Wednesday, February 4, 2009

Anarkisme

Lakon Rama dan Sinta adalah salah satu kisah yang saya ingat betul waktu kecil, sejak bapak memperkenalkan epos Mahabharata di kisah pewayangan. Demikian pula kisah peperangan antara Pandawa dan Kurawa di Bharatayuda. Bagi saya, kedua kisah itu tidak hanya berbicara tentang yang bathil dan yang adil, tetapi juga menggambarkan kondisi abu-abu psikologis para tokohnya.

Sebut saja Sang Rama yang tidak memercayai kesucian Sang Sinta sehingga harus repot-repot membakar isterinya guna mencari pembuktian. Kesetiaan sang isteri dipertanyakan, dan pernyataan Trijata diabaikan karena alam pikiran sang raja diamuk kecemburuan.

Demikian halnya suasana hati Adipati Karna menjelang perang Bharatayuda di Padang Kurusetra. Sang Adipati merasa perlu tetap membela Kurawa yang ia ketahui bermandikan dusta, licik dan picik, hanya karena ia ingin menunjukkan betapa ia juga layak disebut ksatria keturunan Kunti, ibu para Pandawa, yang berani, teguh, percaya diri.

Dari kedua kisah itu pula saya mendapat gambaran penting bagaimana bersikap di tengah konflik. Ada Kumbakarna adik Rahwana, yang tidak mau membantu sang abang berbuat nista, tetapi ia rela mempertahankan negara saat diserbu pasukan kera. Lalu juga sikap Resi Bhisma, yang rela berjuang untuk Kurawa, karena terikat harga diri. Keduanya gugur dengan julukan pahlawan oleh kelompok 'putih', walau mereka membela kelompok yang bersalah. Keduanya menonjolkan sikap ksatria yaitu berani berbuat, berani pula bertanggungjawab.

Ingatan tentang kisah pewayangan dari tanah India itu seolah melekat pada kejadian di Sumatera Utara beberapa hari lalu. Saya tidak bisa membayangkan betapa ratusan orang memaksakan diri masuk ke dalam sidang paripurna DPRD memorakporandakan gedung yang dibangun dari uang pajak rakyat agar anggota dewan mendengar aspirasi mereka.

Lebih dari itu, atas nama nafsu dan amarah sekelompok orang memaksa ketua dewan yang terhormat, memukuli hingga akhirnya ia meninggal dunia. Saya membayangkan orang-orang itu bermata merah bak raksasa, gigi berkeriut, dan ludah memburai saat meneriakkan makian, sumpah serapah. Seolah Abdul Aziz Langkat, Ketua DPRD TK I Sumut bertanggung jawab sepenuhnya atas belum tuntasnya pembicaraan pembentukan Provinsi Tapanuli. Massa mungkin lupa, bahwa sang ketua dewan baru dua bulan menjabat.

Berada di tengah massa yang beringas, walau beberapa orang berusaha melindungi (hanya ada satu atau dua anggota polisi), Abdul Aziz Langkat menjadi bulan-bulanan pukulan. Gambar televisi dan foto menunjukkan sedikitnya dua pukulan mengenai wajahnya. Entah berapa lagi yang bersarang di tubuhnya. Entah pula apa yang ia alami saat ia ditarik dari dalam ruangan ke halaman gedung.

Massa bisa saja merasa benar saat beralasan mereka tengah memperjuangkan aspirasi masyarakat Tapanuli. Dapat dimengerti pula bila mereka mempertanyakan kelanjutan pembicaraan proses pemekaran itu, karena sudah dilakukan lebih dari setahun lalu.

Namun peristiwa itu menjadi jauh bedanya dengan kisah kepahlawanan Kumbakarna, Resi Bhisma yang berjuang tanpa niat apapun selain membela diri. Massa yang bertindak anarkis layak dipertanyakan alasan dan tujuannya. Mereka juga tidak ksatria karena tidak berada dalam posisi diserang, bahkan mereka menyerang orang yang tidak bisa membela diri atau bersenjata.

Dalam era reformasi rakyat Indonesia mendapat anugerah berupa kebebasan menyampaikan pendapat. Tidak ada Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang begitu berkuasa di era Soeharto, yang dapat menangkap dan menahan orang tanpa perintah pengadilan. Atau intel yang selalu memata-matai orang yang berkumpul.

Kebebasan ini diartikan sebagai sebuah hak yang bebas diekspresikan untuk apa saja, kepada siapa saja dan di mana saja (terutama di gedung dewan atau rumah para wakil rakyat). Itu sebabnya sering dijumpai aksi massa yang berujung pada anarkisme.

Rekan saya Indy Rahmawaty bertanya ketika kamera sedang "on" kepada saya, dapatkah tindakan brutal massa propemekaran Provinsi Tapanuli disebut sebagai tindakan barbar? Saya langsung menjawab, ya. Itu tindakan barbar. Tanpa ada pustaka yang mendukung definisi apa itu tindakan barbar, saya merasa benar menyatakan hal tersebut. Alasan saya, orang berpendidikan (ada di antara massa yang mantan anggota dewan serta mahasiswa) akan mengedepankan akal bukan 'okol' atau otot dan nafsu.

Rahwana adalah wakil citra orang yang menggunakan otot dan nafsu tanpa akal sehat. Demikian pula wangsa Kurawa yang ngiler melihat daerah kekuasaan Pandawa serta Burisrawa yang bernafsu melihat kecantikan Dewi Drupadi istri para Pandawa. Seluruh citra itu seolah melekat pada massa propemekaran Provinsi Tapanuli. Padahal saya yakin, masih ada di antara mereka yang bisa berpikir jernih dan bersikap demokrat.

Janganlah cederai demokrasi dengan anarkisme, karena terlalu mahal harganya.

indi

Sunday, January 11, 2009

Biopori

Dingin bangeeettt. Itulah yang saya rasakan dalam seminggu terakhir. Jakarta yang biasanya panas, lengket, berdebu dan polutif kali ini terasa segar, bahkan kelewat dingin. Badan Meteorologi dan Geofisika menyebutkan bulan-bulan ini adalah puncak musim penghujan di Indonesia terutama di Kawasan Barat. Artinya bersiap-siaplah kita menghadapi banjir dan teman-temannya.

Sebagai kawasan langganan banjir, Jakarta seharusnya sudah siap menghadapi penyakit menahun ini. Tidak boleh ada lagi kumpulan air yang menggenang berhari-hari seperti yang terjadi pada banjir besar Februari 2002.

Saya melihat ada dua langkah utama yang sudah dibuat aparat negara. Pertama pembangunan banjir kalan timur dan kedua peninggian jalan tol bandara Soekarno Hatta. Yang kedua memang tidak 'an sich' negara, karena pembuatnya adalah Jasa Marga, sebuah perusahaan/ BUMN yang berorientasi keuntungan.

Khusus yang pertama, saya melihat pembangunan yang tengah berlangsung di kawasan Jakarta Timur (dekat Pondok Kopi). Setiap lewat jalan tol lingkar luar Jakarta ke arah Cakung, saya menyaksikan penggalian saluran sebesar anak sungai. Rasanya ini adalah sepotong saluran penampung air limpahan hujan di Jakarta. Sayang sekali saya belum pernah mengonfirmasi status saluran itu ke otoritas banjir kanal timur.

Namun anehnya di tengah-tengah calon sungai/ kanal itu ada sebentuk bangunan yang tersisa. Bangunan itu berdiri sendiri karena samping-sampingnya sudah digerus. Kembali melalui pengamatan, saya merasa bangunan itu adalah mushala atau masjid kecil yang tidak segera dirobohkan untuk menyelesaikan saluran air. Kembali saya tidak berani berspekulasi tentang penyebab tersisanya bangunan soliter itu.

Jika banjir kanal timur selesai dibangun, Pemerintah DKI berani menantang hujan dan banjir dengan jurus baru itu. Namun demikian, mengatasi banjir hanya dengan banjir kanal timur rasanya kok naif sekali. Apa iya saluran yang mengelilingi Jakarta itu dapat menampung air hujan dan buangan limbah lainnya. Masalahnya, masyarakat Jakarta menghadapi persoalan lingkungan yang pelik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta masih menarik kaum pendatang. Artinya mereka membutuhkan tempat untuk tinggal dan menjadi beban tambahan bagi tanah Jakarta. Belum lagi pembangunan terus menerus baik di Jakarta maupun daerah penyangganya. Masih baik bila para pembangun menyediakan saluran pembuang atau drainase; kenyataannya lebih banyak yang mengabaikan dan air pun mengalir di jalan-jalan tak terarahkan.

Pekan lalu, kami mengundang seorang pencipta. Kamir Brata namanya. Dari tangannya tercipta benda sederhana berbentuk tongkat dengan ujung terbuat dari logam lancip dan tangkai seperti kemudi sepeda. Alat inilah yang dijadikan pengebor tanah untuk membuat lubang resapan bernama biopori.

Saya tidak ingin membahas biopori secara teknis, tetapi betapa saya terkagum-kagum oleh sumbangsihnya/ Pak Kamir mengklaim, alat tersebut dapat membangun ekosistem tanah yang meningkatkan kesuburan tanah sekaligus mencegah banjir. Memang terdengar utopis bila satu biopori akan menciptakan kondisi ideal itu. Tetapi, menurut beliau bila semua rumah tangga menyiapkan satu atau dua lubang resapan, maka betapa banyak lubang penampung air yang akan menjadi rumah bagi makhluk-makhluk kecil penyubur tanah seperti cacing.

Bagi saya yang memiliki sepetak tanah kecil untuk rumah bagi keluarga, saya sadar pentingnya ketersediaan ruang untuk ekosistem. Cacing, tanaman, kumbang, dan kotoran adalah lingkungan yang baik bagi dunia ini, kendati hanya berukuran kecil. Itu sebabnya kehadiran biopori saya pikir dapat membantu saya pribadi membantu pulihnya ekosistem.

Ya itu kan kata saya.

indi

Tuesday, January 6, 2009

Terkutuklah Perang

Dua kelompok anak berpakaian layaknya tentara bermain perang-perangan. Di kepala mereka terikat serumpun daun dan wajah coret hitam dari arang untuk kamuflase. Di tangan terlihat senapan dan pistol mainan dari pelepah pisang atau kayu. Mereka memperebutkan bendera di tengah kampung di sebuah kecamatan di Tangerang, Banten sebagai tanda kemenangan.

Menyaksikan polah mereka, saya teringat masa lalu saat memainkan perang-perangan bersama teman-teman. Pelepah pisang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibunyikan menyerupai suara tembakan. Yang lebih maju, kami membuat senjata dari semacam rumut yang kaku dengan amunisi kacang hijau. Jika ditiup, kacang hijau itu bisa membuat sakit siapa saja yang terkena.

Permainan perang-perangan selalu menarik untuk dimainkan. Selain melibatkan jumlah yang banyak sehingga terasa seru, kami juga merasa menjadi pahlawan karena membayangkan berhasil mengalahkan lawan bahkan penjajah.

Di tahun 1970-an, salah satu kegemaran saya adalah menonton film perang di telvisi. TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu seringkali memutar film perang antara Amerika /sekutu dan Jerman. salah satunya adalah film Baa baa Black Sheep (betul nggak, ya tulisannya?). Menyaksikan film perang saat itu membuat saya menghargai pihak Amerika yang selalu menang karena membela kebenaran dan membenci tentara Jerman yang menjadi penjahat dan menjajah dunia (baca Eropa).

Namun itu perang jaman saat saya masih anak-anak. Perang dari kaca mata saya sebagai orang dewasa bahkan setua sekarang memiliki arti yang berbeda. Perang identik dengan kehancuran sebuah peradaban, lumatnya kemanusiaan dan menyakitkan karena kematian dan penderitaan. Mari kita lihat dampak itu mulai dari perang Teluk tahun 1990-an, saat Irak menginvasi Kuwait. Dilanjutkan dengan serbuan Amerika ke Irak sengan alasan untuk menumbangkan Saddam Hussein sekitar sepuluh tahun kemudian. Perang ini tidak bisa dikatakan selesai, karena menyisakan berbagai aktifitas bom bunuh diri yang menelan jiwa tidak sedikit. Dan kini kita disajikan peristiwa serangan Israel ke Jalur Gaza. Dalam waktu dua minggu sampai tulisan ini saya buat, hampir seribu orang tewas dalam pertempuran itu. Korban terbanyak tentu di pihak Palestina, karena persenjataan kaum Yahudi begitu modern dan berskala besar. Ini yang paling menyedihkan, yaitu anak-anak yang tidak berdosa juga menjadi korban dengan jumlah seratur lebih.

Oh ya jangan lupakan mereka yang luka-luka akibat bom, peluru, atau tertimpa reruntuhan. Tercatat jumlah itu 3000 lebih. Nyawa mereka terancam, karena Israel mencegati bantuan kemanusiaan. Dokter dilarang masuk, walau obat-obatan boleh. Cuaca dingin dan fasilitas medis yang minim adalah faktor pemberat situasi.

Tidak ada yang berani memastikan kapan penderitaan itu akan berakhir. Usaha-usaha dunia internasional menghentikan peperangan belum membuahkan hasil. Dewan Keamanan PBB bak singa ompong, karena resolusi yang diharapkan dapat menekan Tel Aviv diveto Amerika Serikat. Dunia Arab juga terbelah sikapnya. Suriah nyata-nyata marah terhadap Israel, tetapi Mesir bersikap lunak dengan menyalahkan Hamas karena sengaja memprovokasi Israel.

Sikap pemerintah Indonesia yang berada di seberang lautan jauh lebih tegas daripada dunia Arab. Bahkan kalau bisa dibilang lebih luas daripada sekedar menyalahkan Israel. Dengan berunjukrasa di Kedubes AS dan permintaan boikot terhadap produk-produk seperti KFC, Mc Donald dan Coca Cola, sekelompok masyarakat Indonesia menjadikan perang Palestina sebagai bagian dari bentuk keprihatinan sendiri. Pemerintah AS dianggap melindungi Israel, kaum Zionis, yang perlu ditekan. Untunglah Presiden SBY mengingatkan kita bahwa pertempuran di Tanah Perjanjian itu bukan perang agama.

Terlepas dari alasan peperangan (dua pihak yang berperang pasti selalu menyalahkan lawannya), umat manusia kini tengah diuji. Dimanakah letak kemanusiaan? Perang memang selalu membawa korban, tetapi korban yang tidak perlu seperti anak-anak, orang tua dan wanita (kecuali yang jadi tentara) seharusnya diminimalisasi.

Saya teringat lagu karya John Lennon: Imagine. Lagu yang sarat harapan tentang keindahan dunia bila tanpa perang; sesuatu yang rasanya musykil di saat-saat ini ataupun mendatang. Namun demikian harapan rasanya perlu selalu ditumbuhkan, dijaga dan disebarkan, harapan untuk dunia yang lebih baik. Ingat kata pepatah: Menang jadi arang, kalah jadi abu. Perang tidak pernah mendatangkan keuntungan bahkan kerugian di kedua belah pihak. Jadi lebih baik damai. Atau paling jauh perang-perangan menggunakan senapan pelepah pisang.

Dor, dor, dor!

indi

Thursday, January 1, 2009

Met Taon Baru

Saya kagum, terpana, tercengang dan kemudian geleng-geleng saat melihat pesta kembang api pada perayaan tahun baru 2009. Di Serpong, Tangerang dekat rumah kami dan di televisi pada hasil penayangan liputan teman-teman. Indah, gemerlap , seru dan ... mahal! Angkasa malam yang gelap, menjadi bercahaya dengan warna beraneka ragam. Merah, kuning, hijau. Bentuknya pun bermacam-macam dengan suara khas ledakan petasan.

Sebuah hitung-hitungan yang muncul saat laporan (dari luar negeri, saya lupa negaranya) itu disampaikan adalah sekitar Rp 50 miliar. Di Indonesia menurut laporan yang saya dengar dan saya baca tidak ada hitung-hitungan serupa . Mungkin karena reporternya males cari data, tanya atau nggak pengen tahu, sehingga info yang seru itu tidak terekspos. Atau penyelenggara enggan membuka diri dan memaparkan nilai uang yang dibakar di angkasa. Namun kalau dengan hitung-hitungan kasar di sebuah mal di Tangerang yang menyelenggarakan pesta kembang api dan menyediakan 17 satu bokor kembang api seharga 1 juta rupiah berarti 17 juta rupiah untuk menghibur warga Tangerang saja. Sebuah angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan biaya pesta di luar negeri yang saya singgung di atas. Hanya saja kemudian saya menjadi bertanya-tanya betulkah kita membutuhkan biaya sebesar itu untuk terhibur saat malam pergantian tahun.

Seingat saya saat kecil dulu, malam pergantian tahun bukan sesuatu hal urgent untuk dirayakan secara besar-besaran. Paling-paling kami berkumpul makan-makan, menonton televisi (saat itu hanya TVRI) dan praktis tidak ada ajakan untuk ke tempat keramaian atau begadang semalaman. Namun seiring waktu perubahan bergerak menuju ke hedonisme dan pemuasan nafsu. Mengapa saya menyatakan itu, karena saya tidak pernah membayangkan betapa pergantian tahun dirayakan salah satunya dengan belanja. Betapa serunya sejumlah pusat perbelanjaan membanting harga barang-barang dagangannya di tengah malam sesaat sebelum pk 00.00.

Seberapa pentingkah kita merayakan tahun baru? Itu juga pertanyaan saya. Toh harinya sama saja. Matahari terbenam di ufuk Barat dan terbit di Timur. Jumlah jamnya pun tetap sama 24 jam dengan sedikit variasi pada cuaca berupa hujan atau tidak di daerah khatulistiwa atau salju di belahan utara. Mengapa sebagian orang perlu berhura-hura merayakan pergantian tahun? Kalaupun perlu diperhatikan tidakkah lebih baik dengan berintrospeksi, merenung, mengevaluasi diri terhadap apa yang sudah kita kerjakan 12 bulan sebelumnya.

Bagi yang senang akan tahun yang baru, ia dapat menyatakan penyebabnya adalah harapan di masa mendatang. Hari esok selalu membawa harapan jika kita melihatnya dengan rasa optimistis. Namun kembali muncul pertanyaan: setiap hari kan juga membawa hari esok, jadi apa bedanya dengan tahun baru?

Waahhhh, apa sih maksudmu, Indi? Kok repot ngurusin perlu tidaknya perayaan tahun baru? Biarin dong kalau orang mau hepi. Toh tidak salah dengan membuat orang hepi dengan cara masing-masing atau ada orang mau hepi dengan cara sendiri, baik belanja, makan-makan, atau merenung. Iya toh iya toh?

Saya teringat berita saat penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 30 Desember 2008. Saat itu para pialang, staf dan orang yang bekerja di BEI di Jl. Sudirman Jakarta berpesta tanpa terompet, sebuah gambaran betapa suasana muram karena krisis global masih terasa. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang selalu meriah, karena BEI saat masih bernama BEJ termasuk bursa terbaik di Asia bahkan dunia. Tetapi kini BEI nomor tiga terburuk di dunia, karena Indeksnya jatuh lebih dari 50%.

Mungkinkah kita melihat tahun baru selain penuh harapan juga penuh kehati-hatian. Tidak ada yang bisa memastikan tahun depan mendatangkan harapan yang lebih baik dari tahun ini. Oleh sebab itu mengapa kita tidak lebih bijaksana membelanjakan uang, membakar berjuta-juta rupiah di udara hanya untuk kesenangan sesaat. Atau belanja barang-barang berdiskon untuk memuaskan impuls kesenangan beberapa jam saja. Pernahkah kita berpikir lebih panjang untuk bersikap hati-hati menghadapi ketidakpastian esok hari? Yang pasti saya melakukan itu.

Selamat tahun baru 2009
indi



Monday, December 29, 2008

Pulang Kampung

Penyakit menahun adalah salah satu masalah kami keluarga asli Jawa ini, yaitu mudik. Alasan pertama kebutuhan mengisi liburan anak-anak, kedua, yang paling penting mencari makanan kampung hehehe.

Yang pertama sih bisa dilakukan tanpa pikir panjang, karena ... ya sekedar jalan-jalan mengisi liburan para precil yang sudah mulai gampang protes kalau bapak mereka kelamaan kerja. Nah yang kedua ini harus dipikirkan masak-masak. Maklum tempatnya kan banyak jadi harus ada pengaturan waktu, tempat yang harus dikunjungi, bujet dab perut (maklum usia bertambah sehingga jenis dan jumlah yang dapat ditolerir menjadi terbatas).

Karena belum bisa cuti, saya manfaatkan hutang libur yang sebelumnya sehingga ada cukup waktu untuk melesat ke Madiun. Lho kok Madiun? Ya namanya sudah nggak punya orang tua kandung, akhirnya keluarga mertualah yang jadi sasaran tujuan. Oh ya jangan salah, cukup waktu artinya bukan seminggu apalagi dua minggu; itu hanya empat hari ya empat hari. Pokoke cukup untuk memenuhi dua hal itu tadi.

Lupakan alasan yang pertama, karena kewajiban suddah dipenuhi dengan pemenuhan yang kedua hehehe. Makanan kampung bagi saya lebih sophisticated daripada makanan modern alias yang banyak ditemui di rumah makan, restoran dan mal. Walaupun sudah banyak makanan kampung yang masuk mal, dijual di restoran dan hotel, rasanya kok ya lebih afdhol makan makanan kampung di tempatnya.

Anda bisa bayangkan dijual di pinggir jalan, dalam bentuk kaki lima atau rumah makan dengan dinding gedek (bambu yang dianyam), dan masak mungkin jarang cuci tangan. Tapi rasanya dan atmosfernya itu lho....hmm...irreplaceable. Tapi kalau dipikir-pikir ini bukan sekedar rasa di lidah, tetapi juga di hati dan memori. Ada relung-relung benak yang terisi oleh ingatan betapa menyenangkannya menikmati makanan kampung di tempat asalnya. Yaaach...romantisme masa lalu kira-kira.

Makanan yang saya incar adalah jajanan pasar di Pasar Kawak Madiun, Pecel Madiun Edi dan Bakso 77. Sekali lagi makanan-makanan itu bisa ditemui dengan mudah di Jakarta atau kota besar lainnya, tetapi kok ya masih lebih enak kalau menikmatinya dari tempat asalnya. Misalnya Pecel Edi yang berisi nasi, sayur, siraman saus kacang, rempeyek yang disajikan (nah ini mungkin bedanya) di pincukan daun pisang. Pelengkapnya ada telur mata sapi, daging empal, telur balado atau jerohan goreng. Sama kan? Terus baksonya ya sama, wong cuma glundungan bakso sebesar telur ayam dan somay. Demikian pula jajanan pasarnya: kue bugis, nagasari, pastel, dsb. Sama lagi kan?

Tapi kok rasanya menurut saya (mungkin bertambah dengan romantisme masa lalu) kok ya lebih enak. Tak percaya? Coba deh, hehehe.

Rasa makanan menurut saya sangat subyektif. Ada pengaruh-pengaruh internal dan eksternal, budaya bahkan pengetahuan. Contohnya makanan Jawa Tengah yang bernuansa manis tentu dianggap tidak enak oleh penduduk non-Jawa Tengah. Alhasil saya tidak pernah percaya pada acara-acara wisata makanan yang disajikan oleh banyak tv dan dilabeli mak nyusss. Bagi saya itu hanya sekedar pengetahuan. Pengalaman menikmati makanan dan rasa makanan adalah dua hal yang berbeda.

Oleh sebab itu pulang kampung bagi saya tetap menjadi ritual menarik, karena ada perjalanan nostalgia dan menjelajah masa lalu melalui makanan-makanan kampung.

indi

Sunday, December 21, 2008

Kisah Sedih di Hari Ibu

Seorang anak menangis di pelukan ayahnya, sementara ibunya berusaha menarik sang anak. Sejurus kemudian sang anak menjambak rambut ibunya dan berseru: Tidak mau, tidak mau! Aku lebih suka bersama papa. Mama jahat! Itulah tayangan yang mengawali program kami di Senin pagi ini tepat pada Hari Ibu. Disaksikan puluhan pasang mata, sepasang suami isteri (kabarnya sudah bercerai) memperebutkan anak ketiga mereka di sekolah sang anak di Semarang.

Ingatan saya menerawang jauh ke masa kecil saya. Sebagai anak kolong (sebutan bagi anak anggota ABRI sekarang TNI), saya tidak memiliki kemewahan bertemu alm. bapak dalam waktu yang cukup. Selain kerap berpindah tugas, beliau pun wafat saat saya masih berusia 13 tahun. Waktu yang cukup lama untuk membongkar kembali ingatan itu. Salah satu yang saya ingat adalah betapa bapak yang fotonya gagah terbaring lunglai akibat stroke karena darah tinggi. Saya membayangkan betapa beliau pasti kehilangan kebanggaan menjadi kepala rumah tangga yang bisa menjamin keamanan dan kenyamanan keluarga. Kemudian tampillah ibu saya mengurusi kami semua berenam sebelum beliau terbaring sakit dan wafat 17 tahun lalu.

Kasih sayang dan jerih payah mereka berdua membuat saya merasa tidak berguna karena saya tidak sempat membahagiakan mereka saat ini. Saya bisa membayangkan betapa mereka bahu membahu untuk memastikan anak-anak mereka mendapat makanan yang cukup, pakaian yang baik, sekolah yang lancar dan masa depan terjamin. Walau bapak tidak sampai membangun dinding keberhasilan anak-anaknya secara tuntas, minimal ia telah memastikan dinding itu berdiri secara kokoh dan ke arah yang tepat. Sementara ibu membuat dinding itu penuh dekorasi keindahan dalam budi pekerti dan kebaikan.

Kembali ke tayangan tadi, saya kemudian mengasihani sang anak yang baru duduk di bangku taman kanak-kanak. Sedikitnya Rafael demikian nama nak itu mengalami dua kerugian. Pertama ia mengalami trauma batin akibat menjadi bahan rebutan kedua orang tua kandungnya. Alih-alih harus melindungi sang anak dari buruknya dunia, keduanya justru menunjukkan bahwa mereka adalah sumber bencana bagi sang anak. Bahkan diperlukan dua
ibu guru untuk membuat sang anak merasa aman. Kedua sang anak secara tidak langsung tertekan oleh lingkungan yang menyaksikan betapa kedua orang tuanya bukan orang tua yang bijaksana dalam menyelesaikan persoalan. Ia akan menjadi bahan gunjingan lingkungan baik yang simpati maupun yang menyakiti.

Sedikitnya saya mengetahui dua rumah tangga yang tercabik dan berujung pada perceraian serta perebutan hak asuh anak. Satu yang menjadi tamu dialog program kami dan satu lagi rekan sejawat saya di kantor.

Tamu dialog kami seorang bintang sinetron menyatakan sudah enam tahun mengusahakan agar anaknya jatuh ke pangkuannya. Dua hasil pengadilan baik di tingkat awal maupun banding memenangkannya. Suaminya tidak puas mengajukan kasasi dan hasilnya masih menunggu. "Hebatnya", walau putusan bersifat serta merta, yang artinya sang anak harus dikembalikan kepada sang ibu, eksekusi tetap tak dapat dilakukan. Sang suami dan keluarganya menghilangkan jejak sang anak agar ibunya tak dapat memeluknya lagi.

Satu kasus lagi serupa tapi tak sama. Rekan saya harus menempuh ratusan kilometer untuk dapat bertemu buah hatinya dan menemukan sang putri yang berusia 6 tahun menyebutnya sebagai tante. Teman saya itu tak dapat berbuat banyak, walau pengadilan memutuskan hak asuh anak ia menangkan. Penyebabnya ia tak dapat melawan kekuatan mantan suami yang seorang aparat negeri ini.

Dua kasus itu memiliki latar belakang dan proses yang sama sebelum bermuara pada perceraian dan rebutan anak; yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Suami kerap berlaku ringan tangan dan kaki terhadap isteri. Perlakuan sebagai sansak hidup ini perlahan membuat isteri yang dipercaya berasal dari tulang rusuk kaum pria tidak lagi merasa terlindungi dan percaya pada suaminya.

Namun sialnya di hampir sebagian besar kasus perebutan anak menyebabkan sang anak menjadi korban atau obyek. Seorang psikolog menyatakan kemampuan verbal yang belum sempurna menyebabkan anak tidak dapat menyuarakan kata hati yang layak diperhitungkan. Pertanyaan berikutnya, di mana hak anak dalam kasus ini? Seorang pejabat Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan anak memiliki hak di antaranya untuk merasa aman, mendapat pendidikan untuk masa depannya dan hak bermain. Di antara ketiga hak itu anak-anak korban perceraian mungkin hanya memperoleh satu atau paling banyak dua. Yang pasti ia akan tidak aman karena kedua orang tuanya berseteru dan mengabaikan rasa amannya.

Pikiran saya kembali menerawang puluhan tahun lalu. Pernah saya melihat bapak ibu saya bertengkar di hadapan kami anak-anak, karena masalah orang ketiga. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah saya merasa betapa rumah saat itu kehilangan kenyamanan. Untunglah pertengkaran itu tidak sampai berlanjut ke tingkat yang lebih buruk, namun tetap saja saya bisa merasakan betapa anak-anak kehilangan kepercayaan bila sesuatu terjadi pada orang tua mereka.

Saya tidak mau hal itu terulang pada anak-anak saya sekarang. I promise.
indi

Monday, December 1, 2008

Shabu-shabu vs Bogana

Ini adalah istilah yang bisa bikin orang merinding atau kenyang. Yang pertama adalah karena barang haram alias narkotika. Sedang yang kedua adalah makanan khas Jepang. Itulah yang kami nikmati saat akhir pekan lalu.

Tidak mudah untuk memutuskan makan di rumah makan Jepang bersama keluarga. Masalahnya, saya terbiasa untuk makan karya nyonya rumah untuk shabu-shabu. Ya, saya rasa, shabu-shabu karya isteri saya patut diacungi jempol (hehehe Anda yidak boleh ngiri atau protes, lagu pula siapa lagi yang bisa memuji kalau bukan suaminya).

Akhir pekan lalu, saya anggap keluarga kami sudah biasa makan di kawasan BSD, Tangerang; jadi saatnya untuk menjelajah kawasan kuliner lainnya. Jadilah kami mengarah ke Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tujuannya restoran Jepang. Sumpah, saya belum punya referensi restoran Jepang kecuali di Mal Kelapa Gading, Jakarta Timur.

Rada ngeri juga kalau saya diprotes para precil dan ibunya jika saya gagal memuaskan mereka. Maklum saya berpromosi gencar untuk membawa mereka makan siang dengan gaya berbeda.
Dimulai dengan kesulitan mendapatkan parkir. Kami berputar-putar untuk mendapatkan ruang. Setelah hampir satu jam, ada tempat di Basement 3. Jauuuh di bawah tanah. Fiuuuh, saya masih bisa menyelamatkan muka, karena para pengikut setia hampir putus asa.

Keliling punya keliling, kami temukan Shabu-Tei di lantai 3. Tapi...ini yang repot. Antreee...padahal waktu sudah menunjukkan pk 14 WIB. Perut sudah teriak-teriak, kaki sudah gemetar dan kerongkongan sudah mengering. Rapat singkat menyepakati untuk mencari tempat lain. Eh, ketika kami mau beranjak, satu demi satu mereka yang berbaris di depan kami beranjak pergi. Saya beranikan untuk maju ke kasir. Ada seorang pria paruh baya menemui kami. Akhirnya, horeee... kami diminta menunggu sekitar 5 menit untuk menyiapkan dan membersihkan meja untuk kami berempat.

Shabu-shabu untuk dua orang, seporsi tempura sayuran, dua porsi sushi ayam dan salmon serta minuman adalah makanan yang rasanya begitu banyak dan belum pernah kami pesan sebelumnya. Tapi apa yang terjadi, semua tandas. Konstituen saya sukses menandaskan semua makanan itu. Bahkan si kecil minta lagi seporsi Banana Split. Ckckck...

Enak, tapi kantung juga mengurus dengan segera. Tapi karena diniati ya sudahlah. Untungnya ada diskon, karena pakai kartu kredit, ada potongan 25%. Lumayanlah.

Masih soal makanan, rapat rutin saya awal minggu di kantor kami buka dengan makan siang. Wah, menunya berbeda dan boleh juga. Biasanya, kalau tidak masakan Padang, ya Gado-gado. Kali ini yang tersedia adalah Nasi Bogana . Nasi campur dari Tegal Jawa Tengah ini dibungkus dengan daun pisang tersembunyi di balik kotak berukuran sedang.

Bagi perut saya yang tidak besar, ukuran nasi Bogana ini sangat tepat. Pas untuk menghalau rasa lapar, namun tidak sampai kekenyangan. Kasihan buat rekan-rekan saya yang biasa gembul. Jadinya mereka harus menambah beberapa gelas air minum untuk mengenyangkan perut. Masalahnya mereka tidak bisa tambah, karena jumlah nasi yang sesuai peserta rapat.

Kesamaan dari kedua jenis makanan itu adalah sama-sama memuaskan lidah dan perut saya. Akhirnya saya teringat kriteria makan enak karya saya sendiri. Saya simpulkan ada 3 kriteria makan enak, yaitu:
1. Makanlah saat lapar. Seorang bijak menyebutkan, lauk terbaik saat makan adalah rasa lapar itu sendiri. Makanan pasti jadi sangat nikmat. Namun rasa makanan seberapapun mahalnya akan tidak memuaskan bila perut Anda sudah kenyang dan perut mulai menolak tambahan lagi.
2. Makanlah bersama teman, kerabat, orang yang Anda cintai. Amsal Salomo menulis, betapa enaknya makan bersama saudara tanpa disertai perbantahan. Bayangkan betapa tidak enaknya makan sendirian atau bersama musuh.
3. Nah, ini yang paling penting. Makan bila dibayari alias gratis. Hehehe. 2 hal di atas tambah gratisa. Hmmmmm. Endang bambang.

Setuju?
indi