mereka pasti mendengar suara klakson, decitan rem dan ban, serta suara benturan.

Entah kenapa, saya merasa tenang. Tidak gugup, tetapi juga tidak khawatir, walaupun saya merasa pasti ada korban akibat tabrakan tadi. Di sana-sini saya mendengar teriakan orang menghujat saya dan mobil yang telah menyebabkan kecelakaan. Puluhan orang mengelilingi mobil dan pengemudi sepeda motor. Tanpa mengetahui permasalahannya, saya mendengar teriakan meminta pertanggungjawaban atas tabrakan itu. Beruntunglah ada sejumlah orang yang mengenal saya dan menjamin keselamatan saya.

Perlahan saya mendekati kerumunan orang yang mengelilingi sepeda motor dan ketiga orang tadi. Saya bersiap melihat orang berlumuran darah, luka parah bahkan meninggal.

Ya, Tuhan! Tidak ada yang terluka, bahkan segores pun tidak. Ketiga orang yang baru saja keluar dari masjid bertarawih itu sehat wal afiat. Selain ban motor yang hampir tak berbentuk, praktis tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.

Kejadian itu mengajar satu hal pada saya. Berkendaralah dengan baik. Tidak hanya bermobil, tetapi juga bersepeda motor. Pada kasus saya pribadi, mengemudi dengan kecepatan tinggi meningkatkan kemungkinan kecelakaan. Seberapapun hebatnya Anda di belakang setir, tetap tidak dapat mengontrol sepenuhnya kendaraan yang melaju di jalan raya bukan lintasan balap. Setiap orang memang berhak memperlakukan kendaraannya sesuka hati, namun ketika kita menggunakan fasilitas publik, kita harus menghormati pengguna lain dan mematuhi peraturan. Dengan itu, kita menghargai nyawa yang Tuhan telah titipkan.

Oh ya, persoalan tabrakan sudah kami selesaikan baik-baik. Selain mengganti kerusakan di motor itu (pemiliknya adalah penjaga rel kereta di Serpong, Tangerang), kami saling meminta maaf dan memaafkan.

Terima kasih Tuhan, atas hidup yang Kau berikan.
indi

Friday, September 25, 2009

Monas

Harapan untuk mengunjungi salah satu bangunan ciri khas Indonesia, yaitu Monumen Nasional akhirnya kesampaian. Seumur-umur saya belum pernah ke monumen hebat itu, walau sudah sering melewati, melihat dan mengedit beritanya. Hanya saja kunjungan itu menyisakan duka di batin, karena menyaksikan kondisi di lingkungan Monas yang sulit untuk dijadikan kebanggaan karena berbagai kekurangannya.

Atas desakan para jagoan(baca: isteri dan anak-anak) saya, akhirnya ada waktu untuk berkeliling Jakarta beberapa hari lalu. Mumpung ibukota masih lengang karena ditinggal mudik jutaan penduduknya.

Berangkat pagi-pagi dari gubuk kami di BSD (sekitar 20 km di selatan Jakarta), praktis tidak ada halangan selama di perjalanan. Lengang, udara segar dan sedikit berkabut. Itulah gambaran jalan tol BSD-Bintaro dan jalan di Kebayoran Lama. Hanya 30 menit, yang kami butuhkan untuk sampai di Bundaran HI dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya lalu lintas Jakarta saat itu.

Setelah sempat menggoda rekan-rekan yang siaran Apa Kabar Indonesia di Bundaran HI, kami melaju ke Monas. Inilah tujuan utama libur hari itu. Betapa tidak. Hampir semua teman saya dan teman anak-anak saya sudah mencicipi kunjungan ke monumen yang didirikan atas perintah Presiden Soekarno tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian.

Cuaca belum lagi panas, ketika mobil kami parkir di pelataran parkir resmi Monas di IRTI (berhadapan dengan Balai Kota). Calon pengunjung relatif bisa dihitung dengan jari, yang bergerak menuju monumen berkepala emas itu. Tak banyak mobil yang parkir dan hanya sebuah bus pariwisata di sana.

Menyusuri pelataran udara menyapa segar, dengan matahari mengintip di balik rerimbunan daun di taman. Mestinya saya puas dengan kondisi ini, tetapi apa daya mata ini tertumbuk pada sampah yang berserakan.

Sebuah tempat sampah terguling dan isinya berupa sisa-sisa makanan menyebar. Bungkus mie siap saji teronggok bersama puntung rokok dan plastik minuman. Tidak ada petugas kebersihan saat itu. Saya berpikir sampah belum dibersihkan karena saat itu belum jam kerja.

Kian dekat ke bangunan luar biasa itu, cuaca kian cerah (baca: panas). Pepohonan hanya tersedia di taman, yang berjarak 100 meter lebih dari tugu raksasa itu. Di sana hanya ada beberapa tanaman yang kami gunakan untuk berteduh sementara. Taman di pelataran Monas sebenarnya indah, tetapi yang ada hanyalah rerumputan yang menguning dan tanaman hias yang meranggas. Ada memang banyak bunga bangkai (Raflesia Arnoldii), tetapi itu terbuat dari semen.

Menunggu hampir 20 menit, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Bersama beberapa keluarga lain kami di pintu Selatan tak tahu harus menunggu berapa lama, karena penjaga parkir menyebutkan Monas dibuka pukul 8.30 WIB. Saat itu jam tangan sudah 8.20 WIB. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tidak ada tanda-tanda bagian informasi atau petunjuk arah.

Di tengah kebingungan dan keheranan karena tidak adanya bantuan, seorang penjual air minum yang kebetulan pernah melihat wajah saya sebelumnya, menunjukkan pintu masuk. Tempatnya di seberang, katanya. Jadi kami harus berjalan memutari Monas ke pintu utara dan masuk dari terowongan. Atau bisa menunggu mobil gandeng.

Wah, informasi terakhir membuat saya bingung (jawabannya saya dapatkan setelah meninggalkan Monas beberapa jam sesudahnya). Sebagai kepala rombongan, saya putuskan kami berjalan.

Wuihhh!!! Masih pukul 8.30 tetapi matahari mamancar dengan kekuatan penuh. Mateng neh muka. Tidak ada awan, peneduh, pepohonan atau apapun yang dapat dijadikan perlindungan dari kehangatan sang raja siang. Kami berjalan mengelilingi sisi Barat sekitar 500 meter. Lumayan.

Sesampai pintu utara, rasanya tidak ada lagi petunjuk. Di atas tangga Monas tampak sejumlah pekerja mengepel, tetapi terlalu jauh untuk ditanya bagaimana kami bisa masuk. Tidak hanya rombongan BSD ini, tetapi ada pula kelompok lain yang terpaku di pinggir pagar. Sekali lagi tak ada petugas di sana.

Cuaca kian panas. Tidak ada penghalang sinarnya ke bumi. Kelompok orang mulai menyemut ke obyek wisata di jantung kota Jakarta.

Ah di sana! ada papan kecil yang berjumlah dua buah kalau saya tidak salah. Ukurannya kenapa sih tidak dibikin besar? Apa ruginya kalau bisa 1 m X 1,5m? Rasanya tidak akan mengganggu keindahan taman raksasa ini.

Memasuki lorong menuju Monas. Saya melihat sudah banyak orang di sana. Anak-anak dan kaum perempuan mendominasi. Saya yakin tidak ada yang berpakaian perlente atau wangi. Panas dan pengap membuat bau keringat menguar memenuhi terowongan yang kurang cukup dingin, walau sudah terdengar deru pendingin ruangan di atas.

Antrean tiket masuk sudah mengular. Dari 4 loket yang tersedia, hanya dua yang buka. Dalam hati saya mencari alasan mengapa dua loket lain tidak digunakan: masih banyak petugas yang cuti, toh masih suasana Lebaran. Beberapa kali saya mendengar petugas menolak uang dengan pecahan besar Rp. 100.000 dan Rp. 50.000. Mereka beralasan belum ada kembalian. Ckckck. Tak ada persiapan ya? Akibat penolakan itu antrean tersendat, karena calon pengunjung mencari pecahan lebih kecil tetapi tidak mau meninggalkan antrean. Huaaahhhh!!! Beruntung uang pecahan Rp. 50.000 saya tidak ditolak, mungkin karena petugas mengenal wajah saya (hehehe ada untungnya juga).

Kondisi lebih nyaman saat kami masuk ruang diorama, karena lega dan udara yang dingin. Berbeda dengan suhu di luar.

Puas berkeliling di ruang sejara itu, dan mengenalkan sejarah kepada para punggawa, saya mengajak mereka ke puncak. Nah, ini perjuangan yang lain.

Mengantre tiket dan mengantre lift naik adalah dua hal berbeda, tetapi sama-sama melelahkan. Dari dua loket penjual tiket lift, hanya satu yang beroperasi. Antrean kembali mengular. Demikian juga antrean ke lift. Lebih panjang lagi. 25 menit untuk mendapat tiket. 1 jam untuk sampai ke lift. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Saya pandang barisan di belakang, wah, ternyata terus memanjang.

Memasuki lift adalah sebuah kenyamanan yang lain. Bisa dibilang itu adalah langkah terakhir sebelum menikmati Jakarta dari puncak tertinggi di Jakarta.

Puas melihat-lihat, termasuk menggunakan teropong berharga Rp. 2000 per 90 detik, kami turun kembali. Tidak terlalu lama menunggu lift yang sama yang akan membawa kami ke bawah. Sekeluarnya dari cawan Monas, saya menyaksikan antrean itu bahkan kian panjang. Kalau sebelumnya hanya sekitar 25 meter, maka kini lebih panjang lagi. Bisa 100 meter (dua baris). Berapa jam antrean paling belakang dapat sampai ke puncak. Saat itu waktu baru menunjukkan pk. 11.00 WIB. Waktu buka Monas tinggal 4 jam lagi.

Dimulai kembali perjalanan yang sama. Melewati terowongan yang masih belum cukup dingin di tengah aliran manusia. Di sana-sini saya melihat penjual cindera mata miniatur Monas dari bambu dengan harga antara Rp. 5000 sampai Rp. 25.000 per buah. Namun saya tidak tertarik untuk membeli.

Panas yang kian menyengat kembali menyapa sekeluarnya kami dari terowongan. Antrean lain tampak di sana. Antrean apa? Ooooh itu dia. Dua buah mobil gandeng beriringan menepi. Dibatasi rantai-rantai, ada tiga lajur antrean yang memudahkan pengunjung naik ke mobil. Di atas mobil, kami menunjukkan karcis naik ke puncak yang berwarna hijau untuk dewasa dan putih untuk anak-anak. Dan kami pun meluncur ke tempat masuk, di tempat kami parkir mobil.

Berpandang-pandangan dengan isteri, tanpa suara kami bersepakat untuk tidak akan lagi ke Monas. Cukup sudah petualangan hari itu. Panas, lelah, berkeringat, bau, tanpa tambahan informasi yang berarti membuat Monas tidak cukup untuk menarik kami kembali di lain waktu.

Entah jika pemerintah DKI atau pusat memperbaiki fasilitas monumen kebangsaan negara, yang ada di depan hidung Istana Negara dan Balai Kota di tahun-tahun mendatang, hal itu bisa saja kami pertimbangkan lagi. Tapi jika tidak, maaf deh, TIDAK.

indi

Maaf Lahir Batin

Ijinkan saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.

Tuesday, July 21, 2009

Tragedi

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah

Dua baris lirik lagi Panggung Sandiwara-nya God Bless mengisi batok kepala saya berulangkali, saat saya melihat peristiwa-peristiwa besar dalam sebulan terakhir. Tidak tahu kenapa justru lagu itu yang terngiang bukan lagu Ebiet G Ade atau Mbah Surip.

Sejak kampanye pemilihan presiden diikuti dengan pencontrengan dan perhitungan suara, saya menangkap nuansa yang berwarna-warni dari aktifitas politik saat itu. Belum selesai haru biru protes tim sukses capres 1 dan 3, bom mengguncang Jakarta. Korban tewas dan luka terserak tak berdaya dengan wajah-wajah panik mereka yang selamat menghiasi layar kaca dan koran-koran. Terakhir saya melihat sendiri beberapa korban bom Marriott dan Kedubes Australia 6 dan lima tahun lalu. Terselip di antaranya kisah si Tegar dari Caruban Madiun. Bocah 4 tahun itu kakinya putus terlindas kereta api ulah bapak tirinya. Sang bapak tiri, yang tidak puas atas penolakan isterinya (ibu Tegar) untuk bersetubuh membawa Tegar ke rel kereta api dan hingga kereta mnghancurkan kaki kanan Tegar. Trenyuh hati ini menyaksikan tubuh-tubuh yang cacat, termasuk ketakutan yang tak juga pupus akibat trauma saat itu.

Rasanya bumi kita tercinta ini seperti panggung sandiwara yang nyata. Cerita itu mudah berubah untuk setiap aktor dan aktrisnya di skala mikro dan terlebih di skala makro yang mengubah nasib banyak orang. Satu demi satu peristiwa bermunculan menjadi perhatian publik internasional berubah secara cepat dan drastis dalam hitungan hari, sehingga menafikan arti kisah sebelumnya. Media segera mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak karena adanya persitiwa baru yang lebih dramatis.

Sebagai produser (yang kadang-kadang mengarahkan aktor di panggung siaran tv) saya merasa puas dengan sandiwara (baca: peristiwa) yang tengah berlangsung. Seru, dramatis, penuh emosi, masif dan penuh kejutan. Bahkan kalau bicara komersial, saya ingin hal seperti ini terjadi setiap hari, karena rating berita akan tinggi.

Namun apa daya saya masih orang biasa yang cenderung sentimentil bila lihat penderitaan orang. Para korban bom, keluarga mereka dan mereka yang membawa cacat seumur hidup akibat bom bertahun-tahun lalu menimbulkan pertanyaan besar untuk sang sutradara panggung sandiwara besar bernama hidup di bumi ini.

Apa tujuan ia menciptakan kisah yang penuh tragedi bagi sekelompok orang bahkan kelompok yang besar bernama negara? Mengapa ia membuat peran dengan aktor-aktris yang berada di kutub berbeda dalam hal ideologi, nasib dan tindakan? Berapa lama kisah ini akan dimainkan? Bagaimana akhir dari kisah ini?

Bersyukurlah orang yang beriman, yang tetap tabah menahan cobaan tanpa harus kritis terhadap pembuat kisah. Hanya saja tidak semua orang mampu menanggung efek kejadian itu. Tidak sedikit yang patah dan kehilangan semangat menghadapi kisah yang dramatis dan tragis tersebut. Apa yang harus mereka perbuat.

Saya terus terang tidak tahu harus berbicara apa terhadap para aktor-aktris tersebut. Saat saya bertemu dengan korban Marriott 6 tahun lalu, yang tubuhnya penuh luka parut akibat luka bakar mayor, lidah ini terlipat dan mulut terkunci. Tapi mudah-mudahan mereka bisa membaca keprihatinan saya atas penderitaan mereka.

Sebagai aktor lain di panggung sandiwara di bumi ini, saya memang tidak terlibat langsung dengan kisah bom Jakarta. Namun saya sadar kisah tragis itu bisa saja terjadi pada saya dan keluarga, pada Anda dan keluarga dalam bentuk lain, setiap saat, di mana saja.

Be prepared!
indi

Tuesday, July 14, 2009

Kutagih Janjimu

Bahasanya tentu tidak seperti itu, tetapi dengan gaya yang berbeda; yaitu ketika anak bungsu saya Diva Josephina menagih janji saya untuk memasang internet. Bulan lalu sambungan Speedy di rumah saya putus, karena lambat dan tagihannya kurang masuk akal. Sejak itu, anak-anak tidak lagi dapat mengakses mainan, obrolan atau mengerjakan tugas yang menggunakan internet.

Adapun saya berjanji pada anak-anak untuk memasang sambungan baru segera setelah saya memperoleh provider internet terbaik. Sialnya, hehehe, sampai hari ini belum ada tanda-tanda pilihan itu jatuh pada siapa. Akhirnya muncullah kalimat yang baik itu: Kutagih janjimu.

Banyak orang bilang janji adalah utang, jadi harus dibayar atau janji harus ditepati. Namun sialnya bagi banyak orang lainnya janji bisa hanya sekedar janji. Janji adalah kata-kata tanpa makna yang keluar dari mulut untuk menyenangkan orang untuk sesaat saja dan kemudian terlupakan seiring perjalanan waktu.

Menjelang pemilu legislatif dan presiden, kita dijejali janji-janji setiap hari. media cetak dan elektronik penuh kampanye berisi rencana-rencana yang akan dikerjakan bila si calon duduk di kursi yang diinginkan. Bahkan ada pula yang bersedia membuat kontrak politik berisi hal-hal yang akan dilakukan kemudian ditandatangani.

Nah, sekarang pemili sudah selesai. Orang-orang yang akan duduk di kursi legislatif dan eksekutif sudah diketahui. Artinya, kita masyarakat baik yang memilih atau tidak memilih berhak menagih janji yang sudah disampaikan saat mereka berkampanye.

Sialnya, apakah rakyat masih ingat apa yang dijanjikan itu? Adakah dari kita yang mencatat butir-butir yang akan dikerjakan calon pemimpin kita? Saya, terus terang tidak. Andaikan semua masyarakat Indonesia tidak ada yang ingat atau mencatat, bagaimana mereka bisa ditagih? Hehehe apalagi bila mereka tipe pelupa alias tidak ingat akan janji-janji yang sudah digembar-gemborkan.

Sebuah pepatah Cina menyebutkan: sekali kata terucap tujuh ekor kuda tak dapat menariknya kembali. Artinya, setiap janji yang keluar memiliki konsekuensi berat yang tidak dapat dilupakan dan diabaikan. Hanya orang yang tidak memiliki harga diri saja yang akan mencederai janji yang pernah terucap.

Adakah para pemimpin dan calon pemimpin kita orang-orang yang memiliki harga diri yang akan merealisasikan janji mereka tanpa harus ditagih. Yah minimal jangan kayak saya yang harus selalu ditagih anak-anak saya untuk memasang internet.

Semoga.
indi

Thursday, July 9, 2009

Contreng (Centang)

Sudah dua hari ini kuku saya tidak indah (hehehe...emangnye pernah?). Warna ungu akibat tinta itu belum hilang. Walaupun begitu saya tetap bangga menggunakan hak pilih. Jujur saja, belum pernah saya sebangga ini saat memberikan suara.

Jago saya memang kalah. Tetapi saya puas melihat ia bertarung dengan segenap tenaga, hati dan kemampuan. Tidak banyak orang yang berani menghadapi lawan di gelanggang, walau ia tahu betapa kuatnya pesaing. Hanya sedikit orang yang mau berusaha, walau secara matematis kecil kemungkinan ia akan keluar sebagai pemenang.

Dalam sebuah pertandingan, seorang pemenang pasti memperoleh kemuliaan di atas pecundang. Tetapi bagi orang sportif, hasil akhir hanyalah bonus, karena proses memiliki peran penting untuk mengukur gagah tidaknya seorang kontestan.

Pemilihan presiden memang bukan pertandingan sepakbola, catur atau tinju. Intelektualitas, gaya kepemimpinan dan program yang baik adalah modal untuk meraih kepercayaan publik. Di sinilah letak keandalan para kontestan beradu strategi dalam mengampanyekan citra dan kehebatan mereka masing-masing. Jika publik percaya terhadap komoditas yang ditawarkan, itulah yang mereka "beli" (baca: contreng) pada 8 Juli lalu.

Itulah yang saya lakukan. Saya puas dengan gaya, program, retorika seorang capres, sehingga saya mencontreng fotonya dan pasangannya. Setttt.... Tutup... Cemplung...Celup. Selesai.

Saya tidak mempedulikan jago saya akan menang atau tidak. Tidak penting menurut saya. Saya juga tidak kecewa ketika hitung cepat semua lembaga survei memenangkan calon lainnya. Bahkan pada setiap perbincangan dengan teman (tidak di blog ini) saya mengumumkan siapa yang saya pilih sambil mengangkat kelingking saya.

Kalaupun saya siaran dengan membicarakan ketiga pasang capres cawapres, mengumumkan, mengkritisi, membuat lelucon tentang aktifitas kampanye itu hanya sebuah pekerjaan. Pilihan saya tidak mempengaruhi pemilihan kata dan kerangka berpikir saya. Kepuasan saya adalah ketika saya memberikan suara pada orang yang saya percayai dapat memimpin negeri ini lima tahun lagi. Pilihan dan pekerjaan adalah dua hal berbeda.

Terus terang saya menunggu lima tahun lagi adakah orang yang seperti jago saya. Saya rindu pribadi seperti itu muncul dan memimpin negeri ini. Bukan berarti saya tidak suka warga negara yang sedang memimpin sekarang, tetapi lebih karena saya merasa cocok dengan jago saya.

Memang juga tidak ada jaminan jago saya akan dapat memimpin negeri ini seperti Superman dan menyelesaikan semua masalah dengan lebih cepat dan lebih baik, tetapi sekali lagi saya nyaman dengan apa yang ia tawarkan pada saya pribadi.

Anyway, pencontrengan (yang tepat pencentangan) sudah selesai. Perhitungan di KPU sedang berlangsung. Hasilnya rasanya akan sama dengan hasil perhitungan cepat (quick count) seperti yang lalu-lalu. Selamat untuk yang menang dan selamat pula untuk yang kalah karena Anda telah menjadi kontestan dan negarawan yang luar biasa bagi negeri ini.

indi

Monday, June 29, 2009

Killing Time

Membunuh waktu. Itulah yang saya kerjakan sekarang. Saya harus menunggu adik istri saya untuk bersama-sama pulang kampung ke Madiun. Tiga jam di Citos sejak pukul 16. Pegel! Mau nonton Transformers 2 sudah kehabisan tiket. Mau tidur nggak ada tempat enak. Jadilah saya tersandera di Burger King.

Apa yang saya kerjakan? Ah! Untung di laptop ada permainan catur. Lumayan untuk killing time alias membunuh waktu. Setelah setengah jam, permainan ini menjadi tidak menarik. Ya, kalah terus sih! Padahal masih level cecere alias kelas bawah. Memang otak tumpul nggak bisa diajak berpikir keras.

Sambil menunggu pula (the most invaluable thing to do) saya berkesempatan mengedarkan mata ke sekeliling. Rupanya ini kegiatan yang lumayan menarik. Citos di waktu malam ternyata lebih menarik daripada yang dikisikkan beberapa teman. Maklumlah, saya kan orang rumahan yang jarang dugem malam.

Hebatnya, penampilan pengunjung pusat makan di kawasan selatan Jakarta ini begitu bervariasi. Tidak hanya yang kaum muda, tetapi remaja hingga yang berumur. Mulai dari yang pulang kantoran berseragam seperti saya, sampai yang dandan abizz. Dari yang bau keringat, karena biasa berjemur di bawah matahari hingga wangi Chanel no 5. Bagi pria normal seperti saya, haum hawa tentunya lebih menarik untuk diperhatikan lebih seksama.

Sambil minum minuman ringan, saya mencoba menghitung (ini bener-bener gak ada kerjaan) rata-rata pengunjung yang datang dalam waktu satu menit. Setelah lima kali penghitungan rata-rata 10 orang dari segala usia dan gaya pakaian. Bagi saya aliran manusia ini relatif banyak. Dengan mengabaikan orang yang meninggalkan Citos, maka dalam lima menit saja sudah 50 orang yang datang.

Kalau melihat jumlah pengunjung di cafe-cafe dan restoran yang ada, tampaknya jumlah yang datang terus meningkat. Wah, ini cocok betul dengan catatan para ekonom hebat negeri ini, yaitu kelas menengah Indonesia banyak yang tidak peduli dengan krisis. Acara akhir minggu mulai dari Jumat hingga Minggu harus jalan terus. Makan-makan, minum-minum, nonton-nonton dan belanja-belanja.

Di depan saya melintas seorang wanita berbalut busana terusan motif polkadot dengan bagian bawah lumayan tinggi di atas lutut. Legging (celana ketat biasanya berbahan katun) membungkus kakinya yang jenjang. Tubuhnya menguarkan bau wangi lembut. Ia berjalan dengan langkah pasti penuh percaya diri menuju kasir Burger King dan memesan makanan.

Di luar restoran ini beberapa wanita paruh baya dengan dandanan menor membawa belanjaan di seluruh tangan mereka. Ceria, penuh canda dan asik menikmati waktu mereka menyusuri lorong Citos.

Mengutip seorang petinggi Indosat (entah datanya dari mana) hanya ada tiga negara yang mengalami pertumbuhan positif pascakrisis finansial akhir tahun lalu. Negara-negara tersebut adalah Cina, India dan Indonesia. Keberhasilan Indonesia mencatat pertumbuhan itu adalah karena konsumsi domestik yang tinggi. Ekspor kita yang kecil praktis tidak terpengaruh penciutan pasar Amerika dan Eropa.

Isteri saya adalah tipikal wanita yang gemar belanja. Hanya sayangnya kegemaran itu kurang tersalurkan karena dukungan keuangan suaminya yang lemah. Alhasil ia hanya puas menikmati iklan obral (sale) dan potongan harga (discount) dari koran. Setiap saya membaca koran di pagi hari sebelum berangkat, ia seringkali nimbrung ikut membaca, tetapi bukan berita melainkan mengajak suaminya berkomentar tentang harga khusus dan iming-iming kemudahan belanja di iklan yang ada.

Pertama-tama saya terganggu dengan aktifitasnya. Tetapi lama-kelamaan saya pun turut menikmati ritual itu. Saya menemukan adanya kenikmatan melihat iklan-iklan yang menampilkan warna, tulisan dan tawaran yang menarik.

Saya menghubungkan aktifitas membaca iklan itu dengan kondisi di Citos ini. Korelasinya memang terlihat nyata. Iklan yang menarik menantang pemilik uang berbelanja baik secara tunai maupun kredit. Tak ada uang kertas uang plastik pun jadi. Gesek sana gesek sini. Tak bisa lunas sekaligus cicilan pun jadi.

Sekarang jam tangan sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Tidak ada tanda-tanda kedatangan orang yang saya tunggu. Saya pun malas pula untuk meneruskan aktifitas cuci mata. Balik main catur lagi deh.

Indi
Jkt, 26 Jun. 09