Friday, April 17, 2009

Berwisata atau Off Road?

Memang agak basi saya pengalaman saya ini, karena dua hal yang saya kerjakan yang akan saya ceritakan berikut sudah berlangsung seminggu dan dua minggu sebelumnya. hanya saja kalau tidak saya ceritakan, kok ada yang ngganjel.

Minggu lalu, usai membanting tulang, begadang dan memeras otak untuk menjalankan program Pemilu Indonesia selama dua hari, saya sekeluarga ikut berkemah bersama rekan-rekan segereja di kawasan wisata Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.

Anak sulung saya sudah jalan lebih dahulu, jadi kami hanya berangkat bertiga: saya, istri dan si bungsu. Memulai perjalanan dengan kepala sakit, karena kurang tidur selama beberapa hari membuat perjalanan tidak cukup nyaman. Lalu lintas pagi itu yang relatif lengang tidak menolong mencerahkan "mood" saya. Menurut hitung-hitungan kilometer jarak antara BSD dan Gunung Bunder yang hanya sekitar 50 kilometer seharusnya membuat ringan "beban" itu.

Apa lacur, yang kami temui selama perjalanan adalah betapa buruknya infrastruktur jalan kita. Selepas BSD yang relatif nyaman, kami harus berhadapan dengan jalan rusak di Ciseeng (pasti jarang Anda dengar nama itu). Jalan itu seharusnya menjadi jalan pintas ke daerah Parung. Namun nyatanya, lubang berdiameter sekitar 1 meter sedalam lebih dari 10 cm membentang berkilometer. Guna menutupnya, batu dan kerikil disebar, tetapi terkesan seadanya.

Berjalan perlahan adalah sebuah keterpaksaan untuk mencegah ketidaknyamanan dan kerusakan kendaraan kami. Akibatnya kami beringsut perlahan. Kondisi Parung jauh lebih baik. Jalan-jalan mulus dan lebar memudahkan kami bergerak hingga selepas Kampus IPB di Dramaga. Kemudian beberapa kilometer sesudahnya kami bergerak ke kiri menuju Gunung Bunder melalui Cibatok. Mungkin karena sesama ci, seperti Ciseeng, daerah ini pun serupa. Jalan sempit, berlubang, dan bersaing dengan angkot itulah kenyataannya.

Total kami harus menempuh sekitar 3 (tiga) jam untuk ke kawasan Gunung Bunder. Rasanya kepala saya bertambah sakit setelah menyetir sekian lama.

Pengalaman dengan jalan rusak juga saya alami dua minggu sebelumnya. Dengan alasan baru perlu penyegaran setelah ujian tengah semester, saya mengajak keluarga berlibur ke pantai. Tujuan kami adalah Pantai Carita untuk bermain ombak laut. Hmmm, terbayang segarnya udara pantai, makan ikan bakar, berenang dan berselancar. Endang bambang gulindang.

Sabtu petang, kami meluncur. Hati senang membuat lalu lintas jalan tol Tangerang-Cilegon yang padat truk tak terasa. Justru kedongkolan timbul setelah melewati Cilegon memasuki Anyer. Jalan rusak membentang!

Rasanya pada kunjungan sebelum itu beberapa bulan sebelumnya, jalan di kawasan itu memang berlubang, tetapi masih dapat ditolerir. Kali ini tidak. Puluhan kilometer jarak dari kawasan industri Cilegon sampai pantai Carita, hampir tidak ada jalan mulus. Mungkin saya membesar-besarkan hal itu, tetapi itu ekspresi kedongkolan saya.

Dua kenyataan itu membuat saya "gumun", heran. Saya heran dengan petinggi negara ini. Antara ucapan dan tindakan di lapangan hampir tidak ada kesesuaian. Pejabat Departemen Pariwisata sudah mencanangkan Visit Indonesia Year 2009. Pejabat Daerah menyatakan sudah menjual potensi wisata di daerah masing-masing. para petinggi negeri mengakui wisata adalah sumber devisa potensial bagi negara. Tapi mana? Bagaimana mungkin menjual obyek wisata tanpa membenahi infrastruktur. Apakah wisatawan mau berkunjung bila perjalanan menuju daerah itu tidak nyaman? Mana jalan yang baik, yang katanya akan dibuat dari uang pajak masyarakat. Mana?

Saya teringat bencana Situ Gintung Tangerang, Banten akhir bulan lalu. Nyata-nyata persoalan infrastruktur bendungan terlibat di sana. Saling lempar tanggung jawab. Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Provinsi tidak membuat infrastruktur yang baik, aman dan nyaman bagi penduduk negeri yang sudah membayar pajak ini.

Kalau yang berhubungan langsung dengan nyawa manusia saja pemerintah ini lalai, bagaimana pula yang tidak secara langsung seperti pembuatan dan perbaikan jalan? Sampai kapan kita memiliki pejabat yang memerhatikan kebutuhan hajat hidup orang banyak?

Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang (kata Ebiet G. Ade).

Thursday, April 9, 2009

Pusingggg!!!!

Arti kata ini menyerang saya begitu saya membuka lembaran-lembaran kertas suara. Setelah berangkat ke TPS di sebelah rumah menjadi sebuah perjuangan tersendiri bagi saya, memberikan hak suara ternyata adalah sebuah masalah baru. Alhasil bisa saja pilihan atau contrengan saya bukanlah hasil pemikiran terbaik. Mengapa begitu? Begini...

Selepas menjalankan tugas di Wisma Nusantara selama dua setengah jam pagi itu 9 April, dengan gagah berani saya memutuskan untuk pulang dan memenuhi imbauan KPU. Padahal jarak rumah saya di BSD, Tangerang ke Wisma Nusantara di Bundaran HI, Jakarta sekitar 30 km. Lumayan membuat pegal kaki dan pinggang selama perjalanan. Jadi pagi itu saja, saya sudah menempuh 60 km dan empat jam total di luar rumah.

Pikiran saya hanya satu saat itu; begitu banyak orang kehilangan hak pilih mereka karena tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jadi, saya yang beruntung ini berpikir mengapa tidak ikut memberikan suara.

Dalam setiap kesempatan kami membicarakan betapa mudahnya mencontreng. Tinggal buka, pilih nama, contreng, lipat, dan celup jari ke tinta. Beres. Di bilik suara, ternyata saya menemukan kenyataan yang berbeda.

Semangat saya seketika luluh, saat membuka lembar demi lembar surat suara. Deretan nama partai dan nama caleg membuat saya pusing. Siapa mereka? Apa janji mereka untuk saya? Bagaimana menguji integritas mereka? Bagaimana menagih janji mereka? Itu adalah daftar pertanyaan saya, yang tidak bisa saya tanyakan. Selain mereka tidak di depan saya, saya pun tidak pernah mendengar atau melihat langsung wajah, ucapan dan tindak tanduk mereka. Pusing!

Untuk beberapa saat, saya hanya membolak-balik kertas tanpa dapat memutuskan nama yang akan saya contreng. Sebelumnya sempat terlintas keinginan untuk golput alias tidak ingin memilih, tetapi rasanya kok tidak enak. Tapi masalahnya, saya tidak tahu mereka.

Dan tahukah Anda apa yang saya lakukan? Saya memilih nama seorang artis untuk caleg DPR RI, nama yang terkesan akrab untuk DPRD provinsi dan kota, serta nama seorang mantan pejabat pemberantas korupsi untuk DPD. Seperti saya sampaikan sebelumnya, itu bukanlah pilihan terbaik, tetapi daripada saya menghabiskan waktu berlama-lama di bilik suara rasanya itu adalah pilihan terbaik di antara yang buruk.

Walaupun begitu, beban saya terasa lebih ringan, karena saya melaksanakan aktifitas yang saya dengungkan berulang-ulang. Saya tidak ingin terkesan berkhianat dengan menyatakan Pemilu adalah sebuah pesta demokrasi, tetapi tidak memberikan suara. Buktinya di jari kelingking saya ada warna ungu tinta yang sudah memudar hanya dalam waktu 24 jam (sepertinya lebih cepat daripada tinta pemilu tahun 2004).

indi

Thursday, March 5, 2009

2 X 1

Dalam seminggu terakhir saya menghadiri dua pemakaman. Pertama, pada Senin lalu, dan pengalaman itu sudah saya tuangkan di salah satu tulisan saya. Kedua, hari ini. Seorang kerabat wafat semalam di usia spektakuler untuk ukuran kita: hampir 86 tahun! Namun bukan panjangnya umur beliau itu yang ingin saya perbincangkan.

Di hadapan saya terbaring tubuh tua. Kebaya putih membalut tubuhnya yang mungil. Tangannya tak lagi hangat. Wajah-wajah kuyu, mata sembab dan paras yang pucat berkeliling di seputar jenazah yang membujur kaku. Mulut mereka terkunci dengan isakan yang sesekali terdengar. Tidak ada canda tawa yang biasanya muncul saat berkumpul bersama.

Seketika saya teringat sebuah kata bijaksana, yang saya lupa siapa yang menulis.

"SEHARI DI RUMAH DUKA LEBIH BAIK DARIPADA SERIBU HARI DI TEMPAT PESTA PORA"

Bukannya tidak peduli pada usia tua atau kematian, tetapi sampai kemarin saya merasa hidup ini indah pada hari ini, dan akan semakin membahagiakan bila berada di tengah keriaan dan pesta pora.

Benarkah suasana seperti ini baik?

Ibu saya terbaring seperti ini 18 tahun lalu. Hampir satu dekade sebelumnya, bapak saya dalam keadaan serupa. Menyusul kemudian dua kakak saya menghadap Khalik Sang Pencipta dalam hitungan tahun sebelum tahun 2009. Orang-orang yang saya cintai tak lagi bersama. Hanya kenangan yang tersisa. Pukulan gesper bapak masih terasa di punggung, bila saya melompat pagar untuk bermain, walau sudah ada larangan sebelumnya. Belaian sayang ibu di punggung sebagai pengganti rasa sakit itu seolah tetap lekang.

Kita semua akan ke tempat itu. Ya, ke tempat yang tak seorang pun dapat menolaknya. Seberapapun kuat seorang pria, secantik apapun seorang wanita, sebanyak apapun kekayaan seorang pengusaha, cepat atau lambat kematian akan menjemput. Saat di mana tak ada lagi tawa, harapan untuk bercinta, ataupun keinginan untuk menghibur.

Bukan berarti setelah ini saya menjadi antihiburan. rasanya naif sekali untuk meniadakan sama sekali hiburan dari berbagai aktifitas kemanusiaan kita. Karena saya yakin Dia Yang Maha Kuasa pasti bergembira bila kita umat-Nya menghargai ciptaan-Nya dengan penuh sukacita. Hanya saja kegembiraan yang hakiki tidak terletak di tempat pesta pora; tempat nafsu diumbar dan kegelojohan timbul tanpa batas.

Menghargai setiap detik nafas kehidupan dan aliran darah di dalam nadi dengan mengucap syukur rasanya menjadi penting bagi saya. Tanda-tanda vital itu menandai kesempatan untuk berbuat yang lebih baik pada diri, sesama dan pujian untuk Yang Maha Esa.

Tidak ada lagi hak untuk melakukan sesuatu bagi yang sudah berada di tempat masa depan itu: 2 X 1.

indi

Tuesday, March 3, 2009

Pekuburan untuk Semua

Sudah pasti untuk semua, karena setiap orang akan meninggal. Itulah makna harafiah dari kubur dan pekuburan. Namun yang saya maksud bukan itu. Selain perlambang kesedihan, karena membawa arti perpisahan yang sebenarnya, makam justru menyediakan hidup untuk sekelompok orang. Itulah pengalaman yang saya temui hari ini. Begini ceritanya:

Senin malam selepas membawakan program rutin, saya mendapat pesan singkat. Isinya: ibunda salah seorang rekan saya meninggal dunia. Karena letak rumahnya terlalu jauh dari perjalanan pulang, saya memutuskan untuk mengikuti pemakaman esok hari.

Pukul 10 kurang saya tiba di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Rombongan keluarga yang berduka dengan jenazah yang akan dikubur belum tiba, sehingga saya berkesempatan memandang sekeliling. Ini adalah saat pertama saya dapat mengamati situasi sebuah kompleks "rumah masa depan". Hasilnya cukup mengejutkan.

Gambaran muram sebuah makam yang sepi jauh dari aktifitas manusia jauh sama sekali. TPU Karet Bivak cukup ramai. Bukan! Mereka bukanlah keluarga yang berduka, yang mengantar seorang kerabat ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Mereka adalah orang-orang yang hidup justru dari pemakaman itu!

Mari kita hitung bersama. Pertama sudah tentu para penggali kubur (rasanya tidak mungkin kita menggali kubur sendiri). Kemudian para penyabit rumput makam dan penjaja minuman (kehadiran mereka penting untuk mereka yang lelah berjemur setelah menghadiri pemakaman atau berziara). Tak ketinggalan (ini menurut saya yang menarik) sekelompok orang yang saya sebut para pendoa dan sejumlah anak-anak (terutaman perempuan berusia antara 8 sampai 12 tahun).

Dua kelompok terakhir itulah yang menjadi obyek pengamatan singkat saya. Kelompok para pendoa rata-rata berusia setengah baya. Mereka memiliki kostum khusus: berkopiah dan bersarung. Saya tidak pernah menyadari kehadiran mereka sampai aktifitas penguburan jenazah dimulai. Entah darimana sekonyong-konyong ada tiga orang ikut nimbrung di depan kubur yang baru saja ditimbun. Karena posisi saya cukup dekat dengan makam, saya mendengar jelas ajakan salah satu anggota kelompok kepada rekannya untuk segera maju ikut dalam ritual pembacaan doa.

Maaf bukannya saya mengabaikan doa dan kekhidmatan upacara, tetapi saya telanjur tertarik dengan kelompok ini. Apalagi saat doa dilantunkan, suara mereka paling keras dan mengatasi suara yang lain. Setelah doa selesai tanpa memedulikan seorang wakil keluarga yang berduka yang menyampaikan sambutan atas nama keluarga, mereka (tak ada yang mempersilakan lho) menyerbu sekotak makanan kecil yang tersedia. Tidak tanggung-tanggung, satu orang membawa lebih dari satu jenis makanan dan dibawa menyingkir dari tempat tersebut. Di bawah kerimbunan pohon, mereka menikmati bolu kukus dan kue lapis serta air mineral. Rasanya mereka puas menikmati imbalan atas jerih payah mendoakan sang jenazah.

Nah, saat kelompok pendoa mengambil kudapan itu, sekelompok anak-anak ikut berpartisipasi. Rasanya saat itu tidak kurang dari lima orang yang saya hitung. Kelompok anak-anak ini pun turut saya perhatikan sebelumnya, karena saya sempat berbincang dengan salah seorang di antaranya yang duduk di belakang saya (sebelumnya ia bertanya pukul berapa saat itu). Saya kemudian menanyakan sekolah (ia menjawab masih bersekolah di kelas lima) dan jam masuk sekolahnya (dijawabnya pukul 1 siang).

Anak-anak itu hanya duduk-duduk hingga doa selesai dipanjatkan. Mereka kemudian menyerbu kotak mekanan dengan penuh semangat (lha wong setiap orang mengambil lebih dari satu buah) dan segera menyingkir. Oh ya, mereka sempat diusir, karena dinilai mengganggu prosesi yang belum selesai.

Saya tidak ingin menilai benar salah dari aktifitas tersebut. Saya hanya terkejut melihat fungsi pekuburan yang jauh dari sekedar tempat peristirahatan terakhir kita umat manusia. Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak mungkin bisa mewakili pemakaman umum di seluruh Indonesia, yaitu tempat yang dapat memberi hidup bagi sekelompok orang. Dalam kondisi yang ekstrim, saya pun menyaksikan tempat pemakaman umum yang dijadikan tempat mesum, tempat mencari penghidupan pelacur kelas bawah, yaitu Pemakaman Kembang Kuning Surabaya, Jawa Timur. Di antara nisan-nisan Cina yang besar, banyak perempuan menyediakan diri mereka bagi kaum hidung belang, dengan hanya Rp. 50 ribu.

Sungguh sebuah pengalaman yang membuat saya miris sekaligus takjub. Betapa kuburan dan kompleks pemakaman memiliki makna sosial yang sangat penting bagi sekelompok masyarakat marjinal (jangan-jangan kelompok ini tidak pernah terhitung di Badan Pusat Statistik). Inilah salah satu potret kehidupan di sekitar kita. Sebuah realita.

indi

Wednesday, February 25, 2009

Clinton dan Acara Musik

Tulisan ini mungkin sudah out of date. Tetapi saya tidak tahan untuk tidak menulisnya, karena ini mungkin saja bentuk kedongkolan saya atas kejadian di sekitar kedatangan Menlu AS Hillary Rodham Clinton ke Indonesia pertengahan bulan ini. Subyektif, tak berdasar, emosional, atau tidak dewasa adalah label yang bisa Anda sematkan untuk saya setelah membacanya.

Pasalnya: Hillary Clinton tampil di sebuah acara musik di dua stasiun televisi swasta nasional. Ckckck.

Acara musik! Terus terang saya sulit mencari justifikasi arti pemilihan acara musik untuk penampilan seorang mantan ibu negara, mantan calon presiden yang bersaing ketat dengan Obama untuk Konvensi Partai Demokrat dan yang kini menjadi menteri luar negeri sebuah negara Hyperpower (meminjam istilah menlu Hassan Wirajuda di acara Atas Nama Rakyat TVOne yang berarti lebih dari superpower). Satu-satunya pembenar alasan adalah betapa acara itu memiliki rating tinggi di pagi hari, karena itulah waktu kosong beliau saat waktu kunjungan ke Indonesia dan acara itu ditonton banyak orang.

Memang sah-sah saja staf pemerintahan AS atau bahkan Hillary sendiri untuk memilih acara tv mana yang akan diisi. Hampir semua pemilik dan pengelola tv membuka programnya untuk menjadi tuan rumahnya. Namun manakala ada persoalan hubungan yang krusial, rasanya sangat masuk akal bagi seorang pejabat publik untuk hadir di tengah program yang mengusung talkshow serius di stasiun tv mana saja. Apalagi untuk hubungan sekelas AS-Indonesia yang diwarnai berbagai isu.

Saya ingat betul saat kampanye konvensi Partai Demokrat Agustus tahun lalu. Di mata saya, citra yang melekat pada diri Hillary Clinton adalah wanita tangguh, yang berani menghadapi siapa saja, serbuan argumentasi apa saja demi menyampaikan pemikirannya. Sosok Hillary Clinton betul-betul lepas dari bayang-bayang suaminya Bill Clinton yang sukses menjabat presiden AS dua periode. Ia giat "bertempur" melawan Barack Obama. Ketika menjelang konvensi dan semua polling menunjukkan keunggulan Obama, tak sepatah kata pun terucap dari mulut Hillary yang menyatakan menyerah kalah. Dengan lantang ia menyatakan akan terus berjuang sebagai penghargaan untuk mereka yang telah mendukungnya. Akibat persaingan itu, kubu Demokrat sempat khawatir terjadi pelemahan pascakonvensi, karena posisi internal yang terbelah.

Namun kini saya tidak lagi memandangnya seperti itu setelah ia tampil di sebuah acara musik dengan perbincangan ringan seperti selebriti Indonesia dan bukan sekelas menlu negara hyperpower! Saya tidak menilai rendah pembawa acara program musik. Tetapi logikanya menjadi sangat tidak mungkin atmosfir program musik akan menggiring narasumber pada perbincangan yang serius, tajam dan mendalam. Pembawa acara yang serius pun menurut saya, dapat terbawa oleh atmosfir yang ringan itu dan sulit untuk menghadirkan perbincangan berbobot.

Saya bisa saja dituding iri, karena gagal menghadirkan perbincangan dengan Hillary Clinton. Saya akui, saya iri dan merasa gagal. Namun dengan besar hati saya terima kekalahan itu bila datang dari sesama jurnalis yang biasa berkecimpung di dunia jurnalistik.

Oh Clinton yang Dahsyat! Bagaimana kalau di Bukan Empat Mata?

indi

Sunday, February 22, 2009

Lelucon Madura

Saya dapat lagi lelucon. Tapi mohon maaf kalau menyinggung rekan-rekan saya dari Pulau Madura.

Adalah sebuah cerita tentang seorang madura yang kaya raya pergi ke suatu tempat dan menginap di sebuah hotel yang mewah. Sebelum tidur malam ia memanggil pelayan hotel untuk pesan sarapan agar besok pagi dia tidak perlu repot.

Orang Madura ( OM ): “Pelayan saya mau pesan sarapan untuk besok pagi ya, tolong dicatat, saya minta diantar di kamar saya jam 6 pagi, jangan telat ya sebab saya ada rapat.”

Pelayan (P): Mau pesan apa Tuan?

OM: Saya mau pesan bret jembret.

P: Apa Tuan???

OM: Bret jembret!!!

P: Maaf Tuan apa itu bret jembret???

OM: Sampeyan ini gimana sih, jadi pelayan hotel terkenal kok bego. Anda bisa bahasa inggris nggak ?? Bahasa inggrisnya roti apa??

P: Bread (bret) Tuan.

OM: Nah sekarang bahasa inggrisnya selai apa???

P: Jam (Jem) Tuan.

OM: Lah itu kalau roti dikasih selai terus atasnya dikasih roti lagi apa nggak bread jam bread tak iye… doh sampeyan ini gimana sih!!!

P: Ooooooooooh itu Tuan. Lalu minumnya apa Tuan??

OM: Susu soda!!!

P: Pakai es Tuan?

OM: Lho lha iya pakai es dong, kalo nggak pake es kan jadi “u u oda” tak iye, dok re mak sampeyan ini!!!

P: ???!!! @@@&&^%%%$###))** *))&&&&

Monday, February 9, 2009

Harga Sebuah Kegiatan

Di hadapan kami (saya dan rekan siaran) sepasang suami istri paruh baya duduk dengan wajah muram. Mereka dalam suasana berkabung. Anak kedua mereka baru saja dipanggil pulang Yang Maha Kuasa dalam sebuah kegiatan unit pecinta alam di kampus Institut Teknologi Bandung. Sang anak digambarkan sebagai pemuda yang sehat, walau berat badannya di atas rata-rata. Namun saat kegiatan, ia dan 81 rekannya harus berjalan di malam hari di kawasan perbukitan di Lembang, dengan jarak relatif jauh. Kembali menurut orang tuanya, Wisnu demikian nama panggilan almarhum sempat menyatakan kelelahan. Hanya saja panitia acara tidak memiliki rencana dan fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat. Wisnu hanya diminta berjalan pelan-pelan. Akhirnya saat tengah malam, ia terjatuh dan tak dapat meneruskan perjalanan. Kesulitan mendapatkan alat transpor, panitia akhirnya baru dapat membawanya ke RS Boromeus Bandung, itupun dengan bantuan warga setempat pada pukul 2 pagi dan meninggal dunia di sana.

Saya tidak dapat menyalahkan kedua orang tua itu yang tidak ingin mempermasalahkan kematian anak mereka. Visum pun tidak ada, sehingga berkembang isu Wisnu meninggal karena ia mengidap kelainan jantung. Sejauh ini tidak ada pihak yang menyatakan rasa bersalah dan meminta maaf. Rektorat (entah dekanat dan panitia) hanya datang untuk menyatakan bela sungkawa.

Cuaca hujan, tengah malam, dan semangat rasanya menjadi bahan bakar bagi sejumlah orang untuk unjuk kemampuan diri dan disiplin. Situasi itu pernah saya rasakan belasan tahun lalu. Dalam suatu kesempatan, pengurus Senat Mahasiswa di FakultasFarmasi Universitas Airlangga Surabaya merencanakan kegiatan untuk mempererat persaudaraan. Acara perkemahan disiapkan di kawasan perkemahan Trawas, Mojokerto. Saya ingat betul, saat itu musim penghujan (bayangkan musim hujan di pegunungan tinggi, pasti deh identik dengan hujan setiap hari).

Mahasiswa Fakultas Farmasi dikenal sebagai mahasiswa penggemar belajar dan kuper (saat itu, nggak tahu sekarang). Sehari-hari urusannya kuliah, laboratorium dan perpustakaan. Akibatnya yang ikut saat itu kurang dari 30 orang. Angkatan yang dituju dan pengurus senat pun agaknya enggan keluar rumah. Padahal satu angkatan bisa 100 orang dan pengurus senat sekitar 25 orang, Bayangkan betapa sedikitnya.

Tidak pernah terpikirkan di benak kami bahwa berkemah di musim hujan membutuhkan usaha yang luar biasa (maklum bukan pecinta alam). Bekal seadanya, kemah seadanya, pakaian pun seadanya (karena maksudnya cuma nginep dua malam). Setibanya di lokasi, seingat saya siang hari, kami langsung disambut hujan rintik-rintik. Kian gelap cuaca hujan kian lebat. sebagai kaum amatiran kami tidak berhasil mendirikan tenda yang baik di tengah curah hujan. Kalau tidak bocor ya tenda tidak berdiri. Akibatnya sepanjang malam kami hanya bisa berteduh di tenda seadanya, asal tidak basah (dan itu tidak berhasil).

Kedinginan, kelaparan dan kelelahan adalah musuh bersama. Gelap, tidak ada tempat kering, baju hangat, dan makanan. Sepanjang malam.

Kembali ke masa kini saat saya membayangkan situasi itu, saya membandingkannya dengan kondisi almarhum Wisnu; betapa hampir sama. Perbedaannya, saya tidak berjalan dengan jarak tertentu, sementara Wisnu mendapat tekanan dari lingkungan untuk menempuh jarak tertentu.

Mengatasnamakan kegiatan Senat Mahasiswa, saya dan teman-teman menyelenggarakan acara temu dan kenal mahasiswa baru. Rasanya saat itu kami tidak pernah meminta ijin dari dekanat atau rektorat. Kami merasa sudah cukup dewasa mengelola adik-adik kami saat itu. Saya yakin hal yang sama pula yang dilakukan panitia acara almarhum Wisnu. Mana mau rektorat atau dekanat bertanggungjawab kalau ada apa-apa?

Di luar panggung dan materi dialog kami tentang kasus kematian mahasiswa Fakultas Geodesi ITB, ada banyak perguruan tinggi, banyak fakultas dengan unit kegiatan masing-masing. Mereka memiliki banyak kegiatan mengatasnamakan persaudaraan, pengetahuan atau kedisiplinan. Namun mungkin tidak banyak yang mengingat, bahwa keselamatan dan masa depan para mahasiswa di atas segala-galanya. saya pikir akan lebih bijaksana bila penyelenggara kegiatan menyiapkan rencana dengan bertanggungjawab dan bertanggungjawab pula bila ada sesuatu yang terjadi pada setiap peserta kegiatan.

Mungkinkah ada yang mau bersikap sejantan itu?

indi