Friday, August 1, 2008

Stuck in Bandung

Dear friends,

It's been 3 weeks I haven't updated my blog since I wrote my last experience. I found so much fun and problems in living my life. However, I believe all of those experiences gave me huge spirit in facing the world.

I wrote this letter while I was in Bandung to participate a meeting with local election commission (KPU Bandung). Though it was late at night and my body was struggle with fatigue, the meeting was fruitfully succeed. Unfortunately I couldn't taste all the famous magically blended and cooked Bandung food. I had to return to Jakarta in the middle of the night.

Ooh I'm glad that tomorrow is Saturday. I can wake up late and not to worry for the busy day.

Alright, see you soon, because I have something in mind about the serial killer from Jombang, Ryan.
indi

Wednesday, July 16, 2008

Ke Laut (bag-2)

Gambaran tentang Pantai Carita yang hitam dan kumuh lenyap. Hamparan pasir putih dengan gelombang relatif bersahabat dan dasar laut yang dangkal adalah sebuah bonus atas perjalanan yang lumayan melelahkan selama sekitar 3 jam dari Jakarta. Mungkin pantai yang langsung berada di belakang hotel Wira Carita membuat kawasan itu relatif aman, bersih dan nyaman. Pohon-pohin besar bertumbuhan di tepi pantai tidak hanya kelapa tetapi juga ketapang.

Hari telah petang saat kami menjejakkan kaki ke pantai. Harapan untuk melihat matahari terbenam gagal sudah. Tetapi angin yang lembut dan udara sejuk cukup untuk menyegarkan tubuh dan mental yang penat.

Bagi penggemar makan seperti saya, kawasan Carita bukanlah tempat yang elok untuk berburu makanan khas. Selain sulit mendapatkan tempat makan yang layak, jenis makanan yang dijual pun tidak ada yang spesifik. Alhasil, kami cukup menggunakan insting untuk mengembalikan energi tubuh; yaitu makan untuk kenyang dan hidup. Cukup nasi goreng dengan telur dan sayur daun singkong bersantan. Biasa saja kan?

Sasaran kami selanjutnya adalah first ray of light. Memang tidak mungkin mendapatkan 'sunrise' di Carita, karena posisi pantai yang membelakangi matahari. Tetapi menikmati pagi yang segar tentu cita-cita yang menarik. Untuk itu kami segera tidur cepat. Tidak ada tv dan baca buku sebelum tidur. Apalagi memang tubuh cukup penat untuk beraktifitas yang lain malam itu.

Tidak ada kokok ayam saat mata terbuka. Lagi pula mana mungkin penduduk atau petugas hotel memelihara ayam di sekitar pantai. Bisa-bisa sang ayam kecemplung laut atau bikin kotor pantai yang indah itu. Matahari secara perlahan memecah kegelapan, ketika jam menunjukkan pukul 5.50 WIB.

Berhubung semua sudah sepakat untuk bangun pagi (sebetulnya perintah sang jenderal ini), kedua precil yang masih terlihat nyaman di balik selimut dan bantal segera kami bangunkan. Herannya, mereka pun tidak protes. Berbeda kalau di rumah, rasanya banyak alasan yang bisa dijadikan penahan untuk tidak segera bangun dari kasur.

Tanpa mandi dan gosok gigi (bayangkan joroknya, hiiii) kami segera ke pantai. Nggak peduli ah, yang penting asiik. Toh kami tidak perlu repot-repot ngeceng atau mencium orang hehehe.

Melihat kondisi pantai rasanya masuk akal kalau saya bertanya minimal kepada diri sendiri dan isteri saya, dengan pantai seindah ini, kenapa sih banyak orang harus berbondong-bondong ke Bali.

Ijinkan saya menggambarkan keindahan pantai Carita lebih detil dari perspektif saya yang subyektif ini. Pertama, hingga seratus meter ke arah laut kedalaman kurang dari satu meter. Kedua ombak relatif besar cocok untuk bermain papan seluncur. Ketiga pasir putih yang bersih terhampar hingga lebih dari tiga kilometer. Tampaknya anak-anak saya (lagi-lagi subyektif) setuju dengan saya; mereka bermain air, berseluncur, mencari kerang dan bersantai di bawah rimbunnya pepohonan.

Namun ada negatifnya: infrastruktur pendukung di obyek wisata itu sangat kurang. Di antaranya adalah: hotel dan rumah makan tua dan sedikit, jalan banyak rusak, banyak pengemis dan penjaja dagangan yang tidak tertata.

Menyebalkannya para penjaja dagangan dan pengemis terasa, saat sayadan isteri beristirahat di bibir pantai. Satu kata yang berulangkali terucap adalah kata 'tidak'. Kami terus terang sampai bosan mengicapkan penolakan atas tawaran ikan asin, layang-layang, otak-otak, pijat, tikar, pisang dan nasi bungkus. Cape deh. Kami tak sempat menikmati pantai dan keindahannya, karena tak henti-hentinya mereka datang menawarkan dagangan dengan suara memelas.

Hari bergulir, matahari meredup di ufuk barat. Pesanan ikan bakar kami datang. Hmmm baunya sedap menguar membuat perut berontak. Di bawah sinar bulan setengah purnama, kami berempat menyantap tiga ekor ikan baronang dan kakap besar-besar penuh nafsu. Diiringi musik debur ombak yang mengalun ritmis, rasanya itulah makanan ternikmat yang pernah kami santap. Pedasnya sambal kecap dan terasi bercampur dengan gurihnya daging empuk nan harum serta minuman kelapa muda langsung dari batoknya, ahh indah sekali malam itu. Pantai Carita kami kan datang lagi. Semoga saat itu, pantaimu terjaga dan tetap indah.

indi

Monday, July 14, 2008

Ke Laut (bag-1)

Jangan salah mengartikan judul "ke laut" dengan sebutan yang umum terdengar saat ini bila seseorang tidak menyukai sebuah permintaan atau pernyataan. Ke laut memang benar-benar ke laut, yaitu saat saya dan keluarga menikmati liburan di akhir pekan lalu

Ceritanya begini:
Belum pernah saya menikmati keindahan laut yang benar-benar dalam konteks berwisata. Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan TNI AL (almarhum bapak saya seorang marinir), laut adalah bukan barang aneh. Bapak pernah punya kapal penangkap ikan yang awaknya secara rutin mengirim hasil tangkapan berupa ikan, rajungan, cumi dan udang ke rumah kami. Selama beberapa tahun sewaktu saya siswa SD, rumah pun hanya seratus meter dari bibir Laut Jawa. Setiap hari Minggu pagi, saya selalu berenang di laut yang tenang, biru dan jernih. Namun, saya belum pernah berwisata ke pantai. Itulah masalahnya.

Menjelang akhir liburan sekolah lalu, kedua anak saya (termasuk ibunya) memprotes kepada jenderal rumah tangga ini, alasannya saya tidak pernah mengajak mereka berlibur. Kerja, kerja, dan kerja; itulah keluhan mereka terhadap saya. Yang terakhir saya menghabiskan waktu dengan berkeliling le beberapa daerah selama hampir dua minggu untuk membuat program debat pilkada (program tv di kantor saya).

Memang sebuah keluhan yang tidak boleh diabaikan. Bisa repot kalau ibunya anak-anak ikut dalam demo anti-jenderal diikuti para precil yang mulai lantang menyuarakan aspirasi mereka. Setelah menghitung kemampuan finansial (maklum semua pos pengeluaran telah terukur) saya putuskan untuk pergi ke laut. Masalahnya kalau ke gunung cukup sulit untuk mencari tempat yang enak. Ke Bandung pun kemacetan menjadi hantu yang mengancam.

Mencari hotel atau penginapan ternyata tidak mudah. Di internet juga tidak banyak situs yang menyediakan informasi tentang penginapan di Anyer dan Carita, Banten. Memang Hotel Sol Elite Marbella mudah diakses, tetapi harga kamar per malamnya, amboi, bukan level saya. Entah saya yang tidak 'gape' mengorek isi perut Google dan Yahoo, atau karena memang karena tidak ada informasi hotel di pinggir kedua pantai itu, saya pun menyerah.

Untunglah ada teman yang menginformasikan hotel Wira Carita. Mungkin karena putus asa, saya mengiyakan untuk memesan tempat di sana. Pokoke berlibur sesuai permintaan para kawula di rumah. Dengan harga Rp. 440.000 per malam, saya mendapat kamar di hotel itu dengan pemandangan laut. Kamarnya dijanjikan besar dengan kapasitas untuk empat orang. Hmmm 'not bad' lah. Anda tahu, anak saya yang besar (anak saya cuma dua orang, seperti di foto) tidak antusias dengan keputusan jenderalnya ini. Habis, ia lebih suka ke gunung; adem katanya (kalau masalah dingin kan bisa pake AC, ya kan?)

Singkat cerita, Jumat pagi selepas siaran, saya langsung pulang. Beruntung para bos saya murah hati. Mereka tidak protes saat saya membolos langsung berangkat ke Carita. Hehehe padahal saya belum tiga bulan bekerja di sini. Thank you, guys.

Perjalanan ke Carita relatif tidak ada hambatan. Saya memberi apresiasi terhadap pengelola jalan tol Jakarta-Merak yang berusaha memperlebar, memperhalus dan meningkatkan keamanan penggunanya. Walaupun di beberapa tempat ada perbaikan jalan dan mengganggu kelancaran, secara umum langkah itu saya nilai positif untuk jangka panjang.

Nah ini yang justru membuat kami puyeng. Pengetahuan saya tentang Pantai Carita begitu minim. Perjalanan yang mestinya sudah mulai membangun kebersamaan di antara kami justru menambah kepala nyut-nyutan. Masalahnya, si kecil, cewek, yang cerewet itu tak henti-hentinya memprotes, kenapa tidak segera sampai. Jawaban saya yang berusaha meredam protesnya tak jua berhasil. Pakai pendekatan kekuasaan juga sama saja. Ibunya ikut merengut. Hahaha. Inilah tim yang tidak solid saat itu.

Ah sudahlah. Anggap saja itu bumbu penyedap.

Pas tiga jam saya melihat plang Wira Carita. Nahhhh itu dia!!! Saya bersorak sebagai bentuk pelepasan rasa puas yang mendera selama itu. Laut, here we come.....!!!!
(nanti sambung lagi ya. udah malam neh, saya pulang dulu)

Monday, July 7, 2008

Makan Enak

Bagi saya nama Nyoto memiliki arti penting. Bukan saja artinya yang memang menunjukkan kenyataan hidup yang harus kita hadapi, tetapi nama itu berarti makan enak.

Begini ceritanya. Nun jauh di pojok Surabaya sebelah Barat, saya dikenalkan seorang temapn tempat makan yang sederhana, tetapi bercitarasa mantap. Tepatnya sewaktu saya mengabdi di tempat lama dan bertugas di Kota Pahlawan.

Sebagai seorang penganut Kristen Advent yang puritan dengan makanan, daging bukanlah pilihan utama makanan saya. Namun begitu diajak menikmati makanan bernama kare kambing Pak Nyoto, saya melupakan sejenak pilihan tersebut.

Bisa dibilang tidak ada yang istimewa dari rupa tempat makan itu. Panas, berdebu, sempit dan pengap. Terletak di pinggir jalan besar dan berdekatan dengan Kantor Imigrasi Surabaya Barat membuat warung tersebut benar-benar tidak higienis. Saya cukup toleran dengan tempat makan yang tidak higienis asal enak; dan inilah tempat tersebut.

Melihat makanannya pun Anda mungkin bisa mengerenyitkan dahi. Betapa tidak. Kare kambing Pak Nyoto berisi makanan yang full lemak. Bagi pengidap asam urat dan kolesterol serta penyakit jantung disarankan untuk berpikir ulang untuk menyantapnya. Di dalam kotak kaca etalase hidangan, terpampang usus, limpa, otak, torpedo (kemaluan kambing), hati, paru dan kikil. Hebatnya, semua digoreng (entah minyak gorengnya sudah berapa kali digunakan). Kita bisa memilih apa isi kare kita; sejenis, dua jenis atau campur semua.

Praktis hanya potongan jeroan itu isi mangkuk yang akan disantap. Dengan siraman kuah kare yang merah tanpa santan dan potongan kucai, kare kambing siap disantap. Oh ya kucuran air jeruk tak lupa ditambahkan serta sekepyur irisan bawang goreng. Bila ingin berbeda rasa, tersedia kecap dan sambal.

Campuran inilah yang membuat saya menyukai kare kambing yang jauh dari menyehatkan tersebut. Dalam setiap kesempatan ke Surabaya saya akan mengunjungi sang maestro kare kambing di tepi Surabaya. Seperti pada hari ini 7 Juli 2008, secara khusus saya mengajak dua teman untuk mengunjungi Pak Nyoto, walau dari tengah kota Surabaya di tengah hari bolong (saya khawatir torpedonya sudah habis jika lewat jam makan siang). Sampai-sampai sang supir taksi pengantar kami berceletuk: makan saja kok jauh-jauh mas? Kayak nggak ada makanan lain).

Setelah dipikir-pikir, pertanyaan tersebut masuk akal. Sedemikian tergila-gilanyakah saya pada makanan tersebut? Masak cuma karena jeroan saya harus menyisihkan waktu, tenaga, uang yang tidak sedikit untuk menikmatinya.

Ada yang menurut saya sangat penting dalam menikmati makanan. Selain rasa dan harga yang menjadi pertimbangan terbesar, sikap penjual dalam melayani pelanggan menurut saya berperan cukup signifikan. Adakah calon pembeli mendapat pelayanan baik dan bersahabat ketika ia hendak mengeluarkan uang pembeli makanan.

Tidak hanya rasa, aura keramahan Pak Nyoto selalu menarik ingatan bila ingin makan di Surabaya. Sesaat setelah masuk warung yang padat manusia, saya menyapa sang juragan dengan suara sedikit keras. Begitu tahu kalau saya yang memanggil, kontan ia dan isteri menyambut dengan teriakan yang jauh lebih keras. Rasanya seluruh warung bergetar oleh kehangatan sambutannya pada kami.

Tangannya yang berlumur minyak karena memotong jerohan diulurkan untuk menjabat saya. Guncangannya mantab dan disertai guyonan khas orang Surabaya. Inilah yang jarang saya temui jika makan di restoran bersih, mahal dan ternama.

Rasa enak dan harga mahal pasti biasa. Rasa enak berharga murah mungkin jarang ditemui. Tetapi sepertinya lebih jarang lagi bila ada makanan seperti kare kambing yang berharga hanya 10 ribu rupiah yang berisi banyak, enak, serta disertai keramahan yang betul-betul hangat.

What a food. It's worth to try.
indi

Sunday, July 6, 2008

Malas

Penyakit yang satu ini hampir selalu menjangkiti saya jika harus mengerjakan hal-hal yang saya anggap penting, tetapi tidak cukup penting (you know what I mean lah). Itulah yang terjadi pada saya akhir-akhir ini, tepatnya pada blog ini.

Ketika membuat situs ini akhir tahun lalu, saya tidak ingin bercanda atau main-main. Tidak pernah terlintas untuk mengabaikannya. Bahkan saya berjanji untuk memperbaruinya minimal seminggu sekali. Kenyataannya, saya terakhir mengunjungi "bayi" ini dua pekan lalu. Berarti saya tidak menepati janji.

Pilkada adalah penyebabnya. TV tempat saya bekerja telah memproklamirkan diri sebagai TV Pemilu. Penyelenggaraan pilkada di beberapa provinsi kemudian menjadi program "appetizer" sebelum "main course" yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. Tiga provinsi secara berturutan menyelenggarakan pilkada yaitu NTB, Bali, dan Jawa Timur dalam waktu seminggu. Ckckck. Jadilah saya dan teman-teman berkeliling ke daerah-daerah itu. Sebelumnya pun saya harus berkutat dengan pembuatan program yang menyita waktu hingga berjam-jam. Situs ini akhirnya menjadi korban.

Namun jika dipikir-pikir sebetulnya ada lho waktu untuk membuka internet walau hanya beberapa menit dan mengetik pikiran saya dalam beberapa paragraf. Ya itu tadi, dengan alasan lelah saya mengabaikannya. Kayaknya kata malas yang paling tepat untuk menggambarkan tindakan saya.

Sudah berulangkali saya melakukan tindakan serupa, yaitu menunda pekerjaan. Salah satunya adalah masalah kartu kredit. Oktober tahun lalu, saya dan isteri sepakat untuk menambah kartu kredit, yaitu HSBC setelah berbelanja di Hypermart. karena tertarik dengan program gratis belanja senilai tertentu dan iuran gratis setahun, saya mendaftar pada staff kartu kredit itu. Setelah melalui berbagai uji (baik isian formulir maupun verifikasi faktual ke rumah) kartu kredit saya disetujui. Namun saya memutuskan untuk tidak mengaktifkannya, karena ternyata program belanja gratis itu tidak ada lagi.

Yang lebih mendongkolkan lima bulan kemudian muncul tagihan iuran tahunan. Wah apa lagi ini pikir saya. Lha wong belum setahun kok sudah ada tagihan yang katanya gratis. Nah ini dia penyakit saya, yaitu saya menunda-nunda mempertanyakan tagihan itu. Sebulan kemudian muncul lagi tagihan serupa. Serunya, ada lagi tagihan untuk keterlambatan pembayaran iuran tahunan itu. Mendongkolkan memang. Tapi saya saya lagi, yaitu kembali saya menunda-nunda untuk menelepon. Baru dua minggu lalu saya menelepon customer service HSBC untuk membatalkan kartu sebagai bentuk protes atas tagihan beruntun yang menurut saya tidak pada tempatnya.

Selain itu, saya yang juga sekretaris jemaat GMAHK CPBSD Tangerang menunda sebuah pekerjaan yaitu memproses perpindahan beberapa anggota jemaat yang keluar atau masuk. Sudah hampir empat bulan, tetapi belum ada yang beres, karena saya terus menunda dengan alasan-alasan yang masih diterima akal, tetapi sudah kelewatan lamanya.

Kasus-kasus ini menunjukkan betapa buruknya penyakit malas saya. Memang belum memberikan dampak negatif, tetapi keputusan untuk menunda-nunda penyelesaian sebuah masalah hanya akan memperbesar persoalan. Akhirnya saya sendiri seringkali kehilangan momentum untuk menyelesaikan persoalan itu.

Untuk kasus Situsindi, malam ini saya memutuskan harus mengisi dan memperbaruinya. Walaupun mengantuk karena belum cukup tidur setelah melintasi Bali dan pesisir Jawa Timur, saya berusaha membayar janji dan mulai mengisi.

Tolong, jika Anda memiliki persoalan yang harus ditangani segera...kerjakanlah. Suatu saat Anda pasti bersyukur karena tidak menunda pekerjaan itu.

indi

Sunday, June 8, 2008

Melewati Malam di Semarang

Perut ini melilit karena rasa lapar, setelah hampir empat jam didera emosi saat mengerjakan Debat Antarcalon Gubernur Jawa tengah Kamis malam pekan lalu. Belum lagi kaki yang rasanya enggan diajak berdiri begitu semua tayangan dinyatakan selesai. Betul-betul malam itu tim kami tidak hanya berusaha menampilkan tampilan yang menarik di panggung, tetapi juga di layar kaca; alhasil pikiran dan tubuh habis diperas. Boro-boro makan besar, ngemil pun tak sempat.

Waktu menunjukkan pk 23 lebih sedikit, ketika kami beramai-ramai meninggalkan hotel untuk mencari tempat makan. Sekitar 20 orang berbondong-bondong keluar dari Gumaya Tower Hotel di kawasan Kranggan Semarang menyusuri jalan yang lengang. Pucuk dicinta di sepanjang jalan tampak berderet penjual sate ayam dengan format lesehan. Berhubung tidak mungkin lagi untuk berwisata kuliner di tengah malam itu, kami pun menyiapkan diri untuk mengunyah sate ayam yang biasanya sebesar lalat (alias kecil-kecil).

Dengan keramahan ala Jawa Tengah, Pak Slamet (namanya saya tahu dari bentangan kain butut di depan angkringnya) mempersilakan kami untuk duduk. Kebetulan tempatnya yang paling luas daripada penjual sate ayam yang lain. Sambil menunggu sate ayam yang tengah dibakar, saya memesan minuman jeruk manis panas, sekedar untuk menenangkan jeritan si perut. aya mencuri lihat sate ayam yang dibakar. Wuih....ukurannya kok lebih generous dibandingkan sate ayam yang saya biasa saya temui. Paling tidak potongannya sebesar ukuran jempol kaki saya (pasti lebih gede dari kelingking kan). Mantap neh...

Setelah sekitar 10 menit (maklum yang dibakar banyak sekali), datanglah sepiring sate ayam dengan potongan lontong bersiram bumbu kacang. Hmmmm...the smell is good pikir saya. Mencoba untuk tidak memberi penilaian dini, saya pikir bau enak itu muncul karena perus saya yang sangat lapar.

Mulailah ritual makan sate dimulai. Mula-mula saya lihat dulu satenya. Betul besar-besar potongannya. Trus saya menemukan adaya berwarna kuning kehitaman, berbentuk bulat. Aneh. Biasanya daging ayam tidak seperti itu. Ternyata telur muda dan potongan ati. Tanpa mencelupnya ke bumbu kacang, saya menggigit telur itu. Bau sangit karena terbakar membuat sensasi yang lain. Enak. Setelah itu baru bumbu kacang, bawang dan potongan cabai rawit menyusul hingga menjadi perpaduan yang tepat.

Sate ayam berukuran besar itu membuat saya tidak dapat menghabiskan seluruhnya. Hanya 10 tusuk sate daging, ati dan telur yang ludes. Nyam...nyam...nyam. Gelontoran air jeruk manis yang sudah tidak lagi panas membuat perut harus berkonsolidasi lebih ketat. Ini nikmat sekali.

Saya pernah menyampaikan hipotesis kepada beberapa teman tentang enak-tidaknya makanan. Makanan menjadi enak bila:
1. Makanan itu dimakan saat kita lapar (bayangkan betapa tidak enaknya makanan bila kita kenyang. Walaupun pemasaknya adalah koki terkenal, makanan buatannya pasti kita tolak bila perut terisi penuh)
2. Kita makan dengan orang yang kita senangi (baik kekasih, atau sahabat). Saya membayangkan, sop buntut Hotel Borobudur yang kondang itu pasti terasa seperti batu kerikil, bila kita memakannya bareng musuh atau orang yang tidak kita sukai.
3. Kita tidak perlu membayar satu peser pun alias gratis. Ini sih semua orang mau hehehe.

Nah, sate ayam yang saya makan di pinggir jalan Kranggan itu memenuhi tiga kriteria tadi. Yaitu saya makan saat lapar, makan bersama teman-teman yang baik dan asik, dan makan dibayari kantor. Anyway, asik kok sate ayam Pak Slamet itu. Saya belum pernah menemui sate ayam yang terbuat dari telur muda dan potongan ati yang guede-guede.

Walaupun wisata kuliner di Semarang batal (saya harus kembali ke Jakarta Jumat siang, setelah beli oleh-oleh yang wajib yaitu lumpia dan moaci), sate ayam malam itu boleh menjadi catatan lain jika berkunjung lagi ke Semarang.


indi

Wednesday, June 4, 2008

Pilkada 2

Memang hebat para tokoh yang berani mencalonkan diri sebagai pemimpin kepala daerah. Hitung-hitungannya, tokoh itu harus memiliki visi, berani memimpin masyarakat yang heterogen, dan yang kini harus diperhitungkan adalah memiliki uang untuk membiayai kampanyenya. Yang terakhir ini benar-benar bergizi, karena uang yang dikeluarkan tentu tidak sedikit mulai dari membayar tim sukses, membuat atribut kampanye, memberi setoran ke partai pendukung, hingga memberi oleh-oleh pendukung kampanye.

Mungkin orang-orang dengan jenis itu mudah ditemui juga. Toh orang berpunya pasti bervisi dan bisa memimpin (kalau tidak dari mana ia memperoleh hartanya). Masalahnya, dalam sebuah kampanye seorang kandidat harus mampu menyatakan semua program yang diusungnya sejelas mungkin agar publik mendapatkan figur pemimpin yang dapat dipercaya; dalam hal ini tidak semua orang berani dan mampu berbicara di sebuah forum terbuka. Apalagi sampai diadu macam Obama vs Clinton.

Dua nama yang terakhir begitu mewarnai persaingan calon presiden Partai Demokrat AS. Walaupun belum sampai menentukan presiden, keduanya bertarung sedemikian rupa sehingga publik sendiri (termasuk kubu Republik) mendapat suguhan yang seru dan mencekam. Dalam setiap kesempatan debat keduanya adu kepiawaian berbicara dan olah pikir.

Sebagai penikmat dan pelaku pertelevisian, saya merasa terpuaskan dengan aksi keduanya di panggung yang sama. Inilah bentuk terbaik menurut saya, untuk menakar seberapa mampu seorang calon pemimpin meyakinkan konstituennya bahwa ialah figur terbaik.

Begitu mengalihkan pandangan ke dalam negeri, saya kembali ke dunia nyata. Inilah Indonesia yang saat ini harus bergelut dengan persoalan-persoalan mendasar sehingga belum mampu bagi seorang calon pemimpin mengadu argumentasinya secara terbuka melawan kandidat lain.

Pertengahan minggu di awal Juni ini, stasiun tv tempat saya bekerja menyelenggarakan penyampaian visi misi kandidat gubernur Jawa Tengah bersama KPU setempat. Rencananya, kami membuat setiap pasangan calon beradu visi, misi dan program secara terbuka, tanya jawab dan berdebat. Sayang seribu sayang rencana itu tinggal rencana. KPU menolak usulan kami dengan alasan ada peraturan pemerintah yang melarangnya. Hal itu ditegaskan lagi saat tim kami bertemu lengkap dengan tim sukses seluruh calon. Mereka kembali menegaskan penolakan atas rencana crossfire (saling adu argumen secara terbuka).

Mendengar itu saya berpikir benarkah masyarakat akan mendapat sajian program terbaik dari para calon atau tengah dibodohi karena mereka tidak mendapat ujian dari lawan politik. Taruhlah memang ada panelis yang membedah setiap pernyataan kandidat, tetapi ada kecenderungan panelis menempatkan diri bukan sebagai lawan, tetapi sebagai akademisi yang berhati-hati untuk tidak dipandang berpihak.

Benarkah saya berlebihan bila berharap kita memiliki kultur terbuka dalam mencari calon pemimpin seperti di Amerika? Tidakkah cara itu merupakan salah satu cara terbaik menyimak gagasan dan cara penyampaian yang baik sekaligus mendapatkan janji terbuka tentang apa yang akan dilakukannya jika seseorang memimpin. Banyak orang bilang kultur masyarakat Indonesia tidak seperti itu (seperti yang disampaikan salah satu anggota tim kampanye satu calon di Semarang), sehingga dikhawatirkan akan timbul kesan buruk di akar rumput. Kalaupun seperti itu, mengapa kita tidak mulai mengubahnya? Membuat semua calon membuka diri akan jauh lebih baik daripada sekedar menyampaikan program searah yang sukar diuji. Jangan sampai kita membeli kucing dalam karung.

indi